Dustin akhirnya bisa beristirahat di apartemen yang diberikan Blenda, namun perasaan hampa menyelimuti dirinya. Meski memiliki waktu senggang yang langka, ia tak tahu harus melakukan apa untuk mengisi kekosongan itu.Pikirannya melayang pada kejadian siang tadi, pernikahannya dengan Clara yang berakhir berantakan. Setelah itu, Kellan membawanya ke rumah sakit untuk mengambil sampel darah, dan sekarang, ia hanya bisa berbaring malas di tempat tidur, terjebak dalam kebosanan.Sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunan Dustin, dengan langkah malah Dustin bangkit dari tempat tidur membuka pintu. Belum sempat Dustin mempersilahkan, Clara sudah menerobos masuk lebih dulu."Deon sudah kembali," Dustin berkata tanpa emosi. "Kita tak perlu berpura-pura lagi sekarang." lanjut Dustin, tapi tiba-tiba Clara memeluknya tanpa permisi."Aku ingin menikah denganmu, Dustin. Bukan bersama Deon, aku sudah jatuh hati padamu daripada saudara kembarmu."Dustin menghela nafas, perasaannya untuk Clara sama seka
Satu minggu telah berlalu sejak pengambilan sampel darah, dan kini hasil tes DNA yang telah dinanti-nanti akhirnya tiba. Di sebuah ruangan yang penuh dengan ketegangan, Dustin dan Deon duduk di kursi berbeda namun saling berhadapan, keduanya melemparkan tatapan yang tajam dan tidak bersahabat setiap kali pandangan mereka bertemu.Kellan menghela napas panjang sebelum mengangkat amplop hasil tes DNA yang ada di tangannya. Suasana di ruangan itu seolah membeku, semua mata tertuju pada amplop yang akan menentukan nasib keluarga mereka."Hasilnya sudah keluar," ucap Kellan, suaranya serak oleh emosi yang ia tahan. "Kita akan lihat apakah benar Dustin adalah putraku atau bukan."Deon, dengan tatapan penuh kebencian, menatap Dustin. Namun, Dustin hanya membalasnya dengan senyuman tenang, seolah tidak ada sedikitpun keraguan di hatinya tentang siapa dirinya sebenarnya.Kellan kemudian membuka amplop itu dengan hati-hati, beberapa orang saksi di ruangan itu memperhatikan dengan cermat setiap
"Kenapa Marley bisa ada disini?" tanya Dustin.Blenda menoleh, dan Marley yang tampak gugup, hanya bisa menundukkan kepalanya. "Aku menjemput semua pelayan yang ada di pulau itu. Untuk apa mereka di sana kalau tidak ada yang dilayani?"Namun, Dustin tak puas dengan jawaban itu. "Bukan itu yang aku tanyakan. Kenapa Marley ada di sini?" Suaranya semakin tegas, menuntut penjelasan yang lebih dalam.Blenda tersenyum tipis, seolah-olah situasi ini sudah dia prediksi. "Karena dari awal Marley bekerja untukku. Aku mengirimnya ke pulau itu untuk mengawasi dirimu dan memastikan kamu menyetujui syarat-syarat yang aku berikan."Dustin seketika berdiri, Marley yang merasa takut refleks mundur melihat tatapan kemarah Dustin dari matanya. "Jadi selama ini kau mengetahui sesuatu, dan menyembunyikan dariku?""Tenanglah, Dustin. Marley tidak bersalah, dia hanya memegang kesetiaannya padaku." Blenda melihat Marley, menyuruh pelayan itu pergi sebelum Dustin marah besar. "Marley yang akan selalu mengirimk
Kedatangan Dustin yang tiba-tiba menyerang Gerald membuat Alexa syok, perempuan itu berniat membantu Gerald yang tersungkur akibat perbuatan Dustin. Namun tangan Elsa ditahan, Dustin menariknya keluar hingga Elsa kesusahan menyeimbangi langkah pria itu."Lepas!" Elsa menyentak tangannya dengan kasar, sorot matanya penuh kebencian hingga menggertakkan rahangnya menahan kesal. "Apa-apaan, kau ini Dustin! Dirimu datang dan memukul orang lain seenak hati, apa kau tidak punya hati!""Aku tidak suka kau dekat dengan orang lain, Elsa!"Elsa tertawa sinis. "Dan apa pedulimu? Kau sendiri bertunangan dengan wanita lain, tapi aku tidak boleh dekat dengan orang lain? Kita tidak punya hubungan apa pun, Dustin! Kau bukan siapa-siapa dalam hidupku, jadi lebih baik kau menjaga sikapmu!" ujar Elsa.
Elsa mendongak dengan tatapan bertanya tanya tentang ucapan Dustin barusan, lalu Dustin menghela nafas dalam. Dengan lembut menarik Elsa agar perempuan itu duduk kembali, jangan sampai Elsa masih bersikeras untuk melarikan diri dari tempat itu.“Tak ada alasan khusus,” ujar Dustin, suaranya lembut namun tegas. “Aku hanya ingin kau ada di dekatku. Setidaknya dengan begitu, aku bisa memastikan kau aman.”Elsa memicingkan mata, menatap Dustin dengan penuh kecurigaan. Ia tahu, ancaman terbesar yang ia hindari justru adalah pria yang ada di hadapannya ini. Dengan helaan napas panjang, Elsa menatap Dustin dengan penuh rasa frustasi.“Apa yang terjadi padaku bukan urusanmu,” kata Elsa, nada suaranya penuh ketegasan. “Aku tidak peduli dengan apa yang kau lakukan, Dustin. Biarkan aku
Sudah tiga hari sejak Dustin menghilang dari perusahaan, dan tanpa membuang waktu, Deon kembali menduduki posisi yang pernah ia pegang. Namun, tak ada yang berubah. Deon tetaplah Deon, pria yang lebih memilih bersantai dan menghindari tanggung jawab, bahkan mengabaikan rapat-rapat penting.Pintu ruangan terbuka dengan keras. Kellan masuk dengan wajah marah, dan dengan cepat membanting beberapa berkas ke atas meja."Keluar!" seru Kellan dengan nada penuh kemarahan sambil menunjuk pintu.Namun, Deon tampak tak terganggu, menurunkan kakinya dari meja dengan santai dan berdiri. "Ayah, kenapa marah-marah? Aku hanya sedang bersantai. Ngomong-ngomong, apa orang-orang yang menculikku sudah dijatuhi hukuman?""DEON!" Kellan membentak, suaranya menggema di ruangan itu. "Baru tiga
Keesokan harinya, Dustin pergi ke perusahaan seperti yang Kellan Dawson katakan kemarin. Sekarang Dustin mengerti kenapa Kellan menyuruhnya datang setelah seorang pria bernama James datang menghadap, mengakui dirinya adalah asisten pribadi Dustin mulai sekarang.James juga yang memberitahu Dustin kalau Deon telah di pindahkan ke perusahaan cabang pinggir kota sebagai bentuk hukuman dari Kellan karena tidak becus menjadi seorang pemimpin. Tapi itu bukan berarti Deon akan selamanya di perusahaan cabang, jika ada kemajuan yang Deon tunjukkan, maka itu artinya Deon dan Dustin akan kembali bersaing di perusahaan yang sama.Tiba-tiba pintu ruangan terbuka, Kellan berjalan menghampiri. "Bersiaplah, akan ada rapat yang akan dilakukan untuk meresmikan keberadaanmu di perusahaan ini mulai sekarang." katanya.Dustin berdiri, m
Selesai makan siang, Dustin kembali ke perusahaan, meninggalkan Elsa yang duduk sendiri di ruang makan. Sejak kemarin, Elsa terus berusaha menghubungi Katrina, tetapi tak ada balasan. Kekhawatirannya semakin menjadi-jadi, membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi. Saat akhirnya suara Katrina terdengar dari seberang telepon, Elsa merasa lega seolah beban berat terangkat dari pundaknya."Halo, Elsa?""Katrina, astaga! Aku sudah mencoba menghubungimu sejak kemarin. Tapi kenapa kau tidak segera mengangkatnya?" tanya Elsa, merasa sedikit lega karena sempat berpikir kalau ponsel Katrina hilang lagi atau terjadi sesuatu padanya."Maaf, aku sangat sibuk sekali di kantor. Oh ya, apa kamu di rumah? Aku tidak sempat pulang. Kau pasti kesepian," jawab Katrina dengan nada penyesalan.