"Kamu dan gadis sialan itu nggak boleh memiliki Sean!"Mendengar itu, Daniel hanya terdiam. Namun tatapan matanya terlihat semakin tajam dan detik berikutnya pria itu membuka suara, "Sean bukan barang." Ditatapnya lekat wajah sang mantan istri yang kini terlihat memerah, dengan cepat dia kembali menegaskan, "Berhenti sebelum aku benar-benar bertindak, Monica."Ada perasaan dingin yang kini mulai menjalar di dalam hati Monica karena bagaimanapun juga dia tahu dengan jelas bahwa mantan suaminya itu tak pernah ragu akan ucapannya sedikitpun. Dengan nalurinya dia mundur sedikit sambil mengepalkan tangannya dengan erat seraya bicara, "Percuma aja kamu mengancamku, Daniel. Aku nggak bakalan mundur." Dia menajamkan tatapannya seraya menambahkan, "Ingat peringatanku kali ini, kalau kamu menikah lagi, maka hak asuh akan jatuh ke tanganku."Seketika semua orang di sana terdiam tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Namun Martha yang sedari tadi memilih untuk diam kini melangkah maju seraya mengang
Mobil melaju dengan keadaan hening. Baik Daniel maupun Nadia, tak membuka mulutnya sedikitpun.Ada perasaan aneh yang muncul di dalam hati Nadia. Diam-diam, gadis itu melirik ke arah pria yang mengemudikan mobilnya dan membatin, 'Apa aku melakukan kesalahan? Kenapa dia keliatan marah?'Semenjak mereka berdua pergi dari studio, Daniel tak mengatakan apapun. Bahkan Martha dan Hendrawan juga pergi begitu saja dengan mobil lainnya sambil membawa Sean yang tertidur. Alih-alih membuat suasana jadi santai, Nadia juga diam. Dia sendiri bingung harus memulai percakapan dari mana. Disaat sedang memikirkan itu, Nadia sadar bahwa mobil berbelok ke arah lain. Seketika dia langsung menoleh dan menatap lekat Daniel. Meski begitu, dia lagi-lagi tak mengatakan apapun. 'Sebenarnya dia mau bawa aku kemana? Bukannya kita harusnya pulang?' batinnya bingung.Disaat memikirkan itu, Daniel melambatkan laju mobilnya dan berhenti tepat di salah satu taman. Pria itu pun beralih menatap Nadia, setelah mematikan
"Untuk saat ini, aku tidak tahu."Telinga Nadia terasa berdengung ketika mendapati jawaban yang tak sesuai dengan keinginannya. Gadis itu dengan cepat langsung mengalihkan pandangannya dan menggigit bibir bawahnya agar bisa menekan perasaannya yang kini mulai terasa sakit. 'Seharusnya dari awal aku nggak perlu menanyakan hal seperti ini,' batinnya.Dengan meremas tangannya perlahan, Nadia mencoba untuk bersikap baik-baik saja. 'Dari awal kami berdua memang nggak seharusnya bersatu,' pikirnya sambil tersenyum pahit dan kembali, 'Nadia ... kamu terlalu banyak bermimpi.'Dia menghela nafas perlahan dan segera bicara lagi, "Aku yakin kamu pasti masih mencintainya. Dan, aku juga nggak akan memaksa kamu untuk melupakannya." Nadia lantas menatap lekat Daniel dan kembali menambahkan sambil memasang senyuman tipis, "Dibandingkan denganku, kamu dan Monica jauh lebih serasi."Danil yang melihat ekspresi wajah gadis itu menyadari bahwa ada sesuatu yang salah. Dia pun membatin, 'Sepertinya dia berp
"Ada masalah apa? Kamu nggak bisa berbohong di hadapan Ibu."Nadia merasakan gemuruh di dadanya. Hanya dengan satu pertanyaan, telah berhasil membuatnya seketika langsung seolah-olah terombang-ambing dan dia hanya bisa terdiam. Gadis itu pun membatin, 'Gimana caranya aku mengatakan ini pada Ibu? Aku sendiri bahkan nggak yakin,' batinnya.Daniel yang telah selesai bercakap-cakap dengan perawat itu tampak melirik ke arah Nadia dan Ratna. 'Sepertinya mereka berdua sedang mengobrol serius,' pikirnya. Mengingat itu dia pun langsung mendekat sembari berkata, "Tante, saya ada urusan sebentar." Pandangannya kini beralih menatap Nadia dan menambahkan, "Aku akan keluar sebentar."Nadia yang membelakangi pria itu hanya mengangguk perlahan dan tak memiliki niat sedikitpun untuk menoleh. Ratna yang melihatnya pun hanya bisa tersenyum tipis dan mempersilahkan.Daniel segera berbalik dan menutup pintu ruangan rawat Ratna. Namun dia menghentikan langkahnya sejenak dan membatin, 'Kenapa rasanya ada se
"Saat ini kamu sebenarnya sedang merasa cemburu.""Cemburu?" tanya gadis itu dengan tatapan tak percaya. "Nggak mungkin!" elaknya seraya menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Nadia cuma ngerasa kesal, bukan cemburu."Melihat putrinya itu tampak kekeh dan menepi semua kenyataan, Ratna tak bisa menyembunyikan senyumannya. Dilihat dari segi manapun gadis itu memang terlihat sangat cemburu. "Mungkin saat ini kamu memang nggak menyadarinya." Wanita itu menjeda ucapannya sesaat dan kembali menatap lekat putrinya sambil memasang tatapan mengejek, "Tapi orang lain jelas-jelas menyadarinya, Nadia."Wajah Nadia seketika langsung berubah karena ketidaksenangan yang muncul di dalam hatinya. 'Mana mungkin aku merasa cemburu?' batinnya. Mau sampai kapanpun dia tak mungkin jatuh hati pada pria dingin seperti Daniel, begitulah anggapannya.Namun entah mengapa sekarang dia justru merasakan detak jantungnya semakin kencang. Nadia pun menyentuh dadanya dan menundukkan kepala perlahan, sebelum akhirnya
'Apa Ibu benar?' batin seorang gadis yang kini duduk tepat di samping kursi pengemudi. Dia mengalihkan pandangannya ke arah luar kaca mobil, terus berpikir sampai tak sadar kini telah sampai di rumah.Daniel yang bersiap untuk keluar itu tampak melirik Nadia, mengerutkan keningnya karena heran. Apalagi gadis itu tak bereaksi sama sekali."Kita sudah sampai," tuturnya.Meski Daniel telah berusaha untuk memanggilnya, Nadia benar-benar tak mengalihkan pandangannya sama sekali. Melihat itu, dia pun mendekat sembari memanggilnya lagi, "Nadia, kita sampai." Barulah gadis itu u tampak menoleh dengan raut wajah yang kikuk, "Ah, sudah sampai. Iya, aku akan segera keluar." Melihat itu, Daniel hanya bisa terdiam. Sebab sejak tadi sikap lawan bicaranya itu membuatnya bingung. Namun saat melihat gadis Itu tampak kesulitan untuk melepaskan sabuk pengaman, dia dengan cepat langsung mengulurkan tangannya agar bisa membantu. Seketika Nadia langsung terdiam membatu, jantungnya terasa pada tak semaki
"Sialan!" pekik seorang wanita sembari melemparkan tasnya dengan asal. "Gara-gara gadis sialan itu, mereka sekarang membenciku!" desisnya seraya duduk di sofa sambil mengacak-acak rambutnya perlahan. Monica merasakan keningnya berdenyut nyeri ketika memikirkan tentang berbagai cara yang harus dilakukannya agar bisa memisahkan Daniel dan Nadia. Bukan satu atau dua kali saja dia mencoba untuk melancarkan rencananya dan berharap itu semua akan berhasil. Meskipun memang pada akhirnya dia hanya mendapatkan hasil yang nihil mengingat mantan suaminya bahkan kini terlihat sangat membencinya.Hanya dengan mengingat hal itu saja telah berhasil membuat sesuatu yang ada di dalam dirinya mendidih karena marah. Dia pun mengepalkan tangannya dengan erat seraya mendesis pelan, "Kamu nggak boleh memperlakukanku seperti ini, Daniel. Kamu seharusnya mencintaiku dan tunduk dengan semua perintahku." Dengan sorot pandangan matanya yang tampak semakin tajam karena kebencian, dia kembali menambahkan, "Kamu s
"Apapun akan kulakukan demi bisa bersama denganmu, Daniel."Dengan senyum liciknya wanita itu segera meraih ponselnya dan mencoba untuk menghubungi seseorang."Jalankan rencananya dan jangan sampai gagal."Tak perlu waktu lama sambungan telepon itu pun segera terputus. Monica tersenyum tipis sembari merebahkan punggungnya ke kursi dan menatap langit-langit sambil terkekeh pelan seraya berkata, "Mari kita lihat sekarang siapa yang akan memimpin dan akan kupastikan kamu menyesal, Daniel."*"Nadia, gaun pernikahannya sudah sampai, Nak." Martha melirik ke arah seorang gadis yang baru saja menuruni tangga dan tersenyum tipis. "Sini, kamu harus cobain dulu sebelum menggunakannya besok."Nadia yang mendengar itu segera mendekat, namun gadis itu diam-diam mengajarkan pandangannya karena belum melihat sosok Daniel. Dia pun membatin dengan kebingungan, 'Dimana dia? Tumben banget nggak kelihatan.'Meski dia mencoba untuk mencari sosok pria tampan yang sifatnya sedingin gunung es itu di seluruh