Mereka masuk ke dalam lift, Athalia berdiri di samping Mahesa dengan sesekali melirik ke arah lelaki itu dengan ujung matanya. Ia bingung, hatinya bertanya-tanya, akan ke mana Mahesa membawanya?
Tiba di baseman kantor, Mahesa membukakan pintu untuk Athalia, tepat di samping kemudi.“Masuklah, Athalia!” Untuk yang pertama kalinya setelah Athalia meninggalkan apartmen Mahesa, hari ini Athalia bisa merasakan duduk berdua di dalam mobil lagi bersama dengan lelaki itu.Seketika jantungnya serasa melompat-lompat kegirangan, ada rasa senang yang tak bisa ia ungkap seberapa hebatnya.Ketika Mahesa mulai menyalakan mesin mobilnya, Athalia melirik ke arah lelaki itu. Tanpa bisa ditahan, selarik senyum tipis tersungging di bibirnya. Mahesa selalu terlihat menawan saat sedang fokus menyetir seperti ini.Athalia sudah bahagia, meski Mahesa belum mengatakan akan membawanya ke mana.***Mobil mewah berwarna hitam metalik itu ber“Aku akan mengajakmu ke butik Ravella. Nanti kau bisa memilih gaun mana pun yang kau suka untuk dipakai saat pesta perusahaanku.”Catat! Mahesa akan mengajak Jessy. Lalu untuk apa Athalia ikut? Athalia mengalihkan pandangan ke luar jendela, menatap dengan beberapa kali menghela napas, seakan berusaha menguatkan hati.“Really?” mata Jessy membulat senang. “Tapi aku memiliki banyak gaun yang masih sangat bagus untuk pesta nanti. Jadi menurutku tidak perlu. Aku bisa memakai gaun yang kupunya saja,” tolak Jessy, menggelengkan kepalanya.Athalia melirik sekilas, entah Jessy sedang menjaga imagenya di depan Mahesa agar tak terkesan matre, atau memang ia benar-benar tak ingin menambah koleksi gaunnya.“Jangan menolakku, Jessy! Kau tahu kalau aku adalah orang yang paling tidak suka ditolak. Aku hanya ingin kau terlihat paling cantik di pesta perusahaanku nanti. Kau mengerti?”Paling cantik? Athalia te
Sedikit ujung bibir Mahesa terangkat, membentuk lengkungan senyum tipis. Namun senyum itu berganti dengan raut bingung bercampur khawatir saat menyadari jika ada yang salah dengan Athalia.“Wajahmu pucat? Kau sakit?”“Tidak, Tuan. Aku baik-baik saja.”Ingin memastikan, Mahesa menjulurkan tangan, menempelkannya di kening dan leher Athalia. Tapi tidak panas.“Kau yakin?” tanya Mahesa, menyelidik.Athalia mengangguk. “Ya, Tuan. Aku yakin.”“Lalu bagaimana dengan hatimu, Athalia? Apa hatimu juga baik-baik saja?”Sedikit berisik, Mahesa menutup telinganya dengan telapak tangan, sedang matanya masih memejam dengan rapat. Suara gemercik air itu mengusik indera pendengarannya, membuat tidur lelapnya terganggu.“Athalia! Sudah berapa kali kubilang, jangan lupa matikan keran setelah kau menggunakannya!” Mahesa setengah berteriak, pada Athalia
Jika biasanya Mahesa melewatinya tanpa menyahut, atau sekadar berdeham, kini lelaki itu justru menghentikan langkah, tepat di depan meja Athalia.Sesaat terdiam, Athalia merasa Mahesa seperti sedang memperhatikannya. Kemudian lelaki itu bertanya.“Athalia, apa ada jadwal penting hari ini?” sedikit berbasa-basi, Mahesa hanya ingin menutupi kecanggungannya. Matanya masih lekat menatap wajah Athalia.Athalia mendongkak, membalas tatapan Mahesa. “Tidak ada, Tuan. Seperti yang sudah saya beritahukan kepada Anda kemarin.”Sial! Mahesa lupa. Wajahnya langsung memerah. Tapi ia tetap memaksa senyum penuh wibawa di bibirnya.“Hemm, baiklah. Kalau begitu lanjutkan pekerjaanmu dan antarkan ke ruanganku jika ada laporan yang harus kutanda tangani.”“Baik, Tuan.” Athalia mengangguk, meski merasa aneh. Seharusnya Mahesa tak perlu mengingatkannya, karena itu memang yang biasa ia kerjakan.Mahe
“Tuan Mahesa datang!” Fenny—manager dari divisi keuangan, langsung menyenggol lengan Athalia sambil berbisik.Athalia menoleh ke arah Fanny saat mengedikan dagu. Ke pintu masuk pesta.Ya! Mahesa terlihat di sana, berjalan tegas dengan langkah lebarnya, dua orang bodyguard mendampingi di kedua sisi. Dia terlihat tampan dan gagah, juga berwibawa. Seperti yang ditanyakannya kemarin pada Athalia.“Sampai sekarang aku masih bingung, untuk apa kemarin Mahesa mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas faktanya. Tanpa perlu kujawab pun, dia sudah terlihat sempurna,” gumam Athalia dalam batinnya, sembari matanya tak lepas menatap ke arah Mahesa yang mengenakan stelan tuxedo berwarna biru dongker.Tetapi alis Athalia mengernyit saat dirinya baru menyadari sesuatu.“Ke mana Jessy? Mengapa aku melihat Mahesa datang sendirian?” ini sedikit membuat Athalia heran.Sejak kemarin, Jessy terlihat selalu menempel pada Mah
“Bisa dibilang begitu. Karena penampilanku yang terlihat seperti orang culun, banyak yang menghindariku. Bukan hanya perempuan, tetapi juga lelaki. Tapi ada satu orang yang tidak pernah membeda-bedakan teman, dia meraih bahu orang lain dengan sayang, perhatian juga kelembutannya. Dia adalah Athalia, yang seiring waktu berhasil membangkitkan kepercayaan diriku.”Ervan melempar senyum ke arah Athalia ketika mata mereka bertemu, dan Athalia membalasnya dengan selarik senyum tipis.Dada Mahesa bergemuruh, ada yang berkobar di dalam sana. Sedangkan Jessy tetap tenang dengan menikmati makanannya tanpa peduli dengan perbincangan tentang Athalia.“Athalia adalah orang pertama yang membuatku merasa berarti. Awalnya aku merasa sulit menggenggam dunia, meski aku belajar sekeras apapun, tak ada yang mau berteman denganku. Jadi aku memilih untuk menghabiskan waktuku dengan ratusan buku-buku yang pernah kubaca.”“Tapi tangan lembut A
“Dengar, Athalia. Mungkin kau memilih bungkam dan mengabaikan isi hatimu. Tapi sorot matamu berbicara, setiap kali cemburu, setiap kali sedang menatap rindu, atau sedang mencuri pandang ke arahku, aku merasakannya. Aku tahu, satu bulan yang singkat itu mungkin telah menghancurkan perasaan dan harga dirimu sebagai wanita, tapi aku juga tahu, kalau seiring berjalannya waktu, kau jatuh cinta padaku. Kali ini kumohon tidak usah menyangkalnya, karena aku pun merasakan hal yang sama, Athalia,” ucap Mahesa, yang seketika membuat kepala Athalia tertoleh ke arahnya.“Ya, kurasa Mahesa si lelaki yang paling tidak percaya cinta dan komitmen ini ternyata malah takluk pada ucapannya sendiri. Aku jatuh cinta padamu, Athalia. Merasakan apa yang kau rasakan setiap harinya. Kadang aku masih merasa kau ada di sisiku, tapi kemudian aku akan kecewa saat menyadari bahwa kenyataannya berbeda. Kau pun seperti itu ‘kan, Athalia? Kau merindukanku?” tanya Mahesa, setengah
Namun Athalia hanya mengulum senyum tipis, dia tak terlalu menanggapi ucapan Mahesa kali ini.Dan Mahesa menyadarinya.“Aku tidak mau menjadi Tatiana, kau juga tidak sama dengan Pangeran Axel. Kisah kita berbeda dengan mereka, lagipula … ““Lagipula apa?” Mahesa mengangkat sebelah alisnya.“Kisah mereka tak berakhir bahagia, itu sebabnya mengapa aku merobek bagian akhir ceritanya,” papar Athalia yang seketika membuat Mahesa sedikit terkejut.Tapi kemudian Mahesa kembali tersenyum, merangkul pundak Athalia dan mendekapnya. Menumpukan dagunya di puncak kepala wanita itu.“It’s oke, Athalia. Kalau begitu mari kita buat kisah yang baru, kisah yang jauh lebih menarik, dan kisah yang akan terukir bahagia sampai bagian akhirnya.” Mahesa berkata seakan ia lupa bahwa dalam hidup, pasti ada yang namanya luka dan air mata.***Hari ini, untuk yang pertama kali dalam hidupnya,
“Tentang ucapan ibumu,” desah Mahesa yang kemudian membuat Athalia menundukan kepalanya.Mahesa mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, hembusan napas kasar lolos dari mulutnya.“Kau dengar apa yang diucapkannya tadi, Athalia? Ibumu menganggapmu sebagai berlian, sangat berharga. Dan dia begitu mempercayakanmu padaku. Aku takut, dia akan kecewa andai tahu kalau lelaki yang sangat ia percayai ini adalah orang yang telah merusakmu,” ucap Mahesa, suaranya terdengar lembut.Athalia menaikan pandangan, mata mereka bertemu, Athalia bisa menemukan ketulusan lewat tatapan itu. Ada sesal yang menggunung di dalam hati mereka.Mahesa meremas tangannya, hanya untuk menyembunyikan jemarinya yang gemetar. Kemudian digenggamnya kedua tangan Athalia, sedang matanya menatap lurus.“Maafkan aku, Athalia. Maaf karena aku sudah menjadi lelaki bejat yang sudah merusak kehormatanmu. Selama ini aku pikir semua wanita itu sa
Mahesa menatap pada dokter dengan sorot penuh harap. Dan dokter itu menarik napas sebelum akhirnya berkata.“Keadaan Nyonya Athalia tetap sama. Tapi kita masih bersyukur operasi ini tak memperparah kondisinya. Setelah pulih dari melahirkan, Nyonya Athalia sudah bisa melakukan terapi kankernya di Indonesia. Dia wanita yang kuat, tak banyak yang berhasil bertahan sampai di titik ini,” ungkap dokter itu yang akhirnya membuat Mahesa mendesah lega.Mahesa sangat kagum pada Athalia. Kini ia menatap wajah bayi mungilnya yang tampak memerah. Bayi itu menangis, lalu perawat mengambil alihnya dari tangan Mahesa.“Maaf, Tuan. Kami harus segera memindahkan bayi perempuan Anda ke ruang inkubator.”Mahesa mengangguk mendengar ucapan perawat itu. “Boleh aku ikut mengantar bayiku?” tanya Mahesa, seakan tak rela jika harus berpisah barang hanya sejenak dengan malaikat kecilnya.Perawat dan dokter itu saling pandang,
Meski usia kandungan Athalia baru menginjak delapan bulan, namun dokter menyarankan agar bayi Athalia segera dikeluarkan dari kandungannya. Karena akan makin membahayakan kondisi Athalia.Awalnya Athalia sempat menolak dan berdebat kecil dengan Mahesa. Athalia takut terjadi hal buruk pada bayi mungilnya andai dilahirkan premature. Namun Mahesa bersikukuh meyakinkan bahwa dokter tahu yang terbaik. Mahesa juga takut terjadi hal buruk pada bayinya. Tapi ia lebih takut kehilangan Athalia.Akhirnya Athalia luluh setelah Mahesa meyakinkannya bahwa semua akan baik-baik saja.Dean dan Narsih sudah ada di rumah sakit. Mereka berdua datang ke Jerman. Sedangkan Yasna, Dirly dan keluarga Dean masih di Indonesia. Sengaja sekali Dean tak mau memberitahukan kabar Athalia yang akan dioperasi ini pada mereka agar tak merasa khawatir.“Mahesa, jangan pergi!” Athalia menggenggam erat tangan Mahesa saat perawat mendorong ranjangnya menuju ke ruang operasi.
“Dia baik-baik saja.” dokter berkata pada suster setelah ia memeriksa keadaan Athalia.“Tapi dia mengigau terus, dok.”“Tidak apa. Selama kondisinya stabil. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” pungkas dokter yang menangani Athalia. Dokter itu bernama Dokter Greg.Suster itu mengangguk. “Baik, dokter. “ sebenarnya suster itu khawatir terjadi apa-apa pada Athalia, juga karena ia dibayar oleh Dean untuk terus memantau kondisi Athalia dan menginformasikan setiap perkembangannya.Tepat di saat dokter baru saja akan berbalik keluar dari ruangan itu, tiba-tiba mereka mengerutkan kening saat melihat sosok lelaki yang tak dikenal, melangkah memasuki ruang ICU dan menghampiri ranjang Athalia.“Siapa dia?” dokter berbisik pada suster.“Saya tidak tahu, dok,” balas suster itu menggelengkan kepala.Lelaki asing itu adalah Mahesa. Yang ketika melihat pintu ruang ICU tak di
Tak ingin membuang waktu, Mahesa langsung mengurus keberangkatannya ke Jerman. Dan sebagai seorang ayah yang telah mendukung Mahesa, Leuwis turut membantu segala persiapan putranya.Kini mereka pun telah tiba di bandara. Sebelum masuk ke gate penerbangan, Leuwis menggenggam tangan kanan Mahesa dengan erat.“Apa kau yakin Papa tidak perlu menyusulmu ke sana?” tanya Leuwis, yang sebenarnya ingin ikut.“Tidak perlu, Pa. Papa tunggu saja di sini dan berikan doa yang terbaik untukku.” “Itu pasti. Kau tak perlu memintanya. Papa akan selalu mendoakanmu.”Mahesa tersenyum, sesaat memeluk ayahnya, sebelum kemudian mengurai pelukan dan pamit untuk pergi.Leuwis menghela napas pelan sambil melambaikan tangan, melepaskan kepergian Mahesa yang kini telah menghilang dari pandangan mata.“Semoga keberuntungan dan kebahagiaan selalu menyertaimu, Mahesa,” gumam Leuwis.***Tiba
Meski sudah larut malam, Dean tak bisa tidur. Ia masih duduk di ruang tengah sambil menonton TV.Namun, tiba-tiba terdengar suara bell rumahnya yang berdenting.“Ck! Siapa yang bertamu di malam-malam buta begini.” Dean bergumam lalu bangkit berdiri dan berjalan menuju ke pintu utama.Saat pintu itu dibuka, Dean langsung menghembuskan npaas kasar ketika melihat sosok Mahesa yang berdiri di hadapannya dengan penampilan yang cukup berantakan.Sepertinya Mahesa habis berkelahi. Terlihat dari rahang dan sudut bibirnya yang lebam dan berdarah.“Apa kau sudah gila? Bisakah kau bertamu di waktu yang tepat?” Dean menyindir, baru saja ia akan kembali menutup pintu rumahnya namun tangan Mahesa lebih dulu menahannya dengan kuat, hingga Dean menyerah dan pintu itu pun kembali terbuka lebar.“Sebenarnya apa maumu?” sentak Dean, kesal.“Aku mau kau beritahu aku di mana Athalia berada?” tegas
Leuwis tak sanggup saat melihat Mahesa yang sedang kacau seperti ini.“Mahesa,” desah Leuwis bersimpuh duduk di samping Mahesa dan membuat Mahesa membuka kedua matanya hingga bertemu pandang dengan bola mata ayahnya.“Pa … “ Mahesa berbisik pelan. Namun kedua matanya menyiratkan kesedihan. Terihat dari matanya yang memerah dan berkaca-kaca.“Kemarilah, Nak! Kemarilah!” Leuwis membuka tangannya lebar-lebar.Mahesa tahu isyarat itu. Ia pun beringsut duduk dan segera masuk ke dalam pelukan Leuwis. Menghambur memeluk tubuh Leuwis dan menumpahkan tangisnya di dada ayahnya.Mahesa menangis tanpa suara. Hanya saja Leuwis merasa bagian depan bajunya yang basah.“Pa, aku telah kehilangan dia! Aku telah kehilangan Athalia dan anakku! Athalia sedang hamil, Pa. Dia hamil darah dagingku. Berkali-kali aku membujuknya tapi dia tak mau kembali. Aku terlalu banyak menyakitinya. Aku ini lelaki bejat yang sangat menji
Hanya sebentar Leuwis dirawat di rumah sakit. Ia pun sudah boleh pulang ke rumahnya.Selama ada di rumah sakit, tak ada satu pun anggota keluarganya yang menjenguknya selain Mahesa.Entah karena memang mereka tidak tahu Leuwis dirawat, atau mungkin karena mereka tidak peduli sama sekali terhadapnya.Yang jelas, Leuwis merasa kecewa. Ayaz melihat dirinya yang hampir mati, namun sama sekali tak berniat menolongnya.Justru Mahesa lah yang melarikannya ke rumah sakit dan menemaninya meski mereka hanya saling diam dan tak ada satu pun yang berani bicara.“Kau gila, Ayaz! Kau berani melakukan itu pada Papamu? Bagaimana kalau dia masih hidup lalu mengusir kita semua dari rumah ini?”Baru saja Leuwis akan membuka pintu kamar Ayaz untuk menegur anak tirinya itu, namun gerakan Leuwis terhenti saat ia mendengar suara Jessica yang sepertinya sedang berbicara dengan Ayaz.“Masa bodo tentang Leuwis. Dia bukan Papaku. Aku bosan hidup di ba
“Selama ini aku bekerja untuk memenuhi hidupmu dan keluarga kita. Tapi mengapa kau tak menghargaiku? Setidaknya bantu aku untuk mencari jalan keluar dari permasalahan ini. Bukannya malah menambah masalah di kepalaku!” sentak Leuwis dengan keras.Leuwis marah, tentu saja.Bisa dibilang, Ayaz adalah anak tertua setelah Mahesa. Meskipun Ayaz hanya anak tirinya. Namun Leuwis pikir, sudah sepantasnya Ayaz ikut mengemban tanggung jawab untuk mengurus perusahaan dan membantunya.Bukannya malah hanya berfoya-foya.“Apa masalahnya, Pa? Aku memanggil dua wanita penghibur itu untuk sedikit menyenangkanku. Bagaimana aku bisa bekerja jika hatiku tidak senang?” Ayaz berkata dengan wajah santainya.Membuat bola mata Leuwis melebar.“Tapi kau bisa bersenang-senang di waktu dan tempat yang tepat! Tidak dalam situasi seperti ini!” Leuwis masih tak habis pikir. Ayaz sempat memikirkan kesenangannya di saat mereka terancam hid
Langit terlihat begitu mendung. Tak secerah tadi pagi, dimana saat mereka asyik bermain sepak bola di halaman belakang rumah Dean.Kini Dean melamun, menatap nanar pada wajah Athalia yang terbaring di atas ranjang rumah sakit. Dean menungguinya. Ia mengusir halus semua orang yang hendak ikut menemani Athalia di rumah sakit, termasuk Narsih dan Yasna.“Athalia, kau harus berjanji padaku! Kau akan tetap hidup sampai nanti, sampai Dirly dan anakmu dewasa. Sampai kau berhasil mendapatkan kebahagiaan sesungguhnya. Jangan pernah pergi sebelum semua itu terjadi. Berjanjilah padaku, Athalia!” Dean meraih tangan kanan Athalia, lalu menciumi jemarinya.Lelaki bertubuh kekar itu tak bisa menahan saat air mata meluruh jatuh melewati pipinya.Hari ini, saat Athalia dibawa ke rumah sakit, dokter memberitahu sebuah kabar yang membuat semua orang terkejut. Tak menyangka. Bahkan terluka.Bagaimana tidak, dokter mengatakan Athalia menderita kanker darah. Dan tak s