"Ada apa, Ayah?" tanya William yang penasaran.
"Ini hadiah untuk pernikahan kalian." Haira menyerahkan dua lembar tiket kepada William dan Ella.
William dan Ella saling pandang. William bingung karena itu adalah tiket ke luar negeri. Sementara Ella bingung itu tiket untuk apa.
"Ayah dan Ibu tidak perlu repot-repot mempersiapkan ini semua."
"Ya sudah, ambil. Agar kerepotan kami tidak sia-sia." Haira meletakkan tiket ke tangan William.
"Besok kalian akan berangkat ke Paris untuk berbulan madu. Persiapkan semua keperluan kalian mulai dari sekarang," ujar Haira.
"Ba-baik, Bu." William mengangguk pasrah.
"Besok jangan terlambat. Ibu juga akan meminta Selena untuk mengingatkan Harry agar besok ia tidak lupa."
"Apa? Jadi mereka akan pergi bersama kami?" William membelalakkan matanya.
"Kenapa? Apa kau Keberatan?" Haira menatap sinis.
"Tidak, hanya saja wajah kami sama. Apa ibu tidak ingat saat aku dan Harry membuat kekacauan di hotel karena wajah kami membuat para pelayan hotel kebingungan. Apalagi sekarang kami bersama istri kami. Mereka akan mengira wajah ini adalah pria hidung belang."
"Tidak apa-apa. Kalian akan menginap di hotel yang berbeda."
"Oh, ya sudah. Aku harap Harry tidak lupa untuk apa dia ke sana." William menyimpan tiket tersebut.
Hingga saat siang tiba, Aiden dan Haira pamit. Mereka akan pergi ke rumah Harry. Namun sebelum itu, Haira memberikan beberapa paper bag yang berisi lingerie seksi untuk Ella. Meski ragu, Ella akhirnya menerimanya.
"Will, Paris itu seperti apa?" tanya Ella yang sedang mengepak barang-barang miliknya ke dalam koper termasuk lingerie pemberian Haira tadi.
"Kota yang sangat indah. Di sana kau bisa melihat keindahan dan kemegahan menara Eiffel yang merupakan salah satu ikon di kota itu," tutur William yang juga sedang mengepak barang-barangnya.
"Apa kita akan ke sana?" tanya Ella antusias.
"Ya."
"Wah, aku jadi tidak sabar ingin segera pergi berbulan madu, pasti sangat mengasyikan!" seru Ella.
William hanya menyunggihkan senyuman melihat semangat empat lima Ella.
Sementara itu...
"Apa? Bulan madu ke Paris?" Selena terkejut mendengar penuturan kedua mertuanya.
"Iya, Sayang, kenapa?" Haira heran melihat keterkejutan Selena. Harusnya ia senang karena sejak dulu hobinya adalah travelling.
"Tidak, Bu. A-aku hanya senang saja, hehehe."
'Bagaimana aku tidak terkejut? Bisa-bisa Harry meninggalkanku di bandara karena lupa. Seperti pagi tadi, aku hampir stres karenanya,' batin Selena.
Kejadian pagi tadi.
Selena baru saja bangun dari tidurnya. Ia melihat bantal guling yang menjadi pemisah sudah berserakan. Ia meregangkan otot-ototnya sambil mengumpulkan kesadaran.
"Aku lelah sekali." Selena memegangi lehernya dan berjalan gontai ke kamar mandi.
Selesai mandi dan ganti baju, Harry tak kunjung bangun. Selena mencoba membangunkannya. Saat Harry membuka mata, ia berteriak kaget.
"Kau! Kenapa kau disini?"
"Aku istrimu. Kita baru menikah malam tadi." Selena mengingatkan dirinya.
"Oh ya maaf." Harry bangkit dari tidurnya dan pergi ke kamar mandi.
"Aku akan ke balkon kamar untuk berjemur. Kau sarapan saja duluan," ujar Selena sebelum Harry masuk ke kamar mandi.
Selesai mandi, Harry melihat pintu menuju balkon terbuka. Ia pun menutupnya lalu pergi ke bawah untuk sarapan. Selesai sarapan, ia membaca koran pagi seperti biasa. Beberapa jam kemudian, Harry terlihat sedang mencoba mengingat sesuatu.
Dan tiba-tiba ia teringat Selena yang masih berada di balkon. Harry segera berlari ke kamarnya. Dan benar saja, Selena berteriak minta dibukakan pintu.
Setelah pintu terbuka, Selena mencoba menahan emosinya. Ia menarik nafas panjang lalu mengeluarkannya perlahan. Sepertinya menikah dengan Harry ibarat sedang menguji kesabarannya.
*****
Dua pasang pengantin baru yang akan berbulan madu sudah sampai di kota Paris. Perjalanan selama belasan jam tentu saja membuat mereka sangat lelah.
Mereka telah sampai di hotel masing-masing. Seperti kata Haira bahwa hotel mereka berbeda. Namun ternyata, hotel tersebut hanya berjarak beberapa meter saja.
William dan Ella segera merapikan barang yang mereka bawa. Mereka menyusun pakaian ke dalam lemari. Ella masih terlihat murung. William tahu apa yang membuatnya begitu.
"Apa ini pertama kalinya kau naik pesawat?"
Ella mengangguk pelan.
William menghela nafas panjang. Ia masih ingat bagaimana Ella beberapa kali ke toilet pesawat untuk muntah. Bahkan saat pesawat ingin mendarat, Ella mencengkram erat lengan William sangking takutnya.
"Ya sudah, kau istirahat saja," ujar William.
"Tidak, aku ingin menikmati pantai. Aku rasa itu akan membuatku lebih baik." Ella menatap pantai yang ada di depan hotel mereka.
"Ya sudah, pergilah, aku ingin istirahat. Jauhi ombak atau kau akan terseret."
"Aku tidak ingin sendirian. Bisakah kau menemaniku?" Ella menatap ragu.
William melihat Ella yang masih diam di tempatnya sambil menunduk.
'Bagaimana ini? Aku tidak bisa berenang. Kalau dia terseret ombak siapa yang akan menolongnya?' batin William.
"Ayolah, Will, aku mohon."
"Ya sudah, tapi berjanjilah untuk tidak terlau ke tengah air. Lihat, ombaknya tinggi." William memperingatkan.
"Aku berjanji."
Mereka pun pergi ke pantai tersebut untuk berjalan-jalan di sepanjang pinggiran pantai. Ella merasa senang bisa jalan berdua dengan William.
"Indah sekali, ya. Andai saja kita bisa melihat ini setiap hari." Ella berdecak kagum.
William hanya tersenyum kecil.
"Will, boleh aku memeluk lenganmu seperti para pasangan yang ada di sana?" Ella menunjuk beberapa pasangan yang sedang bermesraan.
"Ella turunkan tanganmu. Mereka melihat kita. Kenapa kau menunjuk mereka yang hanya berjarak beberapa langkah dari kita? Itu memalukan."
"Eh, iya maaf. Bolehkah?"
William mengangguk dan membiarkan Ella memeluk lengannya. Ella merasa sangat senang dan nyaman.
"Hei, kalian ke sini juga?" Tiba-tiba Harry datang dan menyapa mereka.
"Iya, aku merasa bosan," sahut Ella.
"Kau sendirian saja? Mana istrimu?" tanya William.
"Dia ada di....." Harry menunjuk bangku pantai yang ternyata sudah kosong.
"Kemana dia?" gumam Harry.
"Oh tidak, apakah dia ke tengah laut?" Harry memegangi kepalanya.
"Apa katamu?" William terlihat sangat panik. Matanya menyapu tengah laut dan melihat ada sesuatu yang seperti kepala sedang tergulung ombak.
Dengan cepat ia berlari menabrak ombak yang lumayan besar. Sekuat tenaga ia melawan arus ombak namun pada akhirnya ia tergulung ombak tersebut.
"Will!" Ella memekik dan segera berlari untuk menyelamatkan William.
Harry yang khawatir pada Ella juga menyusulnya dan ikut menyelamatkan William. Para pengunjung pantai berkumpul melihat keadaan William.
Akhirnya William berhasil diselamatkan. Ella menekan-nekan dadanya hingga William memuntahkan air yang tertelan olehnya.
"Kau tidak apa-apa?" Ella menatap penuh kekhawatiran.
"Mana Selena? Apa dia selamat?" William masih terlihat khawatir.
Mendengar hal itu, Ella merasa sangat kecewa. "Harry, tolong jaga William. Aku mau ganti baju."
"Harry, mana Selena?" tanya William yang masih terlihat bingung.
"Aku lupa kalau tadi dia kembali ke hotel untuk mengambil kacamata." Harry menatap dengan wajah datar.
"Huh, syukurlah." William menghembuskan nafas lega.
"Kau juga harus bersyukur. Kalau bukan karena Ella yang menyelamatkan nyawamu pasti kau sudah mati!" Harry menatap William dengan penuh emosi.
"Apa? Ella yang menyelamatkanku?" William terkejut.
"Ya, dan ketika kau sadar, yang kau tanyakan malah Selena. Tidakkah kau memikirkan bagaimana perasaannya? Bahkan kau yang tidak bisa berenang rela mempertaruhkan nyawamu demi Selena." Harry membimbing William berdiri.
Ia mencengkram kerah baju William. "Dengar, ya, aku tahu kau masih menyukai Selena. Dan kau juga tahu aku sangat menyukai Ella. Tapi keadaan sekarang sudah berbeda. Kau dan aku tidak akan mendapatkan wanita yang kita sukai. Jadi berhentilah terus mengecewakan Ella atau kau akan tahu akibatnya." Harry melepas cengkramannya dengan kasar. Ia pergi meninggalkan William yang masih diam. Entah apa yang ia pikirkan. Yang pasti ia tau bahwa Harry sangat kecewa padanya. Jika Harry sudah berlaku kasar seperti tadi, artinya hatinya sangat kecewa.
William kembali ke kamar hotelnya untuk menemui Ella. Sebelum ia pergi, ia sempat melihat bahwa benda yang seperti kepala berambut hitam yang terombang-ambing di tengah laut adalah sebuah wig entah punya siapa.William telah sampai ke kamar hotel. Ia melihat Ella sedang duduk di sebuah kursi sambil menatap keluar jendela."Ella.""Mandilah, Will, air laut tidak bagus berada lama-lama di tubuhmu." Ella tidak menoleh. Ia masih terus menatap hamparan ombak di lautan."Ella, aku...""Nanti kau bisa sakit jika tidak mengeringkan tubuhmu." Masih tidak menoleh."Aku ingin....""Aku sudah memanggil dokter untuk memeriksa keadaanmu. Mandilah, sebentar lagi dia akan datang." Kali ini Ella menoleh sambil tersenyum.William pergi ke kamar mandi. Ia terus memikirkan reaksi yang diberikan Ella. Senyuman barusan itu bukanlah senyuma
Selena dan Ella tengah asyik memakan hidangan makan malam di restoran hotel. Sesekali Selena terlihat menggerutu tentang kejadian yang baru saja mereka alami. "Memangnya mereka pikir mereka siapa? Seenaknya saja memanfaatkan tampang kembar mereka.""Kenapa kau kesal sekali?" tanya Ella."Bagaimana aku tidak kesal. Tadi itu aku berdansa dengan William dan rasanya sangat tidak nyaman." Selena memotong daging steak dengan kasar hingga menimbulkan suara. Menumpahkan semua rasa kesalnya pada makanan lezat itu."Apa kau menyukai William?" Ella menunggu reaksi di wajah Selena."Awalnya. Aku kira bersama dengan orang yang sama diamnya seperti aku akan membuat hidupku lebih nyaman. Ternyata membosankan. Baru beberapa menit aku berbincang dengannya rasanya sangat tidak nyaman." Selena mengaduk minumannya lalu menikmatinya dengan sedotan."Tapi William masih menyukaimu."
William dan Ella sudah sampai di kamar mereka. Secepat mungkin William menurunkan Ella karena rasanya tangannya hampir patah."Will, apa kau yakin baik-baik saja?" tanya Ella yang melihat William mengibas-ngibaskan kedua tangannya berkali-kali."Tidak, aku hanya ingin meregangkan ototku saja. Ayo makan bersama, aku sangat lapar." William membuka paper bag lalu menatanya di atas meja dengan piring-piring yang tersedia di dalam kamar itu.Ella masih terngiang-ngiang daging steak dua juta yang belum habis tadi. Ia duduk dengan lesu dan memakan makanannya."Apa tidak enak?" tanya William yang heran melihat reaksi Ella."Enak, tapi aku menyayangkan sisa steak tadi. Harusnya kita bungkus saja." Ella memainkan sendok di atas piringnya."Ketahuilah, Ella, sekarang steak itu sudah ada di tempat sampah atau di perut seseorang. Menyesal pun tidak berguna. Steak sudah pe
Keesokan paginya, Ella yang baru saja bangun dari tidur terkejut kala merasakan ada sesuatu yang berat tengah menekan perutnya. Samar-samar ia melihat dan ternyata itu adalah tangan William. Mata Ella terbelalak. Bukan hanya karena William tengah memeluknya, namun juga karena melihat tubuh bagian atas William polos tanpa baju. Bentuk tubuh atletisnya berhasil membuat Ella tertegun. Sepertinya, karena kepanasan, ia membuka bajunya dan karena tidak nyaman di sofa, ia tidur di ranjang bersama Ella.Ella berusaha menggeser tangan William dari tubuhnya. Itu bukanlah hal sulit baginya karena pada dasarnya tenaganya memang lumayan kuat. Itulah kenapa kemarin gebrakan tangannya di restoran membuat meja restoran itu bergetar.Jika saja William sudah membuka mata, mungkin saat ini Ella akan berpura-pura menjadi wanita lemah.Ella berjalan ke kamar mandi dan membersihkan dirinya. Setelah itu, ia bersantai di balkon kamar hotel ters
Waktu terus berlalu, hari ini adalah jadwal kepulangan William dan lainnya. Mereka merasa sangat puas setelah berlibur di negara itu.Ketika sudah sampai bandara, mereka sudah dijemput oleh supir masing-masing. Tidak ada pengawal sesuai permintaan William. Memang sejak kecil, ia dan Harry tidak mau dikawal seperti raja. Mereka ingin hidup seperti biasa.Sepanjang perjalanan, Ella lebih banyak diam. Ia melihat ke luar jendela mobil sambil memikirkan sesuatu."Apa kau senang?" William membuka suara."Aku senang. Ini kali pertama aku ke negara itu." Menoleh ke arah William dan tersenyum."Kau bisa ke negara manapun yang kau mau. Swiss, Korea, Spanyol. Kemanapun yang kau suka.""Kenapa kau malah mengatakan ini? Apa kau ingin berlibur lagi? Bagaimana dengan pekerjaanmu? Maksudku, tidak ada CEO yang tidak bekerja kecuali di dalam cerita novel." Ella menatap William
William dan Ella baru saja sampai rumah. Mereka segera membersihkan diri di kamar masing-masing.Pada malam harinya, mereka makan malam bersama. William tampak diam dengan wajah dinginnya. Sesekali Ella melirik berharap William mau membuka pembicaraan. Namun sampai makan malam selesai, William tak juga berbicara.Hingga saat Ella melihat William memakai pakaian yang tidak biasa, ia memberanikan diri untuk bertanya."Mau kemana, Will?""Apa aku harus memberitahumu kemana pun aku pergi?" Menatap dingin."Aku hanya bertanya. Kenapa kau marah?""Karena itu, jangan campuri urusan pribadiku."William pergi meninggalkan Ella yang masih diam mematung. "Apa salahku? Aku kan hanya bertanya?" gumam Ella sambil tertunduk sedih."Siti." Ella menghampiri kepala pelayan di rumah itu."Iya, Nona."
Ella dan William sudah sampai kamar. Ella langsung merebahkan William ke atas ranjang. Membuka sepatu, mengeluarkan ponsel, dompet, lalu membuka jaketnya.Ella bermaksud meluruskan kaki William agar kaki kirinya tidak keluar dari ranjang. Namun tanpa disangka, William menariknya hingga ia jatuh ke atas tubuh William. Ella ingin berdiri namun William memeluk tubuhnya dengan erat."William, lepaskan." Ella berusaha melepaskan tangan William. Namun anehnya ia tidak bisa. Seakan-akan William menjadi kuat saat mabuk."Kau mau kemana, Ella? Menemui si berengsek itu?" tanya William sambil menatap Ella dengan penuh nafsu."Tidak, lepaskan, Will" Ella kembali memberontak namun tenaganya kalah oleh William."Oh jadi kau mau menemui si berengsek itu, ya?" William terlihat begitu emosi. Ia membalikkan posisi mereka.Kini Ella berada di bawah dan William berada di a
"Baiklah, kita sudah selesai makan. Sekarang katakan bagaimana seorang suami bisa bertemu mantan di club malam." Ella meletakkan gelasnya setelah tegukan terakhirnya.William yang hendak menyendokkan makanan ke mulutnya kembali meletakkan sendok ke piringnya. "Sayang, kau yang sudah selesai. Aku belum. Sepertinya kau sangat lapar.""Aku? Bukan aku yang kecepatan makan. Tapi kau yang menambah porsi makanmu, ingat?""Iya, iya. Aku habiskan dulu makananku, ya." William membelai pipi Ella dengan lembut."Ehmmm."Suara deheman seseorang mengejutkan mereka. "Wah wah, pengantin baru masih kurang bulan madunya?" Haira menghampiri mereka yang masih berada di ruang makan."Ibu, apa kabar. Aku merindukan ibu." Ella memeluk Haira, ibu mertua kesayangannya."Ibu juga merindukan kalian. Mana oleh-oleh ibu?" Haira menadahkan tangan kepada William
William, Ella, Jane, dan Haira sedang makan malam bersama."Ella, ingat, ya. Saat melahirkan normal, pengaturan nafas sangat penting. Dan kau juga tidak melahirkan hanya satu bayi, melainkan dua bayi. Dulu ibu memilih operasi caesar karena tidak memungkinkan melahirkan secara normal. Jika kau ingin merubah pikiranmu, masih sempat. Kita ke rumah sakit sekarang dan melakukan operasi." Haira menjelaskan panjang lebar."Benar, Nak. Jarang ada yang melahirkan bayi kembar dengan normal. Satu bayi saja rasanya sangat sakit, apalagi dua. Dan juga, kalau kau pingsan atau tak sadarkan diri setelah melahirkan anak pertama, maka itu akan membahayakan keselamatanmu. Ibu juga dulu operasi caesar saat melahirkan kau dan Selena." Jane menambahkan."Ibu, sudahlah. Aku selalu mendengar ini setiap hari. Dan keputusanku tetap sama, aku ingin melahirkan normal." Ella menengahi ceramah kedua ibunya.Sedangkan William hany
Beberapa bulan telah berlalu. Ella dan William tengah menanti kehadiran buah hati mereka. William bahkan sudah mengambil cuti untuk menjadi suami siaga jika Ella sewaktu-waktu mengalami kontraksi. Memang, Ella ingin agar kelahiran anaknya dilakukan secara normal.Namun, semakin mendekati kelahiran anak mereka, William bertambah pusing karena ibu dan mertuanya tinggal di rumahnya."Bu, aku tau kalian ingin menjaga Ella. Tetapi tidak perlu satu kamar dengan kami, kan," ucap William kepada Haira dan Jane yang merupakan ibu dan mertuanya.Kini mereka sedang berada di kamar William dan Ella."Memangnya kenapa? Kami kan ingin menjaga Ella. Ella itu anak kami," ucap Jane."Tapi tidak begini konsepnya. Aku dan Ella kan butuh privasi.""Privasi apa? Agar bisa berduaan? Bermesraan?" cibir Haira."Astaga, ibu bukan itu. Ada kalanya aku ingin m
Dua minggu kemudian, William dan Ella baru saja pulang dari rumah orang tua Ella. Mereka piknik bersama di taman belakang rumah orang tua mereka."Aku senang sekali hari ini." William berseru saat memasuki rumahnya."Kenapa kau sangat gembira sekali? Apa karena Kak Alex hanya datang sebentar?" Ella menatap penuh selidik."Tentu saja, tanpa adanya si berengsek itu, aku bisa leluasa melakukan apa yang aku ingin tanpa perlu waspada terhadapnya.""Itu kan karena dia tiba-tiba mendapat tugas penting. Ada pembunuhan yang sulit diungkap detektif kepolisian.""Memangnya sampai kapan dia akan menjadi detektif dadakan?""Tidak ada batas. Dia akan menjadi detektif kasus tersulit seumur hidupnya. Itulah kesepakatannya. Lagi pula, dia selalu dengan mudah memecahkan masalah.""Bagaimana denganmu? Kau juga mempunyai otak cerdas dan bisa memecahkan beber
"Bisa-bisanya kau bersekongkol dengan ibu dan Harry, Ella!" gerutu William saat berjalan memasuki rumah mereka. Mereka baru saja sampai rumah setelah acara piknik di taman tadi selesai."Aku tidak bersekongkol." Ella membela diri."Apa kau kira aku tuli? Jelas sekali aku mendengar ucapan Harry saat aku dan Alex mengejarnya."William mengingat kembali saat ia dan Alex mengejar Harry."Ibu, tolong akuuuu!""Kemari kau, adik laknat!" William mempercepat larinya hingga akhirnya ia berhasil mendapatkan Harry.Harry jatuh tersungkur. Bukannya memukul, William malah ikut tergeletak di atas rerumputan tepat di samping Harry. Sedangkan Alex memilih duduk di samping mereka dan mengatur nafas.Jelas saja, mereka berkejar-kejaran selama setengah jam. Untung saja taman yang sepi tidak membuat mereka terlihat seperti orang gila."N
Setahun telah berlalu. Kini, Selena telah melahirkan seorang bayi perempuan lucu yang diberi nama Hazel Alexander. Sedangkan Ella tengah mengandung anaknya dan William.Hari ini, mereka baru pulang dari berziarah dan memutuskan untuk piknik bersama di sebuah taman."Lihatlah Hazel, dia cantik sekali, ya," puji Ella."Anak siapa dulu?" Harry membanggakan diri."Apa kalian memang suka bersenang-senang tanpa aku?" Alex datang sambil menggandeng tangan Anisa istrinya yang kini sudah memberikannya seorang anak yang usianya hampir sama dengan anak Harry dan Selena. Anak laki-lakinya itu diberi naman Jimmy Wilson."Kau saja yang dayang terlambat." Ella mencibir."Jangan kebanyakan mencibir, nanti anakmu bisa tampan seperti aku.""Enak saja, dia akan tampan seperti aku." William tak mau kalah."Dasar calon ayah amatir."
"Alex." Ella tersenyum melihat kedatangan Alex yang tiba-tiba itu."Bereskan wanita ini!" perintah Alex kepada anak buahnya."Alex, jangan! Jangan bunuh dia. Jangan terjerat lebih dalam lagi," cegah Ella."Siapa juga yang mau mengotori tangan dengan membunuhnya. Dia harus merasakan dulu penderitaan dibalik jeruji baru boleh mati.""Kau! Dimana anak buahku?" tanya Margareth sambil memegangi lengannya yang berdarah karena tembakan Alex barusan."Anak buah? Maksudmu para pengecut itu? Mereka sudah lari saat melihat aku datang. Kau bilang itu anak buah." Alex menggelengkan kepalanya.Memang, saat kedatangan Alex tadi. Semua anak buah Margareth langsung ciut. Mereka lansung pucat dan ketakutan. Bahkan saat Alex melangkah mendekat, mereka langsung lari kocar kacir."Kau! Siapa kau sebenarnya?""Aku adalah Alex Julian. Jika
Beberapa hari kemudian.Akhirnya Feri sadar."Paman, bagaimana keadaan Paman?" tanya Ella."Dimana aku?" Feri seperti orang kebingungan."Paman ada di rumah sakit. Beberapa hari yang lalu, Paman mencoba untuk...bunuh diri." Ella sedikit ragu mengatakan.Feri mencoba mengingatnya. "Paman baru ingat. Tapi Paman bukan bunuh diri. Paman tergores pisau kecil yang terdapat di dalam baju yang terletak di pergelangan tangan Paman. Karena Tarikan tangan William dan Paman yang berlari, pisau itu menggores urat nadi Paman hingga saat berada di kamar, Paman baru melihat banyak sekali darah. Saat Paman buka, Paman syok melihat darah yang mengalir deras. Karena itu Paman tidak bisa membuka pintu.""Apa? Bagaimana bisa?" William terlihat heran."Bisa. Itu yang aku katakan soal kejanggalan. Tangannya berdarah dengan sayatan yang acak-acakan. Jika itu bunuh diri, maka
Sesampainya di rumah, William dan Ella langsung menuju kamar. Ella masih tetap diam. Ia berjalan menapaki anak tangga dengan tatapan kosong. Ia masih sangat kecewa dengan perlakuan Alex padanya."Ella, istirahatlah." William menepuk bahu Ella yang sedang berdiri di ambang pintu.Ella mengangguk dan tersenyum. Ia memasuki kamar. Namun, ia tak langsung menuju ranjang. Ia pergi ke balkon dan menatap langit yang bertabur banyak bintang.William datang lalu memeluk nya dari belakang. "Menangislah lagi jika masih kurang," bisiknya.Ella berbalik dan memeluk William. Ia menumpahkan segala kekecewaannya lagi, malam ini.William membelai rambut Ella yang sudah tidak dipasangi rambut sambung lagi.Setelah agak tenang, "Masuklah ke dalam. Nanti kau bisa sakit.""Iya, lagipula besok kita harus menangkap Paman Feri, kan?""Sebaikn
"Luar biasa!" Terdengar suara Alex dari dalam speaker."Sekarang lewatilah tantangan berikutnya. Jika kalian gagal, maka....""Yayaya kami tahu, kami akan mati, bukan?" tanya William dengan wajah malas."Apa kau tidak sabar ingin mati?""Ya, setelah itu aku akan gentayangan dan mengganggu hidupmu." William menunjuk CCTV yang berada tak jauh darinya."Hentikan, Sayang." Ella menyela William. "Apa tantangan berikutnya?" Ella menatap serius ke arah CCTV."Sebelum kalian lanjut, aku ingin bertanya apa sebenarnya tujuanmu datang kesini? Kau sama sekali tidak takut dan kau sangat pintar.""William sudah mengatakan padamu, kan?" Ella mengingatkan."Hahahaha, kau kira aku percaya?""Kalau tidak percaya, jangan mengulur waktu. Berikan tantangan yang lain.""Kau benar-benar berani