Maaf ya teman-teman agak telat update nya
"Waktu itu, aku pikir kamu orang yang susah didekati, bahkan aku sampai berpikir kamu pria yang gak cocok buat jadi ayah Sean."Daniel terdiam ketika mendengar hal itu. Namun Martha justru menyenggol lengannya dan seketika langsung berkata, "Mama sebenarnya nggak mau ngomong ini, sih. Tapi emang kamu kelihatan kayak bukan ayah yang lembut." Pandangan wanita paruh baya itu beralih menatap suaminya dan kembali menambahkan, "Benar, 'kan, Pa? Mana ada ayah yang dingin. Udah gitu, mukanya ngeselin."Daniel yang mendengar itu seketika langsung menghembuskan nafas berat. Dia memutar bola matanya dengan malas karena tak ingin terlalu banyak bicara.Hendrawan yang menyadarinya pun hanya bisa tersenyum tipis. "Meski begitu dia sudah bisa membuktikan kecocokannya sebagai seorang ayah, Ma.""Ya ... Mama juga berpikir begitu, Pa."Nadia yang berada di tengah-tengah keluarga ini tak bisa menyembunyikan senyumannya. Di dalam hatinya dia pun mulai berkata, 'Apa keputusanku untuk tetap bertahan bukanla
"Saya benar-benar tidak tahu apapun, Tuan. Saya bersumpah! Wanita itu juga bilang dia akan kembali karena hanya menyewa mobil selama 2 jam saja," tuturnya.Daniel yang mendengar itu seketika langsung memiliki segelintas pikiran di dalam kepalanya. Dia dengan cepat langsung mengarahkan pandangannya pada Dion dan memberikan isyarat pada asistennya. Dion dengan cepat langsung melakukan kepalanya karena mengerti dan dia pun memikirkan hal yang sama seperti Daniel.Detik berikutnya, Dion langsung mengalihkan pandangannya pada pemilik penyewaan mobil itu dan berkata, "Jika kamu berapa yakin tidak terlibat dengan wanita itu, maka ikuti perkataan kami."Pria itu seketika langsung mendongakkan kepalanya dengan tatapan tak mengerti. "A-apa maksudnya? Apa yang harus saya lakukan?"Meskipun pria itu sebenarnya ingin memutuskan semua keterlibatannya dengan Monica, untuk saat ini dia hanya perlu menuruti perkataan Daniel dan tak ada sedikit celah baginya untuk kabur. Mau tak mau dia juga harus mengi
"Hei! Cepat berhenti!"Teriakan dari wanita itu telah berhasil mengejutkan Sean. Seketika bocah lelaki itu langsung menghentikan kegiatannya dan memasang wajah ketakutan. 'A-apa Kakak pelayan tahu aku mau kabur?' batinnya resah.Pelayan itu perlahan mulai mendekat sambil memicingkan matanya dengan tajam. Dia tampak mengulurkan tangannya dan membuat bocah lelaki yang tengah terduduk itu seketika langsung memejamkan matanya karena takut akan dipukul.Namun setelah beberapa detik memejamkan matanya, pelayan itu tak melakukan apapun dan Sean seketika langsung membuka matanya."Tuan muda sakit? Kenapa nangis?" tanya pelayan itu khawatir ketika melihat mata Sean terlihat berkaca-kaca.Seketika kekhawatiran yang sempat muncul di dalam hati Sean, langsung hilang begitu cepat dan tak tersisa sama sekali. Namun dia segera menggenggam kembali pecahan kaca itu agar tak terlihat.Sean menggelengkan kepalanya perlahan dan dia kini mulai beralasan, "Sean lapar," tuturnya penuh kebohongan.Seketika pe
"Ck! Iya, iya! Aku cuma mau pastikan saja dia nggak akan kabur!"Jantung Sean hampir saja berhenti berdetak ketika sadar bahwa ternyata pelayan itu sempat mencurigainya. Namun demi rencananya, bocah lelaki itu tetap berpura-pura tenang sambil memasang wajah datar.Ketika pria berbadan kekar itu terlihat menoleh ke arahnya, Sean justru terlihat membuat tatapan dipenuhi dengan binar penuh harap, mencoba untuk membuat dirinya terlihat lemah."Halah, nggak mungkin bocah kayak dia bisa kabur," tutur pria berbadan kekar itu dan kembali menatap rekannya. "Ayo, cepetan! Kita nggak boleh ninggalin dia kelamaan," pungkasnya.Tanpa banyak bicara lagi kedua orang itu segera berlalu pergi keluar. Tak berselang lama terdengar suara mesin mobil yang dinyalakan dan mulai menjauh."Mereka sudah pergi," gumam Sean.Setelah menyadari hal itu, dia kembali mencoba untuk melepaskan dirinya dan tali yang awalnya mengikat erat pergelangan tangannya itu mulai rapuh hingga akhirnya putus.Mata Sean berbinar de
"Mama pasti akan membuatmu bahagia, Sean. Kamu percaya sama Mama, 'kan?"Tubuh Sean terasa sangat merinding ketika mendengar hal itu keluar dari Monica. Terlebih lagi, Monica saat ini tersenyum seolah-olah dia benar-benar serius dengan ucapannya.Dengan meremas sabuk pengaman, Sean menjaga jarak dari Monica dan berhasil membuat wanita itu seketika langsung mengerutkan keningnya."Kamu ... kamu kenapa malah menjauh dari Mama?" Di dalam hati wanita itu mulai muncul sesuatu yang membara dan berhasil membuatnya merasa marah ketika melihat tingkah Sean. "Apa kamu sekarang takut sama mama, hah?!" Tanpa dia sadari, suaranya itu telah berhasil membuat putranya sendiri terkejut. Namun karena termakan oleh amarah, Monica tak peduli sama sekali dan langsung menarik tangan Sean. "Mama akan marah kalau kamu nggak jadi anak yang penurut. Apa kamu paham, Sean?!""I-iya, Ma. Sean paham," lirih Sean. Rasa takutnya kini telah berhasil mengalahkan segalanya dan membuatnya tak bisa menahan diri untuk mene
'Sekarang, kita semua akan melihat kehancuran hidup Monica!'Di saat yang sama, Monica terlihat memicingkan matanya dengan tajam ketika melirik ke arah spion dan sadar bahwa mobil yang mengikutinya saat ini mulai berkurang.Di dalam hatinya dia pun mulai membatin, 'Dimana mobil lainnya? Apa Daniel merencanakan sesuatu?'Di saat tengah memikirkan itu tiba-tiba saja ponselnya berdering nyaring. Monica segera meraih ponselnya itu dan menatap layar yang menyala, sadar bahwa seseorang yang meneleponnya adalah para bawahannya."Dasar orang-orang bodoh!" hinanya karena kesal. Tanpa berpikir dua kali, Monica langsung menolak panggilan itu. "Masa bodoh! Aku tidak akan berurusan dengan orang-orang tolol itu lagi!" Untuk saat ini dia tak membutuhkan bawahan yang bodoh karena mereka berdua telah membuatnya merasa sangat marah. "Bisa-bisanya mereka pergi begitu saja dan nggak mengawasi Sean!" Saat melihat putranya itu berada di pinggir jalan, jantungnya terasa berdetak semakin kencang karena sadar
"Mama yang jahat sama Sean. Mama pernah mau bunuh Sean dan Mama juga nggak pernah sayang sama Sean. Benar 'kan, Ma?"Mata Monica seketika langsung membulat dengan sempurna. Dia jadi tak fokus mengemudikan mobilnya dan tak sadar di depan sana ada sebuah mobil yang sudah menghadang nya.Namun Sean yang kebetulan menoleh seketika langsung berteriak, "Awas, Ma!"Teriakan bocah lelaki itu telah berhasil mengejutkan Monica dan dia dengan cepat langsung menoleh, tapi sayangnya sudah terlambat baginya untuk berputar balik dan kini hanya bisa menginjak pedal rem secepat mungkin. "Sialan! Kita bisa mati!" teriak Monica.Suara decit ban yang terpaksa harus menghentikan laju mobil terdengar memilukan persamaan dengan suara teriakan Sean. Bocah lelaki itu terus menggenggam erat sabuk pengamannya.Brak!Mobil Monica hilang kendali dan akhirnya menabrak pohon di pinggir jalan."Uhuk! Uhuk! Uhuk!"Asap perlahan mulai mengepul keluar dari kap mobil. Monica yang juga telah mendapati hantaman keras itu
"Tapi kamu dan Sean terus membelanya, sampai-sampai membuatku merasa marah!"Kecemburuan itu terus saja muncul di dalam hati Monica. Seharusnya hanya dialah yang menjadi satu-satunya wanita di dalam hidup Daniel dan juga satu-satunya orang yang dipercaya oleh Sean. Tapi setelah Nadia datang, semua rencana di dalam hidupnya itu langsung hancur berantakan dan kini dia justru dibenci oleh anak serta mantan suaminya sendiri.Monica menatap Sean yang saat ini berada di dalam pelukannya. "Kamu harus membantu Mama, Sean."Sean yang mendapatkan tatapan tajam itu seketika langsung menggigil karena ketakutan. Asap mobil yang semakin banyak itu membuatnya terbatuk-batuk."Papa ... Sean mau sama Papa, Ma," rengeknya, berharap ibunya itu mau menyerah dan mengembalikannya pada Daniel.Namun, Monica justru membentaknya dan kembali mencengkeram tubuhnya erat-erat sambil berkata, "Mama melahirkan kamu supaya jadi anak yang berguna. Ingat itu, Sean!"Daniel yang berada dari kejauhan itu merasa sangat m
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h