"Kamu suka buku genre apa?" Putri kembali melirik ke arah Nadia sambil bertanya karena temannya itu tampak sedikit kebingungan setelah masuk ke dalam perpustakaan.Nadia menoleh dan meringis perlahan karena buku-buku yang sering dibacanya merupakan jenis romansa. Dia sedikit malu untuk mengatakannya."Apa kamu suka buku romansa?""Eh? Gimana kamu bisa tahu, Put?"Putri tertawa pelan. "Cuma nebak aja kok. Kebetulan aku juga suka buku jenis itu. Jadi aku bisa merekomendasikannya buat kamu.""Oh, ya?" Penampilan Putri tak menampakkan kalau dia suka dengan bau-bau romantis. Bahkan Nadia sempat berpikir kalau teman barunya itu justru lebih suka membaca buku tentang politik serta ilmu-ilmu sastra.Telunjuk Putri marah tepat ke sebuah rak di ujung kanan sana. "Disana banyak buku romance yang recomended. Kamu bisa coba cari disana, Nad."Nadia menganggukkan kepalanya perlahan setelah diberi petunjuk oleh teman barunya itu. Dia langsung berlalu pergi mendekati rak di ujung kanan sana dan mulai
'Kenapa dia ada disini, sih?!' Nadia membatik dengan perasaan kesal karena Alvin tak kunjung pergi. Padahal dia saat ini tengah duduk bersama dengan Putri. Tapi lelaki itu justru ikut dan kini duduk tepat di seberang mereka.Putri juga tampaknya sedikit tak nyaman karena bagaimanapun juga, Alvin adalah seseorang yang cukup populer di kampus ini. Rasanya aneh melihat lelaki itu berada di perpustakaan dan membaca buku dengan fokus.Sesekali Putri tampak melirik ke arah Nadia dan berniat untuk bertanya. Tapi dia tak memiliki keberanian sebesar itu dan memutuskan untuk tetap memendamnya.Nadia yang merasa jengah pun segera meletakkan bukunya dan memandang Alvin. "Kenapa Kakak di sini?""Hm?" Alvin menghentikan aktivitasnya sejenak, tangan kirinya yang tengah menopang kepalanya itu segera ditarik kembali dan dia menatap Nadia. "Kenapa memangnya kalau gue ada di sini?" tanyanya balik tanpa rasa bersalah sedikitpun karena memang perpustakaan ini bebas dimasuki oleh siapapun. "Lo nggak suka g
"Lo emang nggak pernah berubah, ya? Entah kenapa sekarang gue jadi nyesel karena nggak bertindak dari dulu meskipun melihat lo bersikap semena-mena."Mata Clarissa seketika langsung membulat dengan sempurna ketika mendengar perkataan Alvin. "Al? Lo serius ngomong kayak gini ke gue?"Clarissa memusatkan pandangannya itu pada Alvin dan menginginkan jawaban darinya. Hubungan mereka tak pernah sampai seburuk ini sebelumnya, meski memang beberapa kali sempat berdebat.Alvin menatap Clarissa, dia terdiam selama beberapa saat. Sejujurnya dia sangat peduli pada Clarissa karena bagaimanapun juga mereka telah saling mengenal cukup lama. Alvin sendiri yakin, Clarissa dulunya tak seperti ini.Sejak kapan semuanya jadi berubah?Alvin menghela nafas perlahan dan melirik ke sekitar karena sekarang hampir semua orang yang ada di sana memandangnya. Mereka jelas-jelas merasa sangat penasaran dengan perdebatan yang saat ini tengah terjadi. Menyebalkan!Dia benci ketika menjadi pusat perhatian.Luna dan
Kriet!Tengah malam, Daniel baru saja masuk ke dalam kamarnya setelah dia menyelesaikan semua pekerjaan di ruangan pribadinya. Pria itu tampak melirik ke arah sosok wanita yang saat ini sudah tertidur dan dia pun mendekatinya sambil tersenyum tipis."Kayaknya dia kelelahan," lirihnya.Wajar bagi seseorang yang sedang hamil muda mudah lelah. Apalagi Nadia saat ini memutuskan untuk berkuliah dan tentu saja tenaganya jadi terkuras dua kali lipat lebih cepat dari biasanya.Daniel lantas naik ke atas ranjang dan merebahkan tubuhnya itu tepat di samping sang istri tercinta. Pelan-pelan tangannya mulai terulur dan memeluk pinggangnya dengan mesra."Uhm, kamu sudah kembali?" Nadia yang belum terlalu lelap itu menyadari seseorang memeluknya dari belakang dan dia sendiri sudah bisa menebak kalau orang itu adalah suaminya.Kening daning terlihat berkerut hingga kedua alisnya saling menyatu karena dia tak menyangka kalau istrinya itu masih terbangun."Ya, Aku baru selesai. Kenapa kamu belum tidur?
"Gimana menurut lo, Lun?" Clarissa bertanya pada sahabatnya itu melalui sambungan telepon dan keningnya terlihat berkerut hingga kedua alisnya saling menyatu karena dia memang sudah merencanakan hal ini matang-matang sebelumnya.Luna yang ada di ujung telepon sana terdiam selama beberapa detik lamanya karena dia tak menyangka kalau sahabatnya ternyata memikirkan sesuatu seperti ini."Gue nggak akan banyak komen karena gue tahu lo lakuin ini supaya bisa narik perhatian Alvin, kan?"Clarisa menganggukan kepalanya perlahan dan wajahnya itu terlihat dihiasi dengan gurat kemerahan ketika membahas sosok pria yang disukainya. "Lo tahu sendiri gimana sukanya gue sama Alvin, kan? Gue nggak bakalan diem aja kalau ada seseorang yang berniat buat ngerebut dia."Luna kembali menutup mulutnya rapat-rapat dan dia merasa sangat merinding ketika mendengar perkataan Clarissa. Dia baru sadar kalau sahabatnya itu ternyata memiliki obsesi yang sangat berbahaya dan tak mungkin pernah mau melepaskan keingina
"Kenapa nggak nemu sih?"Alvin terus mencoba untuk mengetikkan nama seseorang di sosial media milikmu. Tapi dari tadi dia tak bisa menemukannya sama sekali. Dan itu berhasil membuatnya merasa kesal."Apa dia nggak aktif di sosial media manapun?"Dia telah mencoba untuk mencarinya di berbagai aplikasi. Tapi tetap saja tak menemukannya. Jejak digital tentang Nadia, tak ada sama sekali.Rasanya aneh karena biasanya anak muda pasti memilikinya walaupun mereka cukup tertutup sekalipun."Dia emang cewek yang agak unik sih. Tapi masa nggak punya sosial media manapun?"Ketika Alvin memikirkan hal itu lagi dia hanya bisa menghela nafas berat karena rasanya sangat sulit untuk mencoba mendekati Nadia. Selagi memikirkan itu pandangan matanya mengarah tepat pada kaca dan dia segera memastikan wajahnya. "Gue masih sama kok. Apa dia beneran nggak tertarik?"Ada banyak sekali perempuan di luar sana yang terus saja mencoba untuk mendekati Alvin. Bahkan Alvin sendiri juga sadar bahwa tampaknya itu cuku
Ketika Nadia keluar dari kamar Sean, tiba-tiba saja ponselnya berdering dan membuatnya langsung mengeceknya. Keningnya seketika langsung bergerak hingga kedua alisnya saling menyatu karena ada sebuah pesan masuk dan Nadia pun tanpa basa-basi langsung membukanya."Hah?!" Matanya itu membulat dengan sempurna ketika membaca sebuah pesan yang menggelikan dan membuatnya merasa kesal padahal ini masih pagi hari. "Dia udah nggak waras ya sampai ngirim pesan kayak gini?"Bagaimana mungkin dia tak merasa kesal?Seseorang yang baru saja mengiriminya pesan adalah Alvin dan isi pesannya itu tak masuk akal sama sekali.[Pagi, Cantik! Gue harap lo bahagia hari ini. Mau gue jemput, nggak?]Dengan perasaan kesal yang masih muncul di dalam hatinya, Nadia segera mengunci ponselnya itu kembali dan memasukkannya ke dalam saku.Dia tak habis pikir dengan Alvin karena ternyata pria itu tak menyerah sama sekali padahal sudah diberikan peringatan berkali-kali oleh Nadia."Aku harus kayak gimana lagi supaya di
"Tuh, kan! Kalian bisa lihat sendiri kan gimana songongnya dia?" Salah satu pelayan yang tadinya sempat membicarakan Nadia, kembali mencoba untuk memanasi situasi sambil melipat kedua tangan yang tepat di depan dada.Para pelayan yang ikut itu tampak menganggukkan kepalanya setuju."Cih! Padahal dia dulunya juga sama aja kayak kita. Tapi sekarang agaknya sombong banget! Nyebelin!"Ketika para pelayan itu sedang membicarakan Nadia, tiba-tiba saja seseorang muncul dan mengejutkan mereka semua."Ke-kepala pelayan?!"Anggun memicingkan matanya dengan tajam karena ternyata para pelayan yang berada di bawah naungannya itu tak pernah belajar sama sekali atas kesalahan di masa lalu.Dia sangat tak suka dengan sikap kurang ajar para pelayan ini dan ingin sekali membuat mereka semua merasakan akibatnya dengan memberikan hukuman.Tindakan mereka yang tanpa segan mencoba untuk membicarakan majikan dan menjelek-jelekkannya sudah kelewat batas. Jika saja majikan mereka bukanlah Nadia, mereka tak aka
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h