Selain licik, Monica memang tega pada darah dagingnya sendiri. Hal itu lah yang kemudian membuat Nadia dan Daniel sangat khawatir.
"Aku nggak mau kamu terluka." Tatapan Nadia terlihat begitu serius ketika mengatakannya. Meski selama ini dia selalu mencoba untuk menyadarkan dirinya sendiri agar tidak terlalu larut dalam perasaan, nyatanya dia benar-benar peduli pada Daniel.Entah sejak kapan perasaan ini muncul, Nadia pun tak menyadarinya.Daniel yang mendengar itu tak bisa berkata-kata karena saat ini jantungnya terasa berdetak semakin kencang. Sudah lama dia tak merasakannya. Bahkan saat bersama dengan mantan istrinya dulu, dia tak pernah merasa tersentuh seperti ini dengan setiap kata-kata manis yang terlontar dari mulut Monica.Tangan Nadia tiba-tiba terulur dan berada tepat di wajah kiri Daniel. Dia mulai membelainya perlahan.Refleks, Daniel pun ikut memegang tangan Nadia dan mengecupnya perlahan. Nadia tersentak kaget, dia mematung sejenak tanpa bisa mengatakan sepatah kata pun.Tapi Daniel tiba-tiba saja membuka mulutnya dan suara pria itu terdengar begitu lembut, meskipun memang sangat mendominasi."Teri
"Kita nggak bisa menggunakan cara itu lagi karena dia sekarang bahkan sudah berani melawan Om Bagaskoro."Mata wanita paruh baya itu seketika langsung membulat dengan sempurna. "Apa?! Monica berani melakukan itu?!"Martha tahu dengan jelas bahwa mantan menantunya itu sangatlah takut pada ayahnya. Bahkan jika dibandingkan dengan kelicikan Monica, Bagaskoro jauh lebih unggul."Ya," jawab pria itu. Nadia yang sejak tadi mendengarkan pun tampak mengerutkan keningnya. Dari situasi yang saat ini tengah terjadi, gadis itu bisa menyimpulkan bahwa solusi yang sempat dikatakannya tak akan membuahkan hasil apapun.Martha mengusap wajahnya perlahan. Dia merasa sangat lelah karena masalah tak kunjung usai. Di saat telah memikirkan itu, Daniel kembali mengatakan situasi yang tengah terjadi pada ibunya."Monica pergi dan wanita itu tak ditemukan di manapun."Belum juga selesai keterkejutannya, Martha kembali menoleh dengan tatapan tak percaya. "Pergi? Kemana? Kamu mengawasi dia, 'kan?""Ma, Tenang
"Sempurna, ini tempat yang tepat untuk menyembunyikan Sean."Pelayan itu tampak mengerutkan keningnya ketika mendengar penuturan Monica. Namun dia tak banyak bertanya karena pintu tiba-tiba saja terbuka dan memperlihatkan sosok rekan kerjanya.Seketika Monica langsung menoleh dan menatap tajam pria berbadan besar itu. Sebelum Monica bisa mengatakan sesuatu, pelayan itu dengan cepat langsung menjelaskan dan berkata, "Nona, Tuan Sean ada di dalam. Mari kita masuk," ujarnya.Mendengar itu, Monica tak banyak beritanya dan langsung menganggukan kepala perlahan sambil melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah itu.Sesosok bocah lelaki yang tengah terduduk di kursi itu terlihat memejamkan matanya seolah-olah tengah tertidur. Monica yang melihatnya pun tersenyum tipis dan segera mendekat. Dia dengan cepat langsung mengelus kepala putranya dengan lembut dan berkata, "Sean ini Mama, Nak."Sean yang mendengar suara ibunya itu seketika langsung membuka matanya perlahan. Jantung bocah lelaki itu b
"Gara-gara kecerobohan kamu, rencanaku bisa saja hancur dan kita mungkin dijebloskan ke dalam penjara!" Dengan napas yang memburu naik turun karena marah, Monica kembali membentak, "Padahal aku sudah beri peringatan berkali-kali, tapi kamu kayaknya nggak bisa kerja dengan baik, ya?!"Dibentak seperti itu, dia hanya diam karena Monica memang wanita yang menakutkan. Namun di dalam hatinya, pelayan itu tetap saja merasa sangat kesal dan marah. "Daniel saat ini nggak akan bisa melakukan apapun, tapi kalau dia menemukanmu ... kamu akan habis di tangannya!"Mendengar itu, dia merasa bergidik ngeri. Mantan majikannya itu memang menakutkan dengan tingkah lakunya yang misterius. Awalnya dia mengira semuanya akan berjalan dengan baik, karena Nadia pun hanyalah seorang pelayan. Dia merasa tak ada salahnya untuk menyinggung wanita itu. Tapi sayangnya, itu salah kaprah. Sekarang, dia tak bisa mundur sama sekali. Semua hanya telah terlanjur dan dia terlibat dengan Monica, mantan istri sekaligus m
"Buang jauh-jauh pikiran untuk merengek, Ibumu bahkan tidak akan membantu."Mata bocah lelaki itu seketika langsung terbelalak dengan sempurna dan diam seribu bahasa.Di saat yang sama, Monica masuk kembali ke dalam rumah dan terlihat memicingkan matanya dengan tajam ketika melihat raut wajah putranya yang telah berubah. Dia dengan cepat langsung mendekat untuk memastikan bahwa keadaan putranya itu baik-baik saja. Perlahan wanita itu pun mulai bertanya setelah berjongkok tepat di hadapan Sean, "Kamu kenapa, Sean? Ada yang sakit?"Saat melihat ibunya berada tepat di depan matanya, Sean masih saja bungkam. Dia terlalu takut untuk menatap lekat wanita itu karena sampai saat ini semuanya terjadi begitu cepat dan dia hanya bisa percaya bahwa ibunya itu bukanlah orang yang baik.Ketika melihat putranya tetap saja, Monica dengan cepat kembali menoleh ke arah pria berbadan kekar itu dan segera bertanya, "Apa yang kamu lakukan pada anakku, hah?!"Dari cara bicaranya saja, wanita itu sudah meng
"Jangan banyak alasan karena aku nggak akan percaya begitu saja!" desisnya dengan sorot pandangan tak suka.Dia justru mengalihkan pandangannya lagi pada putranya. Monica tahu dengan jelas bahwa dugaannya itu tak mungkin salah. Sean bagan bersikap sangat manja layaknya seorang anak kecil biasa dan karena itulah dia mudah mempercayai putranya itu."Tapi, Nona ... saya serius. Anda pasti--""Diam!" bentak wanita itu dengan nafasnya yang kembali memburu karena tersulut emosi. Dia dengan cepat kembali menatap pria berbadan kekar itu dan berjalan mendekatinya. "Jangan membuat kesabaranku habis!"Setelah menghela nafas panjang karena lawan bicaranya itu seketika terdiam, Monica mengusap wajahnya dengan kasar karena dia tak mungkin membuang waktu lebih lama lagi.Wanita itu kembali menatap pelayan dan berkata, "Sudah waktunya bagiku untuk pergi."Sean yang melihat itu seketika langsung memelototkan matanya. "Mama mau pergi ke mana? Bawa Sean juga, Ma."Dengan sorot pandangan yang terlihat me
"Daniel, kita harus segera menemukan cara untuk bernegosiasi dengan Monica," ucap Hendrawan.Pria itu menatap letak putranya dengan tatapan serius karena tahu dengan jelas bahwa ancaman tak akan pernah berhasil untuk Monica. Sebab wanita itu saat ini bahkan Sudah berani melawan semua orang yang mencoba untuk menekannya.Daniel yang mendengar itu pun seketika langsung tertunduk. Saat Hendrawan melihatnya, pria paruh baya itu seketika langsung bertanya dengan kening yang berkerut karena curiga dengan anaknya. "Ada apa? Kamu terlihat seolah tengah menyembunyikan sesuatu."Martha yang juga merasa curiga pada putranya itu pun segera bertanya untuk memastikan. "Iya, Niel. Apa jangan-jangan ada sesuatu yang sudah terjadi?"Saat melihat ibunya tengah merasa khawatir, Daniel pun segera menjelaskan situasi yang tengah terjadi tanpa ditutupi sedikitpun karena kedua orang tuanya itu wajib mengetahuinya."Monica sudah memberikan syarat dan dia berjanji akan melepaskan Sean."Martha yang mendengar
'Aku harus menyelesaikan masalah ini sebelum terlambat!' Dengan itu, Nadia segera menoleh dan menatap lekat Daniel serta keluarganya. Rasanya sangat sulit baginya untuk menelan saliva seolah-olah di dalam kerongkongannya itu ada sebuah benda yang mengganjal dan membuatnya sulit untuk bernapas. Tatapan ketiga orang itu telah berhasil membuatnya merasa sedikit ragu. Namun Nadia dengan cepat segera menepisnya dan memberanikan diri untuk berkata, "Jika Monica menginginkan pembatalan pernikahan kita, aku bersedia untuk melakukannya."Daniel seketika langsung terdiam. Begitu juga dengan kedua orang tuanya. Namun Martha dengan cepat langsung menggoyangkan pundak Nadia dan mencoba untuk menyadarkan gadis itu untuk tidak bertindak ceroboh. "Nadia, apa yang kamu bicarakan?" Tatapan wanita paruh baya itu terlihat sangat khawatir ketika mendengar perkataan aneh meluncur dengan mudahnya dari bibir Nadia. "Jangan berpikir buruk seperti itu, meskipun kamu sempat mendengar tentang tawaran gila dari Mo
"Bagaimana perasaan kamu? Apa sudah lega?" Daniel bertanya pada Nadia yang saat ini memakai gaun berwarna marron, yang membuat dia nampak elegan.Nadia menghela nafas panjang dan kemudian menarik kedua sudut bibirnya. "Tentu saja, rasanya plong banget!" ucapnya dengan mata berbinar.Daniel tersenyum lega juga, karena bahagia Nadia tentu bahagianya juga. "Aku nggak mau lagi keras kepala deh! Yang kamu bilang, memang bener banget!" Nadia kecuali berucap, dia menyesalkan kejadian di kampus. Jika saja dulu dia mengikuti perkataan Daniel, tentu kejadian memalukan dan menyesakkan di kampus itu tak akan pernah terjadi. Keras kepala Nadia ternyata berakhir dengan derita saat ini. Daniel mengacak sedikit rambut Nadia karena merasa sangat gemas saat itu. Tak ayal hal itu langsung membantu Nadia protes. "Duh jail banget sih!? Kalau sampai riasan ini rusak, kamu harus tanggung jawab!" seru Nadia kesal. Daniel malah terkekeh dan malah memencet hidung Nadia. "Salah sendiri menggemaskan! Nanti m
"Kak, aku ingin bicara sama kamu. Penting."Pagi itu, Nadia menemui Alvin ketika kelas belum dimulai.Alvin menarik sudut bibirnya, senyum manis terpancar disana. "Tumben. Ok! Mau kapan?"Dari raut wajahnya nampak jika saat ini Alvin merasa sangat senang.Pemuda itu pun sebenarnya bingung tetapi juga bercampur dengan rasa bahagia. Selama ini Nadia selalu saja menghindar darinya, tetapi kini malah sang gadis pujaan hati itu mengajaknya bicara. Ini bukan mimpi kan?"Sekarang! Ayo!" Nadia yang masih nampak kecewa dengan wajah seriusnya pun langsung berjalan tanpa memperdulikan banyak mata yang sampai saat ini masih nampak menatap sinis padanya. Tanpa banyak tanya lagi Alvin pun mengekori dari belakang."Lo mau ngajak gue kemana sih?" tanya Alvin ketika Nadia malah menuju ke area parkiran. "Kenapa ngobrolnya nggak di tempat yang privat aja?"Nadia mendengus kasar dan sesaat menoleh sebentar ke belakang. " Jangan banyak tanya! Bentar lagi sampai!" Kemudian dia pun meneruskan langkahnya.S
"Daniel! Mengapa kamu merahasiakan semua ini dari mama dan papa?" Ketika Daniel baru saja sampai di rumah, Martha dan Hendrawan pun langsung menghampiri putranya itu. Mengejar dengan banyak pertanyaan yang intinya mereka merasa tak suka jika Daniel terus menyembunyikan apa pun tentang Nadia."Rahasia ap---" Daniel mencoba mengelak karena memang sebenarnya dia belum mengerti, beberapa hal yang terjadi di kantor membuatnya harus sedikit melupakan tentang yang terjadi di rumah.Martha langsung memotong ucapan anaknya itu. " Nadia di teror dan difitnah seperti itu, tapi kenapa sepertinya kamu malah tenang tenang saja?" Wanita tua itu tak dapat menyembunyikan raut wajahnya yang khawatir. Nadia menghampiri ketiga orang yang masih berdiri di ambang pintu itu, ada rasa tak enak karena sang suami menjadi bahan kemarahan orang tuanya karena dia."Maaf, tadi aku memang sudah menceritakan semuanya pada Mama," tukas Nadia yang seperti biasa malah merasa bersalah.Daniel menarik kedua sudut bibir
"Apa aku sekarang juga harus mengatakan semuanya ya?" Nadia makin bimbang saat ini. Dua pilihan yang nyatanya membuat dia merasa sangat dilema. Pilihan A akan membuat semua orang di kampus mengetahui jati dirinya dan itu berarti akan membuat semua orang mengetahui jika dia bukan dari kalangan biasa. Tetapi dengan begitu justru akan membuat dia lebih tenang menjalani perkuliahan. Sedangkan pilihan B, dengan diam dan membiarkan semua orang menganggapnya misterius, justru mungkin akan membuat berita keliru itu semakin menjadi-jadi saja. Sempat terbersit dalam pikiran Nadia untuk tak lagi melanjutkan kuliah dan fokus pada keluarganya. Tetapi itu sama saja artinya dengan dia menghapus mimpi dan cita-cita yang dulu pernah dia pupuk semenjak kecil."Kenapa kamu terlihat sedih, Sayang?"Ketika Nadia sendang melamun seperti itu, terdengar suara lembut Martha. Sang mertua yang baik hati itu ternyata kini sudah berada tepat di sampingnya."Ah Mama." Dengan sigap Nadia pun langsung menyalami
Putri mengepalkan tangannya dengan arah ketika merasakan sesuatu mulai terbakar di hatinya. Dia tak terima sama sekali setelah mendengar perkataan Alvin dan itu sudah berhasil membuat hatinya sangat sakit."Kak Alvin kenapa masih belain dia? Nadia itu …" Putri merasa tak kuasa untuk melanjutkan ucapannya, dia hanya bisa menahan diri dan memalingkan wajahnya.Namun Alvin tahu dengan jelas apa yang ingin dikatakan oleh Putri dan dia dengan cepat pun langsung menegaskan segalanya sambil meraih tangan kanan Nadia. "Nggak peduli gimana masa lalunya, gue bakalan tetap suka sama dia dan perasaan ini nggak bakalan berubah," tuturnya.Nadia terlihat sedikit kaget ketika mendapatkan perlakuan itu dan tentu saja dia sekarang berusaha untuk melepaskan diri dari cengkraman Alvin.Perkataan Alvin barusan terlalu berlebihan dan mengisyaratkan bahwa dia akan melakukan apapun demi bisa mendapatkannya.Nadia merasa kalau ini semua tak benar dan dia harus kembali meluruskannya. Tapi yang paling penting
"Jangan bawa-bawa namaku untuk memvalidasi akal busukmu!"Putri dan Alvin seketika langsung menoleh, mereka berdua mendapati sosok Nadia. Nadia berjalan mendekat dengan langkah yang dipenuhi dengan amarah. Sudah cukup rasanya karena sejak tadi dia memang telah mendengarkan perkataan Putri dan itu sudah berhasil membuatnya merasa sangat kecewa karena sempat menganggapnya sebagai teman."Aku pikir kamu nggak pernah memiliki niatan buruk untuk menghancurkanku sampai seperti ini, Put. Aku pikir kamu benar-benar menganggapku sebagai teman. Tapi apa?"Putri terlihat kaget, tapi dia dengan cepat langsung mengelaknya. "Ngomong apaan sih?! Jangan–""Aku sudah punya buktinya dan aku bahkan juga tahu kalau kamu membayar seseorang untuk mencelakaiku, kan?" Bersamaan dengan perkataannya itu, Nadia segera memberikan bukti-bukti yang akurat dan menambahkan, "Aku nggak nyangka kalau kamu bisa bertindak seperti ini untuk menghancurkanku. Apa aku pernah melakukan kesalahan padamu?"Hubungan keduanya da
"Bawa orangnya ke hadapan Bos!" Dion segera memerintahkan setelah dia berhasil menangkap pelaku yang sedari awal memang dicurigai telah meneror Nadia.Dua pasang bodyguard yang memang sudah berhasil menangkap pelakunya itu pun segera mematuhi perintah dari Dion, mendekat ke sebuah kereta versi berwarna hitam pekat.Nadia dan Daniel sedari tadi sudah menunggu tepat di dalam mobil. Jantung Nadia terasa berdetak semakin kencang karena memang dia sangat ingin tahu pelaku yang telah tega membuatnya jadi dibenci banyak orang.Suara ketukan di kaca mobil telah menyadarkan Daniel dan Nadia. Daniel melirik ke arah sang istri sambil meremas tangannya perlahan karena dia tahu dengan jelas bagaimana perasaan Nadia. Dia mencoba untuk tetap kuat dan juga tegar sambil tersenyum tipis, "Semuanya pasti baik-baik aja, Nadia. Keinginan kamu terkabul dan kita berhasil menangkap pelakunya. Kamu sudah siap untuk melihatnya?""Iya," jawab Nadia dengan singkat. Pandangan matanya itu terlihat semakin tajam dan
"Itu orangnya! Bener kan dia? Wah gila … nggak nyangka banget kalau dia cewek kayak gitu," tutur salah satu mahasiswa sambil menatap Nadia dan memandangnya dengan tajam.Nadia yang kebetulan sedang melangkahkan kakinya setelah dia sampai di kampus itu pun tampak mengerutkan kening karena sadar saat ini menjadi bahan omongan.Ketika Nadia sedang merasa bingung seperti itu tiba-tiba saja seseorang menarik tangannya, membawanya ke tempat yang sedikit sepi."Kak Alvin? Lepasin!""Gue nggak bakalan lepasin lo di sini sebelum kita bisa bicara berdua," tolaknya. Alvin lantas mengedarkan pandangannya ke sekeliling dan sadar bahwa sekarang tak ada terlalu banyak mahasiswa yang sedang memperhatikan. Dia langsung berbalik untuk menatap Nadia dengan lekat dan berkata, "Lo … ngapain lo malah datang ke kampus?""Apa?" Nadia merasa bingung dengan pertanyaan yang baru dilontarkan oleh Alvin dan sontak saja dia mencoba untuk menepis tangan pria itu karena tak suka jika disentuh seenaknya. "Kenapa pula
"Cukup!" Putri langsung memotong perkataan Nadia. Napasnya memburu naik turun bersamaan dengan emosi yang semakin menggebu-gebu. "Padahal aku baru aja maafin kamu, tapi sekarang malah kayak gini lagi. Kalau kamu emang nggak percaya, mendingan kita nggak usah temenan lagi aja."Sesuatu terasa sakit di dalam hati Nadia karena memang selama ini temannya hanyalah Putri.Tapi dia tak mencegahnya sama sekali dan melepaskan cengkramannya dari pergelangan tangan Putri. Selalu meremas tangan kanannya sendiri dan menekan perasaannya sampai mengangkat kepalanya setelah sudah siap, "Maaf, aku harusnya emang nggak merasa curiga kayak gini. Tapi aku juga nggak akan memaksa kamu untuk tetap berteman denganku.""Oh?" Putri terlihat sedikit terkejut. Tapi dia kini tertawa sinis. "Harusnya dari awal aku dengerin perkataan teman-teman yang lain aja. Kamu emang nggak sepantasnya punya teman apalagi ada di kampus ini," tambahnya.Nadia seperti mendengar suara hatinya retak. Kenapa Putri sampai mengatakan h