Sinar mentari mulai menunjukkan atensinya. Menggantikan sinar bulan yang perlahan kembali ke peraduan. Dan di sinilah Hana berada, kamar Aji.Sudah lima menit Hana terbangun dan tersadar dari tidur singkatnya. Diam dan merenung sambil menatap plafond di atasnya dengan tenang. Masih di bawah selimut tebal yang hangat Hana dapat mencium aroma khas seperti manis bercampur dengan maskulin yang masuk ke dalam indera penciumannya.Tentu Hana ingat di mana dia berada sekarang. Karena ia kira akan larut dalam kesedihannya semalam dan tidak bisa tidur. Ternyata kenyataan berkata lain.Sepertinya hatinya tidak selemah itu untuk terus menangisi suaminya. Suasana yang nyaman di ranjang bocah ini membuatnya terlelap begitu mudahnya. Bahkan sampai begitu pulas dan tidak ingat apa-apa."Sekarang aku harus melakukan apa yang sudah hatiku katakan," gumam Hana.Diambilnya ponsel yang semalam digeletakkan sembarangan dan mencari nomor yang disimpannya. Nomor pengacara yang diberikan Mawar semalam tentun
Seutas senyum Aji kembangkan. Ia kira Hana akan larut dalam kesedihan yang diberikan oleh suaminya. Berkutat dengan air mata dan terus menerus merutuki perselingkuhan suaminya.Ternyata tidak. Hanya lebih kuat dari pada yang dipikirkannya bahkan terlihat lebih tabah seperti tidak terjadi apa-apa. Dan itu cukup membuat Aji lega."Ini mas pesenannya," kata ibu kantin. Ditaruhnya gelas dan piring di hadapan Aji. Yang sekaligus membuatnya tersadar dari perhatiannya."Iya, makasih, Bu." Aji menarik piringnya agar sedikit dekat dengannya."Suka sama cewek ya, Mas? Siapa? Dokter Mawar?" tanya Ibu kantin menggoda.Aji menggeleng karena memang bukan Mawar yang dikaguminya. Untuk mengalihkan rasa malunya karena dirinya yang mudah ditebak sedang jatuh cinta Aji menyeruput minumannya."Kalau dokter Hana sudah punya suami, Mas. Sebaiknya jangan," tutur Ibu kantin."Tahu, Bu," timpal Aji.Sengaja memang dia menjawabnya dengan singkat agar tidak ada lagi pembicaraan lagi. Jujur saja Aji tidak ingin
Begitu mendapat izin. Ya, walaupun tidak cuma cuma Hana mendapatkannya karena harus menebusnya dengan lembur. Tetapi sudah diberikan izin itu tidak masalah baginya.Hana melenggang pergi dari ruangan Dion. Dan tanpa sadar Hana melewati Aji yang tengah bersembunyi. Masuk ke dalam lift lalu, hilang di dalamnya.Dengan demikian Aji pun keluar dari persembunyiannya. Dilihatnya sekitar, setelah merasa aman dia segera masuk ke dalam ruangan Dion. Seberanikah itu mahasiswa co-as masuk ke dalam ruangan kepala rumah sakit?Criet, pintu terbuka. Aji masuk ke dalamnya tanpa mengetuk pintu. Menarik perhatian Dion yang ada di dalamnya menatap ke arah kedatangan Aji."Tidak bisa mengetuk pintu? Pernah diajari sopan santun 'kan? Keluar!"Sepertinya nyawa Aji ada delapan. Bagaimana bisa dia masuk ke ruangan kepala rumah sakit seenaknya. Bahkan setelah diusir pun Aji tidak peduli. Sekarang justru dia duduk di kursi yang berada di hadapan Dion."Jangan bicara seolah aku seburuk itu, Kak.""Heh," remeh
Tengah hari sudah lewat, bahkan tampaknya jarum jam sudah bergerak menuju angka dua. Yang menandakan sore hari akan segera tiba. Bukannya senang karena sebentar lagi waktunya pulang datang. Seseorang di tempatnya justru terlihat gelisah dan tampak menunggu.Jam yang melingkar di pergelangan tangan pun tidak pernah luput dari pengawasan. Aji seperti berdiri tanpa jiwa di tempatnya karena menunggu kedatangan Hana. Pikirannya tentu dipenuhi dengan kepergian Hana."Aji," panggil Fajar. Sambil disenggol lengannya sedikit keras karena tidak ada respon."CK," decak Aji, "apaan sih?""Ngelamun melulu, kamu diomongin sama dokter Firman enggak dengerin," bisik Fajar.Perlahan Aji menatap wajah dokter Firman yang ada di hadapannya. Aji tertangkap basah sepertinya dan mencoba menetralkan suasana dengan berdehem rendah."Kalau mau melamun jangan di sini. Pasien bisa mati kalau calon dokternya melamun terus. Cepat periksa!" Dokter Firman menyerahkan stetoskop pada Aji."Periksa apanya?" tanya Aji p
Begitu tiba di rumah sakit dan sudah menghentikan mobilnya, Hana tidak bergegas turun. Dia merenung sambil membayangkan betapa indahnya dulu saat dirinya baru menikah dengan Arya.Masa masa indah itu harus Hana hapus dengan penghianatan karena alasan yang tidak bisa diterima oleh Arya. Hana tiba-tiba mengulurkan tangannya meraba-raba perutnya."Apa aku benar benar mandul?" tanyanya lirih."Bagaimana kalau aku benar mandul dan tidak bisa memiliki anak nantinya?" "Apa masih ada yang mau denganku?" tanya Hana ragu.Senyum kecut Hana tunjukkan. Rasanya begitu miris jika dirinya benar didiagnosa tidak bisa mengandung. Karena jujur, Hana juga ingin menjadi seorang ibu.Tapi lagi-lagi pikiran hanya pikiran. Hana menghela nafas panjang terdengar sangat kecewa. Pasrah kepada yang maha kuasa menjadi keperluan. Sekarang dia hanya perlu menunggu perceraiannya.“Lebih baik aku menata kehidupan agar lebih baik. Dengan begitu Allah pasti akan memberiku jalan yang baik,” gumam Hana."Semangat Hana,"
Dengan bungkusan di tangannya, Hana pergi entah ke mana. Dicarinya keberadaan Aji yang tadi terlihat dalam masalah.Tujuan Hana adalah tempat sepi yang mungkin saja Aji datangi. Ke mana lagi kalau bukan atap gedung rumah sakit. Hana pergi ke sana berharap Aji ada di sana.Dan benar saja, begitu pintu terbuka sosok yang dicarinya terlihat sedang menatap kosong ke arah di hadapannya. Hana berjalan mendekat dengan derap langkah yang tidak terdeteksi menurutnya.Namun, siapa sangka itu tidak berlaku bagi Aji. Pemuda itu membalikkan tubuhnya hingga membuat Hana terhenti tidak jauh darinya. Karena sudah tertangkap basah Hana bersikap biasa saja."Ini makanlah." Hana mengulurkan bungkusan tadi kepada Aji."Perhatian sekali calon istriku," ucap Aji dengan menerimanya."Siapa juga yang mau menikah dengan bocah sepertimu," timpal Hana."Bocah menurutmu, kau belum tahu saja bagaimana diobrak-abrik olehku."Hana menggerakkan matanya malas. Rasanya bocah ini sudah kembali ke tabiat awalnya. Sikap
Denting sendok yang beradu dengan piring menjadi backsound di antara mereka, Hana dan Dion. Tidak bisa menolak ajakan Dion, kini keduanya sudah duduk di dalam restoran.Tidak tanggung tanggung memang. Dion mengajaknya makan siang tetapi tidak di kantin rumah sakit. Melainkan di restoran yang cukup mahal yang jaraknya tidak jauh dari rumah sakit.Keduanya duduk berhadapan sekarang. Dengan hidangan yang diminta oleh Dion. Tidak macam-macam hanya cukup untuk keduanya makan siang.Tidak tahu harus bicara apa, Hana hanya menyantap makanannya dengan kidmat. Sesekali ia celingukan karena rasanya aneh keluar makan dengan laki-laki di hadapannya. Begitu kaku dan dingin, Hana tidak terlalu suka."Kamu mau apa sebagai hidangan penutup?" tanya Dion."Terserah saja," pasrah Hana.Dion yang mendengar itu hanya menurut dan memanggil pelayan untuk meminta pesannya. Setelah itu, suasana kembali hening. Hanya ada suara tegukan dari minuman yang Hana teguk."Aku dengar kamu ada masalah dengan suamimu?"
"hallo."Susan, wanita dengan perut setengah buncit menyapanya. Tersenyum manis seolah mengejek Hana yang berstatus sebagai mantan istri dari laki-laki yang menghamilinya. "Ngapain nyapa orang yang enggak berguna, Nak. Jangan sampai ketularan sial," sinis wanita lain yang menemani Susan. Siapa lagi memangnya kalau bukan mantan mertuanya."Kalau bicara yang baik, Nek. Yang bawa sial itu anakmu karena sudah berani selingkuh," balas Aji.Hana merotasikan matanya melihat Aji yang entah sejak kapan berdiri di sampingnya. Keberanian Aji membuatnya ketar-ketir ketakutan. Dan yang bisa Hana lakukan hanya pasrah sambil mengkode Aji agar diam saja."Heh! Kamu pikir kamu siapa? Berani beraninya bicara enggak sopan sama orang tua!" tegur Aminah."Mentang mentang tua seenaknya mau dihargai tapi enggak mau menghargai orang lain. Jangan harap ya, Nek," timpal Aji lagi."Kamu enggak punya etika, ya. Nyolot terus sama saya!" bentak Aminah."Makanya jangan gangguin orang. Urusin aja tuh kecebong beran