Alex terbangun tepat di jam enam pagi. Ia terkejut sebab terbaring di kamar apartemen Maura. Tapi, sosok sang kekasih tidak ada bersamanya. Ia mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan, tapi tidak tampak Maura di dekatnya. 'Apa yang terjadi denganku?' batin Alex yang merasa kecolongan sebab tertidur di kamar Maura. Ponsel di atas meja yang berdiri di samping tempat tidur, menjadi perhatiannya kemudian. Alex pun meraih ponselnya, lalu menghubungi seseorang. "Kemana dia?" ucapnya sebab panggilannya yang tak kunjung diterima. Alex mencoba menghubungi kembali nomor yang ada di layar, tapi untuk kesekian kalinya nomor itu tidak juga merespon. Ia mulai kesal karena merasa diabaikan. "Ia tidak pantas marah padaku," ucapnya kesal, lalu melempar ponselnya ke atas bantal. Saat Alex hendak beranjak bangun, pintu kamar terbuka dari luar. Sosok Maura muncul masih dengan pakaian tidur berwarna maroon yang terlihat seksi. "Kamu sudah bangun, Honey?" tanya Maura yang terlihat bahagia. Alex men
"Alex memang brengsek!" Umpatan itu meluncur dari mulut Rachel penuh emosi. Rachel yang sengaja datang ke kediaman Shania sebelum pergi ke kantor —demi memastikan kondisi sahabatnya itu dikarenakan tidak masuk kerja, kesal bukan main setelah perempuan di depannya menyodorkan sebuah gambar yang Maura kirim semalam. "Dan kamu masih percaya pada Alex?""Siapa yang percaya pada Alex? Sejak ia mengatakan ingin tetap dengan hubungan kami sekarang, aku sudah meyakinkan diriku untuk segera pergi darinya.""Tapi, kamu terlena oleh sikapnya bukan?" Rachel terlihat panas. Blush on yang menyempurnakan make up di wajahnya, terlihat semakin menyala sebab kemarahan yang ia rasakan. Shania diam. Sikapnya membuat Rachel sontak berdecih."Kenapa kamu bereaksi begitu?" sahut Shania tersinggung. "Itu karena kamu berbohong padaku kemarin. Kamu bilang kalau kamu tidak akan terperdaya apalagi terlena dengan sikap Alex yang belakangan hari ini berubah. Tapi, apa yang terjadi sekarang? Kamu terlihat kecew
Shania sedang menikmati buah melon ketika Alex muncul dengan wajah kesal. "Kenapa kamu tidak menjawab panggilanku?" tanya Alex marah. Shania menatap heran. 'Apa apa dengannya? Kenapa ia marah-marah tak jelas.'"Kenapa diam? Jawab pertanyaanku. Kenapa saat aku telepon tadi pagi kamu tidak merespon?""Aku sedang di kamar mandi." Shania menjawab santai. Potongan melon tetap menjadi perhatiannya meski di depannya saat ini sudah ada Alex yang tengah menatapnya tajam. "Kenapa kamu tidak menghubungiku balik?""Sudah," jawab Shania sembari mengunyah. "Apa kekasihmu tidak menyampaikan hal tersebut?" Shania bertanya balik saat melihat ekspresi tak percaya di wajah Alex. "Maura? Apa hubungannya dengan Maura?"Shania meletakkan garpu ke atas piring. Ia lalu meneguk air mineral yang ada di sebelah piring. "Aku menelepon balik, tapi kekasihmu yang menerimanya.""Jangan mengarang cerita. Kamu cuma mau mencari alasan supaya aku tidak marah 'kan?"Shania tersenyum sinis. "Sepertinya perempuan itu
Ketika Alex hampir menempelkan bibirnya ke bibir Shania, tiba-tiba muncul asisten rumah tangga yang saat itu sontak mengalihkan pandangannya ke arah lain. "Ma-Maaf, Pak. Saya tidak sengaja. Tolong maafkan saya." Suara pelayan itu terdengar bergetar. Sepertinya ia takut pada Alex karena merasa sudah melakukan kesalahan. "Ada apa?" Alex masih dengan posisinya —memangku Shania yang sejak kepergok sang pelayan, berusaha melepaskan diri dari cengkeramannya.Namun, lelaki itu menahan gerakan tubuh sang istri agar tidak kabur. "Maaf, Pak Alex. Ada tamu di luar cari Bapak." Pelayan itu masih memandang ke arah lain, enggan memandang sang majikan, yang saat itu posisinya membuat dirinya tak nyaman. "Tamu? Siapa?""Beliau memperkenalkan dirinya, Maura."Alex sontak menatap Shania. Ia terkejut, tak menyangka kalau Maura akan berani datang ke rumah yang ia tempati bersama Shania. Sikap Alex yang kurang waspada, membuat Shania berhasil melepaskan diri dari cengkeramannya. "Di mana dia sekaran
Suasana jalan raya tampak padat ketika Shania sudah mengaspal. 'Padahal belum jam istirahat,' gumamnya. Shania harus fokus menyetir sebab banyak kendaraan roda dua yang tak mau bersabar dalam melajukan kendaraannya. Cuaca yang cukup terik membuat sebagian dari mereka terburu-buru menghindari panasnya matahari. Lain dengan yang di dalam mobil, mereka bisa menyalakan AC sehingga tidak mempengaruhi kondisi cuaca di dalam. Shania masih belum menemukan tujuannya. Sampai saat ini Rachel juga belum membalas pesannya. 'Dia benar-benar sibuk sekarang,' batin Shania tersenyum. Tidak tahu harus kemana, Shania memilih membelokkan mobil ke arah mall. Ia akan melupakan kebersamaan Alex dan Maura dengan mencuci matanya di dalam sana. Pusat perbelanjaan yang ada di pusat kota adalah tempat favorit yang kerap Shania kunjungi bersama Rachel dulu. Namun, setelah ia menikah, kegiatan 'window shopping' yang menjadi agenda weekend bersama sahabatnya itu tak pernah lagi dijalani. Alex benar-benar tel
Shania khawatir melihat cara mengemudi Rachel sekarang. Kecepatan yang lumayan tinggi, membawa keduanya sampai di tujuan dengan sangat cepat. Tak peduli meski jalanan padat dan penuh, Rachel mampu mengendarai mobilnya dengan sangat apik, juga keren. "Kita tidak perlu melakukan ini, Chel." Shania berkata dengan binar matanya yang terlihat menyakitkan. "Kita justru harus melakukan ini!" kata Rachel berkata tegas. Shania menggeleng. "Aku sudah biasa. Jadi, tidak perlu kita menemui mereka.""Lebih baik kamu diam, Shania. Kalau tidak konsentrasiku akan terganggu."Ucapan Rachel sontak membuat Shania terdiam. Ia tak lagi bicara hingga mobil sampai di depan rumah yang ia tempati bersama Alex. Pintu pagar terbuka lebar. Seorang petugas keamanan memberi hormat ketika mobil yang Rachel dan Shania tumpangi lewat. "Selamat siang, Bu Rachel.""Siang, Pak. Terima kasih.""Sama-sama."Interaksi antara Rachel dan petugas security luput dari pandangan Shania. Karena sejatinya, perempuan itu lebih
Suasana tegang sekaligus menguras emosi, Rachel dan Shania rasakan saat ini. Masuk ke ruangan kerja Alex seperti seorang penguntit demi mengetahui apa yang tengah pengusaha itu lakukan bersama kekasihnya di dalam, membuat mereka terlihat gugup sekaligus cemas. "Kita keluar saja. Batalkan rencana kamu," bisik Shania sembari memegang tangan Rachel. Namun, Rachel menggeleng tegas. "Aku akan tetap masuk. Tak peduli apa yang tengah mereka lakukan, aku mau meminta penegasan dari Alex untuk hubungan kalian. Syukur-syukur aku menemukan sesuatu yang bisa dijadikan alasan kamu pergi tanpa perlu susah payah memintanya."Shania menatap pasrah. "Kita menemukan sesuatu atau tidak, aku akan tetap pergi, Chel.""Tapi, setidaknya tidak ada kesempatan bagi Alex untuk kembali padamu saat ia mengetahui bahwa kamu mempunyai anak, yaitu darah dagingnya."Shania tak lagi berdebat. Ia membiarkan Rachel yang kemudian melepaskan genggaman tangannya. Sahabatnya itu berjalan menyusuri ruangan yang pencahayann
Sekian detik berlalu semua orang menunggu Shania bicara. Hingga ketika Rachel mencolek tangannya, istri Alex itu akhirnya tersadar dari lamunan. "Rachel, maafkan aku karena sudah membuatmu khawatir." Shania mulai berkata sembari menggenggam tangan sang sahabat. Gadis di depannya menarik napas dan menunggu kalimat apa yang akan sahabatnya itu katakan. "Itu bukan masalah. Aku rela melakukan apapun supaya kamu bahagia." Linangan air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Selepas itu Shania memandang Alex yang menatapnya angkuh. "Alex, ayo kita bercerai."Tak percaya dengan ucapan Shania, Alex sontak beranjak maju dan menghampiri istrinya itu dengan ekspresi marah. Di belakangnya, Maura terlihat bahagia dengan senyum mengembang di bibirnya. Ditatapnya Shania tanpa kata. Lalu, beralih menatap Rachel yang menunjukkan ekspresi puas. Alex seolah berkata, 'semua gara-gara kamu!'"Apakah keputusanmu itu sudah finish, Shania?" tanya Alex dengan suara pelan, tapi penuh penekanan. Shania me
Alex terjebak. Pertanyaan yang ia ajukan kepada Shania, dibalas dengan pertanyaan tentang kemunculannya ke kediaman Tita bersama sang kekasih. "Kami memang belum memutuskan untuk berpisah waktu itu. Meski aku sudah tidak pernah pergi atau bersama-sama dengannya lagi, hubungan kami belum berubah.""Tapi, apakah menurutmu itu pantas, Lex? Ya, meskipun aku tidak peduli juga." Shania menjawab cuek. "Kamu peduli," sahut Alex mendadak senang. "Tidak." Shania menggeleng, tertawa sinis. "Aku hanya merasa lucu. Entah apa yang kamu pikirkan waktu itu. Pergi mencari aku, tapi bersama wanita lain. Apakah tujuanmu sebenarnya, mau meminta maaf atau mau memaksa aku pulang?"Alex bukan tidak menyadari itu. Tapi, saat itu ia benar-benar dalam situasi yang serba salah. Ia telah mengakui kesalahannya terhadap Shania, tapi ia tidak bisa langsung memutuskan hubunganya dengan Maura tanpa ada alasan yang jelas. "Aku sadar, mau sampai kapan pun kamu dan Maura memang tidak bisa berpisah.""Aku sudah tidak
Shania akhirnya bisa kembali ke rumah. Rumah yang sudah hampir setahun tidak ia tinggali, kini bak istana megah yang begitu ia rindukan. Aromanya yang khas, mampu membuatnya terpukau hingga tanpa sadar air matanya menggenang di pelupuk mata. Baru ruang tamu dan keluarga yang Shania jelajahi, tapi ia seolah tak mampu lagi berjalan sebab keharuan yang dalam dadanya rasakan. Hampir sesak sebab penyesalan yang dirinya rasakan setelah pernikahan yang terjadi bersama Alex. Nina melihat keharuan pada wajah putrinya itu. Bayi yang tampak nyaman dalam gendongannya, ia berikan pada Lian untuk diambil alih. "Ibu dan ayah senang akhirnya kamu bisa kembali lagi ke rumah ini," ucap Nina setelah menghampiri anak perempuannya itu seraya memeluk bahu yang tampak bergetar. "Maafin aku ya, Bu?" Shania menatap sang ibu dalam raut wajah penuh penyesalan. "Tidak ada yang salah di sini, tidak ada juga yang harus Ibu dan ayah maafkan."Keduanya kemudian saling berpelukan. Jauh di belakang mereka, berdir
Sudah tiga hari sejak Shania dirawat, sejak itu juga ia ditemani oleh Hanum atau Nina secara bergantian. Lian dan Jimmy juga datang, tapi keduanya hanya datang di saat jam makan siang atau pulang kantor. Dua kakek itu seolah tak mau kehilangan satu hari pun demi melihat perkembangan harian si kecil.Lantas, kemana Alex yang katanya akan mengubah sikapnya demi mempertahankan biduk rumah tangganya dengan Shania? Apakah Alex berdusta sebab tak bisa melupakan sosok Maura di dalam pikiran dan jiwanya? Jawabannya tidak. Ternyata sosok lelaki itu juga setia berada di ruang perawatan VVIP di rumah sakit milik kerabat keluarga Sebastian tersebut. Alex —meski keberadaannya tak dianggap, tak pernah pulang ke rumahnya dan tetap menjaga serta menemani Shania juga bayinya. Sejak Shania melahirkan, Alex tidur, makan, dan melakukan semua kegiatannya di ruangan tersebut. Ia hanya akan pergi saat bekerja. Setelahnya ia akan kembali mengunjungi sang istri dan putranya. Namun, apakah Shania setuju? Ap
"Aku yang tidak akan izinkan!" Suara bariton terdengar menggema di ruang tempat Shania dirawat. Sosok lelaki paruh baya dengan wajah sedikit bule berdiri di ambang pintu menahan amarah.Bukan hanya Alex saja yang kaget dengan kemunculan lelaki tersebut di tengah-tengah mereka. Tapi, semua orang terutama Jimmy Sebastian yang tak lain adalah mertua Shania, papanya Alex, juga merasakan perasaan yang sama. "Ayah," lirih Shania berkata. Lian Harrison. Lelaki yang tak lain adalah ayah Shania, muncul tepat di saat semua orang tengah membahas mengenai hubungan Shania dan Alex selanjutnya. Pengusaha bertubuh tegap itu berjalan menghampiri sang putri untuk kemudian memeluknya. "Selamat, Sayang. Terima kasih karena kamu sudah berjuang untuk cucu Ayah.""Terima kasih juga, Yah. Karena Ayah mau berjuang menahan emosi Ayah untuk tidak menemui Alex selama ini."Ketika nama Alex disebut, lelaki itu terhenyak kaget. Ia yang sejak tadi menunduk, tampak mendongak dan mencoba menatap sang ayah mertu
Jimmy terperangah kaget, tak percaya dengan apa yang besannya katakan barusan. "Jadi, Lian sudah tahu?" Jimmy menatap Nina dengan ekspresi panik. Terlihat sekali berbeda dari saat ia datang. "Tentu saja. Sejak Hanum memberi tahu saya tentang Shania dan segala masalahnya, saya langsung memberi tahu suami saya. Tidak ada yang saya tutupi darinya. Saya ceritakan semuanya."Jimmy tampak syok. Sejenak ia menatap Hanum yang menunduk. "Beruntunglah Anda, Pak Jimmy. Karena Shania menahan papanya untuk tidak menyambangi Anda. Padahal ia sudah bersiap dengan segala kemarahannya untuk menemui Alex, putra kesayangan Anda itu." Sekarang Nina yang marah. Wajahnya tak bisa menutupi betapa perihnya ia demi mengetahui masalah rumah tangga yang menimpa anak semata wayangnya. Sebagai seorang ibu, ia tentunya akan mendukung apapun keputusan sang putri, termasuk memintanya untuk tidak 'membunuh' Alex meski hal itu akan sangat mungkin keduanya lakukan. "Andai saya tahu masalah yang menimpa Shania, say
Ruangan dengan dominan warna putih yang menjadi pemandangan Shania saat ini, tampak sibuk dengan orang yang berlalu lalang. Mereka sibuk dengan tugas masing-masing saat mengetahui menantu dari pengusaha kaya Jimmy Sebastian itu akan melahirkan. Ya, setelah usia kandungannya menginjak bulan ke tiga puluh sembilan, kontraksi yang Shania tunggu akhirnya datang. Sejak subuh ia sudah merasakan perutnya melilit. Minim pengalaman, Shania sangat bersyukur ketika Hanum dan ibunya setia menemani. Kedua wanita hebat itu membersamai Shania dari pembukaan pertama sampai pembukaan sembilan, di mana saat ini para dokter yang dipilih oleh Hanum mulai bersiap membantu persalinan. Sebagian dari mereka mungkin khawatir akan keselematan Shania dan calon bayi yang akan segera hadir itu. Tapi, sebagai petugas medis yang berpengalaman, karir mereka rela dipertaruhkan demi sebuah gengsi karena bisa membantu kelahiran sang calon pewaris dua keluarga konglomerat itu. Shania masih menggenggam tangan sang ibu
Sepanjang hari libur, Alex memang hanya berdiam diri di rumah. Tak ada kencan apalagi berlibur bersama Maura seperti yang sebelumnya ia lakukan. Waktu Alex hanya diisi dengan bekerja dan bekerja. Hari liburnya ia isi dengan tidur dan bersantai di rumah.Hal itu sudah ia lakukan sejak sebulan kepergian Shania dari kehidupannya hingga kini sudah setengah tahun lamanya. Pertemuannya dengan sang mama beberapa waktu lalu, telah mengubah sebagian prinsip dan hidup seorang Alex. Kini ia jauh lebih sehat, baik dari segi fisik ataupun mental. Jimmy dan Hanum tentu senang dengan perubahan yang terjadi pada sang putra. Karena beberapa bulan lamanya dua orang tua itu harus berjuang membantu memulihkan kondisi mental Alex yang tiba-tiba drop. Entah apa yang membuat sang putra demikian, sebab tak ada kata atau penjelasan yang terlontar selain perkataan dokter yang mengatakan jika mental Alex terganggu.Jimmy bahkan menyerah dan hampir membawa Alex ke rumah sakit jiwa. Tapi, tidak dengan Hanum. Tak
Maura menatap kesal pada sosok Alex yang sejak tadi mengabaikannya dan hanya terpaku pada ponsel di tangannya. "Lex? Apa kamu tidak mendengarku?" tanya wanita itu masih dengan nada setenang mungkin. Padahal hatinya sudah sangat kesal sebab sikap Alex yang semakin hari menyebalkan. Tapi, tetap saja Alex tak bereaksi. Sudah lebih dari setengah tahun sejak Alex memutuskan untuk tidak lagi tinggal bersama Maura, lelaki itu memilih untuk tinggal sendirian di rumahnya. Meski status mereka masih pacaran, tapi Alex sudah tidak terlalu mempedulikannya. Maura curiga kalau Alex tengah mencari keberadaan Shania. Wanita yang masih berstatus istri, tapi pergi karena hubungan perselingkuhan mereka. "Lex, lusa aku ada kerjaan ke luar negeri. Kamu mau ikut enggak?" tanya Maura kembali menanyakan hal yang sama.Lagi-lagi Alex diam dengan pandangannya yang melihat layar ponsel di tangannya. "Lex!" Kali ini Maura menaikkan volumenya. Ia sepertinya sudah tak tahan dengan sikap Alex yang tak lagi perh
Shania terlihat santai saat menikmati sarapan pagi ditemani kecipak ikan dalam kolam. Duduk di balkon taman yang berhadapan dengan kolam ikan, sungguh suasana syahdu dengan udara pagi yang sangat sejuk, yang membuat jiwa dan pikiran Shania sehat. Kehamilan Shania sekarang yang sudah besar, sudah tidak lagi membuatnya mabuk. Tapi, membawa bayi di dalam perut, berjalan ke sana ke sini dengan perut besar, sungguh menjadi pekerjaan baru baginya. Meskipun begitu, Shania melakukannya dengan perasaan bahagia. Kesehatannya yang jauh lebih baik itu, tentu saja tak lepas karena campur tangan seseorang. Saat Shania selesai dengan roti dan makanan pendamping lainnya, indra pendengarannya menangkap suara mesin mobil masuk ke area garasi. Tak berapa lama, sosok wanita yang selama ini selalu ada membersamainya, muncul dengan wajah yang ceria dan bahagia. "Hai, Sayang. Sudah sarapan?" Hanum, mamanya Alex mencium dan memeluk sang menantu. "Sudah, Mah. Baru saja." Shania tersenyum saat membalas p