Brakk, pintu terbanting keras. Hana berdiri dengan napas tersengal yang ditahannya sejak tadi.Entah kesialan seperti apa hingga dirinya kepergok oleh Aji yang berada di depan unitnya. Menurut Hana seperti itulah karena Aji tampak hendak membuka pintu di sana."Kalau mau ke sini kenapa tidak bilang," kata Aji. Melangkah menghampiri Hana dan menarik tangannya."Heh, lepaskan!" Hana meronta meminta tangannya dilepas.Namun, apa boleh dikata. Kekuatan Aji lebih besar darinya hingga dengan mudahnya ia diseret ke dalam unitnya. Kemudian di bawa ke sofa yang ada di sana dan mendudukkannya paksa."Kamu apa apaan sih!" bentak Hana."Kenapa? Aku cuma mau ngobrol saja," timpal Aji."Jangan bikin orang lain salah paham, ya. Tidak baik seorang wanita dan laki-laki yang tidak muhrim berada dalam satu ruangan tanpa pengawasan," ujar Hana."Apa ini kode kau minta kuhalalkan dokter cantik," goda Aji.Aji dengan gayanya menaik turunkan alisnya. Menggoda Hana kemudian menyeringai tipis.Plakk, satu puk
"Ma, biarkan Arya selesaikan masalah Arya sendiri. Arya tidak mau kehilangan Hana, Ma. Arya masih sayang sama Hana," ucap Arya."Lebih baik kamu dengar kata Mama, Arya. Wanita seperti Hana itu hanya bisa membawa sial. Tidak bisa hamil, tidak perhatian, dan tidak pernah peduli padamu."Arya memijat pelipisnya sebab bingung. Bukan ingin membenarkan semua yang Aminah katakan. Arya hanya tidak ingin kehilangan Hana. Dia ingin mendapatkan keduanya dan hidup bahagia bersama."Mama tidak mengerti. Arya tidak membencinya, Arya hanya ingin Hana menerima Susan dan anak kami. Dan kita bisa menjaganya bersama sama.""Sudahlah Mama tidak akan mengerti," pungkas Arya.Kemudian meninggalkan ibunya sendiri di sana dan menyusul Hana ke dalam kamar. Dan begitu tiba di kamar, dilihatnya Hana yang sedang mengemasi barang-barangnya. Menyusun baju dan beberapa lainnya ke dalam koper."Han, mas mohon jangan seperti ini," pinta Arya.Arya berusaha meraih tangan Hana dan membujuknya. Tetapi Hana berkali-kali
"astaghfirullah," ucap Hana dengan terkejutnya. Diusapnya lembut dadanya untuk menetralisir jantungnya yang berdebar. Kemudian membuka jendela mobilnya."Ngapain masih di sini sih, Ji?" tanya Hana."Mau ke mana?" Bukannya menjawab Aji justru bertanya balik pada Hana.Dan seketika itu Hana merasa tidak bisa menjawabnya. Salahkan dia yang pergi dari rumah begitu saja tanpa memikirkan akan pergi ke mana. Pulang? Tidak mungkin. Orang tuanya pasti akan syok jika tahu dirinya memutuskan untuk bercerai dengan Arya. Dan bisa bisa nanti dirinya akan dibujuk untuk berbaikan. Jadi, Hana tidak mungkin pulang ke rumah orang tuanya.Kalau ke rumah sakit? Ya, Dion pernah menawarkan rumah singgah untuknya di sekitar rumah sakit bersama beberapa dokter yang lain. Tetapi dia tidak ingin mengambilnya dulu. Jadi akan terasa aneh jika tiba-tiba dia memintanya lagi."Nona, jangan bilang kalau kau tidak punya tujuan?" terka Aji. "Bagaimana dengan temanmu itu?"Benar, Hana punya Mawar. Sebagai teman Mawar p
Sinar mentari mulai menunjukkan atensinya. Menggantikan sinar bulan yang perlahan kembali ke peraduan. Dan di sinilah Hana berada, kamar Aji.Sudah lima menit Hana terbangun dan tersadar dari tidur singkatnya. Diam dan merenung sambil menatap plafond di atasnya dengan tenang. Masih di bawah selimut tebal yang hangat Hana dapat mencium aroma khas seperti manis bercampur dengan maskulin yang masuk ke dalam indera penciumannya.Tentu Hana ingat di mana dia berada sekarang. Karena ia kira akan larut dalam kesedihannya semalam dan tidak bisa tidur. Ternyata kenyataan berkata lain.Sepertinya hatinya tidak selemah itu untuk terus menangisi suaminya. Suasana yang nyaman di ranjang bocah ini membuatnya terlelap begitu mudahnya. Bahkan sampai begitu pulas dan tidak ingat apa-apa."Sekarang aku harus melakukan apa yang sudah hatiku katakan," gumam Hana.Diambilnya ponsel yang semalam digeletakkan sembarangan dan mencari nomor yang disimpannya. Nomor pengacara yang diberikan Mawar semalam tentun
Seutas senyum Aji kembangkan. Ia kira Hana akan larut dalam kesedihan yang diberikan oleh suaminya. Berkutat dengan air mata dan terus menerus merutuki perselingkuhan suaminya.Ternyata tidak. Hanya lebih kuat dari pada yang dipikirkannya bahkan terlihat lebih tabah seperti tidak terjadi apa-apa. Dan itu cukup membuat Aji lega."Ini mas pesenannya," kata ibu kantin. Ditaruhnya gelas dan piring di hadapan Aji. Yang sekaligus membuatnya tersadar dari perhatiannya."Iya, makasih, Bu." Aji menarik piringnya agar sedikit dekat dengannya."Suka sama cewek ya, Mas? Siapa? Dokter Mawar?" tanya Ibu kantin menggoda.Aji menggeleng karena memang bukan Mawar yang dikaguminya. Untuk mengalihkan rasa malunya karena dirinya yang mudah ditebak sedang jatuh cinta Aji menyeruput minumannya."Kalau dokter Hana sudah punya suami, Mas. Sebaiknya jangan," tutur Ibu kantin."Tahu, Bu," timpal Aji.Sengaja memang dia menjawabnya dengan singkat agar tidak ada lagi pembicaraan lagi. Jujur saja Aji tidak ingin
Begitu mendapat izin. Ya, walaupun tidak cuma cuma Hana mendapatkannya karena harus menebusnya dengan lembur. Tetapi sudah diberikan izin itu tidak masalah baginya.Hana melenggang pergi dari ruangan Dion. Dan tanpa sadar Hana melewati Aji yang tengah bersembunyi. Masuk ke dalam lift lalu, hilang di dalamnya.Dengan demikian Aji pun keluar dari persembunyiannya. Dilihatnya sekitar, setelah merasa aman dia segera masuk ke dalam ruangan Dion. Seberanikah itu mahasiswa co-as masuk ke dalam ruangan kepala rumah sakit?Criet, pintu terbuka. Aji masuk ke dalamnya tanpa mengetuk pintu. Menarik perhatian Dion yang ada di dalamnya menatap ke arah kedatangan Aji."Tidak bisa mengetuk pintu? Pernah diajari sopan santun 'kan? Keluar!"Sepertinya nyawa Aji ada delapan. Bagaimana bisa dia masuk ke ruangan kepala rumah sakit seenaknya. Bahkan setelah diusir pun Aji tidak peduli. Sekarang justru dia duduk di kursi yang berada di hadapan Dion."Jangan bicara seolah aku seburuk itu, Kak.""Heh," remeh
Tengah hari sudah lewat, bahkan tampaknya jarum jam sudah bergerak menuju angka dua. Yang menandakan sore hari akan segera tiba. Bukannya senang karena sebentar lagi waktunya pulang datang. Seseorang di tempatnya justru terlihat gelisah dan tampak menunggu.Jam yang melingkar di pergelangan tangan pun tidak pernah luput dari pengawasan. Aji seperti berdiri tanpa jiwa di tempatnya karena menunggu kedatangan Hana. Pikirannya tentu dipenuhi dengan kepergian Hana."Aji," panggil Fajar. Sambil disenggol lengannya sedikit keras karena tidak ada respon."CK," decak Aji, "apaan sih?""Ngelamun melulu, kamu diomongin sama dokter Firman enggak dengerin," bisik Fajar.Perlahan Aji menatap wajah dokter Firman yang ada di hadapannya. Aji tertangkap basah sepertinya dan mencoba menetralkan suasana dengan berdehem rendah."Kalau mau melamun jangan di sini. Pasien bisa mati kalau calon dokternya melamun terus. Cepat periksa!" Dokter Firman menyerahkan stetoskop pada Aji."Periksa apanya?" tanya Aji p
Begitu tiba di rumah sakit dan sudah menghentikan mobilnya, Hana tidak bergegas turun. Dia merenung sambil membayangkan betapa indahnya dulu saat dirinya baru menikah dengan Arya.Masa masa indah itu harus Hana hapus dengan penghianatan karena alasan yang tidak bisa diterima oleh Arya. Hana tiba-tiba mengulurkan tangannya meraba-raba perutnya."Apa aku benar benar mandul?" tanyanya lirih."Bagaimana kalau aku benar mandul dan tidak bisa memiliki anak nantinya?" "Apa masih ada yang mau denganku?" tanya Hana ragu.Senyum kecut Hana tunjukkan. Rasanya begitu miris jika dirinya benar didiagnosa tidak bisa mengandung. Karena jujur, Hana juga ingin menjadi seorang ibu.Tapi lagi-lagi pikiran hanya pikiran. Hana menghela nafas panjang terdengar sangat kecewa. Pasrah kepada yang maha kuasa menjadi keperluan. Sekarang dia hanya perlu menunggu perceraiannya.“Lebih baik aku menata kehidupan agar lebih baik. Dengan begitu Allah pasti akan memberiku jalan yang baik,” gumam Hana."Semangat Hana,"