Semua orang memandang sosok lelaki yang selama ini terlihat penuh karisma dalam balutan pakaian formal —jas dan dasi, mendadak santai dengan pakaian kasual. Tidak hanya Shania yang terkejut, tapi Rachel dan Ethan, terlihat tidak bisa menyembunyikan rasa kagetnya tatkala melihat sosok Alex berdiri tak jauh dari mereka. "Pak Alex," ucap Ethan pelan. Meski ia sudah tahu hubungan Shania dengan Alex, tapi ia tetap tak menyangka akan kehadiran pengusaha itu di depan mereka.Entah apa yang terjadi, padahal sebelumnya Alex menutup-nutupi hubungannya dengan Shania. Tapi sekarang, justru hal tersebut berbanding terbalik. Ethan menilai sepertinya Alex tengah ingin menunjukkan sesuatu kepadanya. Alex berjalan menghampiri saat orang-orang di depannya tidak mengatakan apapun. Ia lalu berhenti tepat di depan Shania. "Aku lihat mobilmu di rumah. Jadi, aku memutuskan untuk menjemputmu di sini." Alex berkata pada Shania yang menatapnya dalam diam. Tatapan istrinya masih terlihat tak percaya dengan
Bulan yang terlihat utuh dengan warna terang menyinari semesta, menjadi saksi ketika Rachel dan Ethan akhirnya melanjutkan obrolan. Kafe yang sejatinya tutup, kini terbuka untuk si pemilik dengan membiarkan para karyawannya pulang. "Biasanya insting lelaki itu lemah dibanding perempuan, tapi entah apa yang ada pada dirimu, kenapa kamu seolah tahu sekali tentang masalah yang sedang dihadapi oleh Shania." Rachel memulai obrolan setelah karyawannya menyediakan minuman dan snack untuknya juga Ethan. "Sejak kapan kamu menyadari ada sesuatu yang terjadi pada Shania?" tanya Rachel kemudian. Ethan menghela napas panjang. Lelaki itu seolah ingin mengambil ancang-ancang untuk melepaskan uneg-uneg yang selama ini mendekam di dalam pikirannya. "Sejak pertama ia bekerja di perusahaanku."Rachel diam. Ia melihat kedua mata Ethan yang menatap lurus ke luar. "Shania sudah terlihat murung sejak awal bekerja. Meski ia selalu menutupi dengan sikap ceria di depan anak-anak yang lain, tapi aku tahu k
Rachel melanjutkan ceritanya, "Alex tidak menyadari perubahan sikap Shania. Ia terlalu sibuk dengan hubungannya dengan Maura. Tapi, aku bisa melihat perubahan itu. Shania menjadi lebih tertutup dan tidak lagi ceria seperti dulu."Ethan mendengarkan dengan saksama, mencoba memahami apa yang terjadi antara Shania, Alex, dan Maura."Apa yang terjadi kemudian?" tanya Ethan, penasaran dengan kelanjutan cerita.Rachel mengambil napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Shania mencoba untuk melupakan Alex dan fokus pada studinya. Tapi, ia tidak bisa menghindari Alex dan Maura, karena mereka berdua selalu bersama-sama. Shania merasa sakit hati dan kecewa, tapi ia tidak bisa menunjukkan perasaannya itu kepada Alex."Ethan mengangguk, memahami perasaan Shania. "Aku mengerti sekali posisinya. Lalu, apa yang akhirnya Shania lakukan?" Ethan bertanya lagi.Rachel tersenyum sedih, "Pada akhirnya Shania malah menerima lamaran Alex setelah kekasihnya itu tiba-tiba pergi meninggalkannya setahun yang lalu
Rachel menghela napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Shania memang tidak bisa bertahan melihat kemesraan Alex dan Maura. Tapi, ia tidak bisa meninggalkan Alex karena ia sudah terlalu jauh terlibat dalam hubungan itu."Ethan mengernyit, tidak memahami maksud Rachel. "Apa yang membuat Shania tidak bisa meninggalkan Alex?" tanya Ethan penasaran. Rachel tersenyum sedih. "Shania merasa bersalah karena telah mencintai Alex, tapi tidak bisa memiliki hatinya. Ia juga merasa bersalah karena telah menikah dengan Alex, tapi tidak bisa membuatnya bahagia."Ethan menghela napas dalam-dalam, mencoba memahami kompleksitas perasaan Shania. "Apa yang akan Shania lakukan sekarang?" tanya Ethan, ingin tahu lebih lanjut.Rachel menggeleng. "Aku tidak tahu. Shania masih belum tahu apa yang ingin dilakukannya. Tapi, aku tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam kesedihan dan kekecewaan," ujar Rachel berbohong. Ia tidak mungkin menceritakan rencana Shania yang memilih pergi ke luar negeri kepad
Alex tidak menjawab, ia malah semakin mendekatkan wajahnya ke wajah Shania. Shania merasa takut dan berusaha berontak lebih keras, tapi Alex terlalu kuat. Bahkan, ia semakin terpacu ketika dadanya menempel dengan tubuh Shania yang kenyal. "Alex, tolong!" pintanya lagi, suaranya mulai terdengar panik.Tapi, Alex tidak peduli. Ia malah semakin mendekatkan bibirnya ke bibir Shania.Shania merasa sangat takut dan berusaha berontak dengan segala kekuatannya. Tapi, Alex terlalu kuat dan ia tidak bisa melepaskan diri.Saat itu, Shania merasa sangat putus asa dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia hanya bisa berharap bahwa Alex akan segera sadar dan melepaskannya.Namun, ketakutannya semakin menjadi ketika Alex berhasil menciumnya. Alex bahkan menekan kepalanya agar Shania tidak sampai melepaskan diri. Shania merasa sesak ketika Alex melakukannya dengan nafsu yang begitu membara. Kekuatannya seketika melemah seiring pagutan Alex di bibirnya yang semakin intim dan panas. Menyadari perl
Shania mungkin tidak menyangka dengan informasi yang baru saja Alex berikan tentang hubungannya dengan Maura yang ternyata hanya sebatas hubungan biasa, tanpa ada hal istimewa yang selayaknya para peselingkuh lakukan di luaran sana. Tapi, apakah Shania akan percaya begitu saja? Tentu tidak, meski Alex mengatakan dengan mimik wajah serius —yang jika orang lain lihat akan langsung menilai bahwa yang diucapkannya adalah nyata, Shania tidak langsung menelan bulat-bulat apa yang suaminya itu katakan. Apalagi bukan sekali dua kali Shania melihat kemesraan yang Alex dan Maura lakukan ketika sedang berada di kantor. Keduanya terlihat tidak sungkan untuk berlaku mesra meski ada banyak orang di depan mereka. Hingga malam menjelang dini hari, Alex berhasil membuat malam yang dingin menjadi hangat sebab keintiman yang dilakukannya bersama sang istri. Shania tidak menolak kali ini. Setelah rencana yang dibuatnya untuk pergi dari kehidupan Alex bersama anak yang ada di dalam kandungannya, bukan s
Sepanjang hari itu Shania lebih banyak melamun di meja kerjanya. Komputer di depannya terus menyala, benar-benar diabaikan. Bukannya tidak ada yang menyadari sikap Shania tersebut, tapi beberapa teman membiarkan sebab pekerjaan mereka yang lebih penting dibanding peduli dengan urusan yang tengah perempuan itu pikirkan. Bunyi ketikan di keyboard menjadi latar suara di mana saat ini Shania berada. Sama sekali tidak mengganggunya sampai suara dering ponsel miliknya menjerit untuk ke sekian kalinya minta diperhatikan. 'Rachel,' gumam Shania saat melihat nama sang sahabat terpampang dengan poto profilnya yang berpose kocak. "Ya, hallo!" sapa Shania setelah menarik tombol hijau di layar. "Ya Tuhan! Shania! Kamu ini sedang apa? Aku sejak tadi mengirim pesan dan menghubungi, tapi tidak juga direspon."Shania mengerutkan kening. "Kamu tanya aku sedang apa? Kamu sadar enggak, jam berapa sekarang? Jadi, tahu dong di mana dan sedang apa aku ini." Shania meninggikan suaranya, heran sebab perta
"Beberapa waktu yang lalu, Alex mempersilakan aku untuk pergi meninggalkan rumah.""Aku sudah tahu cerita itu, Shania!" Rachel memotong, protes sebab cerita Shania yang diulang. Sahabatnya itu terkekeh. "Sorry. Tapi, ini memang ada hubungannya, Chel.""Oke! Apa itu?" Rachel tampak berusaha sabar. "Aku sudah bilang padamu juga bukan kalau sikap Alex berubah beberapa waktu belakangan, lebih tepatnya setelah kita bertengkar waktu itu."Rachel mengangguk sembari menikmati calamari yang ia pesan. Saus Tartar yang dihidangkan sebagai pelengkap, membuat cemilan yang disantapnya semakin sempurna. Bahkan, di situasi siang itu saat Shania menceritakan apa yang terjadi padanya semalam. "Semalam saat ia dengan tiba-tiba datang menjemputku, hal yang tentu saja di luar kebiasaan Alex, bahwasanya apa yang dia lakukan benar-benar di luar prediksiku sama sekali."Rachel masih mengunyah sambil fokus mendengarkan. Inti dari cerita Shania belum sampai, sehingga membuatnya masih harus ekstra mendengark
Sudah tiga hari sejak Shania dirawat, sejak itu juga ia ditemani oleh Hanum atau Nina secara bergantian. Lian dan Jimmy juga datang, tapi keduanya hanya datang di saat jam makan siang atau pulang kantor. Dua kakek itu seolah tak mau kehilangan satu hari pun demi melihat perkembangan harian si kecil.Lantas, kemana Alex yang katanya akan mengubah sikapnya demi mempertahankan biduk rumah tangganya dengan Shania? Apakah Alex berdusta sebab tak bisa melupakan sosok Maura di dalam pikiran dan jiwanya? Jawabannya tidak. Ternyata sosok lelaki itu juga setia berada di ruang perawatan VVIP di rumah sakit milik kerabat keluarga Sebastian tersebut. Alex —meski keberadaannya tak dianggap, tak pernah pulang ke rumahnya dan tetap menjaga serta menemani Shania juga bayinya. Sejak Shania melahirkan, Alex tidur, makan, dan melakukan semua kegiatannya di ruangan tersebut. Ia hanya akan pergi saat bekerja. Setelahnya ia akan kembali mengunjungi sang istri dan putranya. Namun, apakah Shania setuju? Ap
"Aku yang tidak akan izinkan!" Suara bariton terdengar menggema di ruang tempat Shania dirawat. Sosok lelaki paruh baya dengan wajah sedikit bule berdiri di ambang pintu menahan amarah.Bukan hanya Alex saja yang kaget dengan kemunculan lelaki tersebut di tengah-tengah mereka. Tapi, semua orang terutama Jimmy Sebastian yang tak lain adalah mertua Shania, papanya Alex, juga merasakan perasaan yang sama. "Ayah," lirih Shania berkata. Lian Harrison. Lelaki yang tak lain adalah ayah Shania, muncul tepat di saat semua orang tengah membahas mengenai hubungan Shania dan Alex selanjutnya. Pengusaha bertubuh tegap itu berjalan menghampiri sang putri untuk kemudian memeluknya. "Selamat, Sayang. Terima kasih karena kamu sudah berjuang untuk cucu Ayah.""Terima kasih juga, Yah. Karena Ayah mau berjuang menahan emosi Ayah untuk tidak menemui Alex selama ini."Ketika nama Alex disebut, lelaki itu terhenyak kaget. Ia yang sejak tadi menunduk, tampak mendongak dan mencoba menatap sang ayah mertu
Jimmy terperangah kaget, tak percaya dengan apa yang besannya katakan barusan. "Jadi, Lian sudah tahu?" Jimmy menatap Nina dengan ekspresi panik. Terlihat sekali berbeda dari saat ia datang. "Tentu saja. Sejak Hanum memberi tahu saya tentang Shania dan segala masalahnya, saya langsung memberi tahu suami saya. Tidak ada yang saya tutupi darinya. Saya ceritakan semuanya."Jimmy tampak syok. Sejenak ia menatap Hanum yang menunduk. "Beruntunglah Anda, Pak Jimmy. Karena Shania menahan papanya untuk tidak menyambangi Anda. Padahal ia sudah bersiap dengan segala kemarahannya untuk menemui Alex, putra kesayangan Anda itu." Sekarang Nina yang marah. Wajahnya tak bisa menutupi betapa perihnya ia demi mengetahui masalah rumah tangga yang menimpa anak semata wayangnya. Sebagai seorang ibu, ia tentunya akan mendukung apapun keputusan sang putri, termasuk memintanya untuk tidak 'membunuh' Alex meski hal itu akan sangat mungkin keduanya lakukan. "Andai saya tahu masalah yang menimpa Shania, say
Ruangan dengan dominan warna putih yang menjadi pemandangan Shania saat ini, tampak sibuk dengan orang yang berlalu lalang. Mereka sibuk dengan tugas masing-masing saat mengetahui menantu dari pengusaha kaya Jimmy Sebastian itu akan melahirkan. Ya, setelah usia kandungannya menginjak bulan ke tiga puluh sembilan, kontraksi yang Shania tunggu akhirnya datang. Sejak subuh ia sudah merasakan perutnya melilit. Minim pengalaman, Shania sangat bersyukur ketika Hanum dan ibunya setia menemani. Kedua wanita hebat itu membersamai Shania dari pembukaan pertama sampai pembukaan sembilan, di mana saat ini para dokter yang dipilih oleh Hanum mulai bersiap membantu persalinan. Sebagian dari mereka mungkin khawatir akan keselematan Shania dan calon bayi yang akan segera hadir itu. Tapi, sebagai petugas medis yang berpengalaman, karir mereka rela dipertaruhkan demi sebuah gengsi karena bisa membantu kelahiran sang calon pewaris dua keluarga konglomerat itu. Shania masih menggenggam tangan sang ibu
Sepanjang hari libur, Alex memang hanya berdiam diri di rumah. Tak ada kencan apalagi berlibur bersama Maura seperti yang sebelumnya ia lakukan. Waktu Alex hanya diisi dengan bekerja dan bekerja. Hari liburnya ia isi dengan tidur dan bersantai di rumah.Hal itu sudah ia lakukan sejak sebulan kepergian Shania dari kehidupannya hingga kini sudah setengah tahun lamanya. Pertemuannya dengan sang mama beberapa waktu lalu, telah mengubah sebagian prinsip dan hidup seorang Alex. Kini ia jauh lebih sehat, baik dari segi fisik ataupun mental. Jimmy dan Hanum tentu senang dengan perubahan yang terjadi pada sang putra. Karena beberapa bulan lamanya dua orang tua itu harus berjuang membantu memulihkan kondisi mental Alex yang tiba-tiba drop. Entah apa yang membuat sang putra demikian, sebab tak ada kata atau penjelasan yang terlontar selain perkataan dokter yang mengatakan jika mental Alex terganggu.Jimmy bahkan menyerah dan hampir membawa Alex ke rumah sakit jiwa. Tapi, tidak dengan Hanum. Tak
Maura menatap kesal pada sosok Alex yang sejak tadi mengabaikannya dan hanya terpaku pada ponsel di tangannya. "Lex? Apa kamu tidak mendengarku?" tanya wanita itu masih dengan nada setenang mungkin. Padahal hatinya sudah sangat kesal sebab sikap Alex yang semakin hari menyebalkan. Tapi, tetap saja Alex tak bereaksi. Sudah lebih dari setengah tahun sejak Alex memutuskan untuk tidak lagi tinggal bersama Maura, lelaki itu memilih untuk tinggal sendirian di rumahnya. Meski status mereka masih pacaran, tapi Alex sudah tidak terlalu mempedulikannya. Maura curiga kalau Alex tengah mencari keberadaan Shania. Wanita yang masih berstatus istri, tapi pergi karena hubungan perselingkuhan mereka. "Lex, lusa aku ada kerjaan ke luar negeri. Kamu mau ikut enggak?" tanya Maura kembali menanyakan hal yang sama.Lagi-lagi Alex diam dengan pandangannya yang melihat layar ponsel di tangannya. "Lex!" Kali ini Maura menaikkan volumenya. Ia sepertinya sudah tak tahan dengan sikap Alex yang tak lagi perh
Shania terlihat santai saat menikmati sarapan pagi ditemani kecipak ikan dalam kolam. Duduk di balkon taman yang berhadapan dengan kolam ikan, sungguh suasana syahdu dengan udara pagi yang sangat sejuk, yang membuat jiwa dan pikiran Shania sehat. Kehamilan Shania sekarang yang sudah besar, sudah tidak lagi membuatnya mabuk. Tapi, membawa bayi di dalam perut, berjalan ke sana ke sini dengan perut besar, sungguh menjadi pekerjaan baru baginya. Meskipun begitu, Shania melakukannya dengan perasaan bahagia. Kesehatannya yang jauh lebih baik itu, tentu saja tak lepas karena campur tangan seseorang. Saat Shania selesai dengan roti dan makanan pendamping lainnya, indra pendengarannya menangkap suara mesin mobil masuk ke area garasi. Tak berapa lama, sosok wanita yang selama ini selalu ada membersamainya, muncul dengan wajah yang ceria dan bahagia. "Hai, Sayang. Sudah sarapan?" Hanum, mamanya Alex mencium dan memeluk sang menantu. "Sudah, Mah. Baru saja." Shania tersenyum saat membalas p
Brian melihat wajah penuh penyesalan yang tampak di wajah sahabatnya. Entah apa karena sudah mengabaikan sosok sang istri yang selama ini begitu mencintainya, atau karena kepergian perempuan itu hingga membuatnya berada dalam masalah sekarang. "Kamu tahu, Lex. Aku bertanya-tanya sejak kemarin, kenapa kamu tiba-tiba peduli mengenai Shania?""Apa maksudmu?" Alex bertanya tak mengerti. Dalam sikap sesal yang ia rasakan karena sudah melewati banyak hal, kini ia dihadapkan satu pertanyaan sahabatnya sendiri yang justru bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah. "Bukan, selama ini sejak kamu kembali menjalin hubungan dengan Maura, aku perhatikan kamu cuek dan tak peduli dengan omongan orang tuamu. Kamu bahkan berani melawan Tante Hanum di pesta pernikahanmu dengan Shania waktu itu."Alex diam mendengarkan. Kalimat Brian mengingatkan dirinya tentang sikapnya selama ini. "Kamu tahu resiko yang akan kamu dapatkan bila kembali menjalin hubungan dengan Maura, sebab sejak awal papamu tida
Setelah kunjungan ke kediaman orang tuanya, Alex jadi terus kepikiran akan ucapan sang mama. Rumah yang besar yang sebelumnya ia tempati bersama Shania, terasa kosong dan sepi. Hal itulah yang membuatnya tinggal di apartemen bersama Maura. Aksinya hanya karena tak ingin mengingat sosok Shania yang tidak tahu di mana keberadaannya setelah pergi dari rumah. Namun, anehnya Alex malah tidak semangat untuk mengerjakan apapun saat menginap di apartemen. Pekerjaannya menjadi terlantar hingga akhirnya ia meminta Brian menyelesaikan semua tugas yang belum tuntas. Sepekan Alex telah menjadi sosok yang lain. Hidupnya mendadak berubah setelah hanya berdiam diri dengan minuman alkohol yang menemaninya dalam lamunan. Maura bukan tidak menegur. Wanita itu bahkan sampai harus mengencangkan volume suaranya biar Alex dengar. Tapi, usahanya semua sia-sia. Mereka malah bertengkar setiap hari karena sikap Alex yang keras kepala. Akhir dari pelarian Alex saat dirinya mendapat kabar dari Brian, bahwasan