Akhirnya Bu Ratna bisa sembuh juga
"Baik, aku akan segera ke sana." Setelah Daniel mengatakan itu, dia langsung menutup sambungan teleponnya. Meski sebenarnya pria itu merasa sedikit bingung dengan permintaan mendadak dari Nadia, tapi dia segera menurutinya tanpa mengatakan apapun.Daniel dengan cepat langsung meraih jasnya, bersiap untuk pergi keluar. Namun di saat yang bersamaan asistennya itu tiba-tiba masuk dengan langkah tergesa-gesa dan tampak jelas bahwa wajahnya itu juga gelisah."Bos, ada hal penting!" ujarnya, Dion segera menghentikan langkahnya saat berada tepat di depan meja Daniel, dia tampak mengerutkan kening ketika melihat pria itu telah menyambar jas miliknya. "Eh, Anda mau pergi kemana?""Ada apa?" tanya Daniel balik, mengingat asistennya itu tadi terlihat tengah mencemaskan sesuatu."Ah, i-iya." Dion yang tersadar itu segera memperlihatkan tablet di tangannya pada Daniel. "Ada artikel berita yang menyatakan bahwa Anda akan segera menikah dengan seorang babysitter dan ya ... berita ini udah berhasil b
"Itu benar," jawab Daniel jujur. "Saya ayah dari bayi dalam kandungan Nadia"Ucapan Daniel yang begitu jujur membuat Nadia terkejut. Dia pun melirik ekspresi wajah ibunya saat ini juga menunjukan kemarahan dan berniat untuk membela pria tersebut. "Bu--!""Nadia, tunggu diluar," potong Ratna dengan tegas. "Ibu ingin bicara dengannya saja."Mendengar itu, Nadia menggigit bibirnya resah. Dia merasa ragu sejenak, namun saat melirik pria itu dan berkata, "Bu, Nadia akan tetap di sini," elaknya karena takut ibunya akan menyalahkan Daniel.Tapi Daniel yang mendengar itu, sontak langsung menggenggam tangan gadis itu, menatapnya lekat seolah mencoba untuk menenangkan kegelisahannya. Dia mengangguk pelan, seolah memberi kode pada Nadia untuk keluar. Melihat itu, Nadia langsung pamit keluar. Setelah berbalik, gadis itu membatin, 'Semoga Ibu tak menyalahkannya,' batinnya.Setelah Nadia menunggu di luar ruangan, Ratna kembali menatap lekat Daniel dan membuka mulutnya, "Sekarang kita bisa bicara se
"Baiklah, aku merestui pernikahan ini."Perkataan Ratna barusan telah berhasil membuat Nadia merasa sangat senang dan tanpa sadar memeluk Daniel. Pria itu pun segera membalas pelukan gadis itu tanpa ragu. Saat Daniel membalas pelukannya, Nadia tampak terkejut. Namun gadis itu tak berani untuk menarik dirinya karena pria itu kini membalas pelukannya. Jauh di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, gadis itu mulai merasakan bunga bermekaran. Wajah Nadia juga kini dihiasi dengan gurat kemerahan karena salah tingkah. 'Ya Tuhan, kamu ngapain sih, Nad?!' pekiknya dalam hati."Ehem!" Ratna berdeham untuk memperingatkan keduanya karena saat ini masih berada di ruangan rawatnya. Seketika Daniel dan Nadia pun melepaskan pelukan dan berbalik untuk menatap wanita paruh baya itu.Pandangan Ratna saat ini kembali melekat pada Daniel dan wanita itu kembali membuka mulutnya, "Bagaimana dengan tanggapan keluargamu?"Tak bisa dipungkiri wanita paruh baya ini sekarang merasa takut kalau putrinya nanti ju
"Maaf, saya harus kembali ke kantor karena ada urusan mendadak," ujar Daniel, setelah pria itu melihat arlojinya.Ratna mengangguk pelan. "Terimakasih banyak, Daniel." Pandangan wanita itu kini beralih menatap putrinya dan mengangkat dagunya seolah memberikan kode pada gadis itu untuk mengantarkan Daniel. Nadia mengangguk patuh, gadis itu segera berbalik menatap Daniel dan berkata, "Mari, kita pergi."Daniel segera melangkahkan kakinya keluar dari ruangan rawat Ratna, setelah pria itu berpamitan. Sepanjang berjalan menyusuri lobi rumah sakit, Nadia lebih banyak diam karena gadis itu masih merasa sedikit kesal sebab digoda terus-menerus oleh Daniel.Pria itu tampak melirik sekilas dan tanpa sadar menginginkan senyum tipisnya ketika melihat ekspresi wajah Nadia. 'Ternyata saat marah dia terlihat jauh lebih menggemaskan,' batinnya.Di depan lobby rumah sakit, Daniel segera menghentikan langkahnya dan menatap lekat Nadia. "Masuklah, kembalilah dengan hati-hati," tuturnya memperingatkan.N
"Sial! Sial! Sial!" gerutu Monica saat ini yang ada di villanya karena merasa kesal dan membanting barang-barangnya tanpa berpikir dua kali. Wajahnya yang cantik itu seketika dihiasi dengan amarah ketika mengingat seorang gadis kampungan yang telah berani melawannya dan bahkan mengancamnya."Br*ngs*ek!" umpatnya seraya melemparkan vas bunga. Nafasnya memburu naik turun dengan mata yang melotot serta memerah. "Sial, sekarang apa yang harus kulakukan?" Wanita itu meremas rambutnya dengan kasar dan duduk di sofa. Dia merasa sangat marah dan juga takut jika niatnya untuk kembali bersama dengan sang mantan suami itu akan gagal. Mengingat pemberitahuan tentang pernikahan Daniel, saat ini telah menjadi sorotan publik. Dia mengusap wajahnya dengan kasar, merasa frustasi karena semua rencananya itu tak berjalan dengan lancar. "Kalau kayak gini jadinya, karirku bakalan tenggelam!" desisnya.Monica menggigit ujung kuku jarinya dengan perasaan yang gelisah. Dia tahu dengan jelas bahwa tanpa bantu
Bab 38. Begitu Menarik"Tanpa kamu melakukan itu, aku bersedia untuk bersamamu lagi. Ingatlah Sean, Daniel. Kita adalah orang tua yang tak bisa digantikan posisinya. Gadis murahan itu ... tak akan cocok untuk menjadi Ibu Sean."Daniel segera mendorong tubuh Monica, menjauhkan wanita itu agar tak lagi melakukan hal seenaknya sendiri.Seketika wajah wanita itu dipenuhi dengan keterkejutan ketika didorong oleh Daniel, seolah-olah pria itu merasa jijik kepadanya. Kening wanita itu tampak berkerut, tapi sebelum dia bisa bereaksi, mantan suaminya itu langsung berkata dengan wajah yang serius, "Jangan samakan dirimu dengan Nadia.""Apa?!" teriak Monica tak percaya. 'Kenapa Daniel malah mengatakan itu?' batinnya bingung. Namun sebelum wanita itu bisa mengatakan hal lebih jauh lagi, Daniel kembali memotong dengan tatapan matanya yang tajam, "Dia menyayangi Sean, sedangkan kamu?"Mendengar itu, Monica merasakan ada sesuatu yang meletup-letup di dalam hatinya. Amarahnya terasa semakin mendidih d
Bab 39."Daniel! Nadia mana?" tanya Martha, wanita itu tiba-tiba saja masuk sambil meletakkan tasnya dan mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari calon menantunya. Sedangkan Hendrawan memilih untuk duduk tepat di kursi samping Daniel.Daniel yang tengah menyantap sarapannya Itu tampak melirik dengan malas. Melihat putranya yang tak kunjung memberikan jawaban, Martha seketika langsung memasang wajah kesal dan memukul kepala anaknya itu."Ini anak nggak bisa diajak ngomong baik-baik, ya?! Dimana calon mantu Mama?"Dengan kesal, Daniel segera menoleh dan meletakkan sendoknya. "Kenapa Mama dan Papa datang pagi-pagi sekali?"Mendapatkan pertanyaan itu, Martha seketika langsung melarutkan keningnya tak percaya dan berkacak pinggang. "Kamu nggak inget? Hari ini kita harus pergi ke butik untuk fitting baju pengantin," tuturnya cara bicara yang semakin tak sabaran.Mendengar itu, Daniel menghela napas berat. Disaat yang sama, Nadia dan Sean turun ke lantai bawah. Bocah lelaki itu t
Bab 40"Selamat datang, Nona Monica." Seketika Daniel, Sean dan kedua orang tuanya itu langsung menoleh dengan tatapan terkejut ketika mendapati sosok wanita yang tak asing dan tak pernah diinginkan kehadirannya lagi.Monica mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan tampak menarik sudut-sudutnya tipis ketika melihat keluarga Adhitama. Dia sengaja datang ke tempat ini setelah mendapatkan informasi dari pelayan yang bekerja di rumah Daniel.Wanita itu lantas berjalan mendekat tanpa ragu dan memandang mantan suaminya dengan senyuman yang semakin licik. 'Daniel, kamu pasti berpikir aku tidak akan berani untuk melangkah lebih jauh, bukan? Kamu salah! Aku tidak akan berhenti sebelum semuanya berhasil kumiliki!' batinnya.Semua orang di situ tampak terkejut. Nadia yang baru saja keluar dari ruang ganti sambil mengenakan gaun pengantinnya itu juga terlihat mematung. 'Kenapa wanita itu ada di sini?' batinnya. Dia melirik ke arah Daniel dan ternyata pria itu juga melayangkan tatapan tajam pada
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h