“Supaya kampusnya dekat dengan kantorku dan kamu nggak ketemu lagi dengan mantan pacarmu yang seperti preman pasar itu,” jawab Haidar dengan tegas sambil mencondongkan wajahnya ke telinga sang istri. “Sisil juga aku pindahkan,” lanjut Haidar sambil melenggang meninggalkan sang istri.
“Nih orang, ngatur-ngatur seenak jidatnya aja,” omel Andin sambil berjalan cepat menyusul suaminya.
“Om, nanti Sisil kena serangan jantung, tiba-tiba pindah,” ujar Andin. Ia berjalan cepat menyeimbangkan langkah panjang suaminya. “Om!” bentak Andin. Ia kesal dengan suaminya yang tidak merespons sedikit pun ucapannya.
Haidar menghentikan langkahnya. Ia berbalik menghadap Andin. “Semua udah dibicarakan terlebih dahulu dengan Sisil dan biayanya aku yang nanggung,” jawabnya. “Aku nggak ngatur-ngatur orang lain, yang aku atur hanya kamu, istriku,” tegas Haidar, sambil menunjuk hidung lancip sang istri dengan jari telunjuknya.
“Istri? Kalo istri mah disayang-sayang, bukan dijitakkin tiap hari,” sahut Andin sambil mencebikkan bibirnya. Andin berjalan cepat menyusul langkah panjang suaminya.
Haidar menarik kursi dan mempersilakan istrinya duduk. Mereka hendak sarapan sekaligus makan siang.
“Duh romantisnya suamiku. Terima kasih, Sayang,” ucap Andin sembari menyunggingkan senyum manisnya.
“Nih berondong alot manis juga,” ucapnya dalam hati.
“Jangan kege’eran!” tegas Haidar. Lalu ia juga duduk di kursinya.
Seorang pelayan hendak menyendokkan nasi untuk Haidar, tapi dilarang oleh Andin. Ia mau belajar melayani suaminya. Suka atau tidak, mereka sudah menikah dan sudah seharusnya ia melayani sang suami.
“Biar aku aja, Bi!” ucap Andin dengan ramah sambil tersenyum manis pada wanita yang berumur hampir setengah abad itu. Lalu ia bangun dari duduknya, hendak melayani sang suami. Walaupun ia tidak berpengalaman, tapi dia sering meliahat bundanya melayani sang ayah ketika sedang makan.
Sang pelayan menganggukkan kepala. “Baik, Nona Muda,” ucap sang pelayan yang bernama Bi Narti, lalu pergi meninggalkan majikannya.
“Om, orang tuamu mana? Kok nggak kelihatan?” tanya Andin saat menyendokkan nasi ke piring suaminya. Sejak tadi ia celingukan untuk mencari mertuanya, tapi rumahnya tampak sepi, hanya para pelayan yang sedang melakukan tugasnya masing-masing.
“Di rumah,” jawab Haidar,singkat. Ia tidak mau banyak bicara saat sedang makan.
“Maksudnya masih di kamar?” tanya Andin lagi. Ia belum mengerti apa yang dimaksud suaminya.
“Di rumah mereka,” jawab Haidar dengan malas.
“Jadi, kita cuma tinggal berdua di rumah segede ini? Tanya Andin sambil memperhatikan setiap sudut ruangan.
“Kata siapa berdua? Ada banyak pelayan di sini. Mereka tinggal di rumah belakang,” sahut Haidar.
“Abis makan-”
“Makan! Jangan banyak bicara!” sela Haidar yang membuat ucapan Andin terhenti.
Ia menutup mulutnya rapat-rapat dan makan tanpa berbicara apapun seperti kebiasaannya di rumah yang makan sambil mengobrol bahkan kadang suka sambil bercanda.
Andin melirik suaminya yang makan dengan serius. “Gue jadi kangen suasana rumah,” ucapnya dalam hati.
Saat mereka sedang asyik makan, Mami Inggit datang dan menghampiri anak dan menantunya yang sedang makan siang. “Kalian ada di sini?” tanya Mami Inggit. Lalu ia duduk di depan menantunya.
“Semalam kami tidur di sini, Tante,” jawab Andin sambil tersenyum.
“Panggil Mami, jangan Tante!” ujar Mami Inggit. “Kamu ‘kan udah jadi menantu kesayangan Mami dan bakal calon ibu dari cucu-cucu Mami,” lanjutnya sambil tersenyum.
“Iya, Mi,” sahut Andin. “Mami, ikut makan bareng kita sekalian!” tawar Andin pada mertuanya.
“Mami belum laper. Makasih tawarannya, Sayang,” jawabnya sambil tersenyum. “Kalian jam segini udah makan siang?” tanya Mami Inggit sambil melirik jam di tangan kirinya.
“Sarapan sekaligus makan siang,” jawab Haidar sambil mengelap mulutnya dengan tisu. Lalu membuang tisu ke piring bekas makannya. Kemudian ia bangun dan pergi ke taman belakang.
Mami Inggit bingung dengan jawaban anaknya, tapi ia mengurungkan niatnya untuk bertanya pada sang anak karena Haidar sudah lebih dulu pergi. “Kita ke kamar kamu yuk!” ajak Mami Inggit pada Andin setelah selesai makan.
Andin bangun dari duduknya . Lalu mengkuti mertuanya, ia berjalan dibelakang sang mertua.
“Sayang, ayo cepetan!” Mami Inggit mengapit tangan Andin yang terlihat masih malu-malu.
Mereka berjalan beriringan, menantu dan mertua. Mami Inggit memutar kenop pintu dan mendorong daun pintu secara perlahan. Mereka masuk ke kamar utama yang sangat luas.
“Gimana? Kamu suka nggak?” tanya Mami Inggit pada menantunya.
“Ini kamar siapa, Mi?” tanya Andin. Ia amat kagum dengan keindahan dekorasi kamarnya. Warna putih dan ungu merupakan paduan yang manis dan elegan.
“Kamar kamu sama Haidar?” jawab Mami Inggit. “Kamu suka nggak?”
“Suka banget, Mi. Ungu warna kesukaanku,” jawab Andin. Ia masuk dan memeriksa setiap sudut ruangan.
“Syukurlah kalo kamu suka,” sahut Mami Inggit sambil memeluk menantunya.
Mami Inggit duduk di sofa yang ada deket jendela. Mereka berbicara sambil bercanda seperti seorang sahabat.
“Semoga kamu cepat hamil ya,” harap Mami Inggit. “Dulu Mami juga menikah muda, umur dua puluh tahun Mami udah nikah,” lanjutnya.
Andin hanya tersenyum mendengar ucapan sang mertua. Mungkinkah dia bisa bertahan dengan pernikahan ini. Alasan sang suami menikahinya hanya karena ingin mendapatkan harta warisan orang tuanya yang membuat ia tidak yakin untuk bertahan dengan pernikahannya.
Haidar masuk ke dalam kamarnya. Ia terkejut melihat kamar yang berubah hampir seratus persen.
Dari mulai sprei, gorden dan karpet berwarna ungu. Cat dinding yang semula berwarna abu-abu sekarang berubah menjadi warna putih dan ungu.
Kamarnya terlihat sangat manis dan berwarna. Haidar tidak menyukai warna-warna cerah, tapi tidak ada yang bisa menentang Nyonya Mannaf.
“Mi, ini kamar aku, bukan kamar dia,” protes Haidar pada maminya sambil menunjuk Andin. “Dia yang menumpang di sini! Kenapa sepertinya aku yang menumpang di kamar ini.”
“Haidar!” tegur maminya. “Dia istrimu! Dia juga berhak atas rumah ini beserta isinya. Hargai istrimu, sayangi dia! Kalo kamu mau harta warisan Mami dan Papi.
“Iya,” sahut Haidar memelas. “Aku lupa kalo dia istriku,” lanjutnya mencari alasan.
“Ya sudah, Mami pulang dulu. Nanti malam Papi nunggu kalian di rumah,” kata Mami Inggit yang tampak masih kesal dengan sikap Haidar pada istrinya. “Datanglah sebelum makan malam!” lanjutnya.
“Iya, Mi,” jawab Andin dan Haidar bersamaan.
“Semua gara-gara kamu!” tukas Haidar pada Andin setelah Mami Inggit pergi dari kamarnya.
“Kenapa? Aku nggak ngapa-ngapain?” tanya Andin yang merasa bingung dengan tuduhan sang suami.
“Gara-gara kamu kamarku jadi begini, bikin sakit mata,” tegas Haidar.
Andin tertawa terbahak, ia bisa mengerti dengan kekesalan suaminya. “Ini manis loh, Om,” ucapnya sambil tersenyum.
“Aku akan membuang semua boneka kelinci itu, membuat kamarku berantakan aja,” ancamnya.
“Jangan macam-macam! Kalo nggak mau aku laporin ke Mami Inggit.” Andin balik mengancam suaminya.
“Hey, anak kecil! Berani kamu mengancam saya?” bentak Haidar pada istrinya.
“Siapa takut! Aku nggak takut sama bujang lapuk kayak Om,” sergah Andin.
Kemudian ia melenggang keluar dari kamarnya, meninggalkan Haidar yang sedang kesal padanya.
“Sekarang aku punya pasukan yang siap bertembur melawan bujang lapuk,” ucap Andin dalam hati sambil tersenyum.
Ia berkeliling menyusuri setiap sudut rumah suaminya. “Kok sepi ya? Para pelayan ke mana?”
Andin pergi ke halaman belakang. Ternyata ada sebuah rumah yang cukup besar dan asri. Ia mellihat banyak tanaman sayuran di samping rumah tersebut.
Andin mendekati kebun sayur itu. Ia tertarik melihat warna-warni dari buah tomat. Ada yang masih hijau dan ada yang sudah merah. Ada bermacam-macam sayuran hijau.“Ada lobak, kangkung, bayam, ada selada juga, ini komplit banget.” Andin mengabsen sayuran yang ada di situ. “Apa laki gue, presdir sayur lobak?”Seorang pelayan wanita menghampiri Andin. “Nona muda,” sapanya dengan santun sambil menundukkan kepalanya.Andin menoleh ke samping, di mana sang pelayan wanita yang usianya hampir setengah abad berdiri di sampingnya sambil menundukkan pandangannya. “Tanaman sayuran di sini banyak banget, apa ini untuk dijual?” tanya Andin kepada pelayan wanita yang bernama Bi Narti.“Nggak, Nona. Ini untuk dimasak aja ,” jawab pelayan dengan sopan. Ia bernama Bi Narti, kira-kira berumur lima puluh tahun.“Bi, boleh aku ma
“Aku masih mencintaimu …. Tapi, kita nggak mungkin bisa kayak dulu lagi. Aku udah menjadi istri orang lain,” ucapnya. “Hubungan kita cukup sampai di sini aja. Maafkan aku, udah nyakitin hati kamu.” Andin menunduk menyembunyikan kesedihannya.Bagaimanapun, ia masih sangat mencintai Roy. Walaupun semua keluarganya tidak menyukai Roy, tapi ia tetap berhubungan dengannya. Menurut Andin Roy pemuda yang baik, tidak pernah berbuat tidak sopan padanya.Roy memang terlihat seperti berandal karena pakaiannya yang tidak pernah rapi dan slengean. Sering berkumpul dengan anak-anak jalanan. Tapi, ia pemuda yang baik dan setia kawan.“Andin sudah sah menjadi istri saya. Dia calon ibu dari anak-anak saya,” kata Haidar. “Saya harap kamu nggak mengganggu hubungan kami.” Haidar menggenggam tangan istrinya, lalu menciumnya dengan mesra.Andin sama sekali tidak terbu
“Kenapa?” tanya Haidar, pura-pura polos.“Sakit tahu!” Andin mengerucutkan bibirnya sambil memukul lengan Haidar.Haidar tertawa melihat Andin mengerucutkan bibirnya. “Kamu jelek banget, mata sembab, pipi merah, bibir monyong,” kata Haidar yang membuat Andin menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi.“Tadi katanya cantik,” kata Andin sambil mengerucutkan bibir seperti siput.“Tadi ada debu di mataku, yang menghalangi pandangan. Tadi kamu terlihat sangat cantik, tapi kenapa sekarang menjadi jelek sekali,” tukas Haidar, lalu ia pergi melenggang begitu saja meninggalkan sang istri.“Om, tungguin!” teriak Andin sambil berlari menyusul suaminya.“Aww …!” Andin menghentikan langkahnya. Ia duduk di pasir pantai untuk melihat apa yang telah melukai kakinya.
Haidar langsung berlari keluar kamarnya saat mendengar sang istri berteriak. Ia terlihat sangat khawatir. Kemudian masuk ke kamar di sebelah kamarnya.Haidar segera menghampiri Andin. “Ada apa?” tanya Haidar, ia terlihat sangat khawatir dengan istrinya.Andin menoleh ke belakang saat mendengar suara suaminya. Ia langsung memeluk sang suami. “Terima kasih,” ucapnya sambil terisak. “Om, memang suami terbaik.” Andin mencium bibir Haidar sekilas. Membuat Haidar diam mematung, seakan suplai oksigen ke jantungnya terhenti.“Woy! Kalemlah! Jiwa jomlo gue meronta ini,” kata Sisil. “Main sosor sembarangan!”Haidar mengerjap saat mendengar suara Sisil yang cempreng. “Untuk apa? Dari tadi ngucapin terima kasih terus,” tanya Haidar sedikit gugup. “Kenapa kamu nangis? Apa kakimu sakit lagi?” Haidar berusaha menutupi kegugupannya.“Terima kasih untuk semuanya.” Andin melepas pelukannya. “Dekorasi kamar ini persis
“Jangan berisik!” Andin membekap mulut sahabatnya.“Ngomong yang bener!” sergah Sisil.“Dia mau dijodohkan hanya demi harta. Papinya nggak mau menyerahkan harta warisannya pada laki gue, kalo dia nggak mau kawin,” jelas Andin.“Kenapa nggak mau sih? Kawin ‘kan enak,” kata Sisil dengan yakin.“Sok tahu, lo!” Andin menoyor kepala sahabatnya. “Emang lo udah ngerasain?”“Kata orang,” sahut Sisil sambil cengar-cengir.“Kalo dia udah dapat warisan, dia bilang, gue bakal ditendang dari rumah ini,” lanjut Andin. Entah ia harus senang atau sedih jika waktu itu telah tiba nantinya.“Tapi, gue lihat laki lo tulus. Tadi aja, dia sampai lari ngedenger lo teriak,” kata Sisil. “Masa sih dia sejahat itu.” Sisil tidak percaya
Suara tangisan Andin terdengar oleh Haidar saat ia keluar kamar hendak ke dapur untuk mengambil air minum.Haidar menghentikan langkahnya. “Apa yang harus aku lakukan supaya dia bisa melupakan kesedihannya?” gumamnya dalam hati.Kemudian Haidar kembali ke kamarnya untuk mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Setelah selesai menelpon ia keluar lagi dan pergi ke dapur.Ia duduk di meja makan sambil termenung. “Apa yang aku lakukan salah? Tapi, dia sudah sah menjadi istriku. Akan menjadi fitnah kalo dia terus berhubungan dengan pemuda itu,” gumamnya dalam hati.“Tuan muda, apa ada yang bisa saya bantu?” ucapan Bi Susi membuyarkan lamunan Haidar.“Buatkan saya susu hangat,” ucapnya. “Andin dan temannya tolong dibuatkan juga, nanti antarkan ke kamar!” titahnya pada pelayan rumah yang berumur empat puluh tahun.&nb
Andin berjinjit, lalu mencium pipi suaminya. "Terima kasih, Om," ucapnya, lalu pergi mendekati kandang kelinci itu. Haidar terkejut mendapat sebuah hadiah ciuman dari sang istri. Ia masih diam mematung, memegangi pipinya sambil tersenyum. Andin berjongkok di depan kandang sepasang kelinci kecil berwarna putih dan abu-abu. “Kamu lucu banget.” Andin mengambil kelinci berwarna putih. Ia mengelus-elus kelinci kecil itu. “Kamu suka?” tanya Haidar pada istrinya yang sibuk dengan dua anak kelinci yang baru berusia sekitar dua bulan. Andin menoleh pada Haidar dan tersenyum manis. “Suka banget, Om. Makasih banyak ya.” Senyuman indah tidak pernah pudar dari wajah cantiknya. Ia sangat bahagia mendapatkan binatang lucu kesukaannya. “Jangan senang dulu!” kata Haidar, “Itu nggak gratis.” Haidar berucap sambil melipat tangannya di depan dada. Wajah Andin berubah muram. “Aku harus bayar?” tanya Andin pada suaminya sambil mengerucutkan
“Ganti aja! Jangan bikin masalah terus sama laki lo!” omel Sisil. Ia takut kalau Haidar marah besar kalau Andin tetap memakai nama Joy untuk kelincinya.“Bodo amat ah. Kalo dia marah lagi, gue bakal minggat dari rumah ini dan minta cerai, supaya dia nggak bisa mendapatkan harta warisan papinya.” Andin tidak peduli dengan kemarahan suaminya. Ia malah berencana membuat ulah terus dengan sang suami.Sisil menoyor kepala Andin yang berjalan di sampingnya. “Jangan ngomong sembarangan, udah jadi janda baru tahu rasa lo!” omel Sisil pada sahabatnya yang koplak.“Biar janda, tapi ‘kan masih segel,” sahut Andin. “Janda tong-tong,” lanjutnya sambil tertawa pelan.“Mana ada yang percaya janda bersegel, perawan aja banyak yang udah buka segel,” sahut Sisil. Ia kesal dengan sahabatnya yang susah kalau dinasehati.“Lo masih segel nggak?” tanya Andin, menggoda sahabatnya sambil mencolek dagu Sisil.“Gue masih tong-tong, Cuy,” seru Sisil dengan bangga sambil mene
Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m
“Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah
“Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr
"Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be
Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den
Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb
"Apa kamu mencoba menukar keperawananku dengan motor ini?"“Kamu itu istri saya, kenapa kamu berbicara seperti itu kepada suamimu?”Gara tersinggung dengan ucapan istrinya karena dia menyiapkan motor itu setelah resmi menjadi suami Jennie.Ia hanya ingin memfasilitasi istrinya supaya wanita yang telah sah menjadi pendamping hidupnya itu bisa aman berkendara dengan motor barunya karena motor lamanya sudah tidak layak pakai."Bukannya kamu bilang nggak mau melakukannya kalau aku belum siap? Kalau ngomong tuh jangan asal keluar terus dilupain, kayak kentut aja.”Gara menatap istrinya dengan tatapan tajam, lalu pergi meninggalkan wanita itu. Ia kembali ke kamar dan langsung berendam air hangat untuk melemaskan otot-ototnya.“Kenapa saya selalu lupa dengan apa yang saya ucapkan padanya. Saya pasti terlihat seperti laki-laki bodoh yang plin plan,” ucapnya sambil menengadahkan kepalanya dengan tangan bersandar pa
"Bukannya kamu rindu dengan keluargamu," sahut Gara sambil berjalan menghampiri istrinya."Mereka ada di mana?" tanya Jennie tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. Ia tersenyum bahagia saat melihat adik satu-satunya."Di rumah keluarga barunya. Ibu kamu sudah menikah lagi dan mereka hidup bahagia bersama adikmu.""Kenapa Mama nggak bilang sama aku kalau mau menikah? Kenapa Mama melupakanku?"Gara mencengkram dagu istrinya dengan lembut. "Hey, Cantik! Apa kamu memberitahu ibumu kalau kamu sudah menikah dengan saya?""Benar juga," sahutnya. "Tapi, aku punya alasan sendiri kenapa nggak bilang sama Mama." Jennie menepis tangan suaminya."Ibu kamu juga punya alasan sendiri.""Kamu tahu dari mana?""Jangan lupakan siapa suamimu ini?""Maaf, aku lupa soal itu," jawabnya sambil melirik dengan sinis suaminya."Jangan bersedih!" Gara membelai lembut rambut sang istri yang tergerai indah."Kenapa dia
“Ya saya ingin merekam suara kamu,” jawab Gara pelan sambil tersenyum.“Sejak tadi kamu udah denger ‘kan, apa yang aku katakan?” tukas Jennie yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh suaminya. “Kamu memang menyebalkan Gara.”Jennie menggelengkan kepala sambil menggeser duduknya membelakangi sang suami. “Kena kutukan apa aku ini? Bisa-bisanya jatuh cinta kepada laki-laki seperti dia. Laki-laki narsis, dingin, angkuh, dan sangat menyebalkan."“Salah saya apa? Saya hanya ingin merekam suara kamu, itu aja. Saya ingin menyimpannya sebagai pengingat kalau saya sedang merindukanmu.”Jennie menoleh pada suaminya, lalu berkata, “Salah kamu apa? Astaga, ini CEO punya otak apa nggak sih? Tensi darahku bisa naik ini." Jennie menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku harus tetap menjaga kewarasanku," ucapnya sambil mengipasi wajah menggunakan telapak tangan."Biggie, saya ha