“Permisi, Nona Muda. Apa ada yang bisa saya bantu?” tanya pria yang memakai kaus lengan pendek berwarna hitam dan celana olah raga berwarna senada.
Berbadan tegap, sorot mata yang tajam, alis tebal dengan rahang yang tegas. Ia memakai kaus yang pas di badan, sehingga otot lengannya yang besar terlihat menyembul yang membuatnya terlihat gagah dan kuat.
Sisil menatap pria itu tanpa berkedip. “Calon laki gue, ada di sini,” ucapnya sembari tersenyum genit.
Andin memukul bahu Sisil. “Nggak bisa lihat yang bening dikit,” omel Andin. “Kumat deh penyakit gatel, lo,” cibir Andin pada sahabatnya.
“Sinyalnya kuat banget, Din,” kata Sisil. Tatapannya tidak lepas dari pria berbaju hitam itu.
Andin mendelikkan matanya pada Sisil sambil mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. Kemudian ia menatap lagi pria berbadan tegap itu.
“Bang, aku dan temanku mau ke taman belakang, tapi malah nyasar ke sini,” ucapnya sambil tersenyum. “Bisa tolong tunjukin jalannya!”<
“Din, laki lo tukang sayur di pasar induk ya?” tanya Sisil pada Andin setelah ia memetik daun kemangi. “Semua jenis sayur, ada di sini. Kalo rumah gue deket, udah gue ambilin tiap hari, jadi Ibu nggak perlu belanja,” lanjutnya sambil tertawa pelan.“Ngawur lo, masa iya tukang sayur pake bodyguard segala,” sahut Andin, sambil mengaduk tumis kangkung yang hampir matang.“Iya juga sih.” Sisil manggut-manggut sambil menyiangi daun kemangi.“Sil, kalo udah selesai nyiangin daun kemangi, kamu goreng tempe tepung, ya!” titah Andin pada Sisil, sambil menuang tumis kangkung ke piring besar.“Siap, Ndoro,” sahut Sisil dengan semangat. Ia pun segera mencuci daun kemangi yang sudah disiangi. Lalu menyalakan kompor dan memanaskan penggorengan.Sementara Andin sedang memanaskan alat pemanggang ikan. Ia menaruh ikan di atas panggangan yang sudah panas, sesekali membaliknya dan mengoleskan kembali bumbu yang
“Sempurna,” jawab Haidar sambil mengacungkan jempolnya yang masih blepotan sambal dan bumbu ikan gurame bakar.Andin langsung memeluk Haidar dari samping, tangannya ia lingkarkan di leher sang suami. Kemudian ia mencium pipi suaminya berkali-kali.Haidar yang mendapat serangan mendadak dari istrinya hanya diam mematung tanpa bisa berkata-kata lagi. Ia syok mendapat ciuman dadakan. Sudah diberi makan enak ditambah hidangan penutup yang super enak.“Astaga!” Sisil memejamkan matanya melihat adegan romantis suami istri di depannya. “Gue tahu, kalian udah halal, tapi tolonglah jangan ciuman di depan gue! Kasihanilah si Jotik ini,” ujar Sisil sambil memejamkan matanya.“Nggak usah lebay, buka mata lo!” titah Andin sambil melempar irisan timun ke arah Sisil.Andin sudah duduk kembali di kursinya saat Sisil membuka mata “Jotik siapa sih? Penyanyi dangdut itu ya?” tanya Andin pada Sisil.
“Aku mau minta izin, ke rumah Bunda, sebentar,” jawab Andin. Kemudian ia bangun dari duduknya menghampiri Haidar.“Aku antar,” sahut Haidar. Ia berbalik badan menghadap Andin yang sedang berjalan menghampirinya.“Nggak usah. Aku mau nganter Sisil dulu, terus ke rumah sakit, jengukin Kak Fadil, abis itu baru ke rumah Bunda,” kata Andin. Ia nggak mau diantar suaminya karena merasa nggak bebas, apa lagi para bodyguard-nya pasti ikut.“Setelah dari rumah Bunda, kita langsung ke rumah Mami,” kata Haidar. “Apa kamu mau ke tempat lain, yang aku nggak boleh tahu?” Haidar menyipitkan matanya.“Nggak,” jawab Andin. “Ya udah, Om boleh ikut, tapi para bodyguard kamu nggak boleh ikut!” Andin merasa tidak nyaman kalau selalu diikuti para bodyguard.“Ok,” sahut Haidar. “Aku ganti baju dulu.” Haidar pergi ke ruang ganti.“Aku tungggu di luar,” kata Andin. “Punya laki ribet banget ya, ngintilin mulu, ‘kan gue jadi nggak bebas,” gumam Andin sambil menutup pintu kam
Tanpa banyak bertanya lagi, Haidar mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Tidak ada yang bersuara di dalam mobil. Haidar maupun Andin, mereka diam mematung. Sisil tampak canggung berada di antara Andin dan suaminya.“Tumben banget tuh si Andin diem aja, apa dia keselek biji rambutan? Gue tidur aja ah, dari pada bengong, entar gue ketempelan lagi,” ucap Sisil dalam hati. Ia pun mengatur posisi ternyamannya dan segera memejamkan mata.Dengan mudahnya Sisil terlelap. Rasa kenyang setelah makan siang membuatnya merasa sangat mengantuk. Tidak sulit baginya untuk pergi ke alam mimpi secepatnya.Di dalam mobil tidak ada yang bersuara untuk memulai percakapan. Andin merasa bosan, ia menoleh pada suaminya yang fokus dengan kemudi. “Nih orang serius amat,” batin Andin. Lalu ia menoleh ke belakang. “Si kampret tidur, pantesan nggak ada suaranya,” kata Andin saat melihat sahabatnya tertidur pulas.Andin kembali menoleh pada suaminya. Bukan Andin yang betah berlam
“Aww ….” Andin mengaduh. Lalu membuka mata sambil mengusap-usap kepalanya yang terbentur lemari tempat menyimpan boneka kelinci miliknya. Andin pun segera turun dari gendongan sang suami. “Om, sengaja ‘kan supaya aku gegar otak.” Andin menuduh Haidar sengaja membenturkan kepalanya pada lemari.“Aku beneran nggak sengaja, mamf ya!” ucap Haidar tampak menyesali perbuatannya. Ia mengusap-usap dengan lembut kepala Andin. “Sakit ya?”“Ya iyalah,” jawab Andin dengan ketus. Lalu ia berjalan sempoyongan menuju tempat tidur.“Hati-hati!” Dengan sigap Haidar menangkap tubuh sang istri ketika hendak terjatuh. Lalu ia membopong dan membaringkannya di tempat tidur berselimutkan sprei berwarna ungu, persis seperti kamarnya yang ada di rumah sang suami. Haidar sengaja membuat kamar yang persis seperti kamarnya di sini supaya Andin tidur di kamarnya sen
“Abang …!” Andin berteriak sambil memukuli saudara kembarnya. “Aku ‘kan udah bilang, jangan sampai Bunda tahu. Abang jahat! Udah nggak sayang lagi sama adek,” cerocos Andin sambil mengerucutkan bibirnya.“Abang lupa, Dek,” jawab Aldin sambil tertawa. Aldin bisa tertawa lepas hanya dengan adik kesayangannya saja. Ia tidak punya banyak teman karena Aldin sangat pemilih dalam berteman.“Adek, tolong jelasin sama Bunda, siapa guru olah raga itu!” Bunda Anin duduk di depan anak perempuannya.“Dia namanya Pak Cahyo. Dulu waktu pacaran sama adek, usianya udah dua puluh tujuh tahun, tapi dia masih perjaka, Bun, belum punya istri. Yang penting ‘kan adek nggak pacaran sama suami orang.” Andin menjelaskannya sambil menunduk.“Dulu kamu pernah pacaran sama yang lebih tua, bahkan jarak usiannya jauh lebih tua dibandingkan dengan
“Udahlah, Bunda, jangan terlalu dipikirkan! Walaupun mereka cuma pura-pura mesra, seenggaknya mereka udah membiasakan diri untuk bersikap mesra. Lama kelamaan juga akan terbiasa bermesraan dan nggak mau dipisahkan. Tuhan sudah menyatukan mereka dengan cara yang tidak biasa, itu artinya mereka memang berjodoh. Kita berdoa saja untuk kebahagiaan adek,” ujar Aldin menenangkan hati sang bunda. Kemudain ia beranjak dan berdiri, lalu pergi menuju kamarnya.“Betul yang dikatakan Abang,” sahut Nenek Marisa. “Anak sama emak, lebih pintar anaknya,” cibir Nenek Marisa pada putrinya sambil mencebikkan bibir.“Yaelah, Ma, dia pintar pasti mirip orang tuanya,” sahut Bunda Anin tidak mau kalah.“Iya, dia cerdas mirip Ayahnya,” jawab Nenek Marisa. “Kalo Andin sama kamu, mirip, bagai pinang dibelah rata, sama-sama centil,” imbuhnya sambil tersenyum. Lalu pergi meninggalkan anaknya di ruang keluarga.“Terserah Mama ajalah,” sahut Bun
“Ayo kita masuk, Sayang. Mami mau masak sendiri untuk menantu Mami yang cantik ini,” kata Mami Inggit sambil menjawil dagu menantunya.“Aku bantuin ya, Mi,” kata Andin. Ia ingin mengenal lebih dekat lagi dengan mertuanya.“Boleh, Sayang,” balas Mami Inggit. Ia pun beranjak dari duduknya, lalu mengulurkan tangannya pada sang menantu.Andin menerima uluran tangan mertuanya sambil tersenyum, mereka berjalan sambil bergandengan tangan.“Dapat anugerah mertua yang baik hati kayak gini tuh rasanya sesuatu banget. Mami merasa dapat musibah nggak ya, dapat menantu kayak gue,” kata Andin dalam hati. Kali ini ia menahan senyumnya agar sang mertua tidak menganggapnya aneh karena tersenyum-senyum sendiri.“Menantu sama mertua , akur bener!” seru Papi Mannaf sambil tersenyum bahagia melihat istri dan menantunya yang berjalan sambil b
Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m
“Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah
“Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr
"Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be
Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den
Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb
"Apa kamu mencoba menukar keperawananku dengan motor ini?"“Kamu itu istri saya, kenapa kamu berbicara seperti itu kepada suamimu?”Gara tersinggung dengan ucapan istrinya karena dia menyiapkan motor itu setelah resmi menjadi suami Jennie.Ia hanya ingin memfasilitasi istrinya supaya wanita yang telah sah menjadi pendamping hidupnya itu bisa aman berkendara dengan motor barunya karena motor lamanya sudah tidak layak pakai."Bukannya kamu bilang nggak mau melakukannya kalau aku belum siap? Kalau ngomong tuh jangan asal keluar terus dilupain, kayak kentut aja.”Gara menatap istrinya dengan tatapan tajam, lalu pergi meninggalkan wanita itu. Ia kembali ke kamar dan langsung berendam air hangat untuk melemaskan otot-ototnya.“Kenapa saya selalu lupa dengan apa yang saya ucapkan padanya. Saya pasti terlihat seperti laki-laki bodoh yang plin plan,” ucapnya sambil menengadahkan kepalanya dengan tangan bersandar pa
"Bukannya kamu rindu dengan keluargamu," sahut Gara sambil berjalan menghampiri istrinya."Mereka ada di mana?" tanya Jennie tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. Ia tersenyum bahagia saat melihat adik satu-satunya."Di rumah keluarga barunya. Ibu kamu sudah menikah lagi dan mereka hidup bahagia bersama adikmu.""Kenapa Mama nggak bilang sama aku kalau mau menikah? Kenapa Mama melupakanku?"Gara mencengkram dagu istrinya dengan lembut. "Hey, Cantik! Apa kamu memberitahu ibumu kalau kamu sudah menikah dengan saya?""Benar juga," sahutnya. "Tapi, aku punya alasan sendiri kenapa nggak bilang sama Mama." Jennie menepis tangan suaminya."Ibu kamu juga punya alasan sendiri.""Kamu tahu dari mana?""Jangan lupakan siapa suamimu ini?""Maaf, aku lupa soal itu," jawabnya sambil melirik dengan sinis suaminya."Jangan bersedih!" Gara membelai lembut rambut sang istri yang tergerai indah."Kenapa dia
“Ya saya ingin merekam suara kamu,” jawab Gara pelan sambil tersenyum.“Sejak tadi kamu udah denger ‘kan, apa yang aku katakan?” tukas Jennie yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh suaminya. “Kamu memang menyebalkan Gara.”Jennie menggelengkan kepala sambil menggeser duduknya membelakangi sang suami. “Kena kutukan apa aku ini? Bisa-bisanya jatuh cinta kepada laki-laki seperti dia. Laki-laki narsis, dingin, angkuh, dan sangat menyebalkan."“Salah saya apa? Saya hanya ingin merekam suara kamu, itu aja. Saya ingin menyimpannya sebagai pengingat kalau saya sedang merindukanmu.”Jennie menoleh pada suaminya, lalu berkata, “Salah kamu apa? Astaga, ini CEO punya otak apa nggak sih? Tensi darahku bisa naik ini." Jennie menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku harus tetap menjaga kewarasanku," ucapnya sambil mengipasi wajah menggunakan telapak tangan."Biggie, saya ha