Sudah update, selamat membaca.
"Kamu harus waspada." Hendrawan menatap lekat anaknya itu dengan serius. Jika Daniel lengah sedikit saja, Monica mungkin akan menghancurkan segalanya. Tak masalah jika wanita itu berniat membuat masalah dengan keluarga Adhitama, hanya saja urusannya berbeda jika dia sudah berani mengusik Nadia dan ibunya. Pria paruh baya itu menghela napas pelan sembari menambahkan, "Kalau perlu, buat dia menjauh."Daniel yang mendengar itu tampak terdiam sejenak. Bahkan tanpa ayahnya minta, dia pun sudah berusaha untuk membuat mantan istrinya itu menjauh. Bahkan, dia sudah meminta wanita itu untuk pindah dari villa. Namun sayangnya sulit karena Monica tetap bersikeras untuk tinggal. Dengan tatapan matanya yang tajam, Daniel pun membatin, 'Dia malah memintaku untuk menemuinya. Ha ... dia sangat licik.'Disaat tengah memikirkan itu, Nadia dan Martha tampak keluar dari ruangan perawatan. Gadis itu tampak sedikit malu-malu, dia berjalan mendekat sambil menunduk. Namun, Martha justru menyeletuk, "Gimana,
'H-hah? Dia senyum? Si gunung es itu beneran senyum? Aku nggak salah lihat, 'kan?!'Di tengah kebingungannya itu, Martha menariknya untuk mendekat. Tanpa basa-basi, wanita paruh baya itu langsung mendorongnya hingga berada tepat di samping Daniel."Berhubung udah cantik gini, gimana kalau kita ke studio?" Martha melirik ke arah suaminya dan kembali menambahkan, "Foto Nadia sama Daniel 'kan belum ada, Pa. Setuju 'kan sama Mama?"Sebelum Hendrawan menjawab, Sean lebih dulu menyela sambil mengangkat tangan kanannya. "Setuju!" teriaknya antusias. Dengan senyumannya yang sumringah, bocah lelaki itu berbalik dan menatap ayahnya. "Ayo kita foto, Pa!" tuturnya lagi sambil menyentuh tangan pria itu.Daniel yang mendengarnya hanya diam. Dia justru berbalik menatap Nadia, ingin tahu tanggapannya. Nadia yang mendapat tatapan itu tampak kikuk dan bicara dalam hatinya, 'Kenapa harus ngeliatin aku dulu? Dia bisa memutuskannya sendiri, 'kan?'Di tengah kebingungannya, sebuah tangan kecil yang hangat
"Nah, Nadia ... konsep yang ini bagus dan cocok sama kamu," ujar Martha sambil memperlihatkan sebuah foto dengan sepasang suami istri yang mengenakan pakaian berwarna putih terang.'Uhm, keliatannya bagus,' batin Nadia. Namun gadis itu tak lekas menjawab dan memilih untuk melirik ke arah Daniel karena bagaimanapun juga pria itu juga berhak untuk memilih.Daniel yang ternyata juga tengah memperhatikan tanpa basa-basi langsung menganggukkan kepalanya.Martha yang melihat itu tampak senang dan langsung memberitahu fotografer.Di saat ini, Daniel tiba-tiba saja menoleh ke arah Nadia dan menatapnya lekat, membuat gadis itu merasa sedikit kikuk seraya membatin, 'Kenapa dia sekarang hobi banget liatin aku?' batinnya.Ada perasaan yang menggelitik dan mulai muncul di dalam hati Nadia. Terkadang dia memang merasa risih karena sering diperhatikan oleh Daniel, namun gadis itu sendiri tak bisa menepis perasaan senang yang juga muncul dan membuatnya tanpa sadar senyum-senyum sendiri.Ketika Nadia t
"Kamu cantik kalau senyum."Nadia yang mendengar itu seketika langsung melototkan matanya dan memekik, "A-apa?!" Tanpa sadar gadis itu malah menghantamkan belakang kepalanya ke mulut Daniel. Seketika matanya kembali membulat dengan sempurna dan mencoba untuk meminta maaf, "Hah? Ma-maaf, aku nggak sengaja," lirihnya penuh penyesalan ketika melihat pria itu kini menutup mulutnya sambil memejamkan matanya sedikit. "Apa sakit? Ya Tuhan, maaf ... aku kaget karena kamu tadi ... tadi kamu ngomong aneh," lirihnya.Daniel yang melihat itu hanya diam, namun di balik telapak tangannya yang menutup sebagian wajahnya, pria itu diam-diam tersenyum.Martha dan Hendrawan yang melihat itu tampak kaget, apalagi calon menantunya kelihatan gelisah. Dengan cepat, wanita paruh baya itu segera mendekat dan bertanya, "Kamu nggak apa-apa, Nadia?"Nadia yang mendengar pertanyaan itu menggeleng pelan, "Aku nggak apa-apa, Tante. Tapi ..." Dia menjeda ucapannya sesaat dan berbalik menatap Daniel sembari berkata, "
"Jangan membuatku bertindak," ujar Daniel, dengan tatapan matanya yang semakin tajam.Namun wanita itu justru mengulas senyum tipis dan menarik tangannya kembali. Dia pun membatin, 'Sebegitu ketatnya kamu sampai mempermalukanku begini, Niel.' Setelah menarik napas dalam-dalam, Monica pun kembali bicara dengan santainya, "Memangnya aku melakukan apa?" tanyanya balik sambil menatap lekat Daniel. Wajah pria itu tampak semakin gelap. Namun sebelum mantan suaminya itu bisa mengatakan sesuatu, Monica dengan cepat langsung menyela, "Kamu mau bahas lagi soal perjanjian kita, huh? Masalah itu udah basi." Dengan melipat kedua tangannya tepat di depan dan memasang tatapan meremehkan, wanita itu menegaskan, "Gimanapun juga, kamu nggak bisa menghapus fakta kalau aku ini ibu kandung Sean.""Beraninya bicara seperti itu, hah?!" Martha berteriak sambil memasang wajah yang garang. Dia benar-benar tak habis pikir pada wanita yang sempat jadi menantunya itu. "Kamu nggak pantas mengatakan itu setelah ...
"Kamu bukan menantuku lagi. Camkan itu!"Monica mengepalkan tangannya dengan erat ketika mendengar perkataan Hendrawan. Hatinya itu terasa terbakar karena api cemburu dan mulai membatin, 'Dulu, pernikahanku dan Daniel bahkan nggak direstui. Tapi apa ini?! Pria tua bangka ini malah menganggap gadis kampungan itu sebagai calon menantu kesayangannya!'Di tengah perasaan cemburu yang pernah meluap-luap di dalam hati Monica, Sean yang ada di dalam mobil itu terlihat khawatir dan wajahnya menampakan rasa penasaran. Nadia yang melihatnya pun berkata, "Sean, coba liat Kakak. Ayo kita--""Mama kenapa marah-marah, Kak?" tanya bocah lelaki itu, memotong ucapan Nadia.Seketika Nadia langsung terdiam dan tak bisa menjawab sama sekali. Namun Sean segera menoleh ke arahnya dan menuntut jawaban, "Mama bilang mau ketemu Sean. Kenapa Papa melarang?"Mendengar pertanyaan itu lagi, Nadia merasakan sesal di dalam hatinya karena bagaimanapun juga dia tak mungkin menjelaskan keadaan yang tengah terjadi saat
"Kamu dan gadis sialan itu nggak boleh memiliki Sean!"Mendengar itu, Daniel hanya terdiam. Namun tatapan matanya terlihat semakin tajam dan detik berikutnya pria itu membuka suara, "Sean bukan barang." Ditatapnya lekat wajah sang mantan istri yang kini terlihat memerah, dengan cepat dia kembali menegaskan, "Berhenti sebelum aku benar-benar bertindak, Monica."Ada perasaan dingin yang kini mulai menjalar di dalam hati Monica karena bagaimanapun juga dia tahu dengan jelas bahwa mantan suaminya itu tak pernah ragu akan ucapannya sedikitpun. Dengan nalurinya dia mundur sedikit sambil mengepalkan tangannya dengan erat seraya bicara, "Percuma aja kamu mengancamku, Daniel. Aku nggak bakalan mundur." Dia menajamkan tatapannya seraya menambahkan, "Ingat peringatanku kali ini, kalau kamu menikah lagi, maka hak asuh akan jatuh ke tanganku."Seketika semua orang di sana terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun Martha yang sedari tadi memilih untuk diam kini melangkah maju seraya mengang
Mobil melaju dengan keadaan hening. Baik Daniel maupun Nadia, tak membuka mulutnya sedikitpun.Ada perasaan aneh yang muncul di dalam hati Nadia. Diam-diam, gadis itu melirik ke arah pria yang mengemudikan mobilnya dan membatin, 'Apa aku melakukan kesalahan? Kenapa dia keliatan marah?'Semenjak mereka berdua pergi dari studio, Daniel tak mengatakan apapun. Bahkan Martha dan Hendrawan juga pergi begitu saja dengan mobil lainnya sambil membawa Sean yang tertidur. Alih-alih membuat suasana jadi santai, Nadia juga diam. Dia sendiri bingung harus memulai percakapan dari mana. Disaat sedang memikirkan itu, Nadia sadar bahwa mobil berbelok ke arah lain. Seketika dia langsung menoleh dan menatap lekat Daniel. Meski begitu, dia lagi-lagi tak mengatakan apapun. 'Sebenarnya dia mau bawa aku kemana? Bukannya kita harusnya pulang?' batinnya bingung.Disaat memikirkan itu, Daniel melambatkan laju mobilnya dan berhenti tepat di salah satu taman. Pria itu pun beralih menatap Nadia, setelah mematikan
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h