Begitu mendapat izin. Ya, walaupun tidak cuma cuma Hana mendapatkannya karena harus menebusnya dengan lembur. Tetapi sudah diberikan izin itu tidak masalah baginya.Hana melenggang pergi dari ruangan Dion. Dan tanpa sadar Hana melewati Aji yang tengah bersembunyi. Masuk ke dalam lift lalu, hilang di dalamnya.Dengan demikian Aji pun keluar dari persembunyiannya. Dilihatnya sekitar, setelah merasa aman dia segera masuk ke dalam ruangan Dion. Seberanikah itu mahasiswa co-as masuk ke dalam ruangan kepala rumah sakit?Criet, pintu terbuka. Aji masuk ke dalamnya tanpa mengetuk pintu. Menarik perhatian Dion yang ada di dalamnya menatap ke arah kedatangan Aji."Tidak bisa mengetuk pintu? Pernah diajari sopan santun 'kan? Keluar!"Sepertinya nyawa Aji ada delapan. Bagaimana bisa dia masuk ke ruangan kepala rumah sakit seenaknya. Bahkan setelah diusir pun Aji tidak peduli. Sekarang justru dia duduk di kursi yang berada di hadapan Dion."Jangan bicara seolah aku seburuk itu, Kak.""Heh," remeh
Tengah hari sudah lewat, bahkan tampaknya jarum jam sudah bergerak menuju angka dua. Yang menandakan sore hari akan segera tiba. Bukannya senang karena sebentar lagi waktunya pulang datang. Seseorang di tempatnya justru terlihat gelisah dan tampak menunggu.Jam yang melingkar di pergelangan tangan pun tidak pernah luput dari pengawasan. Aji seperti berdiri tanpa jiwa di tempatnya karena menunggu kedatangan Hana. Pikirannya tentu dipenuhi dengan kepergian Hana."Aji," panggil Fajar. Sambil disenggol lengannya sedikit keras karena tidak ada respon."CK," decak Aji, "apaan sih?""Ngelamun melulu, kamu diomongin sama dokter Firman enggak dengerin," bisik Fajar.Perlahan Aji menatap wajah dokter Firman yang ada di hadapannya. Aji tertangkap basah sepertinya dan mencoba menetralkan suasana dengan berdehem rendah."Kalau mau melamun jangan di sini. Pasien bisa mati kalau calon dokternya melamun terus. Cepat periksa!" Dokter Firman menyerahkan stetoskop pada Aji."Periksa apanya?" tanya Aji p
Begitu tiba di rumah sakit dan sudah menghentikan mobilnya, Hana tidak bergegas turun. Dia merenung sambil membayangkan betapa indahnya dulu saat dirinya baru menikah dengan Arya.Masa masa indah itu harus Hana hapus dengan penghianatan karena alasan yang tidak bisa diterima oleh Arya. Hana tiba-tiba mengulurkan tangannya meraba-raba perutnya."Apa aku benar benar mandul?" tanyanya lirih."Bagaimana kalau aku benar mandul dan tidak bisa memiliki anak nantinya?" "Apa masih ada yang mau denganku?" tanya Hana ragu.Senyum kecut Hana tunjukkan. Rasanya begitu miris jika dirinya benar didiagnosa tidak bisa mengandung. Karena jujur, Hana juga ingin menjadi seorang ibu.Tapi lagi-lagi pikiran hanya pikiran. Hana menghela nafas panjang terdengar sangat kecewa. Pasrah kepada yang maha kuasa menjadi keperluan. Sekarang dia hanya perlu menunggu perceraiannya.“Lebih baik aku menata kehidupan agar lebih baik. Dengan begitu Allah pasti akan memberiku jalan yang baik,” gumam Hana."Semangat Hana,"
Dengan bungkusan di tangannya, Hana pergi entah ke mana. Dicarinya keberadaan Aji yang tadi terlihat dalam masalah.Tujuan Hana adalah tempat sepi yang mungkin saja Aji datangi. Ke mana lagi kalau bukan atap gedung rumah sakit. Hana pergi ke sana berharap Aji ada di sana.Dan benar saja, begitu pintu terbuka sosok yang dicarinya terlihat sedang menatap kosong ke arah di hadapannya. Hana berjalan mendekat dengan derap langkah yang tidak terdeteksi menurutnya.Namun, siapa sangka itu tidak berlaku bagi Aji. Pemuda itu membalikkan tubuhnya hingga membuat Hana terhenti tidak jauh darinya. Karena sudah tertangkap basah Hana bersikap biasa saja."Ini makanlah." Hana mengulurkan bungkusan tadi kepada Aji."Perhatian sekali calon istriku," ucap Aji dengan menerimanya."Siapa juga yang mau menikah dengan bocah sepertimu," timpal Hana."Bocah menurutmu, kau belum tahu saja bagaimana diobrak-abrik olehku."Hana menggerakkan matanya malas. Rasanya bocah ini sudah kembali ke tabiat awalnya. Sikap
Denting sendok yang beradu dengan piring menjadi backsound di antara mereka, Hana dan Dion. Tidak bisa menolak ajakan Dion, kini keduanya sudah duduk di dalam restoran.Tidak tanggung tanggung memang. Dion mengajaknya makan siang tetapi tidak di kantin rumah sakit. Melainkan di restoran yang cukup mahal yang jaraknya tidak jauh dari rumah sakit.Keduanya duduk berhadapan sekarang. Dengan hidangan yang diminta oleh Dion. Tidak macam-macam hanya cukup untuk keduanya makan siang.Tidak tahu harus bicara apa, Hana hanya menyantap makanannya dengan kidmat. Sesekali ia celingukan karena rasanya aneh keluar makan dengan laki-laki di hadapannya. Begitu kaku dan dingin, Hana tidak terlalu suka."Kamu mau apa sebagai hidangan penutup?" tanya Dion."Terserah saja," pasrah Hana.Dion yang mendengar itu hanya menurut dan memanggil pelayan untuk meminta pesannya. Setelah itu, suasana kembali hening. Hanya ada suara tegukan dari minuman yang Hana teguk."Aku dengar kamu ada masalah dengan suamimu?"
"hallo."Susan, wanita dengan perut setengah buncit menyapanya. Tersenyum manis seolah mengejek Hana yang berstatus sebagai mantan istri dari laki-laki yang menghamilinya. "Ngapain nyapa orang yang enggak berguna, Nak. Jangan sampai ketularan sial," sinis wanita lain yang menemani Susan. Siapa lagi memangnya kalau bukan mantan mertuanya."Kalau bicara yang baik, Nek. Yang bawa sial itu anakmu karena sudah berani selingkuh," balas Aji.Hana merotasikan matanya melihat Aji yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya. Keberanian Aji membuatnya ketar-ketir ketakutan. Dan yang bisa Hana lakukan hanya pasrah sambil mengkode Aji agar diam saja."Heh! Kamu pikir kamu siapa? Berani beraninya bicara enggak sopan sama orang tua!" tegur Aminah."Mentang mentang tua seenaknya mau dihargai tapi enggak mau menghargai orang lain. Jangan harap ya, Nek," timpal Aji lagi."Kamu enggak punya etika, ya. Nyolot terus sama saya!" bentak Aminah."Makanya jangan gangguin orang. Urusin aja tuh kecebong beran
Hana sudah pasrah dengan usulan Aji. Bagaimana tidak? Karena sekarang mereka sudah ada di sebuah kedai dengan minuman hangat yang mengepul di hadapannya.Walaupun begitu Hana tidak serta merta menerima apa yang tersaji. Dia menatap Aji dengan jengah dan kesal. Bahkan dari tatapannya bisa membunuh lalat yang lewat di hadapan mereka."Udah tahu ganteng enggak perlu diliatin begitu," kata Aji."Kamu enggak bisa apa sehari aja enggak usil. Kepedean juga, maunya apa sih," balas Hana."Maunya jadi suami kamu," timpal Aji.Ya, Tuhan. Sampai kapan Hana harus menghadapi bocah ini? Hana tidak bisa menahan kesalnya terus menerus. Bisa jantungan dia lama-lama."Sudah cepat habiskan terus aku anterin pulang. Bukannya besok ada jadwal operasi, ya?""Aku 'kan maunya ice-cream, bukan ini," keluh Hana. Tetapi masih tetap diminumnya."Ini demi kesehatanmu, dokter Hana. Jangan banyak protes," kata Aji.Kalau bisa Hana ingin meninju wajah Aji ketika dia tahu hari datang bulannya. Tetapi setelah tahu siap
Di mana tempat paling nyaman selain rumah? Tentu saja di pelukan seseorang yang tepat.Namun, sepertinya belum sampai ke sana. Karena Hana belum mendapatkan pelukan itu untuk sekarang. Tetapi tidak dengan rumah, menurutnya di mana dia tinggal sekarang sangatlah nyaman.Walaupun ini bukan rumahnya tetapi dia merasa tidak ada tempat lain yang senyaman ini. Atau mungkin juga karena pemiliknya? Entahlah yang jelas Hana selalu mendapatkan tidur nyenyak dan bangun dengan keadaan yang lebih segar selama tinggal di apartemen Aji ini.Seperti hari-hari biasanya, setelah melewati malam panjang Hana bangun di saat yang tepat. Lebih awal meskipun tidak sedang beribadah. Setelah membasuh wajahnya, Hana keluar dari kamar hendak ke dapur untuk menyiapkan makanan.Hanya saja langkahnya tertarik melihat pintu kamar sebelah yang sedikit terbuka dengan lampu terangnya. Bukan mau mengintip tetapi Hana hanya penasaran dengan kamar yang ditempati Aji itu. Berjalan mengendap-endap untuk melihatnya.Cukup te
Lagi, entah keberapa kalinya hidup Arya harus dibelenggu. Pupusnya biduk rumah tangganya dengan Hana telah menjadi satu kegagalannya. Dan sekarang masalah lain di rumah tangganya dengan Susan kembali dalam masalah.Arya tidak ingin perceraian kembali melanda rumah tangganya. Tetapi kata-kata Susan begitu keterlaluan di telinga. bagaimana bisa dirinya yang rela mengakhiri rumah tangganya sebelumnya sekarang harus menerima kenyataan sebagai alat baginya."Ayo," ajak Aminah pergi meninggalkan Susan, "biarkan wanita jalang ini di sini sendiri.""Ya, pergi sana! Aku tidak peduli!"Aminah semakin murka dan menarik tangan anaknya dengan lebih keras. Hingga Arya dengan tatapan kecewanya meninggalkan ruangan Susan. Kesadarannya sementara berada di awang-awang karena belum siap menerima kenyataan."Wanita sialan, berani sekali memperdayai putraku," gerutu Aminah sambil berjalan pergi.Arya menghentikan langkahnya yang membuat Aminah bingung dengannya. Melihat gelagat Arya, Aminah pun hendak men
Pertengkaran tidak terelakkan lagi. Arya bingung harus memilih siapa untuk dibelanya. Di satu sisi ia adalah seorang putra dan di sisi lain dia menjadi seorang suami."Berhenti!" bentak Arya."Kalian bisa diam tidak. Susan kamu masih dalam masa pemulihan jangan seperti ini. Dan Mama jangan seperti ini pada Susan, nanti pasti akan ada waktunya kita kembali normal lagi.""Dengan gaya hidupnya yang mewah apa yang bisa kita pertahankan, Arya?" tanya Aminah setengah menyinggung."Oh, jadi gitu?" tantang Susan, "Mama pikir aku mau menikah cuma buat hidup susah gitu?"Sebagai seorang mama mertua yang selalu memperlakukannya dengan sangat baik, harga diri Aminah sedang dipertaruhkan sekarang. Ia sadar dengan ucapan Susan yang bermaksud pada pernikahannya semata-mata karena harta.Jika Aminah memasang mode waspada, Susan justru terlihat begitu menantang. Entah apa yang diinginkannya sekarang. Mengapa dia begitu terus terang menunjukkan dirinya yang seperti itu. Bukannya itu justru akan membuat
Di kantin rumah sakit, di saat jam makan siang memang selalu ramai. Tidak hanya para dokter dan staf tetapi pasien juga. Tetapi pusat perhatian kali ini adalah Hana.Dokter wanita yang tengah mengandung itu terlihat sedang asik menyantap makanannya. Tidak sendiri Hana bersama dengan dokter Mawar yang juga ikut serta. Keduanya tampak sangat asik bercerita pasal kehamilan."Han," panggil Aji yang tiba-tiba muncul entah dari mana."Heh!" bentak dokter Mawar, "kalau manggil jangan sembarangan, ya!""Ikut campur aja sih, terserahlah aku mau manggil apa," bantah Aji."Yang mesra gitu panggil istrinya. Sayang, my love, honey, sweety gitu. Ini main panggil Han Han aja," tutur dokter Mawar."Kalau itu juga tahu, dokter. Enggak usah protes melulu deh," bantah Aji lagi.Akhirnya Mawar sendiri yang menyerah. Sedangkan Aji sudah duduk lebih dulu di hadapan istrinya yang menertawakan pertengkaran suami dan sahabatnya. "Makannya belepotan banget sih." Aji mengulurkan tangannya mengusap bibir Hana d
Di rumah sakit itu siapa yang tidak mengenal Hana? Hampir semua kenal dengannya termasuk pasiennya yang selalu menjadi prioritasnya. Sebab itulah di dalam toilet sekarang ini ada yang tengah membicarakannya.Suaranya sedikit terdengar sampai Aminah yang lewat pun mendengar. Menghentikan langkahnya begitu nama Hana disebut. Memperhatikan dengan baik bagaimana seseorang membicarakan mantan menantunya itu di dalam sana."Iya, dokter Hana itu sekarang sedang hamil. Sudah dua bulan dan dia masih bekerja dengan baik.""Benar, aku jadi iri dengannya. Selain mual parfum sepertinya dokter Hana tidak terganggu dengan yang lain.""Lucu sekali kalau mengigit itu, suaminya sampai minta diganti partner karena tidak mau didekati karena bau parfum perempuan."Terdengar kekehan setelah itu. Sekaligus menjadi saat untuk Aminah pergi dari sana. Sambil berjalan menyusuri lorong, orang tua itu terus berpikir. Tentunya tentang apa yang didengarnya tadi."Bagaimana Hana bisa hamil?" tanya Aminah pada diriny
Begitu notifikasi masuk ke ponsel Hana dan dia membacanya. Wanita yang baru mengandung itu sontak melebarkan kedua matanya. Melihat nominal yang dikirimkan Aji membuatnya syok."Ji, kenapa dikirim ke aku semua?" tanya Hana bingung."Kok tanyanya begitu?" Aji merengkuh tubuh istrinya dan melihat ponsel Hana yang diarahkan padanya."Ya, kamu kenapa dikirim semuanya ke aku?" ulang Hana penuh penekanan."Di sini yang jadi istri aku 'kan kamu, sayang. Kalau enggak ke kamu terus ke siapa?""Tapi, Ji ... kenapa harus semuanya? Emangnya kamu enggak pegang?" tanya Hana masih protes.Sekarang Aji yang bingung. Kenapa istrinya malah bertanya perihal nominal yang diberikan padanya. Dan masalahnya apa sampai membuatnya terus bertanya.Aji memegang kedua pundak Hana dan membuat mereka berhadapan. Dia menatap istrinya dalam dan teduh tentunya. Membuat Hana merasakan cinta yang Aji berikan seutuhnya padanya."Han, aku itu suami kamu. Jadi mulai sekarang yang akan memegang keuanganku ya kamu. Kamu eng
"lagi?" Arya seolah tidak percaya mendengar perkataan Aminah.Aminah sendiri sampai tidak bisa menahan keterkejutannya. Wajah Arya pun membuat Aminah seperti kebingungan."Iya, memangnya kenapa kamu sampai terkejut seperti itu?""Ma, bukannya kemarin sudah Arya berikan, ya?" tanya Arya."Yang kemarin sudah habis, Nak. Kamu tahu sendiri 'kan istrimu bahkan tidak mau makan makanan yang murah," jelas Aminah.Benar, Arya tahu satu hal itu. Dia juga tidak menyangka jika setelah menikah Susan telah banyak berubah. Gaya hidupnya yang terlihat sekarang begitu wah.Mulai dari makanan saja harus sekelas makanan di hotel. Gaya berpakaiannya juga tidak main-main, sebelum kandungannya sebesar sekarang ini dia sering menghamburkan uang untuk pergi belanja keperluan yang tidak perlu.Kalau Arya tidak melarangnya pasti Susan masih melakukannya sampai sekarang. Berhubung sekarang Arya memiliki tabungan yang sedikit menipis, ia melarang Susan untuk berfoya-foya."Kalau kamu tidak bisa mengirimkan uang,
Setelah mengetahui kebenaran bahwa dirinya hamil, Hana terlihat sangat berhati-hati sekali. Makanan yang dimakannya pun harus dipastikan kandungan gizi di dalamnya. Tidak seperti dulu yang asal makan penting kenyang.Sekarang Hana jadi lebih sering memasak makanannya sendiri dan hidup sehat. Dia dibantu Aji tentunya karena keduanya benar benar antusias menjaga bayi mereka yang belum lahir. Dan sejauh ini Hana tidak begitu tersiksa. Dia hanya akan merasa mual jika Aji dekat dengan Nasya dan parfumnya menempel.Selebihnya tidak begitu, Hana masih bisa mengontrol dirinya sendiri. Bahkan keadaannya tidak membuatnya kesulitan dalam menjalani pekerjaannya. Karena banyak yang perhatian padanya dan selalu mendukungnya juga.Jadwalnya pun sedikit dikurangi karena sebagai seorang yang tengah mengandung tentunya tidak boleh kelelahan. Ia bahkan hanya diperbolehkan menangani operasi kecil saja. Untuk operasi besar dilempar pada rekannya yang lain."Bosen banget rasanya," gumam Hana. Dengan helaan
"ehemm," dehem Dion yang ada di belakang.Aji dan Hana sontak melepaskan pelukan mereka. Dan keduanya baru menyadari adanya Dion di sana. Hana sedikit malu karena hal tersebut tetapi sepertinya tidak dengan Aji.Bocah, suami Hana itu mendekat dengan merentangkan kedua tangannya ke arah Dion. Memeluk kakaknya dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Hanya ada haru dan bahagia yang bercampur jadi satu."Kak, aku bakal jadi ayah, Kak," ucap Aji terlewat senang."Kakak bakal jadi paman," katanya antusias."Jangan lupa, Kak. Kamu pernah janji bakal jadiin anakku anak kesayangan kamu juga," imbuhnya lagi."Selamat, Ji. Semoga aja dia enggak kayak kamu yang bandelnya minta ampun. Aku bakalan jadi Om yang sayang banget sama dia. Kamu enggak usah khawatir meskipun aku benci dengan sikap kamu tapi aku pastikan tidak dengan anakmu. Dia bakal dapet ap
Bagaimana perasaanmu jika harus menunggu? Pasti rasanya gelisah, gugup, dan penuh harap. Ya, semua itu yang sedang dokter Mawar rasakan setelah Hana masuk ke dalam kamar mandi.Di dalam ruangan yang udara dingin tersedia pun seolah tidak berguna. Semua rasa penasarannya membuat seluruh tubuhnya merespon lain."Seharusnya Hana sudah keluar 'kan?" batin dokter Mawar bertanya."Aku susul aja kali ya?" Dokter Mawar sepertinya yakin untuk keluar dan menyusul Hana ke toilet.Baru saja melangkah beberapa langkah dan pintu sudah terbuka. Hana masuk ke dalam dan tanpa aba-aba berhambur memeluknya. Menenggelamkan wajahnya di pelukan dokter Mawar kemudian menangis sejadi jadinya.Dokter Mawar yang seolah tahu bagaimana rasa sedihnya pun mengelus surai Hana dengan penuh sayang. Memberinya penguatan agar temannya tidak begitu larut dalam sedih. Sepertinya dia ikut hancur melihat Hana yang seperti ini.Menyesal, harusnya itu juga yang dokter Mawar rasakan. Dia yang melihat Hana hancur merasa iba ka