Ella tidak peduli lagi dengan jarum speedometernya yang sudah menunjuk angka 100. Ia masih terus menekan pedal gas dalam-dalam untuk sampai di kantor James. Begitu gedung tahta keluarga Softucker itu terlihat, Ella mulai mengurangi kecepatannya dan berhenti tepat di depan lobi. Ia segera turun dan berjalan masuk, tapi dua orang penjaga lebih dulu menghadangnya.
“Kalian tidak tahu siapa diriku?”
Dua orang bertubuh besar itu saling menatap, lalu salah satunya menjawab, “Kami tahu siapa Nona. Namun, Tuan James Softucker sedan gada tamu dan berpesan untuk tidak diganggu.”
“Jadi menurut kalian, aku adalah gangguan?” tanya Ella kesal. “Aku adalah Radella Softucker, anak dari Ernest Softucker, pemilik sah gedung ini! Bahkan aku bisa langsung memecat kalian!”
Namun, dua pria itu tetap bergeming dan semakin membuat Ella kesal. “Di mana Lucas dan Dave?! Kalian harus belajar dari mereka!”
“Dua pengawal Nona sudah tidak lagi bekerja di sini.”
“Sej
Kedua mata Ella membelalak mendapati Ben sudah berdiri di depannya. Rahang pria itu mengeras dan matanya menatap tajam penuh amarah pada Ella, seolah siap melahap dirinya hingga tak bersisa. Entah bagaimana, pistol yang semula ada di tangan Ella, kini berpindah ke tangan Ben dan tanpa berpikir dua kali, pria itu langsung melemparkannya ke danau.“Apa pedulimu?” sungut Ella. “Kau urus saja tunanganmu.”Tanpa sepatah kata pun dan mengabaikan penolakan Ella, Ben menyeretnya menuju pondok. Ben membuka paksa pintu pondok dan menarik masuk Ella. Ia mendorong Ella menuju sofa, lalu menyusul dengan duduk di hadapan wanita itu. Tatapan nyalangnya berhasil membuat nyali Ella menciut.Semenit, lima menit, dan untuk menit-menit selanjutnya, tidak satu pun dari mereka mulai berbicara. Suasana menjadi semakin canggung dan membuat Ella tidak nyaman. Takut-takut, ia melirik Ben, lalu buru-buru membuang muka. Berada sedekat ini dengan orang yang kau cinta
“Kau baik-baik saja?” tanya Ella saat ia dan Prince sudah keluar dari penjara. “Kau yakin?” ulang Ella saat melihat Prince hanya mengangguk dalam diam. Pria itu jadi lebih pendiam dari sebelum mereka datang ke penjara pagi ini. Matanya bengkak—entah berapa lama ia menangis di dalam tadi, tapi Prince tetap berusaha menyakinkan Ella bahwa dirinya baik-baik saja. Ella tidak lagi bertanya, ia melajukan mobilnya menuju kedai Vernon. Hari ini, setelah dari penjara Blackford untuk mendapatkan pengakuan Arian, rencananya mereka akan bertemu dengan Ben di kedai. Begitu sampai, Prince dan Ella langsung turun dan masuk. Ella menyapa Peter sebentar sebelum akhirnya mengajak Prince menuju meja yang berada di pojok paling dalam. “Bagaimana?” tanya Ben tanpa basa-basi. “Apa kau sudah mendapatkan yang aku mau?” Ella menggeleng. “Aku tidak bisa tiba-tiba bertanya pada James di mana lokasi operasinya.” “Kalau begitu kau tidak berguna untukku dan lebih baik aku melakuka
Entah sudah berapa lama mereka melaju, Ella tidak tahu, karena sepanjang perjalanan ia memejamkan matanya, terlalu takut untuk melihat kegilaan yang dilakukan Ben. Berkali-kali Ben menekan klakson, diiringi putaran setir yang membuat tubuh Ella terdorong ke samping berulang kali. Pada akhirnya kegilaan itu baru benar-benar berhenti, ketika Ben membuka pintu di sisi Ella. “Turun!” Takut-takut Ella membuka matanya, ia memperhatikan keadaan sekitar dan terkejut saat menyadari di hadapannya berdiri kokoh pagar besi dan bebatuan yang terlihat sudah tidak terawat. Bahkan jalanan yang seharusnya nampak, tertutup oleh tumpukan dedaunan kering yang gugur. Perlahan, Ella menuruti perintah Ben, dan begitu ia menjejak tanah, tangannya langsung bergerak merapatkan mantelnya. Selain sepi, embusan dingin angin musim gugur membuat tubuh Ella merinding dan kedinginan. “Di mana ini?” Ben tidak menjawab, tapi dia menggandeng tangan Ella dan mengajaknya melangkah memasuk
Prince menyambar jaketnya, lalu mengendari motornya seperti orang gila. Ia terus memutar tuas gas di tangannya dan fokus pada kondisi jalan di depannya. Malam ini, Rotterfort masih terasa hidup, karena ada festival tahunan untuk merayakan keberhasilan panen warga. Orang-orang masih asyik mengobrol dengan teman-temannya di kafe, membeli camilan di toko-toko, bahkan pawai hasil pertanian baru saja lewat di depan Prince. Namun, saat ini ia benar-benar tidak tertarik untuk turut berpesta dengan warga, karena ia sedang mengkhawatirkan istrinya yang mungkin saja sekarang sudah tewas! Prince benar-benar tidak mengerti jalan pikiran Ella yang liar—kalau tidak ingin dibilang gila dan ceroboh. Kesabaran yang dimiliki Ella benar-benar tipis, karena ia tidak bisa menunggu Prince menyelesaikan beberapa urusan di kantor sebelum memenuhi janjinya untuk menemui Ben. Kesabaran Ella yang habis itu, membuat Prince panik seperti sekarang, ketika Grace meneleponnya dan menyadari posisi
“Bukankah itu Grace?” tanya Prince, matanya menyipit untuk memastikan bahwa penglihatannya tidak salah. “Sedang apa dia?” Begitu Ben menepikan mobilnya, Prince langsung turun menghampiri Grace. Di belakangnya, Ben pun menyusul, setelah mengantongi sebuah senapan di saku mantel kirinya. Sedangkan Grace hampir terkena serangan jantung saat melihat dua pria itu muncul di sebelahnya. “Apa yang kau lakukan di sini, Grace?” tanya Prince. “Aku …” “Dan di mana Ella?” lanjut Prince. “Kenapa kau sendirian?” “Dia—” “Apa temanmu itu nekat melakukan hal bodoh?” sergah Ben. “Apa dia pergi ke gudang James sendirian?” Grace mengangguk. “Aku sudah memintanya untuk tidak pergi, tapi Ella tetap bersikeras ke sana. Bahkan aku juga menyuruhnya untuk lapor ke polisi, tapi—” “Nic!” teriak Prince saat melihat Ben tiba-tiba berlari. “Kau mau ke mana?” “Aku akan menyusul si Bodoh Ella!” “Tunggu!” “Sebaiknya kalian tunggu di sini,” ucap Ben. “Kalau aku tidak kembali dalam waktu setengah jam, kalian h
Kening Ben mengerut saat ia mendapati gudang James sudah dikepung oleh banyak polisi. Lebih dari lima mobil dan puluhan polisi menggrebeknya. Selain itu, puluhan, bahkan mungkin ratusan orang—dan mungkin dari seluruh penjuru dunia dan segala umur—yang terlihat kebingungan ada di sana. Namun, wajah-wajah bingung itu, perlahan berubah menjadi penuh kelegaan dan tangis bahagia. Berulang kali beberapa dari mereka mengucapkan terima kasih pada para polisi. Sedikit demi sedikit, mereka diangkut oleh mobil polisi dan ambulans meninggalkan tempat itu. Melihat kekacauan ini, Ben segera menghubungi Prince dan Grace, meminta mereka untuk menyusul. “Apa yang terjadi?” tanya Ben pada salah seorang polisi yang berjaga. Bukannya menjawab, polisi itu malah meminta identitas Ben dan menginterogasinya. Melihat dan mendengar tingkah serta jawaban Ben yang mencurigakan, polisi itu hendak menggiring Ben ke mobil polisi dan memborgolnya. “Nicholas? Apa yang kau lakukan di sini?” “Jensen, apa yang ter
Ella tidak benar-benar bisa mengingat bagaimana ia bisa sampai di tempat ini. Bau menyengat disinfektan, terakhir ia mencium aroma yang sama adalah saat ia meninggalkan rumah sakit tempat Nana dan Rosaline dirawat. Hal terkahir yang ia ingat adalah wajah seorang pria dan suaranya yang terus berteriak di dekat telinga Ella agar ia tetap membuka mata. Namun, bukan pria itu, pria yang berdiri yang saat ini berdiri di dekatnya hanya diam menatapnya. Sedetik kemudian, ia segera berlari—entah ke mana. Ella mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan seketika ia menyadari di mana dirinya berada saat ini. Sedikit nyeri di bagian perutnya, membuatnya meringis dan memaki dengan suara kecil. Ella berusaha bangkit, tapi kepalanya masih terasa sedikit pening dan entah mengapa tubuhnya terasa lelah sekali. “Radella Softucker? Atau kau lebih suka dipanggil dengan nama Radella Loshen?” Ella menoleh ke arah pintu dan melihat seorang pria—dan Ella yakin, bahwa itu adalah pria yang sama, yang berteria
Sudah berhari-hari Garrett Wade tidak berhenti tertawa puas setiap kali membaca atau mendengar berita tentang penangkapan James Softucker. Bahkan pria itu mengadakan pesta perayaan di rumahnya untuk merayakan kejatuhan lawannya. Ia juga memberikan banyak diskon di toko-toko retail miliknya, sekaligus bonus bagi karyawannya. Namun, entah mengapa semua gegap gempita ini tidak serta merta membuat Ben puas. Rasa-rasanya, masih ada yang mengganjal di batinnya, terlebih saat ia mengingat ucapan Ella saat terakhir kali mereka bertemu—seminggu yang lalu—di taman rumah sakit. Satu sisi hatinya ingin memercayai apa yang diucapkan Ella, tapi sisi hatinya yang lain masih meragu. “Nic, kau mendengarkanku?” Suara Garret membuat Ben kembali tersadar dari lamunannya. “Maaf.” “Akhir-akhir ini, kulihat kau sering melamun. Ada apa?” tanya Garret lagi, sambil memotong steiknya. “Apa ada masalah dengan pekerjaan?” Ben menggeleng. “Tidak ada. Aku … aku hanya memikirkan tentang orang tuaku.” “Hm, ya,
Ben pikir, setelah Ella mengatakan ya padanya, semuanya akan berjalan lancar hingga hari pernikahan—yang entah kapan akan mereka gelar. Nyatanya, dua hari setelah pulang dari pondok, Ella meminta waktu lebih lama untuk memikirkan kapan sebaiknya pernikahan mereka dilangsungkan. Jangan tanya bagaimana paniknya Ben saat itu, tapi sebisa mungkin berusaha ia sembunyikan. Ia tidak ingin membuat Ella merasa terpaksa menikahi Ben, meski sebenarnya Ben juga sudah tidak sabar ingin menjadikan Ella sebagai istrinya, karena ia sangat takut kehilangan Ella lagi.“Ella belum memutuskan kapan dia akan menikahimu?” tanya Jensen, saat ia menyempatkan diri mampir ke rumah Ben sebelum berangkat bertugas. “Kalian bertengkar lagi?”Ben menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Sudah berhari-hari dia sulit dihubungi. Bahkan Prince juga kesulitan menemuinya di kantor. Kata sekretarisnya, Ella tiba-tiba saja ingin menyendiri,” jawab Ben.&ldq
“Kamar?!”Entah itu sebuah pertanyaan atau perintah. Ella tidak mengerti apa yang diucapkannya, karena saat ini tidak bisa berpikir jernih. Napasnya terengah, hampir habis, karena terlalu bergairah membalas ciuman Ben. Ya, Tuhan, ia tidak pernah menyangka kalau bisa merindukan sebuah ciuman seperti ini. Ini bukan perkara ciumannya, tapi siapa orang yang kau cium. Bagi Ella, orang itu adalah Benedict Cerg.Tak jauh berbeda dengan Ella, Ben pun mendadak bodoh dan hanya mampu mengangguk, tapi insiting liarnya menyuruhnya untuk mengangkat tubuh Ella, lalu berjalan tergesa menuju kamar. Ben tidak menyangka akan datang hari ini—lagi—untuknya, melakukan hal paling intim yang bisa dilakukan sepasang manusia yang sedang dilanda gairah.Ella merasakan tubuhnya terhempas menyentuh permukaan kasur, Ben langsung menindihnya, kembali menciumnya penuh tuntutan rindu yang harus segera tersalurkan. Bahayanya, tidak ada yang tahu berapa lama yang diperluka
Sudah lebih dari tiga jam sejak dokter meninggalkan ruang rawat Ben, tapi pria itu belum juga sadarkan diri. Jensen pun harus kembali ke kantor polisi untuk membuat laporan. Sedangkan Prince dan Grace juga pulang bersama anak-anak mereka. Martin belum terlihat lagi sejak satu jam yang lalu. Hanya ada Ella dan Aj yang tersisa menjaga Ben di ruangan itu.“Mommy, kapan Paman Ben akan bangun?”Ella yang sedang membaca majalah menoleh pada putranya yang ternyata sudah bangun dari tidur lelapnya di sofa. Ella menghampiri Aj dan langsung memangku bocah itu, sembari menepuk-nepuk punggungnya agar kembali tidur, mengingat tidur bocah itu pasti tidak nyaman di rumah sakit.“Sayang, kau sudah bangun? Jika masih mengantuk, tidur lagi saja.”Aj menggeleng. “Mom, kapan P
“Sayang, kau baik-baik saja?” tanya Martin khawatir, saat melihat Ella diam saja sejak masuk ke mobilnya. “Kau mau makan dulu sebelum kita menjemput Aj di rumah Prince?”“Tidak usah. Kita langsung ke sana.”“Kau yakin?”Ella mengangguk pasti, lalu kembali diam, menatap jalanan Rotterfort yang mulai ramai pagi ini.“Sialan!” maki si supir tiba-tiba?“Ada apa?” tanya Martin sambil mencoba melihat apa yang sedang terjadi di depan.“Orang-orang ini seperti tidak punya pekerjaan. Hampir setiap hari mereka turun ke jalan untuk berunjuk rasa,” gerutunya pada ratusan orang dengan spanduk dan poster-poster menuntut keadilan yang sedang lewat di depan mobilnya.“Tentang apa?”
Entah sudah berapa kali Ben menghela napas dan berapa liter bensin yang dihabiskannya. Sepertinya ia sudah mengelilingi Rotterfort puluhan kali, hanya untuk menenangkan pikiran dan keinginan hatinya yang ingin bertemu dengan Aj. Ben menggunakan segala cara, dari mulai mencari kesibukan di bengkel, hingga berkeliling Rotterfort. Namun, rasa rindu pada putranya—juga Ella—benar-benar tidak terbendung.Motornya berhenti di tempat terjauh dari Rotterfort yang bisa ia jangkau. Ia kembali ke pemakaman di luar Rotterfort yang beberapa hari lalu ia kunjungi. Ben berjalan dengan seikat lili di tangannya, melewati nisan-nisan yang kusam, lalu langkahnya berhenti beberapa meter dari kuburan orang tuanya. Lili yang kemarin dibawanya sudah nampak layu, tapi ada lima tangkai lili yang masih terlihat segar. Bukan, itu bukan lili di tangan B
Sudah 15 menit Ben berdiri di dapur. Diam-diam ia mengawasi Martin dan Aj yang sedang bermain bersama Max di ruang tamu. Ia sudah menemukan jawaban dari semua pertanyaan di kepalanya atas teka-teki yang ia temukan beberapa saat lalu ketika mereka masih berdiri di halaman rumah.Tunangan Martin adalah Ella.Aj adalah putranya.Ingin rasanya Ben memeluk bocah itu dan mengatakan betapa ia sangat merindukannya. Namun, Ben kembali menyadari posisi dirinya yang bukanlah siapa-siapa jika dibandingkan dengan Martin. Untuk saat ini, Ben hanya bisa membuatkan putranya segelas cokelat hangat—seperti yang selalu ia sajikan untuk ibunya.Buku-buku jemari Ben mengepal erat nampan yang membawa secangkir teh dan cokelat hangat itu. Perlahan ia letakkan dua cangkir itu di atas meja, tanpa memutuskan tatapannya pada Aj yang kini berlari mengitari ruang tamunya bersama Max.Prince sialan! Mengapa ia tidak mengatakan pada Ben, kalau Aj adalah putranya?“Ben, apa hubunganmu dengan Ella?” tanya Martin, set
Ben sedang dalam perjalanan pulang dari memperbaiki mobil milik temannya, saat ia melihat wajah yang tak asing sedang berdiri di halte bus. Sebagai tetangga yang baik, Ben berhenti dan menawarkan diri untuk membonceng tetangganya itu pulang.“Terima kasih, Ben.”“Tidak masalah. Kenapa kau berpakaian seperti ini?” tanya Ben penasaran.“Aku kalah taruhan dengan kawan-kawanku, jadi aku harus meminjam pakaian kakak perempuanku untuk pergi ke prom.”Ben terkekeh mendengar penjelasan tetangganya ini.“O, iya, Ben, kau mau membantuku sekali lagi?”“Apa itu?”“Sebagai tambahan hukuman kalah taruhan, aku juga harus mencium seorang pria. Kau bisa membantuku? Hanya satu kecupan saja. Kumohon. Kalau tidak, minggu depan aku harus memakai pakaian wanita dan berdandan untuk keluar rumah.”Ben menggeleng tak percaya mendengar ucapan tetangganya ini. “Kali ini aku aka
Sudah bertahun-tahun rumah megah di tengah kota itu sepi. Dulu sekali, si Tuan Rumah rutin mengadakan acara amal bersama koleganya. Namun, tidak jarang pula ia mengundang orang-orang kurang beruntung untuk turut hadir dan merasakan masakan dari tangan chef handal. Sejak beberapa tahun lalu rumah itu dilelang, hanya remang cahaya lampu taman yang sering dilihat dan dibicarakan penduduk Rotterfort.Hingga kini, si anak perempuan pembawa sial, tapi juga yang paling beruntung kembali ke rumahnya. Lampu-lampu di hampir seluruh sudut rumah itu diganti dengan lampu yang nyalanya lebih terang. Para tamu undangan yang jumlahnya tidak lebih dari sepuluh orang itu sudah datang dan duduk berdampingan di kursi makan. Sebastian sibuk mengobrol dengan Frederick—pengusaha muda yang sedang merintis usahanya di bidang nano teknologi—sambil menikmati lobster. Delapan orang lainnya pun sibuk membicarakan bisnis dan kerjasama yang barang kali bisa mereka bentuk.
“Jangan menertawakanku.”Ben menggeleng, tapi ia tidak sanggup menyembunyikan senyum di wajahnya.“Kondisimu juga tidak lebih baik dari aku.”Ben tertawa mendengar Sebastian yang bersungut-sungut sejak ia duduk di bangku itu. Sedangkan Ben, sibuk dengan kunci inggris, oli, dan mesin mobil Sebastian.“Lihat saja, kau lebih memilih kotor seperti ini, bekerja di ruang panas, daripada dengan setelan jas di kantorku.”Ben menjejakkan kakinya sebagai tumpuan untuk menarik diri dari bawah kolong mobil. Ia muncul dari sana dengan pakaian bengkelnya yang sudah kotor, berlumuran oli dari mobil-mobil yang diperbaikinya.Sejak bebas dari Blackford enam bulan lalu, Ben memilih memulai hidup barunya dengan menjadi montir. Berbekal pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya selama lima tahun di Blackford, Ben bisa menyelesaikan—hampir—semua masalah mesin, khususnya mobil.“Jika kau bingung, kenap