Solusi apa itu ya?
"Ibu?!" Nadia tampak melotot ketika melihat ibunya itu bangun dari ranjang dan kini tengah berusaha untuk berjalan. Gadis itu dengan cepat langsung menghampiri ibunya sambil mengerutkan kening dan wajahnya dipenuhi dengan kekhawatiran. Ratna yang tengah fokus untuk melangkahkan kakinya itu seketika langsung menoleh dan dia berusaha untuk tersenyum agar bisa menenangkan anaknya sembari berkata, "Oh, kamu datang hari ini?"Bukannya menjawab pertanyaan dari ibunya, Nadia justru meletakkan barang bawaannya dan langsung meraih kedua Ratna, memaksa wanita paruh baya itu untuk kembali duduk. "Jangan banyak bergerak dulu, Bu," potong gadis itu ketika sadar bahwa ibunya berniat untuk melayangkan protes. Ratna yang mendengarnya pun seketika langsung terdiam, namun wanita itu tak bisa menyembunyikan senyumannya ketika melihat putrinya yang mengkhawatirkannya. Tangannya terulur perlahan dan mengelus pelan kepala Nadia, membuat gadis itu seketika menoleh. Sebelumnya dia bisa mengatakan apapun,
"Kamu cemburu, Nadia?"Mata gadis itu seketika tampak membulat dengan sempurna ketika mendapatkan pertanyaan yang sama seperti Daniel. "Apa? Cemburu?" tanyanya dengan tatapan tak percaya. "Nggak mungkin!" kekeuhnya.Tapi Ratna yang mendengar itu justru tertawa pelan dan berkata, "Mungkin sekarang kamu bisa bilang tak cemburu, Nad." Dia menatap lekat anaknya itu sembari menambahkan dan mencoba untuk meyakinkannya, "Tapi Ibu yakin kalau sebenarnya jauh di dalam lubuk hatimu itu memiliki perasaan yang berbeda untuk Daniel."Ketika Nadia berniat untuk menyangkalnya, Ratna dengan cepat langsung menambahkan, "Terkadang kita memang sulit menyadari perasaan diri sendiri."Nadia yang mendengar itu seketika langsung terdiam. Gadis itu pun mulai membatin, 'Benarkah? Apa aku tak sadar dengan perasaanku sendiri?' batinnya bertanya-tanya. 'Tapi kayaknya aku nggak mungkin jatuh cinta sama pria dingin itu. Ya … meski dia memang tampan dan akhir-akhir ini perhatian.' Memikirkan itu, ada sedikit perasaa
"Bos, mobilnya sudah siap. Kita bisa berangkat meeting sekarang di Senja Corporation." Dion segera mengkonfirmasikan persiapan meeting pada Daniel. Tak lupa sambil memperlihatkan dokumen yang harus dibawanya untuk presentasi nanti.Pria yang tengah menutup laptopnya itu mengangguk pelan. Tanpa banyak bicara, dia langsung berjalan lebih dulu. Sedangkan sang asisten berjalan tepat di belakangnya sambil membawakan tas kerja dan juga dokumen.Ketika masuk ke dalam lift, Dion kembali menjelaskan jadwal padat hari ini, mengingat 3 hari lagi atasannya itu akan menikah."Setelah meeting, kita harus pergi untuk menindak lanjuti proyek dengan perusahaan penyokong material, Bos. Lalu setelah makan siang, kita harus mengawasi proyek pembangunan cabang perusahaan baru," jelasnya.Daniel mengangguk pelan, dia melirik ke arah jam tangannya. Dua jam lagi waktunya makan siang dan entah mengapa dia tiba-tiba saja teringat akan Nadia. 'Apa gadis itu makan dengan baik?' pikirnya.Di saat yang sama, pintu
"Monica, kamu kemana saja? Lagi ada banyak masalah seperti ini, harusnya kamu stay di perusahaan!" Manajer tampak memelototkan matanya pada sosok wanita yang baru saja masuk ke dalam ruangan. Namun, Monica tak menjawabnya sama sekali dan langsung duduk. Wanita itu menghela nafas, tangannya terkepal kencang mengingat perilaku mantan suaminya yang telah tega membuatnya jadi kesulitan."Kenapa diam saja? Kamu harusnya cari solusi! Kita kehilangannya banyak klien dalam waktu sekejap tanpa alasan yang jelas," sinis manajer itu lagi. Dia semakin tak suka dengan sikap Monica, yang selalu saja menggampangkan sesuatu dan tak menghormatinya sama sekali.Mendengar itu, Monica memutar bola matanya dengan malas. Dia sangat enggan berurusan dengan masalah seperti ini."Gunanya manajer untuk apa? Aku hanya perlu merawat diri dan melakukan yang terbaik. Kalau nyari solusi, cari sendiri!"Wajar manajer tampak merah, dia sangat marah ketika mendengar perkataan Monita dan langsung memukul meja hingga m
"Tante Martha?" Nadia tampak mengerutkan telinga ketika melihat sosok wanita paruh baya yang tak asing. Dia yang baru saja memanggil perawat agar bisa mengganti infus ibunya seketika langsung mendekat pada Martha, wanita paruh baya itu kini berada tepat di depan pintu ruang rawat Ratna. "Tante ada disini? Sama siapa?" tanyanya, berpikir kalau Daniel yang mengajaknya."Ah, Tante datang ke sini sama ... itu! Pa, sini!" ujar wanita paruh baya itu seraya melambaikan tangannya pada Hendrawan.Seketika pria paruh baya itu tampak mendongakkan kepalanya dan segera mendekat. Pria paruh baya itu pun segera menjelaskan alasan kedatangannya kemari bersama dengan sang istri."Kami datang kemari untuk menjenguk ibumu. Apa beliau sibuk?"Nadia segera menggelengkan kepalanya dan membuka pintu sembari berkata, "Mari Tante, Om ... silahkan masuk."Ratna yang baru saja meminum obatnya itu tampak menoleh sambil mengerutkan kening. Dia hampir saja turun dari ranjang, namun untungnya sang putri dengan cepat
"Nadia, masuklah."Nadia tampak mendongakkan kepalanya ketika mendengar namanya itu dipanggil dan dia melihat sosok Martha. Seketika gadis itu langsung bangkit dan mendekat ke arah pintu ruang rawat ibunya sembari bertanya, "Sudah selesai, Tante?"Martha menganggukkan kepalanya perlahan. Kedua wanita itu segera masuk. Kali ini, Hendrawan tampak bangkit dari kursi karena mendapatkan telepon. Entah apa yang tengah terjadi, tapi pria paruh baya itu terlihat sedikit panik.Martha yang menyadari kekhawatiran Nadia ketika melihat Hendrawan, seketika langsung mencoba untuk menghiburnya dan berkata, "Biarkan saja, Nad. Papa emang sibuk banget sama urusan kantor. Paling masalah internal," jelasnya.Nadia hanya bisa tersenyum tipis ketika mendengar itu. Dia berbalik menatap ibunya yang kini duduk dan tersenyum tipis di ranjangnya."Ibu mau minum?"Ratna menggelengkan kepalanya perlahan. "Nggak, duduklah. Ibu mau bicara sama kamu," ujarnya.Gadis itu seketika terlihat mengerutkan keningnya ketika
"Pa, ada sesuatu yang perlu kamu tahu." Martha baru saja masuk ke dalam mobil itu segera mengatakan hal yang telah membuatnya terganggu.Hendrawan dengan cepat langsung menoleh dan menatap lekat istrinya itu sambil mengerutkan kening seraya bertanya balik, "Ada apa, Ma?"Marta menghela nafas berat, menatap lekat suaminya itu dan mulai menjelaskan segala masalah yang tengah terjadi."Monica sudah berani menemui Ratna."Mata Hendrawan seketika tampak membulat dengan sempurna ketika mendengar itu. "Apa?!" pekiknya tak percaya dengan kata-kata istrinya itu mengingat bahwa selama ini putranya telah mengandalkan keamanan di sekitar rumah sakit agar tak ada orang-orang yang bisa mengganggu. "Mana mungkin, Ma? Siapa yang bilang?"Martha menghilangkan nafas berat ketika sang suami tak mempercayainya dan justru paling mempertanyakan tentang informasi yang baru saja diberikannya itu."Emangnya Mama kelihatan sedang berbohong atau mengada-ada?" Dia menatap lekat sang suami dan meminta pria itu unt
"A-apa yang mau kamu lakukan?"Mendapat pertanyaan dari Nadia dan menyadari bahwa wajah gadis itu kini tampak merona, Daniel terdiam sejenak. 'Apa gadis ini berpikiran mesum?' pikirnya.Tanpa banyak bicara, Daniel langsung menarik tali seat belt yang masih belum terpasang dengan baik di tubuh Nadia.Seketika pikiran gadis itu langsung buyar ketika sadar bahwa ternyata dia telah memikirkan sesuatu yang salah. Wajahnya itu justru terasa semakin panas dan dia tak berani untuk menatap Daniel. Namun pria itu tiba-tiba saja berkata lirih seolah-olah berbisik dan menggodanya secara terang-terangan, "Mesum!"Meski hanya kalimat singkat, itu telah berhasil memporak-porandakan perasaan Nadia. 'Dia bilang aku mesum? Apa maksudnya itu?!'Kesal, Nadia segera melipat kedua tangannya tepat di depan dada. Dia memalingkan wajahnya dan benar-benar tak mau menatap Daniel.Sedangkan pria itu diam-diam tersenyum tipis ketika melihat kelakuan Nadia. Dia yang menekan pedal gas itu pun kembali membatin, 'Lu
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h