Baron hanya tersenyum menanggapi pertanyaan istrinya, ia tidak menjawab pertanyaan sang istri. Laki-laki tampan itu membuka jas dan melemparnya ke sembarang arah. Lalu, masuk ke dalam kamar mandi.
"Es balok kenapa? Nggak biasanya dia seperti ini," gumam Tari setelah sang suami masuk ke dalam kamar mandi.
Wanita cantik itu memunguti baju suaminya yang tercecer. "Apa seperti ini kalau sedang kelelahan?" tanya Tari, "Apa dia lupa kalau sudah beristri. Tapi, nggak mungkin. Tadi pagi dia masih normal. Apa kepalanya terbentur sesuatu hingga mendadak hilang ingatan." Tari berbicara sendiri, duduk di pinggiran tempat tidur sambil mendekap pakaian kotor sang suami.
"Ah sudahlah. Jangan berprasangka buruk dulu! Mungkin dia lelah." Tari bangun dari duduknya, berjalan menuju ruang ganti untuk mengambilkan pakaian sang suami. Sebelumnya ia menaruh pakaian bekas pakai itu di keranjang baju kotor.
Setelah kembali duduk di pinggiran tempat tidur sembari menunggu sang sua
Baron menggenggam jemari lentik sang istri. “Pernikahan kita terlalu mendadak dan terburu-buru. Mungkin kamu mau menerima saya sebagai suami kamu karena tidak bisa menolak perintah Tuan Haidar. Untuk itu saya mengerti,” ujar laki-laki yang selalu bersikap tenang.Ada jeda yang cukup lama sebelum laki-laki yang mempunyai brewok tipis di rahangnya itu melanjutkan ucapannya. Ia menatap wajah sang istri yang tampak kebingungan dengan ucapannya. Baron tersenyum sebelum melanjutkan ucapannya.“Sayang … sebelum menikah dengan saya, apa kamu mempunyai seorang kekasih? Atau ada seseorang yang diam-diam menyukaimu seperti saya ini?” tanya Baron sembari tertawa pelan.Laki-laki itu merasa geli sendiri jika membayangkan kelakuannya dulu yang selalu menyelidiki sekretaris cantik itu diam-diam. Bahkan ia selalu mengelak kalau sang tuan menuduhnya menyukai Tari, sang sekretaris CEO.“Abang kenapa tertawa? Aku udah serius ngeden
“Ini punyaku,” ucap Tari sembari menundukkan kepalanya. “Aku sudah mencarinya ke mana-mana, padahal waktu itu di meja kerjaku nggak ada kertas ini.”“Kertas itu milikmu?” tanya Baron dengan lembut yang dibalas dengan anggukkan kepala oleh istrinya. Laki-laki itu bangun dan berdiri, lalu mengacak-acak rambut sang istri. “Simpan baik-baik!”Ketika ia hendak melangkahkan kakinya, Tari menarik tangan laki-laki tampan itu. “Abang duduk dulu di sini!” pinta Tari kepada suaminya.Baron pun kembali duduk di hadapan istrinya. “Ada apa? Saya tidak akan marah kalau itu dari seseorang yang mengagumimu sebelum kita menikah. Tapi, untuk sekarang dan seterusnya, kamu tidak boleh menanggapi laki-laki mana pun yang menyukaimu!”Baron membelai lembut pipi sang istri. “Sekarang dan seterusnya kamu Ratu di hati saya.”Ucapan sang suami membuat pipi wanita cantik itu merona. Ia tidak me
Dengan malu-malu, Tari menganggukkan kepalanya. “Maaf, kalau kata-katanya kurang berkenan di hati Abang,” ucapnya dengan pelan.Baron tertawa pelan sembari kembali membaca ulang kata-kata puitis itu. “Apa kamu seorang penyair?” tanya laki-laki itu sembari tersenyum. “Kata-kata ini begitu manis,” ucapnya sembari memandang tulisan di kertas berwarna merah muda itu.“Aku … menyontek dari situs di ponselku,” jawab Tari pelan, “Tapi, tulisan itu benar-benar mewakili isi hatiku. Bukan hanya sekedar menyalin aja. Aku beneran nggak bohong,” ucap Tari meyakinkan suaminya yang menatapnya begitu lekat.Baron menarik Tari ke dalam pelukannya. “Saya percaya sepenuhnya kepada bidadari surga yang cantik ini,” ucapnya sambil membelai lembut rambut panjang istrinya.‘Bukan meleleh lagi ini mah, tapi udah mencair,’ ucap Tari dalam hatinya sembari mengeratkan pelukan pada tubuh tegap
“Bee, coba kamu ke sini sebentar!” suruh Haidar kepada istrinya yang sedang berdiri sambil menimang-nimang bayi Bara dekat ranjang bayi. “Sepertinya anakmu mengeluarkan sesuatu yang begitu memabukkan.” Haidar tertawa sembari memencet hidungnya.Andin tertawa pelan sekali karena khawatir bayi yang ada dalam gendongannya kembali terbangun. “Giliran kayak gini aja bilangnya anakmu,” kata Andin sembari menaruh bayi mungil itu di dalam ranjangnya. Namun, baru saja menempel pada bantalnya ia sudah terbangun dan menangis.“Maaf, Boo, aku nggak bisa.” Andin kembali mengangkat Bara, dan mendekapnya sambil menimang-nimang bayi mungil itu. “Sepertinya kamu harus belajar membersihkannya sendiri.”“Aku?” Haidar menunjuk wajahnya sendiri dengan jari telunjuk.Haidar tidak bisa membayangkan kalau dirinya harus mengganti popok dan membersihkan kotoran anaknya. Ia tidak pernah tahu bagaimana car
Andin segera menghampiri suaminya. Ia berjongkok di depan laki-laki yang sedang duduk sambil selonjoran, bersandar pada tiang pintu kamar mandi. “Kamu kenapa?” Andin meraba wajah Haidar yang terlihat pucat.“Aku lemas, kepalaku pusing,” ucap Haidar dengan sangat pelan.Tubuhnya terasa gemetaran setelah mengeluarkan semua isi perutnya. Kejadian ini benar-benar menyadarkan dirinya betapa tangguhnya seorang Ibu. Sudah mengandung anaknya selama kurang lebih sembilan bulan ditambah lagi mengurus bayi yang dilahirkannya. ‘Kamu dan Mami adalah wanita terhebat dalam hidupku,’ batin Haidar.“Kamu bisa bangun?” tanya Andin pada laki-laki yang terduduk di lantai. “Ayo aku bantu berdiri.” Andin bangun, lalu membantu suaminya untuk bangun dari duduknya. Ia memapah sang suami ke tempat tidur.“Apa sakitmu kayak kemarin?” Andin mulai khawatir kalau sang suami kembali sakit setelah melakukan olahraga
“Ayah!” Merry masuk ke dalam kamar sembari berteriak memanggil Ayah barunya. “Aku kangen,” ucapnya sembari memeluk laki-laki yang memakai kaus berwarna putih itu.Merry, Nenek dan kakeknya baru pulang tadi siang saat sang ayah sudah pergi bekerja. Sementara orang tuanya sudah pulang lebih dulu, padahal liburannya masih satu minggu lagi. Namun, Baron tidak mau berlama-lama meninggalkan tuannya.Apalagi selama seminggu ia tidak mendengar suara sang tuan yang membuat ia masih khawatir dengan kesehatan atasannya, walaupun sang nyonya sudah memberitahukan keadaan sang CEO.“Bagaimana liburannya? Apa kamu senang?” tanya sang ayah kepada putrinya“Aku sangat senang Ayah,” jawab Merry dengan senyum yang lebar. “Udah lama aku baru liburan lagi, tapi sayangnya nggak ada Ibu sama Ayah.”Merry sedikit kecewa karena tidak bisa bersenang-senang bersama orang tuanya.“Nanti kita liburan bers
"Maksud Abang, Ayah dan Ibu?" tanya Tari yang belum juga mengerti, "Mereka juga pulang dari semalam, tapi pada menginap dulu di rumah Nyonya Inggit, jadi Merry, Ayah, dan Ibu baru siang tadi pulang ke rumah.""Mereka bukan tamu, tapi keluarga kita," balas Baron sembari bangun dan berdiri. "Saya mau ke luar sebentar.""Abang mau ke mana?" tanya Tari sembari meraih tangan sang suami, lalu menciumnya dengan mesra."Saya mau ke rumah Tuan Haidar," jawabnya.Laki-laki itu melangkahkan kakinya keluar dari kamar dengan raut wajah kecewa. 'Apa dia tidak mengerti juga apa yang saya maksud tadi?' Baron bertanya-tanya dalam hatinya sembari terus melangkah."Abang makan malam di rumah 'kan?" tanya Tari sedikit berteriak karena sang suami sudah berada di ambang pintu.Baron membalikkan badan menghadap sang istri. "Iya," jawab Baron, "Saya akan makan malam di rumah. Kamu masak yang enak ya!" ucapnya sembari tersenyum.Ia tidak mau terlihat ke
Baron mengayunkan langkahnya menuju kamar sang tuan. Ia mengetuk pintu terlebih dulu,tapi tidak ada sahutan dari dalam. Namun, laki-laki itu tetap masuk karena sudah mendapat izin dari sang nyonya.Ia melangkah masuk dengan hati-hati karena melihat sang tuan sedang tertidur. 'Apa Tuan masih sakit? Wajahnya terlihat pucat." Baron bertanya-tanya dalam hatinya sembari berdiri di samping tempat tidur tuannya.Ia menaruh nampan itu di atas nakas dengan sangat hati-hati supaya sang tuan tidak terbangun.Namun, Haidar tetap terbangun, ia membuka matanya perlahan, menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatannya."Ada apa kamu ke sini?" tanya Haidar pada sang asisten.Ia yakin kalau orang kepercayaannya itu sudah tahu kalau dirinya sakit ketika Baron bulan madu."Bagaimana keadaan, Tuan?" tanya Baron yang terlihat khawatir dengan kesehatan tuannya. "Tuan istirahat saja dulu di rumah, urusan kantor serahkan pada saya.""Saya baik-baik s
Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m
“Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah
“Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr
"Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be
Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den
Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb
"Apa kamu mencoba menukar keperawananku dengan motor ini?"“Kamu itu istri saya, kenapa kamu berbicara seperti itu kepada suamimu?”Gara tersinggung dengan ucapan istrinya karena dia menyiapkan motor itu setelah resmi menjadi suami Jennie.Ia hanya ingin memfasilitasi istrinya supaya wanita yang telah sah menjadi pendamping hidupnya itu bisa aman berkendara dengan motor barunya karena motor lamanya sudah tidak layak pakai."Bukannya kamu bilang nggak mau melakukannya kalau aku belum siap? Kalau ngomong tuh jangan asal keluar terus dilupain, kayak kentut aja.”Gara menatap istrinya dengan tatapan tajam, lalu pergi meninggalkan wanita itu. Ia kembali ke kamar dan langsung berendam air hangat untuk melemaskan otot-ototnya.“Kenapa saya selalu lupa dengan apa yang saya ucapkan padanya. Saya pasti terlihat seperti laki-laki bodoh yang plin plan,” ucapnya sambil menengadahkan kepalanya dengan tangan bersandar pa
"Bukannya kamu rindu dengan keluargamu," sahut Gara sambil berjalan menghampiri istrinya."Mereka ada di mana?" tanya Jennie tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. Ia tersenyum bahagia saat melihat adik satu-satunya."Di rumah keluarga barunya. Ibu kamu sudah menikah lagi dan mereka hidup bahagia bersama adikmu.""Kenapa Mama nggak bilang sama aku kalau mau menikah? Kenapa Mama melupakanku?"Gara mencengkram dagu istrinya dengan lembut. "Hey, Cantik! Apa kamu memberitahu ibumu kalau kamu sudah menikah dengan saya?""Benar juga," sahutnya. "Tapi, aku punya alasan sendiri kenapa nggak bilang sama Mama." Jennie menepis tangan suaminya."Ibu kamu juga punya alasan sendiri.""Kamu tahu dari mana?""Jangan lupakan siapa suamimu ini?""Maaf, aku lupa soal itu," jawabnya sambil melirik dengan sinis suaminya."Jangan bersedih!" Gara membelai lembut rambut sang istri yang tergerai indah."Kenapa dia
“Ya saya ingin merekam suara kamu,” jawab Gara pelan sambil tersenyum.“Sejak tadi kamu udah denger ‘kan, apa yang aku katakan?” tukas Jennie yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh suaminya. “Kamu memang menyebalkan Gara.”Jennie menggelengkan kepala sambil menggeser duduknya membelakangi sang suami. “Kena kutukan apa aku ini? Bisa-bisanya jatuh cinta kepada laki-laki seperti dia. Laki-laki narsis, dingin, angkuh, dan sangat menyebalkan."“Salah saya apa? Saya hanya ingin merekam suara kamu, itu aja. Saya ingin menyimpannya sebagai pengingat kalau saya sedang merindukanmu.”Jennie menoleh pada suaminya, lalu berkata, “Salah kamu apa? Astaga, ini CEO punya otak apa nggak sih? Tensi darahku bisa naik ini." Jennie menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku harus tetap menjaga kewarasanku," ucapnya sambil mengipasi wajah menggunakan telapak tangan."Biggie, saya ha