Suara tangisan Andin terdengar oleh Haidar saat ia keluar kamar hendak ke dapur untuk mengambil air minum.
Haidar menghentikan langkahnya. “Apa yang harus aku lakukan supaya dia bisa melupakan kesedihannya?” gumamnya dalam hati.
Kemudian Haidar kembali ke kamarnya untuk mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Setelah selesai menelpon ia keluar lagi dan pergi ke dapur.
Ia duduk di meja makan sambil termenung. “Apa yang aku lakukan salah? Tapi, dia sudah sah menjadi istriku. Akan menjadi fitnah kalo dia terus berhubungan dengan pemuda itu,” gumamnya dalam hati.
“Tuan muda, apa ada yang bisa saya bantu?” ucapan Bi Susi membuyarkan lamunan Haidar.
“Buatkan saya susu hangat,” ucapnya. “Andin dan temannya tolong dibuatkan juga, nanti antarkan ke kamar!” titahnya pada pelayan rumah yang berumur empat puluh tahun.
&nb
Andin berjinjit, lalu mencium pipi suaminya. "Terima kasih, Om," ucapnya, lalu pergi mendekati kandang kelinci itu. Haidar terkejut mendapat sebuah hadiah ciuman dari sang istri. Ia masih diam mematung, memegangi pipinya sambil tersenyum. Andin berjongkok di depan kandang sepasang kelinci kecil berwarna putih dan abu-abu. “Kamu lucu banget.” Andin mengambil kelinci berwarna putih. Ia mengelus-elus kelinci kecil itu. “Kamu suka?” tanya Haidar pada istrinya yang sibuk dengan dua anak kelinci yang baru berusia sekitar dua bulan. Andin menoleh pada Haidar dan tersenyum manis. “Suka banget, Om. Makasih banyak ya.” Senyuman indah tidak pernah pudar dari wajah cantiknya. Ia sangat bahagia mendapatkan binatang lucu kesukaannya. “Jangan senang dulu!” kata Haidar, “Itu nggak gratis.” Haidar berucap sambil melipat tangannya di depan dada. Wajah Andin berubah muram. “Aku harus bayar?” tanya Andin pada suaminya sambil mengerucutkan
“Ganti aja! Jangan bikin masalah terus sama laki lo!” omel Sisil. Ia takut kalau Haidar marah besar kalau Andin tetap memakai nama Joy untuk kelincinya.“Bodo amat ah. Kalo dia marah lagi, gue bakal minggat dari rumah ini dan minta cerai, supaya dia nggak bisa mendapatkan harta warisan papinya.” Andin tidak peduli dengan kemarahan suaminya. Ia malah berencana membuat ulah terus dengan sang suami.Sisil menoyor kepala Andin yang berjalan di sampingnya. “Jangan ngomong sembarangan, udah jadi janda baru tahu rasa lo!” omel Sisil pada sahabatnya yang koplak.“Biar janda, tapi ‘kan masih segel,” sahut Andin. “Janda tong-tong,” lanjutnya sambil tertawa pelan.“Mana ada yang percaya janda bersegel, perawan aja banyak yang udah buka segel,” sahut Sisil. Ia kesal dengan sahabatnya yang susah kalau dinasehati.“Lo masih segel nggak?” tanya Andin, menggoda sahabatnya sambil mencolek dagu Sisil.“Gue masih tong-tong, Cuy,” seru Sisil dengan bangga sambil mene
“Permisi, Nona Muda. Apa ada yang bisa saya bantu?” tanya pria yang memakai kaus lengan pendek berwarna hitam dan celana olah raga berwarna senada.Berbadan tegap, sorot mata yang tajam, alis tebal dengan rahang yang tegas. Ia memakai kaus yang pas di badan, sehingga otot lengannya yang besar terlihat menyembul yang membuatnya terlihat gagah dan kuat.Sisil menatap pria itu tanpa berkedip. “Calon laki gue, ada di sini,” ucapnya sembari tersenyum genit.Andin memukul bahu Sisil. “Nggak bisa lihat yang bening dikit,” omel Andin. “Kumat deh penyakit gatel, lo,” cibir Andin pada sahabatnya.“Sinyalnya kuat banget, Din,” kata Sisil. Tatapannya tidak lepas dari pria berbaju hitam itu.Andin mendelikkan matanya pada Sisil sambil mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. Kemudian ia menatap lagi pria berbadan tegap itu.“Bang, aku dan temanku mau ke taman belakang, tapi malah nyasar ke sini,” ucapnya sambil tersenyum. “Bisa tolong tunjukin jalannya!”
“Din, laki lo tukang sayur di pasar induk ya?” tanya Sisil pada Andin setelah ia memetik daun kemangi. “Semua jenis sayur, ada di sini. Kalo rumah gue deket, udah gue ambilin tiap hari, jadi Ibu nggak perlu belanja,” lanjutnya sambil tertawa pelan.“Ngawur lo, masa iya tukang sayur pake bodyguard segala,” sahut Andin, sambil mengaduk tumis kangkung yang hampir matang.“Iya juga sih.” Sisil manggut-manggut sambil menyiangi daun kemangi.“Sil, kalo udah selesai nyiangin daun kemangi, kamu goreng tempe tepung, ya!” titah Andin pada Sisil, sambil menuang tumis kangkung ke piring besar.“Siap, Ndoro,” sahut Sisil dengan semangat. Ia pun segera mencuci daun kemangi yang sudah disiangi. Lalu menyalakan kompor dan memanaskan penggorengan.Sementara Andin sedang memanaskan alat pemanggang ikan. Ia menaruh ikan di atas panggangan yang sudah panas, sesekali membaliknya dan mengoleskan kembali bumbu yang
“Sempurna,” jawab Haidar sambil mengacungkan jempolnya yang masih blepotan sambal dan bumbu ikan gurame bakar.Andin langsung memeluk Haidar dari samping, tangannya ia lingkarkan di leher sang suami. Kemudian ia mencium pipi suaminya berkali-kali.Haidar yang mendapat serangan mendadak dari istrinya hanya diam mematung tanpa bisa berkata-kata lagi. Ia syok mendapat ciuman dadakan. Sudah diberi makan enak ditambah hidangan penutup yang super enak.“Astaga!” Sisil memejamkan matanya melihat adegan romantis suami istri di depannya. “Gue tahu, kalian udah halal, tapi tolonglah jangan ciuman di depan gue! Kasihanilah si Jotik ini,” ujar Sisil sambil memejamkan matanya.“Nggak usah lebay, buka mata lo!” titah Andin sambil melempar irisan timun ke arah Sisil.Andin sudah duduk kembali di kursinya saat Sisil membuka mata “Jotik siapa sih? Penyanyi dangdut itu ya?” tanya Andin pada Sisil.
“Aku mau minta izin, ke rumah Bunda, sebentar,” jawab Andin. Kemudian ia bangun dari duduknya menghampiri Haidar.“Aku antar,” sahut Haidar. Ia berbalik badan menghadap Andin yang sedang berjalan menghampirinya.“Nggak usah. Aku mau nganter Sisil dulu, terus ke rumah sakit, jengukin Kak Fadil, abis itu baru ke rumah Bunda,” kata Andin. Ia nggak mau diantar suaminya karena merasa nggak bebas, apa lagi para bodyguard-nya pasti ikut.“Setelah dari rumah Bunda, kita langsung ke rumah Mami,” kata Haidar. “Apa kamu mau ke tempat lain, yang aku nggak boleh tahu?” Haidar menyipitkan matanya.“Nggak,” jawab Andin. “Ya udah, Om boleh ikut, tapi para bodyguard kamu nggak boleh ikut!” Andin merasa tidak nyaman kalau selalu diikuti para bodyguard.“Ok,” sahut Haidar. “Aku ganti baju dulu.” Haidar pergi ke ruang ganti.“Aku tungggu di luar,” kata Andin. “Punya laki ribet banget ya, ngintilin mulu, ‘kan gue jadi nggak bebas,” gumam Andin sambil menutup pintu kam
Tanpa banyak bertanya lagi, Haidar mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tidak ada yang bersuara di dalam mobil. Haidar maupun Andin, mereka diam mematung. Sisil tampak canggung berada di antara Andin dan suaminya.“Tumben banget tuh si Andin diem aja, apa dia keselek biji rambutan? Gue tidur aja ah, dari pada bengong, entar gue ketempelan lagi,” ucap Sisil dalam hati. Ia pun mengatur posisi ternyamannya dan segera memejamkan mata.Dengan mudahnya Sisil terlelap. Rasa kenyang setelah makan siang membuatnya merasa sangat mengantuk. Tidak sulit baginya untuk pergi ke alam mimpi secepatnya.Di dalam mobil tidak ada yang bersuara untuk memulai percakapan. Andin merasa bosan, ia menoleh pada suaminya yang fokus dengan kemudi. “Nih orang serius amat,” batin Andin. Lalu ia menoleh ke belakang. “Si kampret tidur, pantesan nggak ada suaranya,” kata Andin saat melihat sahabatnya tertidur pulas.Andin kembali menoleh pada suaminya. Bukan Andin yang betah berlam
“Aww ….” Andin mengaduh. Lalu membuka mata sambil mengusap-usap kepalanya yang terbentur lemari tempat menyimpan boneka kelinci miliknya. Andin pun segera turun dari gendongan sang suami. “Om, sengaja ‘kan supaya aku gegar otak.” Andin menuduh Haidar sengaja membenturkan kepalanya pada lemari.“Aku beneran nggak sengaja, mamf ya!” ucap Haidar tampak menyesali perbuatannya. Ia mengusap-usap dengan lembut kepala Andin. “Sakit ya?”“Ya iyalah,” jawab Andin dengan ketus. Lalu ia berjalan sempoyongan menuju tempat tidur.“Hati-hati!” Dengan sigap Haidar menangkap tubuh sang istri ketika hendak terjatuh. Lalu ia membopong dan membaringkannya di tempat tidur berselimutkan sprei berwarna ungu, persis seperti kamarnya yang ada di rumah sang suami. Haidar sengaja membuat kamar yang persis seperti kamarnya di sini supaya Andin tidur di kamarnya sen
Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m
“Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah
“Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr
"Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be
Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den
Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb
"Apa kamu mencoba menukar keperawananku dengan motor ini?"“Kamu itu istri saya, kenapa kamu berbicara seperti itu kepada suamimu?”Gara tersinggung dengan ucapan istrinya karena dia menyiapkan motor itu setelah resmi menjadi suami Jennie.Ia hanya ingin memfasilitasi istrinya supaya wanita yang telah sah menjadi pendamping hidupnya itu bisa aman berkendara dengan motor barunya karena motor lamanya sudah tidak layak pakai."Bukannya kamu bilang nggak mau melakukannya kalau aku belum siap? Kalau ngomong tuh jangan asal keluar terus dilupain, kayak kentut aja.”Gara menatap istrinya dengan tatapan tajam, lalu pergi meninggalkan wanita itu. Ia kembali ke kamar dan langsung berendam air hangat untuk melemaskan otot-ototnya.“Kenapa saya selalu lupa dengan apa yang saya ucapkan padanya. Saya pasti terlihat seperti laki-laki bodoh yang plin plan,” ucapnya sambil menengadahkan kepalanya dengan tangan bersandar pa
"Bukannya kamu rindu dengan keluargamu," sahut Gara sambil berjalan menghampiri istrinya."Mereka ada di mana?" tanya Jennie tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. Ia tersenyum bahagia saat melihat adik satu-satunya."Di rumah keluarga barunya. Ibu kamu sudah menikah lagi dan mereka hidup bahagia bersama adikmu.""Kenapa Mama nggak bilang sama aku kalau mau menikah? Kenapa Mama melupakanku?"Gara mencengkram dagu istrinya dengan lembut. "Hey, Cantik! Apa kamu memberitahu ibumu kalau kamu sudah menikah dengan saya?""Benar juga," sahutnya. "Tapi, aku punya alasan sendiri kenapa nggak bilang sama Mama." Jennie menepis tangan suaminya."Ibu kamu juga punya alasan sendiri.""Kamu tahu dari mana?""Jangan lupakan siapa suamimu ini?""Maaf, aku lupa soal itu," jawabnya sambil melirik dengan sinis suaminya."Jangan bersedih!" Gara membelai lembut rambut sang istri yang tergerai indah."Kenapa dia
“Ya saya ingin merekam suara kamu,” jawab Gara pelan sambil tersenyum.“Sejak tadi kamu udah denger ‘kan, apa yang aku katakan?” tukas Jennie yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh suaminya. “Kamu memang menyebalkan Gara.”Jennie menggelengkan kepala sambil menggeser duduknya membelakangi sang suami. “Kena kutukan apa aku ini? Bisa-bisanya jatuh cinta kepada laki-laki seperti dia. Laki-laki narsis, dingin, angkuh, dan sangat menyebalkan."“Salah saya apa? Saya hanya ingin merekam suara kamu, itu aja. Saya ingin menyimpannya sebagai pengingat kalau saya sedang merindukanmu.”Jennie menoleh pada suaminya, lalu berkata, “Salah kamu apa? Astaga, ini CEO punya otak apa nggak sih? Tensi darahku bisa naik ini." Jennie menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku harus tetap menjaga kewarasanku," ucapnya sambil mengipasi wajah menggunakan telapak tangan."Biggie, saya ha