Pemimpin dari mereka, sudah berdiri di depan Vanesha, dia melihat dengan dekat bagian tubuh Vanesha, apalagi dibagian dadanya, sampai Vanesha memiringkan tubuhnya.“Hey!” bos nya menyentuh dagu Vanesha, tapi wanita itu menepis jari itu dari wajahnya karena merasa jijik.“Jangan tidak sopan. Kau tahu sekarang situasi kalian kan?”“Apa yang kau lakukan? Aku kan sudah bilang, jangan kasih pinjam lagi ibu tiriku meminjam uang dari kalian, tapi kenapa kau masih memberinya? Dan, kenapa malah menangihnya pada kami?”“Cuih!” pria itu buang ludah ditanah untuk menggertak Vanesha.“Siapapun, kalau dia bilang sanggup untuk bayar hutang, kami akan kasih pinjam uangnya. Apalagi… bukankah hubungan keluarga kalian sangat harmonis? Hm?” dia menjulurkan lidah dan mengedipkan sebelah matanya.“Pak, kami tidak tahu menahu hutang itu. Tolonglah Pak, cari saja si Gem aitu, jangan mengganggu kami, apalagi puteri saya.”“Diam Pak Tua!” dia menendang roda kursi rodanya. Tapi, dia melihat ada Raditya di sana,
Sekarang semua sudah diberikan dan sudah selesai. Gembok yang sengaja di kunci, sudah terbuka, sertifikat juga sudah di tangan, hutang pada mereka juga lunas, walau tetap masih ada hutang dengan Raditya.“Sepertinya, kalian jangan tinggal di sini dulu. Aku rasa, ibu tirimu akan datang lagi ke sini, dan melakukan hal yang sama.” Ucap Raditya, “Rumahnya juga sangat berantakan. Apa rumah ini masih bisa disebut sebagai tempat tinggal?” Raditya saja sampai tidak tahu mau duduk di mana saking kotor dan berantakannya. Dia hanya berdiri dan melihat sekitar rumah itu.“Kami mau tinggal di mana lagi? Kami juga tidak ada apa-apa sekarang.”“Ayah, sebaiknya kita jual saja rumah ini dengan harga yang murah.”“Vanes, memangnya ada yang mau membeli rumah seperti ini? Apalagi kata Tuan Radit, rumah ini seperti tidak layak untuk di tempati. Dan bagaimana kalau Gema dan anak-anaknya datang lagi ke sini?”“Vanesh, apa kau punya foto ibu tirimu itu? Oh…” Radit melihat ada satu foto yang dibingkai, “Tidak
“Jadi, begitu ceritanya? Dan yang menolong kalian… Raditya sendiri?”“Iya, Pak. Saya… saya banyak berhutang dengan tuan Raditya. Berhari-hari, dia yang selalu membantu kami. Jadi, tolong jangan marah padanya.”‘Aneh. Tidak pernah Raditya memberikan perhatian khusus pada siapapun. Bahkan pada asistennya yang sebelumnya.’“Tidak, mendengar penjelasan dari kamu, tidak mungkin aku memarahi anak itu. Memang, aku terkejut. Karena… ya, kau juga pasti tahu kan.”“Pasti Tuan Radit belum pernah begitu pada siapapun?”Hendrik mengangguk.“Tapi, kau bilang tadi, kalau ada yang mengikuti kalian?”“Iya Pak. Saya tidak tahu karena tuan Radit tidak mengatakan apa-apa. Mungkin, sejak kemarin, tapi tidak tahu kapan pastinya orang itu mulai mengikuti tuan Radit. Saya juga punya foto mobil yang orang itu gunakan.”“Kalau begitu, tolong tunjukan padaku ya. Aku juga ingin memeriksanya.”“Ada, ini Pak.”Hendrik dan Vanesha berbicara sedangkan Radit mulai syuting. Untungnya Raditya bisa melakukannya tanpa ha
“Dimana anakku, Desi? Apa dia ada di sini?” tanya Gema paa Joko. Mereka, malah datang ke rumah Joko. Bukan untuk tinggal menetap bersembunyi di sana, tapi hanya untuk mencari Desi, yang sudah berapa hari tidak pulang ke rumah sejak mereka berada di rumah Vanesha.“Apa? Dia tidak ada di sini. Kan kau bilang, dia akan ikut padamu pulang.”“Tapi gak ada. Kemana dia ya?”‘Sebenarnya baru tadi malam anak itu ada di sini, tapi dia sudah pergi. Semoga saja kalian tidak bertemu karena dia akan mengadu pada wanita jelek ini.’ Pikir Joko.“Bu, terus gimana? Kata Ibu, kita akan pergi jauh dari kota ini.” Kata Melody.“Sshht…” Gema menyuruh anak pertamanya untuk diam, tapi Joko sudah dengar, “Kalian mau pergi? Ke mana? Bukannya kalian mau tinggal lagi di sini?”“Akh… iya Bang. Tapi nanti dulu. Soalnya, kami kan bertengkar dengan bapaknya si Panesh, jadi kami pergi dulu agak jauh, biar Abang gak kena marah. Kan, kita sama-sama malu nanti kalau di grebek.”Joko tidak suka mendengarnya. Dia mendekat
Hari berikutnya, Vanesha sedang bersiap untuk pergi berangkat kerja. Dia tidak enak hati karena sudah berapa hari ini, tidak masuk kerja.“Kau sudah mau pergi, Vanesha?” tanya Hendrik. Hendrik, Inayah dan ayahnya, sudah berada di meja makan untuk sarapan. Yang menyiapkannya juga Inayah dan Vanesha sebelum dia mandi.“Vanesha, ayo makan dulu.” Ajak Inayah.Awalnya, Vanesha pikir kalau Inayah habis makan malam akan pulang, ternyata tidak. Malah menginap dan tidur bersama Hendrik. Tapi mereka berdua bersikap biasa saja, dan Vanesha tidak ingin menanyakan itu.“Ayah, gak apa-apa kan tinggal di sini?” tanya Vanesha.“Gak apa-apa. Kau kan sedang bekerja, Ayah tidak mau mengganggu waktu kerjamu.”“Maaf ya Pak, kami berdua juga harus pergi bekerja. Tapi, biasanya, jam sembilan pagi, ada orang yang datang untuk berberes di sini, sorenya orang itu akan pergi.” Kata Hendrik.“Iya, Tuan Hendrik.”Hendrik sudah melarangnya agar jangan memanggilnya ‘Tuan’, tapi karena Bayu bersikeras agar lebih sop
“Makanya Bang, jangan terlalu baik sama orang kayak dia. Dia tuh memang sering banget bikin kesal. Padahal Bang Joko kan orang yang baik mau kasih tampung dan dua anaknya.”“Iya. Emang gak tahu diri banget tuh.”“Aku dituduh mencuri tas nya yang isinya pakaian dalam. Coba bapak dan ibu bayangkan, untuk apa aku mencuri pakaian dalam? Mereka malah mempermalukanku!”“Om… Om, sudah Om. Jangan… jangan menghina Ibuku lagi.” Dengan rasa ketakutan, Melody membujuk Joko. Dia memegang lengan pria itu. Saat Joko melihat wajah Melody, gadis itu semakin takut.“Om, ka-kalau Om ma-masih mempermalukan ibuku, ma-maka aku… aku akan katakan pada mereka semua ka-kalau Om su-sudah melecehkan aku dan… dan… Des-“Oh, lakukan! Lakukan saja! Bapa-bapak, Ibu-ibu, nih! Anaknya juga ikutan untuk menyerangku. Dia bilang kalau aku telah melecehkan dia dan adiknya. Ucapan tidak masuk akal apa itu?”Melody terkejut karena tidak menyangka Joko berani mengumumkan itu pada para warga. Malah sekarang dia yang merasa ma
“Maaf Tuan, saya merasa telinga saya gatal. Karena tidak tahan, saya mengoreknya dengan ujung jari. Saya akan pindah dulu supaya tidak mengganggu anda-“Berhenti disana!” Raditya melarang Vanesha untuk berpindah tempat.“Apa? Tapi, anda bilang, menjijikan?”“Duduk! Aku tahu itu hanya alasanmu saja supaya bisa nyantai kan?”“Bukan Tuan. Karena anda sendiri-“Jangan membantah! Duduk saja.”“Hah…” Vanesha kembali duduk di samping Raditya. Rasa gatal ditelinganya juga mulai berkurang. Raditya kembali fokus membaca naskahnya sambil angkat kaki.Karena merasa bosan, tidak ada perintah baru dari Radit, Vanesha hanya memainkan ponsel jadulnya. Sempat Radit melihat ponsel butut itu, dia berdecik, menggelengkan kepala.“Kalau gajian nanti, sebaiknya kau ganti saja ponselmu itu.” Ucap Raditya masih mengamati lembaran naskahnya.“Ya? Beli ponsel? Boro-boro beli ponsel baru, Tuan. Sekarang saja, hutang saya sudah banyak yang gak tahu berapa puluh tahun bisa saya lunaskan.”“Lebay.”“Saya gak lebay
Raditya mencium batang leher dibawah telinga Vanesha. Tentu saja dia merasa geli tapi tetap takut. Berusaha sekeras apapun untuk melindungi tubuhnya, tapi dia tetap pasrah ketika tangan Raditya yang besar itu menyentuh bagian-bagian sensitivenya.Vanesha menutup mata, mengalihkan wajahnya pada arah lain, sedangkan Raditya masih menikmati area itu.‘Sial! Padahal aku hanya ingin mencicipinya sedikit saja. Aku hanya ingin menggodanya, tapi kenapa aku merasa candu?’Merasa diabaikan, Raditya menarik kedua tangan Vanesha, dengan kedua matanya, melihat gundukan yang tidak terlalu besar itu. Agar tidak menghalangi bagian yang indah itu, Radit menahan kedua tangan Vanesha dibelakang punggungnya.Tali bra diturunkan, hingga hampir semua kelihatan, hanya bagian putingnya saja yang masih tertutupi.Lidah yang basah itu menyapu bagian gundukan itu. Vanesha berusaha menahan suaranya. Dan mereka masih sama-sama berdiri.Seperti binatang buas yang bergairah, Raditya terus meremas bokong Vanesha dan
Sudah dua minggu sejak Raditya mengutarakan perasaannya pada Vanesha, dan masih tidak berubah pikiran. Malahan, dia semakin manja dan bergantung pada Vanesha, setiap menit.“Permisi, dengan nona Vanesha?” seorang kurir menghampiri Vanesha yang sedang menunggu Raditya syuting.“I-iya? Itu aku?”“Ini, pesanan makanannya. Semuanya sudah dibayar, tinggal diterima saja.”“Oh iya, terima kasih Pak.” Setelah menerima pesanan yang ternyata isinya makanan, Vanesha melihat Raditya. Pria itu, melambaikan tangan dan tersenyum padanya.Karena disuruh untuk istirahat, Raditya datang dan menghampiri Vanesha, duduk disampingnya, dan menyandarkan kepala dibahunya, “Hah…”“Tuan, makanan ini, apa anda mau langsung memakannya?”“Sudah aku bilang jangan panggil aku ‘Tuan’. Aku kan sudah melarangmu.”“Mana bisa saya melakukan itu. Namanya tidak sopan.”“Kan aku yang suruh. Pokoknya, aku akan marah kalau kau melakukan itu lagi.”“Tapi-“Makanannya sudah datang kan? Tapi, kenapa tidak kau makan? Sampai sudah
Keadaan Sulastri sudah semakin membaik. Dia sekarang berbaring diranjangnya, dan Radtiya juga Vanesha masih disana untuk menjaganya. Raditya mulai bisa menyentuh dan dekat dengan ibunya, padahal sebelumnya belum pernah bisa berdiri dengan jarak yang dekat.Karena ibunya sudah tenang dan tidur, Dokter Ivan mengajak mereka berdua untuk pergi dan membiarkan Sulastri beristirahat sendiri.“Saya terkejut, karena hari ini, nyonya Sulastri lebih ramah dari sebelumnya. Walau sempat tadi dia mengamuk dengan pak Surya. Tapi saya tidak menyangka dia akan luluh dengan anda.” Kata dokter Ivan memberi pujian.“Tentu saja dok. Namanya juga hubungan ibu dan anak, darah itu pasti mengalir dan saling mengenal.” Kata Vanesha.“Sayang sekali, pak Surya sudah pergi karena katanya ada urusan yang harus dia kerjakan.”“Aku tidak perduli!”“Tuan..” Vanesha menegurnya pelan.“Kalau begitu, saya akan meninggalkan kalian dulu, permisi ya.”Sekarang hanya tinggal Vanesha dan Raditya.“Tuan, anda juga harus dioba
Beberapa hari kemudian. Surya merindukan mantan isterinya, Sulastri. Dia pun berniat untuk pergi lagi ke rumah sakit jiwa, padahal sebelumnya dia sudah menemui Sulastri walau mantan isterinya tidak mengetahuinya.“Dimana dokter Ivan?” tanya Surya pada rekan dokter Ivan karena dia tidak menemukan dokter yang biasanya mengurus Sulastri.“Dokter Ivan sedang mengantarkan dua orang untuk menemui pasien.”“Apa? Dua orang? Siapa mereka?”“Maaf Pak, saya tidak tahu. Hanya itu saja pesan dari dokter Ivan.”“Ya sudah, terima kasih.” Tapi, Surya sendiri yang akan pergi menemui Sulastri, juga dia tahu dimana tempatnya.Tap!Langkah kakinya berhenti ketika dekat dengan Sulastri, dan dua orang yang dia kenal, “Raditya?” dia memanggil nama puteranya.“Pak Surya?” tapi Vanesha yang merespon Surya, sedangkan Raditya hanya melihatnya saja.Surya mendekati mereka, disana juga ada dokter Ivan.“Apa yang kau lakukan di sini, Radit?”“Kau sendiri? Kenapa kau datang ke sini?” pertanyaan ketus dari Raditya.
“Mmm… Tuan, apa yang kita lakukan di dapur ini?” Vanesa curiga.‘Apa sebentar lagi dia akan mencumbuku di sini? Selera yang aneh. Tapi… ah, biarkan sajalah. Yang penting hutangku berkurang dan dia tidak marah-marah.’“Buatkan nasi goreng untukku.”“Ya saya akan melakukan selera aneh anda…. Eh? Ma-maksudnya…. Nasi goreng?”‘Maksudnya gaya ‘Nasi goreng’ kah? Ba-bagaimana gaya itu ya?’Cetak!“Auuchh…” Vanesha memegang keningnya yang dijentik pelan oleh Raditya.“Apa yang kau pikirkan? Aku bilang, buatkan aku nasi goreng. Kau sudah banyak makan kan? Apa kau pikir aku tidak lapar?” Raditya berpangku tangan menunggu pergerakan Vanesha.“Nasi goreng… beneran nasi goreng kan? Beras yang sudah jadi nasi, lalu di goreng di penggorengan pakai garam-“Iya! Bawel banget sih. Cepat buatkan aku nasi goreng, dan harus enak. Telurnya dua, yang di mata sapi kan satu, lalu yang di orak-orek satu. Pedasnya sedang, dan jangan terlalu banyak minyak dan garamnya.”Vanesha masih bingung, “Dengar gak?” tanya
Padahal tadinya, suasana sedang hangat dan ramah. Tapi, entah apa yang Andre bisikan padanya, raut wajah Surya jadi murung bercampur kesal. Terasa sekali perubahannya.“Maafkan saya, sepertinya hari ini cukup di sini dulu. Lain waktu, mari kita berkumpul dan mengobrol seperti ini. Vanesha, kau juga harus tetap ikut ya.” Surya berdiri dari kursinya dan tetap berusaha untuk tersenyum ramah pada mereka.“Iya Pak, terima kasih. Tapi, anda belum makan loh.”“Saya bisa makan nanti. Karena ada urusan yang sangat mendesak sekali hari ini. Radity, Ayah pergi dulu. Jaga kesehatanmu.”Tapi Raditya tidak menjawabnya.‘Yah.. paling tidak, Tuan Radity tidak marah.’Buru-buru, Andre dan Surya pergi meninggalkan mereka.“Ya, kalau begitu, aku juga harus pergi.”“Anda mau ke mana, Pak Hendrik?”“Mau pulang menemui calon kakak iparmu. Sebentar lagi kan, kami akan menikah. Oh ya, mungkin selama aku menikah, Vanesha pasti akan semakin banyak kerjaan dan kerepotan. Mohon bantuannya ya. Nanti, kamu akan ak
“Kenapa? Kau tidak mau menikah denganku?”‘Pertanyaan jebakan ini. Kalau jujur sih, enggak mau. Apalagi tempremental anda yang tinggi ini.’“Ah, sudahlah. Kau hanya diam saja, berarti memang tidak mau.” Raditya kembali melihat kedepan lagi.Vanesha tidak mau membahasnya lagi. Pokoknya, dia mau segera sampai di tujuan agar dia bisa lega.“Sekarang, kau tidak mau. Tapi, ketika mengetahui masa laluku, kau pasti semakin tidak mau, dan mungkin kau akan pergi jauh.”“Mm… Tuan? Memangnya.. ada masa lalu apa?”Raditya kembali melihat Vanesha, kau dengar kan tadi, kalau ibuku berada di rumah sakit jiwa.”“Ya saya tauh… ups…” dengan tangan kanannya ia menutup mulutnya.‘Astaga, kenapa aku tidak bisa mengontrol omongan yang keluar dari mulutku sih?“Apa? Kau tahu kalau ibuku ada di rumah sakit jiwa?” caranya melihat Vanesha seperti menangkap basah akan kesalahan Vanesha.“Itu… kan anda bilang tadi. Juga, disana, mulut anda sendiri yang bicara dan kebetulan saya mendengarnya-“Tidak. Dari cara re
“Saya… saya hanya anda nanti, tidak menyesalinya…?”Raditya tiba-tiba memeluknya. Vanesha kebingungan, dia pikir, dia akan mendapat perlakukan kasar dari bos-nya, ternyata tidak.“Tu-Tuan?” panggilnya dengan lembut.‘Apa dia… sangat sedih ya?’“Aku benci padanya. Dia… dia sudah menyakitiku dan ibuku. Aku… membencinya.” Suaranya memelan, masih menyembunyikan wajahnya dibahu Vanesha.Vanesha kasihan pada Radit. Dia jadi tidak bisa memaksa atau kecewa padanya lagi. Untuk menenangkannya, Vanesha mengusap punggung Radit, “Tuan, tidak apa-apa anda membencinya, tapi… anda yang akan terus sakit hati dan tidak tenang memiliki dendam pada ayah anda. Maaf, saya tahu, rasanya pasti sangat berat memaafkan orang yang sudah menyakiti kita dari dulu.”Raditya tidak mengatakan apa-apa, tapi dia mengeratkan kedua tangannya memeluk Vanesha.“Anda tahu kan? Kalau saya juga memiliki ibu tiri dan saudari tiri. Sudah berapa kali, saya sakit hati dan kecewa padanya. Sering berhutang, kabur, dan menyakitiku b
Vanesha bisa merasakan suasana yang menegangkan diantara Surya dan Raditya. Vanesha berharap, mereka berdua tidak bertengkar hebat dan membuat keributan.Untungnya Surya tidak membahasnya lagi, karena tangan Raditya sudah dikepalkan dan rahangnya mulai mengeras.“Radit, ini.” Surya mengeluarkan map berwarna cokelat yang masih dillitkan talinya, diberikan pada Raditya. Pria muda itu, hanya melihatnya saja, tanpa mau mengambilnya, ‘Apa itu?’ kecuali Vanesha yang penasaran.“Vanesha, tolong kau buka, dan bacakan apa isinya supaya Raditya tahu.”“Iya Pak-“Jangan menyentuhnya!” larangan dari Radity, membuat tangan Vanesha berhenti.“Kenapa, Tuan? Anda kan tidak tahu apa isinya.”“Pokoknya jangan dibuka! Walau aku tidak tahu, tapi aku tidak mau tahu isinya.”“Apa kau takut mengakui kemenanganku, Radity?”“Hmp!”“Aku juga ingin memberitahukan pada Vanesha. Memangnya salah? Vanesha, tolong buka dan bacakan.”“Ta-tapi…” Vanesha ragu dan melihat Raditya yang memancarkan aura bencinya.“Tidak a
Ceklek!Andre terkejut ketika melihat isteri atasannya tiba-tiba saja masuk ke dalam ruang kerjanya.“Nyonya Widya, apa yang anda lakukan di sini?” dirinya sedang sibuk menyelesaikan pekerjaan yang Surya perintahkan.“Andre, dimana suamiku? Kenapa dia tidak ada di ruangannya?”“Ya? Apakah anda baru dari sana?”“Andre, kalau kau tidak tahu, aku tidak akan datang kesini dan menemuimu untuk buang-buang waktu.” Widiya berpangku tangan menatap rendah pada Andre.“Nyonya Widya, saya juga tidak tahu kemana pak Surya. Karena saya pikir, beliau memang masih ada di sana.”“Andre, tidak mungkin kau tidak tahu kemana dia. Cepat katakan!”“Hah… Nyonya Widya, apa anda pikir, kalau Pak surya tidak akan marah dan kecewa pada anda yang seperti ini? Seharian ini, saya diberi banyak pekerjaan dan tidak bisa keluar dari ruangan ini kalau belum menyelesaikannya. Jadi, bagaimana saya bisa tahu beliau ada di mana? Kalau di ruangannya tidak ada?”‘Benar-benar menyebalkan. Mentang-mentang dia adalah isteri da