“Aku masih mencintaimu …. Tapi, kita nggak mungkin bisa kayak dulu lagi. Aku udah menjadi istri orang lain,” ucapnya. “Hubungan kita cukup sampai di sini aja. Maafkan aku, udah nyakitin hati kamu.” Andin menunduk menyembunyikan kesedihannya.
Bagaimanapun, ia masih sangat mencintai Roy. Walaupun semua keluarganya tidak menyukai Roy, tapi ia tetap berhubungan dengannya. Menurut Andin Roy pemuda yang baik, tidak pernah berbuat tidak sopan padanya.
Roy memang terlihat seperti berandal karena pakaiannya yang tidak pernah rapi dan slengean. Sering berkumpul dengan anak-anak jalanan. Tapi, ia pemuda yang baik dan setia kawan.
“Andin sudah sah menjadi istri saya. Dia calon ibu dari anak-anak saya,” kata Haidar. “Saya harap kamu nggak mengganggu hubungan kami.” Haidar menggenggam tangan istrinya, lalu menciumnya dengan mesra.
Andin sama sekali tidak terbuai dengan ucapan suaminya. Ia tahu Haidar hanya berpura-pura bersikap manis di depan Roy, hanya untuk membuat Roy sadar kalau wanita pujaannya sudah menikah.
“Roy … maafkan aku!” ucap Andin. Suaranya lirih terdengar sangat pedih. Ia berusaha keras untuk menahan air matanya agar tidak tumpah.
“Dulu aku berharap, kamu adalah wanita yang akan terus berada di sampingku. Mendukung setiap langkahku. Mencintaiku untuk selamanya, tapi semua itu kini tinggal kenangan,” kata Roy. “Semoga kalian bahagia!”
Dengan langkah yang berat Roy meninggalkan gadis yang sangat ia cintai yang sekarang sudah menjadi istri orang lain. Hatinya menjerit merasakakan sakit yanng tidak berdarah.
Dadanya terasa sesak, hatinya bagai tersayat sembilu. Andin, gadis cantik yang menerima dia apa adanya sebagai seorang kekasih, kini telah menjadi milik orang lain.
“Tunggu di sini sebentar!” kata Haidar. Ia melepas genggaman tangannya, lalu mengejar Roy.
Haidar berjalan cepat mengejar Roy, ia menyejajarkan langkahnya dengan mantan kekasih sang istri setelah berhasil mengejarnya.
“Berubahlah! Jangan terlalu santai menjalani hidup,” ucap Haidar, yang membuat Roy menoleh ke arahnya.
“Maksud kamu apa?” tanya Roy.
“Kejarlah cita-citamu! Buktikan pada orang yang meremehkanmu, kalo kamu juga bisa sukses dengan caramu.” Haidar menepuk pundak Roy.
“Semangat hidupku telah kamu ambil,” jawab Roy ketus.
Mereka mengobrol sambil berjalan menyusuri danau buatan dekat kafe x.
Haidar tersenyum menanggapi ucapan Roy. “Bekerja keraslah, jika kamu ingin sukses! Setelah kamu sukses, kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan dengan mudah.”
Roy menghentikan langkah kakinya. Ia berbalik badan menghadap laki-laki jangkung yang menjadi suami gadis pujaannya.
“Kalo aku sukses, aku akan mengambil kembali cintaku dari tanganmu,” tukas Roy sambil tersenyum sinis.
“Kalo dia sudah bukan jodohku lagi, aku akan menyerahkannya padamu. Tapi, kalo dia ditakdirkan menjadi jodoh dunia akhiratku, silakan cari orang yang mencintaimu dengan tulus.”
“Ok,” sahut Roy.
Haidar menepuk pundak Roy. “Semoga sukses!”
Setelah berbicara dengan mantan kekasih istrinya, ia berbalik badan dan melangkah menuju kafe. Menemui sang istri yang sedang menunggunya.
“Ayo kita pergi!” Haidar mengulurkan tangan pada sang istri.
Andin menyambut uluran tangan suaminya. Wajahnya terlihat murung. Haidar menggenggam tangan istrinya dengan erat. Ia tahu kalau saat ini Andin tidak baik-baik saja.
Andin dan Haidar masuk ke dalam mobil. Haidar memasang seat belt sang istri, ia hanya diam saja tanpa bereaksi apapun. Tatapannya kosong menerawang ke depan.
Haidar melajukan mobilnya menuju sebuah pantai. Sepanjang perjalanan Andin hanya diam saja. Haidar jadi merasa kehilangan sosok Andin yang berisik dan menyebalkan.
Setelah satu jam akhirnya mereka sampai. Haidar menepikan mobilnya. Ia menoleh pada Andin. Lalu membuka seat belt“Ayo kita turun!”
Andin hanya diam saja tanpa menjawab ucapan sang suami. Lalu Haidar turun dan berjalan ke arah Andin.
Ia membuka pintu mobil, lalu mengulurkan tangannya di depan wajah sang istri. Andin menoleh pada sang suami. Lalu menyambut uluran tangan suaminya dan keluar dari mobil.
Haidar mengajak Andin duduk di pinggir pantai, di sebuah batu besar. Ia membelai kepala sang istri, lalu menarik ke dalam pelukannya. “Menangislah! Di sini nggak ada orang, udah di sterilkan oleh bodyguardku.”
Andin mendongakkan wajahnya menatap sang suami.
“Jangan ditahan! Itu hanya akan membuatmu semakin sakit. Menangislah! Keluarkan rasa sakit di hatimu!” Haidar membelai rambut Andin dengan lembut.
Andin mulai terisak, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia menumpahkan rasa sakit yang tak berdarah. Sakit karena berpisah dengan orang yang sangat ia cintai. Berpisah di saat hati sedang sayang-sayangnya, itu sangat menyakitkan.
Satu jam sudah Andin menangis tanpa henti. Setelah menangis, hatinya terasa sangat lega.
“Minumlah! Pasti kamu haus, satu jam menangis tanpa henti,” sindir Haidar. “Habiskan! Aku takut kamu dehidrasi,” lanjutnya.
Andin tersenyum mendengar ucapan sang suami. Ia menenggak air minumnya dengan sekali tegukan.
“Mau lagi?” tanya Haidar.
Andin menggelengkan kepalanya. “Terima kasih,” ucapnya dengan tulus.
Andin bangun dari duduknya. “Aku udah tenang. Ayo kita pulang! Kita harus ke rumah Mami.”
Haidar menarik Andin ke dalam pelukannya. Ia memeluk Andin dari belakang.
“Kita lihat sunset dulu. Tunggu sebentar ya,” bisik Haidar di telinga sang istri.
Hari ini Haidar akan bersikap manis pada sang istri. Ia merasa bersalah atas kandasnya hubungan mereka berdua.
“Kita harus ke rumah Mami,” sahut Andin.
“Besok aja ke sananya. Hari ini kita bersenang-senang dulu,” ucap Haidar. Ia semakin erat memeluk istrinya.
“Tumben, nih orang waras,” kata Andin dalam hati. “Perlakuannya membuat hatiku sedikit lebih tenang.”
“Hari ini aku akan menuruti semua keinginan kamu?” kata Haidar.
Andin berbalik menghadap sang suami yang sedang duduk di atas batu besar. Sementara ia sedang berdiri di hadapan suaminya.
“Janji ya.” Andin mengacungkan jari kelingkingnya di hadapan Haidar.
“Apa ini?” tanya Haidar sambil memegangi jari kelingking Andin.
Andin menarik tangan Haidar, kemudain menautkan jari kelingkingnya pada jari kelingking Haidar.
“Ini simbol, kalo kita saling berjanji, tidak akan mengingkari,” jelas Andin sambil tersenyum.
Haidar membalikkan tubuh sang istri. “Lihat itu! Cantik sekali bukan?”
Haidar memeluk erat istrinya. Dagunya ia tempelkan di bahu sang istri.
“Iya, cantik sekali,” sahut Andin, saat melihat matahari yang sudah setengah tenggelam di bawah garis cakrawala.
“Seperti kamu … cantik,” ucap Haidar sambil tersenyum.
Deg … jantungnya seakan berhenti sesaat, setelah mendengar ucapan suaminya. Walaupun ia tahu, kalau Haidar bebuat seperti ini hanya ingin menghibur dirinya.
Andin berbalik badan menghadap suaminya. “Ternyata Om bisa ngegombal juga?” tukas Andin sambil tersenyum.
“Ini bukan gombalan, tapi kenyataan,” jawab Haidar. Ia berusaha menghibur sang istri. Mungkin hanya ini yang bisa ia lakukan untuk membalas budi pada Andin karena ia sudah membantu untuk mendapat warisan orang tuanya.
“Om benar, kenyataannya memang aku sangat cantik dan mempesona,” tukas Andin sambil tersenyum.
“Syukurlah, si gesrek udah kembali,” ucap Haidar dalam hati.
“Kamu benar, istriku ini sangat cantik ,” kata Haidar sambil menyubit pipi
sang istri dengan gemas.
“Om …!”
“Kenapa?” tanya Haidar, pura-pura polos.“Sakit tahu!” Andin mengerucutkan bibirnya sambil memukul lengan Haidar.Haidar tertawa melihat Andin mengerucutkan bibirnya. “Kamu jelek banget, mata sembab, pipi merah, bibir monyong,” kata Haidar yang membuat Andin menangkupkan kedua telapak tangannya di pipi.“Tadi katanya cantik,” kata Andin sambil mengerucutkan bibir seperti siput.“Tadi ada debu di mataku, yang menghalangi pandangan. Tadi kamu terlihat sangat cantik, tapi kenapa sekarang menjadi jelek sekali,” tukas Haidar, lalu ia pergi melenggang begitu saja meninggalkan sang istri.“Om, tungguin!” teriak Andin sambil berlari menyusul suaminya.“Aww …!” Andin menghentikan langkahnya. Ia duduk di pasir pantai untuk melihat apa yang telah melukai kakinya.
Haidar langsung berlari keluar kamarnya saat mendengar sang istri berteriak. Ia terlihat sangat khawatir. Kemudian masuk ke kamar di sebelah kamarnya.Haidar segera menghampiri Andin. “Ada apa?” tanya Haidar, ia terlihat sangat khawatir dengan istrinya.Andin menoleh ke belakang saat mendengar suara suaminya. Ia langsung memeluk sang suami. “Terima kasih,” ucapnya sambil terisak. “Om, memang suami terbaik.” Andin mencium bibir Haidar sekilas. Membuat Haidar diam mematung, seakan suplai oksigen ke jantungnya terhenti.“Woy! Kalemlah! Jiwa jomlo gue meronta ini,” kata Sisil. “Main sosor sembarangan!”Haidar mengerjap saat mendengar suara Sisil yang cempreng. “Untuk apa? Dari tadi ngucapin terima kasih terus,” tanya Haidar sedikit gugup. “Kenapa kamu nangis? Apa kakimu sakit lagi?” Haidar berusaha menutupi kegugupannya.“Terima kasih untuk semuanya.” Andin melepas pelukannya. “Dekorasi kamar ini persis
“Jangan berisik!” Andin membekap mulut sahabatnya.“Ngomong yang bener!” sergah Sisil.“Dia mau dijodohkan hanya demi harta. Papinya nggak mau menyerahkan harta warisannya pada laki gue, kalo dia nggak mau kawin,” jelas Andin.“Kenapa nggak mau sih? Kawin ‘kan enak,” kata Sisil dengan yakin.“Sok tahu, lo!” Andin menoyor kepala sahabatnya. “Emang lo udah ngerasain?”“Kata orang,” sahut Sisil sambil cengar-cengir.“Kalo dia udah dapat warisan, dia bilang, gue bakal ditendang dari rumah ini,” lanjut Andin. Entah ia harus senang atau sedih jika waktu itu telah tiba nantinya.“Tapi, gue lihat laki lo tulus. Tadi aja, dia sampai lari ngedenger lo teriak,” kata Sisil. “Masa sih dia sejahat itu.” Sisil tidak percaya
Suara tangisan Andin terdengar oleh Haidar saat ia keluar kamar hendak ke dapur untuk mengambil air minum.Haidar menghentikan langkahnya. “Apa yang harus aku lakukan supaya dia bisa melupakan kesedihannya?” gumamnya dalam hati.Kemudian Haidar kembali ke kamarnya untuk mengambil ponsel dan menghubungi seseorang. Setelah selesai menelpon ia keluar lagi dan pergi ke dapur.Ia duduk di meja makan sambil termenung. “Apa yang aku lakukan salah? Tapi, dia sudah sah menjadi istriku. Akan menjadi fitnah kalo dia terus berhubungan dengan pemuda itu,” gumamnya dalam hati.“Tuan muda, apa ada yang bisa saya bantu?” ucapan Bi Susi membuyarkan lamunan Haidar.“Buatkan saya susu hangat,” ucapnya. “Andin dan temannya tolong dibuatkan juga, nanti antarkan ke kamar!” titahnya pada pelayan rumah yang berumur empat puluh tahun.&nb
Andin berjinjit, lalu mencium pipi suaminya. "Terima kasih, Om," ucapnya, lalu pergi mendekati kandang kelinci itu. Haidar terkejut mendapat sebuah hadiah ciuman dari sang istri. Ia masih diam mematung, memegangi pipinya sambil tersenyum. Andin berjongkok di depan kandang sepasang kelinci kecil berwarna putih dan abu-abu. “Kamu lucu banget.” Andin mengambil kelinci berwarna putih. Ia mengelus-elus kelinci kecil itu. “Kamu suka?” tanya Haidar pada istrinya yang sibuk dengan dua anak kelinci yang baru berusia sekitar dua bulan. Andin menoleh pada Haidar dan tersenyum manis. “Suka banget, Om. Makasih banyak ya.” Senyuman indah tidak pernah pudar dari wajah cantiknya. Ia sangat bahagia mendapatkan binatang lucu kesukaannya. “Jangan senang dulu!” kata Haidar, “Itu nggak gratis.” Haidar berucap sambil melipat tangannya di depan dada. Wajah Andin berubah muram. “Aku harus bayar?” tanya Andin pada suaminya sambil mengerucutkan
“Ganti aja! Jangan bikin masalah terus sama laki lo!” omel Sisil. Ia takut kalau Haidar marah besar kalau Andin tetap memakai nama Joy untuk kelincinya.“Bodo amat ah. Kalo dia marah lagi, gue bakal minggat dari rumah ini dan minta cerai, supaya dia nggak bisa mendapatkan harta warisan papinya.” Andin tidak peduli dengan kemarahan suaminya. Ia malah berencana membuat ulah terus dengan sang suami.Sisil menoyor kepala Andin yang berjalan di sampingnya. “Jangan ngomong sembarangan, udah jadi janda baru tahu rasa lo!” omel Sisil pada sahabatnya yang koplak.“Biar janda, tapi ‘kan masih segel,” sahut Andin. “Janda tong-tong,” lanjutnya sambil tertawa pelan.“Mana ada yang percaya janda bersegel, perawan aja banyak yang udah buka segel,” sahut Sisil. Ia kesal dengan sahabatnya yang susah kalau dinasehati.“Lo masih segel nggak?” tanya Andin, menggoda sahabatnya sambil mencolek dagu Sisil.“Gue masih tong-tong, Cuy,” seru Sisil dengan bangga sambil mene
“Permisi, Nona Muda. Apa ada yang bisa saya bantu?” tanya pria yang memakai kaus lengan pendek berwarna hitam dan celana olah raga berwarna senada.Berbadan tegap, sorot mata yang tajam, alis tebal dengan rahang yang tegas. Ia memakai kaus yang pas di badan, sehingga otot lengannya yang besar terlihat menyembul yang membuatnya terlihat gagah dan kuat.Sisil menatap pria itu tanpa berkedip. “Calon laki gue, ada di sini,” ucapnya sembari tersenyum genit.Andin memukul bahu Sisil. “Nggak bisa lihat yang bening dikit,” omel Andin. “Kumat deh penyakit gatel, lo,” cibir Andin pada sahabatnya.“Sinyalnya kuat banget, Din,” kata Sisil. Tatapannya tidak lepas dari pria berbaju hitam itu.Andin mendelikkan matanya pada Sisil sambil mengangkat satu sudut bibirnya ke atas. Kemudian ia menatap lagi pria berbadan tegap itu.“Bang, aku dan temanku mau ke taman belakang, tapi malah nyasar ke sini,” ucapnya sambil tersenyum. “Bisa tolong tunjukin jalannya!”
“Din, laki lo tukang sayur di pasar induk ya?” tanya Sisil pada Andin setelah ia memetik daun kemangi. “Semua jenis sayur, ada di sini. Kalo rumah gue deket, udah gue ambilin tiap hari, jadi Ibu nggak perlu belanja,” lanjutnya sambil tertawa pelan.“Ngawur lo, masa iya tukang sayur pake bodyguard segala,” sahut Andin, sambil mengaduk tumis kangkung yang hampir matang.“Iya juga sih.” Sisil manggut-manggut sambil menyiangi daun kemangi.“Sil, kalo udah selesai nyiangin daun kemangi, kamu goreng tempe tepung, ya!” titah Andin pada Sisil, sambil menuang tumis kangkung ke piring besar.“Siap, Ndoro,” sahut Sisil dengan semangat. Ia pun segera mencuci daun kemangi yang sudah disiangi. Lalu menyalakan kompor dan memanaskan penggorengan.Sementara Andin sedang memanaskan alat pemanggang ikan. Ia menaruh ikan di atas panggangan yang sudah panas, sesekali membaliknya dan mengoleskan kembali bumbu yang
Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m
“Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah
“Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr
"Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be
Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den
Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb
"Apa kamu mencoba menukar keperawananku dengan motor ini?"“Kamu itu istri saya, kenapa kamu berbicara seperti itu kepada suamimu?”Gara tersinggung dengan ucapan istrinya karena dia menyiapkan motor itu setelah resmi menjadi suami Jennie.Ia hanya ingin memfasilitasi istrinya supaya wanita yang telah sah menjadi pendamping hidupnya itu bisa aman berkendara dengan motor barunya karena motor lamanya sudah tidak layak pakai."Bukannya kamu bilang nggak mau melakukannya kalau aku belum siap? Kalau ngomong tuh jangan asal keluar terus dilupain, kayak kentut aja.”Gara menatap istrinya dengan tatapan tajam, lalu pergi meninggalkan wanita itu. Ia kembali ke kamar dan langsung berendam air hangat untuk melemaskan otot-ototnya.“Kenapa saya selalu lupa dengan apa yang saya ucapkan padanya. Saya pasti terlihat seperti laki-laki bodoh yang plin plan,” ucapnya sambil menengadahkan kepalanya dengan tangan bersandar pa
"Bukannya kamu rindu dengan keluargamu," sahut Gara sambil berjalan menghampiri istrinya."Mereka ada di mana?" tanya Jennie tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. Ia tersenyum bahagia saat melihat adik satu-satunya."Di rumah keluarga barunya. Ibu kamu sudah menikah lagi dan mereka hidup bahagia bersama adikmu.""Kenapa Mama nggak bilang sama aku kalau mau menikah? Kenapa Mama melupakanku?"Gara mencengkram dagu istrinya dengan lembut. "Hey, Cantik! Apa kamu memberitahu ibumu kalau kamu sudah menikah dengan saya?""Benar juga," sahutnya. "Tapi, aku punya alasan sendiri kenapa nggak bilang sama Mama." Jennie menepis tangan suaminya."Ibu kamu juga punya alasan sendiri.""Kamu tahu dari mana?""Jangan lupakan siapa suamimu ini?""Maaf, aku lupa soal itu," jawabnya sambil melirik dengan sinis suaminya."Jangan bersedih!" Gara membelai lembut rambut sang istri yang tergerai indah."Kenapa dia
“Ya saya ingin merekam suara kamu,” jawab Gara pelan sambil tersenyum.“Sejak tadi kamu udah denger ‘kan, apa yang aku katakan?” tukas Jennie yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh suaminya. “Kamu memang menyebalkan Gara.”Jennie menggelengkan kepala sambil menggeser duduknya membelakangi sang suami. “Kena kutukan apa aku ini? Bisa-bisanya jatuh cinta kepada laki-laki seperti dia. Laki-laki narsis, dingin, angkuh, dan sangat menyebalkan."“Salah saya apa? Saya hanya ingin merekam suara kamu, itu aja. Saya ingin menyimpannya sebagai pengingat kalau saya sedang merindukanmu.”Jennie menoleh pada suaminya, lalu berkata, “Salah kamu apa? Astaga, ini CEO punya otak apa nggak sih? Tensi darahku bisa naik ini." Jennie menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku harus tetap menjaga kewarasanku," ucapnya sambil mengipasi wajah menggunakan telapak tangan."Biggie, saya ha