Sepanjang hari itu Shania lebih banyak melamun di meja kerjanya. Komputer di depannya terus menyala, benar-benar diabaikan. Bukannya tidak ada yang menyadari sikap Shania tersebut, tapi beberapa teman membiarkan sebab pekerjaan mereka yang lebih penting dibanding peduli dengan urusan yang tengah perempuan itu pikirkan. Bunyi ketikan di keyboard menjadi latar suara di mana saat ini Shania berada. Sama sekali tidak mengganggunya sampai suara dering ponsel miliknya menjerit untuk ke sekian kalinya minta diperhatikan. 'Rachel,' gumam Shania saat melihat nama sang sahabat terpampang dengan poto profilnya yang berpose kocak. "Ya, hallo!" sapa Shania setelah menarik tombol hijau di layar. "Ya Tuhan! Shania! Kamu ini sedang apa? Aku sejak tadi mengirim pesan dan menghubungi, tapi tidak juga direspon."Shania mengerutkan kening. "Kamu tanya aku sedang apa? Kamu sadar enggak, jam berapa sekarang? Jadi, tahu dong di mana dan sedang apa aku ini." Shania meninggikan suaranya, heran sebab perta
"Beberapa waktu yang lalu, Alex mempersilakan aku untuk pergi meninggalkan rumah.""Aku sudah tahu cerita itu, Shania!" Rachel memotong, protes sebab cerita Shania yang diulang. Sahabatnya itu terkekeh. "Sorry. Tapi, ini memang ada hubungannya, Chel.""Oke! Apa itu?" Rachel tampak berusaha sabar. "Aku sudah bilang padamu juga bukan kalau sikap Alex berubah beberapa waktu belakangan, lebih tepatnya setelah kita bertengkar waktu itu."Rachel mengangguk sembari menikmati calamari yang ia pesan. Saus Tartar yang dihidangkan sebagai pelengkap, membuat cemilan yang disantapnya semakin sempurna. Bahkan, di situasi siang itu saat Shania menceritakan apa yang terjadi padanya semalam. "Semalam saat ia dengan tiba-tiba datang menjemputku, hal yang tentu saja di luar kebiasaan Alex, bahwasanya apa yang dia lakukan benar-benar di luar prediksiku sama sekali."Rachel masih mengunyah sambil fokus mendengarkan. Inti dari cerita Shania belum sampai, sehingga membuatnya masih harus ekstra mendengark
Shania tidak mau terhanyut dalam godaan yang Alex lakukan. Ia tak mau membenarkan ucapan Rachel kalau dirinya larut dalam aksi lelaki itu padanya. 'Tidak ada yang terlena!''Tidak ada yang terperdaya!'Suara-suara di dalam pikiran Shania terus menggema, seolah memaksa supaya dirinya tidak jatuh terjerembab dalam godaan yang semakin intens suaminya berikan. Sentuhan demi sentuhan, baik dengan tangan atau bibirnya, Alex lakukan tanpa peduli Shania terpengaruh atau tidak. Hingga satu suara yang keluar tanpa sadar meski sudah Shania tahan, meluncur bebas membuat Alex kembali menyeringai. 'Suara ini kenapa membuatku candu. Anehnya aku sangat menyukai dan merindukannya,' batin Alex seiring bibirnya yang terus bergerilya di tubuh Shania, meski istrinya itu tetap fokus pada pekerjaannya. Masih dengan pertahanan Shania, tak berapa lama terdengar suara dering telepon pada ponsel milik Alex. Lelaki itu pun menghentikan aksinya dan memilih untuk menerima panggilan. Shania melirik melalui ekor
Tepat satu malam Shania berhasil menyelesaikan desainnya. Beberapa kali mulutnya terbuka, tanda ia telah mengantuk. Namun, ia tidak bisa langsung tidur kalau tugas dari Ethan belum selesai. Ia takut atasannya itu akan kecewa karena pekerjaan yang mudah itu tidak sanggup ia tuntaskan. Perlahan Shania bangkit dari atas ranjang. Ia masukkan laptop ke dalam tas kerjanya. Beberapa peralatan kerja yang tadi berserakan di atas ranjang, juga ia rapikan. Ia tak mau kerepotan besok pagi hanya untuk mengurus peralatan kantornya tersebut. "Akhirnya aku bisa tidur sekarang," ucapnya seraya meregangkan kedua tangan ke atas. Kembali ia menguap, benar-benar mengantuk. Namun, tiba-tiba dia teringat dengan ucapan Alex sebelum pergi tadi. "Aku akan pergi dan kembali menemuimu nanti, dan aku harap kamu belum tidur saat aku kembali."Sekali lagi Shania menengok jam di atas nakas. "Jam satu, dan dia tidak kembali."Entah tidak kembali atau memang belum kembali, Shania berusaha untuk tidak mempedulikan
Alex terbangun tepat di jam enam pagi. Ia terkejut sebab terbaring di kamar apartemen Maura. Tapi, sosok sang kekasih tidak ada bersamanya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tapi tidak tampak Maura di dekatnya. 'Apa yang terjadi denganku?' batin Alex yang merasa kecolongan sebab tertidur di kamar Maura. Ponsel di atas meja yang berdiri di samping tempat tidur, menjadi perhatiannya kemudian. Alex pun meraih ponselnya, lalu menghubungi seseorang. "Kemana dia?" ucapnya sebab panggilannya yang tak kunjung diterima. Alex mencoba menghubungi kembali nomor yang ada di layar, tapi untuk kesekian kalinya nomor itu tidak juga merespon. Ia mulai kesal karena merasa diabaikan. "Ia tidak pantas marah padaku," ucapnya kesal, lalu melempar ponselnya ke atas bantal. Saat Alex hendak beranjak bangun, pintu kamar terbuka dari luar. Sosok Maura muncul masih dengan pakaian tidur berwarna maroon yang terlihat seksi. "Kamu sudah bangun, Honey?" tanya Maura yang terlihat bahagia. Alex men
"Alex memang brengsek!" Umpatan itu meluncur dari mulut Rachel penuh emosi. Rachel yang sengaja datang ke kediaman Shania sebelum pergi ke kantor —demi memastikan kondisi sahabatnya itu dikarenakan tidak masuk kerja, kesal bukan main setelah perempuan di depannya menyodorkan sebuah gambar yang Maura kirim semalam. "Dan kamu masih percaya pada Alex?""Siapa yang percaya pada Alex? Sejak ia mengatakan ingin tetap dengan hubungan kami sekarang, aku sudah meyakinkan diriku untuk segera pergi darinya.""Tapi, kamu terlena oleh sikapnya bukan?" Rachel terlihat panas. Blush on yang menyempurnakan make up di wajahnya, terlihat semakin menyala sebab kemarahan yang ia rasakan. Shania diam. Sikapnya membuat Rachel sontak berdecih."Kenapa kamu bereaksi begitu?" sahut Shania tersinggung. "Itu karena kamu berbohong padaku kemarin. Kamu bilang kalau kamu tidak akan terperdaya apalagi terlena dengan sikap Alex yang belakangan hari ini berubah. Tapi, apa yang terjadi sekarang? Kamu terlihat kecew
Shania sedang menikmati buah melon ketika Alex muncul dengan wajah kesal. "Kenapa kamu tidak menjawab panggilanku?" tanya Alex marah. Shania menatap heran. 'Apa apa dengannya? Kenapa ia marah-marah tak jelas.'"Kenapa diam? Jawab pertanyaanku. Kenapa saat aku telepon tadi pagi kamu tidak merespon?""Aku sedang di kamar mandi." Shania menjawab santai. Potongan melon tetap menjadi perhatiannya meski di depannya saat ini sudah ada Alex yang tengah menatapnya tajam. "Kenapa kamu tidak menghubungiku balik?""Sudah," jawab Shania sembari mengunyah. "Apa kekasihmu tidak menyampaikan hal tersebut?" Shania bertanya balik saat melihat ekspresi tak percaya di wajah Alex. "Maura? Apa hubungannya dengan Maura?"Shania meletakkan garpu ke atas piring. Ia lalu meneguk air mineral yang ada di sebelah piring. "Aku menelepon balik, tapi kekasihmu yang menerimanya.""Jangan mengarang cerita. Kamu cuma mau mencari alasan supaya aku tidak marah 'kan?"Shania tersenyum sinis. "Sepertinya perempuan itu
Ketika Alex hampir menempelkan bibirnya ke bibir Shania, tiba-tiba muncul asisten rumah tangga yang saat itu sontak mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Ma-Maaf, Pak. Saya tidak sengaja. Tolong maafkan saya." Suara pelayan itu terdengar bergetar. Sepertinya ia takut pada Alex karena merasa sudah melakukan kesalahan. "Ada apa?" Alex masih dengan posisinya —memangku Shania yang sejak kepergok sang pelayan, berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya.Namun, lelaki itu menahan gerakan tubuh sang istri agar tidak kabur. "Maaf, Pak Alex. Ada tamu di luar cari Bapak." Pelayan itu masih memandang ke arah lain, enggan memandang sang majikan, yang saat itu posisinya membuat dirinya tak nyaman. "Tamu? Siapa?""Beliau memperkenalkan dirinya, Maura."Alex sontak menatap Shania. Ia terkejut, tak menyangka kalau Maura akan berani datang ke rumah yang ia tempati bersama Shania. Sikap Alex yang kurang waspada, membuat Shania berhasil melepaskan diri dari cengkeramannya. "Di mana dia sekaran
Sudah tiga hari sejak Shania dirawat, sejak itu juga ia ditemani oleh Hanum atau Nina secara bergantian. Lian dan Jimmy juga datang, tapi keduanya hanya datang di saat jam makan siang atau pulang kantor. Dua kakek itu seolah tak mau kehilangan satu hari pun demi melihat perkembangan harian si kecil.Lantas, kemana Alex yang katanya akan mengubah sikapnya demi mempertahankan biduk rumah tangganya dengan Shania? Apakah Alex berdusta sebab tak bisa melupakan sosok Maura di dalam pikiran dan jiwanya? Jawabannya tidak. Ternyata sosok lelaki itu juga setia berada di ruang perawatan VVIP di rumah sakit milik kerabat keluarga Sebastian tersebut. Alex —meski keberadaannya tak dianggap, tak pernah pulang ke rumahnya dan tetap menjaga serta menemani Shania juga bayinya. Sejak Shania melahirkan, Alex tidur, makan, dan melakukan semua kegiatannya di ruangan tersebut. Ia hanya akan pergi saat bekerja. Setelahnya ia akan kembali mengunjungi sang istri dan putranya. Namun, apakah Shania setuju? Ap
"Aku yang tidak akan izinkan!" Suara bariton terdengar menggema di ruang tempat Shania dirawat. Sosok lelaki paruh baya dengan wajah sedikit bule berdiri di ambang pintu menahan amarah.Bukan hanya Alex saja yang kaget dengan kemunculan lelaki tersebut di tengah-tengah mereka. Tapi, semua orang terutama Jimmy Sebastian yang tak lain adalah mertua Shania, papanya Alex, juga merasakan perasaan yang sama. "Ayah," lirih Shania berkata. Lian Harrison. Lelaki yang tak lain adalah ayah Shania, muncul tepat di saat semua orang tengah membahas mengenai hubungan Shania dan Alex selanjutnya. Pengusaha bertubuh tegap itu berjalan menghampiri sang putri untuk kemudian memeluknya. "Selamat, Sayang. Terima kasih karena kamu sudah berjuang untuk cucu Ayah.""Terima kasih juga, Yah. Karena Ayah mau berjuang menahan emosi Ayah untuk tidak menemui Alex selama ini."Ketika nama Alex disebut, lelaki itu terhenyak kaget. Ia yang sejak tadi menunduk, tampak mendongak dan mencoba menatap sang ayah mertu
Jimmy terperangah kaget, tak percaya dengan apa yang besannya katakan barusan. "Jadi, Lian sudah tahu?" Jimmy menatap Nina dengan ekspresi panik. Terlihat sekali berbeda dari saat ia datang. "Tentu saja. Sejak Hanum memberi tahu saya tentang Shania dan segala masalahnya, saya langsung memberi tahu suami saya. Tidak ada yang saya tutupi darinya. Saya ceritakan semuanya."Jimmy tampak syok. Sejenak ia menatap Hanum yang menunduk. "Beruntunglah Anda, Pak Jimmy. Karena Shania menahan papanya untuk tidak menyambangi Anda. Padahal ia sudah bersiap dengan segala kemarahannya untuk menemui Alex, putra kesayangan Anda itu." Sekarang Nina yang marah. Wajahnya tak bisa menutupi betapa perihnya ia demi mengetahui masalah rumah tangga yang menimpa anak semata wayangnya. Sebagai seorang ibu, ia tentunya akan mendukung apapun keputusan sang putri, termasuk memintanya untuk tidak 'membunuh' Alex meski hal itu akan sangat mungkin keduanya lakukan. "Andai saya tahu masalah yang menimpa Shania, say
Ruangan dengan dominan warna putih yang menjadi pemandangan Shania saat ini, tampak sibuk dengan orang yang berlalu lalang. Mereka sibuk dengan tugas masing-masing saat mengetahui menantu dari pengusaha kaya Jimmy Sebastian itu akan melahirkan. Ya, setelah usia kandungannya menginjak bulan ke tiga puluh sembilan, kontraksi yang Shania tunggu akhirnya datang. Sejak subuh ia sudah merasakan perutnya melilit. Minim pengalaman, Shania sangat bersyukur ketika Hanum dan ibunya setia menemani. Kedua wanita hebat itu membersamai Shania dari pembukaan pertama sampai pembukaan sembilan, di mana saat ini para dokter yang dipilih oleh Hanum mulai bersiap membantu persalinan. Sebagian dari mereka mungkin khawatir akan keselematan Shania dan calon bayi yang akan segera hadir itu. Tapi, sebagai petugas medis yang berpengalaman, karir mereka rela dipertaruhkan demi sebuah gengsi karena bisa membantu kelahiran sang calon pewaris dua keluarga konglomerat itu. Shania masih menggenggam tangan sang ibu
Sepanjang hari libur, Alex memang hanya berdiam diri di rumah. Tak ada kencan apalagi berlibur bersama Maura seperti yang sebelumnya ia lakukan. Waktu Alex hanya diisi dengan bekerja dan bekerja. Hari liburnya ia isi dengan tidur dan bersantai di rumah.Hal itu sudah ia lakukan sejak sebulan kepergian Shania dari kehidupannya hingga kini sudah setengah tahun lamanya. Pertemuannya dengan sang mama beberapa waktu lalu, telah mengubah sebagian prinsip dan hidup seorang Alex. Kini ia jauh lebih sehat, baik dari segi fisik ataupun mental. Jimmy dan Hanum tentu senang dengan perubahan yang terjadi pada sang putra. Karena beberapa bulan lamanya dua orang tua itu harus berjuang membantu memulihkan kondisi mental Alex yang tiba-tiba drop. Entah apa yang membuat sang putra demikian, sebab tak ada kata atau penjelasan yang terlontar selain perkataan dokter yang mengatakan jika mental Alex terganggu.Jimmy bahkan menyerah dan hampir membawa Alex ke rumah sakit jiwa. Tapi, tidak dengan Hanum. Tak
Maura menatap kesal pada sosok Alex yang sejak tadi mengabaikannya dan hanya terpaku pada ponsel di tangannya. "Lex? Apa kamu tidak mendengarku?" tanya wanita itu masih dengan nada setenang mungkin. Padahal hatinya sudah sangat kesal sebab sikap Alex yang semakin hari menyebalkan. Tapi, tetap saja Alex tak bereaksi. Sudah lebih dari setengah tahun sejak Alex memutuskan untuk tidak lagi tinggal bersama Maura, lelaki itu memilih untuk tinggal sendirian di rumahnya. Meski status mereka masih pacaran, tapi Alex sudah tidak terlalu mempedulikannya. Maura curiga kalau Alex tengah mencari keberadaan Shania. Wanita yang masih berstatus istri, tapi pergi karena hubungan perselingkuhan mereka. "Lex, lusa aku ada kerjaan ke luar negeri. Kamu mau ikut enggak?" tanya Maura kembali menanyakan hal yang sama.Lagi-lagi Alex diam dengan pandangannya yang melihat layar ponsel di tangannya. "Lex!" Kali ini Maura menaikkan volumenya. Ia sepertinya sudah tak tahan dengan sikap Alex yang tak lagi perh
Shania terlihat santai saat menikmati sarapan pagi ditemani kecipak ikan dalam kolam. Duduk di balkon taman yang berhadapan dengan kolam ikan, sungguh suasana syahdu dengan udara pagi yang sangat sejuk, yang membuat jiwa dan pikiran Shania sehat. Kehamilan Shania sekarang yang sudah besar, sudah tidak lagi membuatnya mabuk. Tapi, membawa bayi di dalam perut, berjalan ke sana ke sini dengan perut besar, sungguh menjadi pekerjaan baru baginya. Meskipun begitu, Shania melakukannya dengan perasaan bahagia. Kesehatannya yang jauh lebih baik itu, tentu saja tak lepas karena campur tangan seseorang. Saat Shania selesai dengan roti dan makanan pendamping lainnya, indra pendengarannya menangkap suara mesin mobil masuk ke area garasi. Tak berapa lama, sosok wanita yang selama ini selalu ada membersamainya, muncul dengan wajah yang ceria dan bahagia. "Hai, Sayang. Sudah sarapan?" Hanum, mamanya Alex mencium dan memeluk sang menantu. "Sudah, Mah. Baru saja." Shania tersenyum saat membalas p
Brian melihat wajah penuh penyesalan yang tampak di wajah sahabatnya. Entah apa karena sudah mengabaikan sosok sang istri yang selama ini begitu mencintainya, atau karena kepergian perempuan itu hingga membuatnya berada dalam masalah sekarang. "Kamu tahu, Lex. Aku bertanya-tanya sejak kemarin, kenapa kamu tiba-tiba peduli mengenai Shania?""Apa maksudmu?" Alex bertanya tak mengerti. Dalam sikap sesal yang ia rasakan karena sudah melewati banyak hal, kini ia dihadapkan satu pertanyaan sahabatnya sendiri yang justru bingung dengan sikapnya yang tiba-tiba berubah. "Bukan, selama ini sejak kamu kembali menjalin hubungan dengan Maura, aku perhatikan kamu cuek dan tak peduli dengan omongan orang tuamu. Kamu bahkan berani melawan Tante Hanum di pesta pernikahanmu dengan Shania waktu itu."Alex diam mendengarkan. Kalimat Brian mengingatkan dirinya tentang sikapnya selama ini. "Kamu tahu resiko yang akan kamu dapatkan bila kembali menjalin hubungan dengan Maura, sebab sejak awal papamu tida
Setelah kunjungan ke kediaman orang tuanya, Alex jadi terus kepikiran akan ucapan sang mama. Rumah yang besar yang sebelumnya ia tempati bersama Shania, terasa kosong dan sepi. Hal itulah yang membuatnya tinggal di apartemen bersama Maura. Aksinya hanya karena tak ingin mengingat sosok Shania yang tidak tahu di mana keberadaannya setelah pergi dari rumah. Namun, anehnya Alex malah tidak semangat untuk mengerjakan apapun saat menginap di apartemen. Pekerjaannya menjadi terlantar hingga akhirnya ia meminta Brian menyelesaikan semua tugas yang belum tuntas. Sepekan Alex telah menjadi sosok yang lain. Hidupnya mendadak berubah setelah hanya berdiam diri dengan minuman alkohol yang menemaninya dalam lamunan. Maura bukan tidak menegur. Wanita itu bahkan sampai harus mengencangkan volume suaranya biar Alex dengar. Tapi, usahanya semua sia-sia. Mereka malah bertengkar setiap hari karena sikap Alex yang keras kepala. Akhir dari pelarian Alex saat dirinya mendapat kabar dari Brian, bahwasan