Lima belas tahun kemudian...
Pagi hari keributan terdengar dari rumah salah seorang Bangsawan yang sangat terpandang di wilayah Zhejiang. Seorang gadis cantik berusia 15 tahun sedang duduk bersimpuh di lantai dengan sebagian tubuh atasnya basah terkena air yang telah disiramkan oleh Ibu tirinya padanya. Gadis belia itu bernama Yu Jie yang artinya giok yang indah, Yu Jie telah kehilangan Ibunya ketika ia berusia 5 tahun.Di hari pemakaman Ibunya... Ayahnya pulang ke kediaman dengan membawa seorang wanita dan seorang bocah perempuan yang usianya lebih tua 3 bulan darinya, juga ada seorang bocah laki-laki berusia 3 tahun. Tidak hanya itu, keesokan harinya wanita itu bahkan diangkat sebagai Nyonya kediaman.Dan pagi ini, setelah sepuluh tahun Li Mei menjadi Nyonya di kediaman Yu, untuk ke sekian kalinya Li Mei kembali menyiksa anak tirinya Yu Jie. Kecantikan Yu Jie membuatnya iri terhadap anak tirinya itu, hingga ia selalu menghukum Yu Jie atas kesalahan-kesalahan kecil yang tanpa sengaja Yu Jie lakukan. Dan itu tentu saja atas persetujuan dari suaminya Yu Zhuting.Sejak belasan tahun yang lalu Li Mei telah menjalin hubungan dengan Yu Zhuting, tetapi Ibu Yu Zhuting tidak mengijinkan Yu Zhuting menikahinya karena ia berasal dari keluarga yang berkedudukan rendah. Yu Zhuting bahkan dijodohkan dengan Shu Xiuying putri dari Pemilik salah satu Sekte besar yang kedudukan keluarganya setaraf dengan keluarga Yu Zhuting. Dari pernikahan tersebut lahirlah Yu Jie 3 bulan setelah Li Mei melahirkan Li Qui, putri pertamanya hasil dari hubungan terlarangnya bersama Yu Zhuting.Meski telah menikahi Shu Xiuying... Yu Zhuting secara diam-diam masih terus menjalin hubungan dengan Li Mei. Dan setelah kematian Shu Xiuying... Yu Zhuting membawa Li Mei beserta kedua anaknya ke kediaman Yu. Walaupun diangkat menjadi Nyonya kediaman, hubungan Li Mei dengan Ibu Yu Zhuting sangat buruk. Selain itu, Ibu mertuanya itu juga sangat memanjakan Yu Jie dan malah memandang sebelah mata terhadap kedua anaknya. Hal ini yang membuat Li Mei semakin membenci Yu Jie.Hari ini di saat Ibu mertuanya pergi ke Kuil, Li Mei sengaja memanfaatkannya untuk menghukum Yu Jie. Selama 10 tahun ini ia selalu melakukannya apabila Ibu mertuanya tidak berada di rumah. Ia bahkan mengancam akan memberikan hukuman yang lebih berat lagi jika Yu Jie berani melaporkan apa yang ia lakukan terhadap anak tirinya itu kepada Ibu mertuanya.Yu Jie yang polos dan belum memiliki akar kultivasi hanya bisa menerima semua perlakuan dari Ibu tirinya juga kedua Saudara tirinya."Ingat baik-baik, jika Nenek sampai mengetahui hal ini...""Ti... Tidak Ibu, Nenek tidak akan tahu," sahut Yu Jie cepat sambil menundukkan wajahnya ketika Li Mei memberi peringatan padanya agar ia tidak mengadukan apa yang Li Mei lakukan hari ini padanya."Bagus kalau mengerti," cetus Li Mei, ia tersenyum miring pada Yu Jie yang tampak berantakan di hadapannya. "Sekarang ganti pakaianmu sebelum Nenek kembali!" titahnya.Yu Jie mengangguk patuh, perlahan-lahan ia mencoba untuk berdiri tegak, melawan rasa sakit pada kedua betisnya yang sebelumnya telah dipukul oleh salah seorang pelayan kediaman yang merupakan suruhan Li Qui.Tadi, tak lama setelah Neneknya meninggalkan kediaman bersama beberapa orang pelayan untuk berdo,a di Kuil... Tiba-tiba Ibu tirinya Li Mei memintanya untuk pergi ke ruang dalam Kediaman. Tetapi di saat ia melewati pintu, kedua betisnya dipukul dengan menggunakan kayu dari belakang hingga membuatnya jatuh tersungkur tepat di depan sepatu Li Mei dan Saudari tirinya Li Qui.Meski beberapa pelayan menyaksikan apa yang terjadi padanya... Tetapi tidak ada seorang pun yang bersedia membantunya. Di sisi lain, Li Mei justru menambah penderitaannya dengan menyiramkan segayung air bekas cucian piring ke atas kepalanya. Sementara Li Qui, Saudari tirinya itu malah terbahak senang melihat perlakuan Li Mei padanya. Seolah apa yang terjadi padanya adalah sebuah lelucon yang sangat lucu.Saat itu, Yu Jie sama sekali tidak bisa melawan pasangan Ibu dan anak itu. Karena ia terlahir dengan meridian yang bermasalah juga tubuh yang lemah. Dan meski Neneknya selalu memanggil seorang Guru bela diri ke kediaman untuk mengajarinya... Akar kultivasi miliknya tidak pernah bisa terbuka. Seorang Biksu yang pernah diundang Neneknya untuk memeriksa tubuhnya pernah berkata..."Maaf Nyonya Besar Yu, aku menemukan kejanggalan pada tubuh Nona Besar. Ada tekanan yang cukup kuat dari dalam tubuh Nona Besar, tekanan itu menutup akar kultivasi Nona Besar agar tidak terbuka.""Lalu bagaimana Kepala Kuil? Apakah Jie selamanya tidak akan bisa mempelajari ilmu bela diri?""Amitabha, tekanan tersebut sebenarnya bisa diatasi, hanya sayangnya kekuatanku tidak cukup untuk melakukannya. Nyonya besar membutuhkan seseorang yang memiliki akar kultivasi ribuan tahun untuk membuka akar kultivasi Nona Besar."Mengingat percakapan Neneknya dengan Biksu Kepala Kuil yang merupakan Pimpinan dari Sekte Tubuh Emas... Yu Jie hanya bisa tersenyum kelu. Dengan tertatih ia mencoba meninggalkan ruangan dalam kediaman agar ia bisa segera mengganti pakaiannya."Heh jelek, ingat! Jangan mengadu!"Yu Jie tersenyum getir mendengar peringatan dari Saudari tirinya itu, dan tanpa menghentikan langkahnya ia menganggukkan kepalanya lalu segera keluar dari ruangan bagian dalam kediaman. Sembari berpegangan pada dinding luar ruangan... Ia meneruskan langkahnya menuju kamarnya. Setelah satu dupa, ia akhirnya tiba di dalam kamarnya. Duduk meringis di atas dipan sambil mencoba mengangkat celana panjang yang berada di balik hanfu yang ia kenakan. Ia menarik celana itu hingga ke lutut dan menemukan kedua betisnya telah membiru dan lebam.Sejujurnya Yu Jie lupa ini sudah yang keberapa kalinya ia mendapatkan perlakuan kasar seperti ini dari Ibu tiri dan juga kedua Saudara tirinya. Karena sebelumnya ia telah menerima banyak perlakuan kasar sejak wanita siluman yang menyebut dirinya sebagai Ibu tiri itu datang ke kediaman keluarganya.Belum lama Yu Jie menurunkan celananya dan ingin beranjak dari dipan untuk mengganti pakaiannya... Salah seorang pelayan yang pergi bersama Neneknya pagi ini tiba-tiba berlari melewati ambang pintu kamarnya yang terbuka. Pelayan itu adalah pelayan yang selalu setia kepadanya dan tidak pernah terpengaruh dengan keberadaan Li Mei beserta kedua anaknya. Pelayan itu bernama Chun, Chun bahkan berani membela Yu Jie di hadapan Li Mei ataupun di hadapan kedua anak Li Mei."No... Nona, apa yang terjadi?" tanya Chun cemas ketika ia melihat keadaan Yu Jie. Ia berlari menghampiri Yu Jie dan membantu Yu Jie untuk duduk kembali di pinggir dipan. "Eng, Nona. Apakah Nyonya Mei yang telah melakukannya?" tanyanya lagi setelah ia mengamati penampilan Yu Jie yang tampak mengenaskan.Empat tahun yang lalu, Chun dikirim untuk bekerja pada Nyonya Besar pemilik kediaman ini yang merupakan Nenek Yu Jie. Ia dikirim untuk membalas jasa Nenek Yu Jie yang pernah membayar biaya pengobatan Ibunya di saat Ibunya terkena demam tinggi di depan Kuil. Dan karena ia mengerti sedikit ilmu bela diri, Nyonya Besar sengaja menempatkannya di samping Yu Jie untuk menjaga cucu kesayangannya itu. Hanya saja, sesekali Chun akan pergi untuk menemani Nyonya Besar ke Kuil. Di saat Yu Jie tidak berada di dalam penjagaannya, ia kerap menemukan Yu Jie terluka. Namun yang membuatnya tidak mengerti... Mengapa Yu Jie selalu memintanya untuk tidak mengatakan hal itu kepada Nyonya Besar?"Nona, sampai kapan Nona akan membiarkan mereka terus menyiksa Nona seperti ini?" protes Chun sebal.Usai menegur Chun atas ucapan yang baru saja dilontarkan oleh pelayannya itu kepadanya... Yu Jie pun membersihkan wajahnya dengan air hangat yang dibawakan Chun untuknya serta mengganti pakaiannya yang kotor. Ia membiarkan Chun merapikan rambutnya juga mengoleskan salep pada memar yang terdapat di kedua betisnya. Pelayan setianya itu mengoles dengan sangat hati-hati agar tidak menyakitinya. Meski begitu, pada wajah Chun... Yu Jie bisa melihat kalau Chun sedang menahan amarahnya. "Chun?" ia mencoba menegur Chun dengan lembut untuk meredakan kemarahan yang dirasakan oleh gadis belia itu yang usianya hanya terpaut satu tahun darinya. "Chun benar-benar tidak mengerti Nona." Chun mengangkat wajahnya, ia menatap Yu Jie dengan tatapan protes. Ia tidak mengerti mengapa Yu Jie selalu bersikap sabar kepada Ibu tirinya juga kedua Saudara tirinya. Padahal Yu Jie adalah Cucu satu-satunya yang diakui oleh Nyonya Besar. Yu Jie yang menerima tatapan itu hanya tersenyum kepada pelayan setianya. Jika
Beberapa saat kemudian di dalam kamar Nyonya Besar, Yu Jie yang baru saja memasuki kamar bersama Chun langsung memberi hormat ketika ia bertemu sang Nyonya Besar yang merupakan Nenek kandungnya sendiri. "Salam Nenek." Ia membungkukkan tubuhnya di hadapan Nyonya Besar setelah Chun melepaskan lengannya. "Chun, juga memberi salam kepada Nyonya Besar," ucap Chun mengikuti tingkah Majikannya sembari membungkuk lebih rendah dari Yu Jie. Melihat kehadiran Cucu kesayangannya bersama pelayan setianya, Nyonya Besar hanya menyunggingkan senyum di bibirnya, "Kalian berdua, berdirilah!" perintahnya dengan suara lembut. "Terima kasih Nenek." "Terima kasih Nyonya Besar." Yu Jie dan Chun menegakkan tubuhnya lalu melemparkan pandangannya pada wanita paruh baya yang sedang duduk di atas dipan. Meskipun wajah wanita itu telah tampak termakan usia, masih ada sisa-sisa kearifan yang terlihat di sana. Hal itu yang membedakan Nyonya Besar dari Li Mei. Nyonya Besar memiliki tata krama seorang Bangsawan
Selama hampir satu sichen dua kereta mewah dari Kediaman Yu terus berlari dengan kecepatan sedang menuju Istana Taiyang. Salah satu dari kereta tersebut ditempati oleh Yu Jie bersama Chun, sementara kereta lainnya ditempati Li Qui bersama pelayan setianya. Nyonya Besar sengaja tidak menempatkan Yu Jie dan Li Qui di dalam satu kereta, sebab ia tahu kalau Li Qui selalu iri terhadap Yu Jie dan kerap mengganggu Yu Jie tanpa sepengetahuan dirinya. Ia menerima laporan itu dari beberapa pelayan setia yang telah ia tempatkan di kediaman untuk menjaga Yu Jie secara diam-diam. Dan saat ini, dari dalam kereta yang membawanya menuju Istana Taiyang, Li Qui menyibak tirai jendela kereta yang berada di sisi kiri tubuhnya. Ia memperhatikan kereta Yu Jie yang bergerak di depan kereta yang ia tumpangi. Ada kecemburuan besar yang ia rasakan untuk Saudari tirinya itu yang pagi ini telah berhasil mendominasi perhatian Nyonya Besar hingga sang Nenek tidak memperhatikannya sama sekali ketika ia akan menin
Terlalu letih setelah menjalani pemeriksaan setengah hari ini, Yu Jie pun akhirnya terlelap. "Feng, Feng Huang!" Suara seorang pria tiba-tiba terdengar, suara itu sangat lirih menyapu indera pendengaran Yu Jie hingga ia mencoba untuk membuka matanya yang terasa berat. Di saat matanya telah terbuka lebar, Yu Jie seketika merasa bingung karena kini ia tidak lagi berada di dalam aula melainkan di sebuah tempat yang sangat asing. Tempat ini tampak seperti sebuah taman yang indah, bunga-bunga beraneka warna terhampar di depan matanya. "Feng Huang."Suara itu kembali terdengar, tetapi tidak ada seorang pun yang Yu Jie temukan di taman ini. Selain padang bunga dan kabut putih tebal yang membatasi jarak pandangnya. "Pheonikku, kemarilah!"Yu Jie mengangkat wajahnya, ia memicingkan matanya ke arah kabut tebal karena suara yang baru saja ia dengar seolah berasal dari dalam kabut tersebut. "Feng Huang? Aku adalah suamimu!" Seorang pria tiba-tiba menyeruak kabut, tubuh pria itu yang sedang m
Tatkala para Kasim Kekaisaran yang menjadi juri penilai uji bakat tengah kebingungan, di saat yang sama di wilayah barat Benua Zhejiang, di kaki bukit Gu Shan, tempat berdirinya Sekte Burung Api... Dua orang pria sedang berlari terburu-buru memasuki Sekte, melewati para murid Sekte yang sedang berlatih ilmu bela diri. Kedua pria ini adalah Ming Hao dan Guan Lin. Mereka merupakan murid senior dari Pimpinan Sekte Burung Api yang bertugas untuk mengawasi Yu Jie dari kejauhan atas perintah Shu Haochun. Setelah melintasi lahan tempat pelatihan dan memasuki aula Sekte Burung Api, akhirnya Ming Hao dan Guan Lin berhenti di hadapan Guru Besarnya yang tengah berdo,a pada patung Kaisar Langit. "Murid memberi salam pada Guru." Dengan mengatupkan kedua telapak tangannya di depan tubuhnya kedua pemuda yang baru berusia 18 dan 19 tahun itu membungkuk di hadapan Shu Haocun. "Mengapa kalian kembali?" lontar Shu Haocun datar tanpa membalikkan tubuhnya, ia melangkahkan kakinya ke arah altar sembahya
Istana Taiyang siang hari, usai menjalani uji bakat, semua calon Selir diminta untuk berkumpul di depan pelukis istana untuk dilukis. Lukisan ini nantinya akan dibawa oleh Kasim Kekaisaran untuk diperlihatkan pada Kaisar Gao. Dan demi mendapat perhatian dari Kaisar Gao, sebagian besar calon Selir mencoba menyogok pelukis istana agar lukisannya dibuat secantik mungkin, terkecuali Yu Jie dan Fu Yueyin. "Lihatlah mereka!" dengus Fu Yueyin sebal, dikarenakan ia dan Yu Jie mendapatkan giliran terakhir untuk dilukis, ia dan Yu Jie berkesempatan untuk menyaksikan tingkah polah para calon Selir lainnya. "Hanya demi menyenangkan Kaisar Gao, bisa-bisanya mereka meminta pelukis istana untuk mengubah lukisan wajah mereka," tambahnya lagi sambil terus memperhatikan belasan calon Selir yang tengah mengerubungi pelukis istana bak semut yang sedang mengerubungi gula. "Apakah semua calon Selir sejak dulu memang selalu seperti ini?" tanya Yu Jie polos, ia tidak mengerti mengapa para calon Selir seakan
Dua hari telah berlalu, Yu Jie yang ditempatkan di bagian timur Istana Taiyang sama sekali tidak merasa terganggu dengan keputusan Kaisar Gao itu karena ada Chun dan Fu Yueyin yang menemaninya untuk menghabiskan waktunya. Tetapi hari ini, di saat Li Qui datang menemuinya tatkala ia sedang bersantai dengan Fu Yueyin di taman depan paviliun Wangjile, hati kecil Yu Jie sontak mencelos setelah ia mendengar ucapan dari Saudari tirinya itu. "Aku telah tidur dengan Kaisar Gao!" cetus Li Qui tanpa berbasa-basi, "Semalam Yang Mulia telah datang untuk menemuiku. Tubuh Yang Mulia sangat luar biasa. Dan aku pikir hanya wanita beruntung saja yang bisa merasakan tubuh Yang Mulia. Selain itu semalam Yang Mulia juga terus menyiksaku hingga pinggangku ini sakit sekali," terangnya panjang lebar. Li Qui sengaja melakukannya agar Yu Jie merasa iri padanya, "Apanya yang cantik? Buktinya Yang Mulia lebih memilihku ketimbang dia!" celotehnya dalam hati sembari tersenyum sinis pada Yu Jie. "Sudah selesai
Malam hari, usai makan malam bersama Fu Yueyin, di dalam kamarnya Yu Jie terus berpikir. Semua ucapan Fu Yueyin tentang Kakak lelakinya terus terngiang di telinganya. "Nona?" Chun yang tengah duduk di lantai di hadapan Yu Jie mencoba menegur Majikannya itu yang terus saja melamun. Sejak satu dupa yang lalu ia telah memijat kaki Yu Jie setelah Yu Jie masuk ke dalam kamarnya. "Ada apa Nona? Apakah Nona sedang memikirkan ucapan Nona Qui?" tanyanya sambil menatap Yu Jie dengan wajah serius. Sebelum pergi ke Istana Taiyang, Chun sama sekali tidak pernah membayangkan kalau Yu Jie akan berakhir di paviliun Wangjile atau yang lebih dikenal dengan paviliun dingin. Ia bahkan tidak mengerti mengapa Kaisar Gao lebih memilih Li Qui daripada Yu Jie. "Bukan, bukan kata-kata Li Qui yang aku pikirkan," sanggah Yu Jie, ia menurunkan pandangannya. Melihat ke arah tangan Chun yang masih bergerak lincah memijat betisnya. "Chun, sudah cukup!" titahnya, kala tangan Chun mulai bergerak ke arah pahanya. "
Setelah Raja Iblis dikirim kembali ke Sungai Akhirat-- Feng Huang pun menjentikkan jarinya untuk mengembalikan Kaisar Gao yang sedang terluka ke kapal yang ditumpangi oleh Shu Haocun dan keempat Tetua Sekte. Ia dan Jinlong tidak menghampiri para Kultivator di kapal itu, melainkan hanya melambaikan tangan saja dari atap Istana Jinlong. Di saat yang sama, Hong Hu juga berpamitan pada Feng Huang dan Jinlong untuk kembali ke rakyatnya yang masih berada di hutan perbatasan. Sepeninggal Hong Hu, Feng Huang dan Jinlong memutuskan untuk kembali ke Alam Langit demi menemui para Dewa dan Dewi yang selama lebih dari 500 tahun telah dibiarkan hidup tanpa Pemimpin mereka. ***Keesokan harinya, keadaan di Benua Zhejiang kembali seperti sedia kala. Di Istana Taiyang, dua Tabib Istana sibuk bolak-balik ke ruangan kerja Kaisar Gao untuk mengobati Kaisar mereka itu. "Bagaimana keadaan Yang Mulia?" tanya Gong Fai pada seorang Tabib yang baru keluar dari kamar pribadi Kaisar Gao.Tabib itu mengernyit
Tanpa Feng Huang duga, Jinlong yang sejak tadi telah mencoba untuk tidak tertawa keras-- Kini justru terbahak di sampingnya. Melihat tingkah Suaminya itu, ia pun menghela nafas gusar. "Huftt!" ia mengerucutkan bibirnya lalu melemparkan pandangannya pada Raja Iblis yang saat ini telah berdiri tegak di atas rerumputan sambil menatap ke arahnya.Sejak Feng Huang menampakkan wujudnya, semua yang berada di balik kabut tebal sudah mengetahui di mana ia berada, termasuk Raja Iblis."Sekarang kamu sudah muncul? Bagus, jadi terimalah pembalasanku!!" teriak Raja Iblis yang langsung menyerang Feng Huang dengan senjata andalannya, yaitu pemusnah raga Dewa.Feng Huang menghindari serangan tersebut hanya dengan memiringkan tubuhnya dan menyandarkan punggungnya pada Jinlong, membuat serangan Raja Iblis itu tidak berhasil menyentuhnya dan justru melewatinya begitu saja."Apakah dia pikir ini adalah pertempuran 515 tahun yang lalu?" dengusnya.Jinlong hanya tersenyum smirk mendengar ocehan Istrinya i
"Bukankah itu maksud kedatanganku ke sini?" "Jika kamu bertemu dengannya, apakah kamu akan melakukan pertarungan dengan jujur kali ini?!" tukas Jinlong sambil menatap Raja Iblis dengan sebelah alis terangkat naik. "Selain itu, aku juga masih ingat bahwa di pertempuran kita yang terakhir kali di Alam Langit-- Saat itu kamu telah melukai Permaisuriku secara diam-diam." Lanjutnya lagi, di saat yang sama salah satu sudut bibirnya terangkat naik membentuk senyum sinis. Senyum Raja Naga itu yang seolah merendahkan kemampuannya, tentu saja membuat Raja Iblis menjadi geram. Ia bahkan berjanji di dalam hatinya akan membuat Raja Naga menyesali apa yang telah dilakukannya dengan cara membunuh Feng Huang di hadapan Raja Naga."Mengapa tidak perintahkan saja Istrimu untuk menampakkan wujudnya?!" cetus Raja Iblis lantang dengan kedua tangan yang terkepal dan rahang yang mengeras.Sesaat kemudian, suara pekikan pheonik memenuhi semua area di balik kabut tebal. Bersamaan dengan itu, seekor pheonik
Di dalam Istana Jinlong, saat ini Jenderal Shui sedang menahan lengan Jenderal Xiao yang sedang terbakar amarah agar tidak mengejar Raja Iblis. Dan sekeras apapun Jenderal Xiao memberontak, ia hanya terus menatap Sahabatnya itu. "Lepaskan, Jenderal Shui!!" teriak Jenderal Xiao garang sambil menyentakkan lengannya yang sedang dipegang oleh Jenderal Shui. Namun Jenderal Shui semakin mengeratkan genggamannya pada lengan Jenderal Xiao hingga ia mendapatkan pelototan dari Jenderal Xiao. Beberapa saat yang lalu, sebelum mengejar Jenderal Xiao ke dalam Istana-- Jenderal Shui dan Hong Hu bekerja sama terlebih dahulu untuk menjatuhkan ketiga bawahan Raja Iblis. Sebab saat itu, Raja Naga sedang menghukum Jenderal Tiong dengan mengurung sebagian tubuh sebelah bawah Jenderalnya itu di dalam bongkahan batu es. Bahkan kedua kepalan tangan Jenderal Tiong ikut dibuat membeku.Setelah membuat ketiga bawahan Raja Iblis tak lagi berkutik, ia lalu menitipkan mereka pada Hong Hu untuk mengejar Jenderal
"Rajaku, hanya 3 Iblis yang masih bertahan sejauh ini. Dan dengan sisa kekuatan ini hamba pikir kita tidak akan bisa menghadapi Raja Naga juga kedua Jenderalnya. Jadi... Bagaimana jika kita..."Raja Iblis tidak menanggapi ucapan dari salah seorang bawahannya itu, ia justru melirik ke arah Istana Jinlong. Kebetulan kini ia telah berada sangat dekat dengan Istana tersebut, jika ia bisa secepat mungkin berkelebat ke dalam Istana untuk menemukan Feng Huang lalu membunuhnya-- Maka pengorbanan beberapa bawahannya kali ini tidak akan sia-sia.Hanya masalahnya, di bagian mana Istana wanita itu berada sekarang?Ketika pertanyaan ini berkelebat di dalam benaknya, Raja Iblis pun mendengus gusar.'Apakah aku benar-benar tidak bisa menemukan wanita itu?' ia lalu mengalihkan pandangannya ke arah pembatas api dan air. Ada beberapa retakan tampak di bagian atas pembatas, melihat hal itu ia tersenyum licik.Namun, tanpa Raja Iblis duga-- Dari Langit tiba-tiba dua buah cincin emas melesat cepat ke arahn
Pertarungan di pulau terjadi dengan sengit, serangan demi serangan bahkan beberapa kali mengenai dinding pembatas api dan air. Saat itu terjadi, semua Kultivator yang berada di luar pembatas menahan nafas menyaksikan pertempuran antar Raja Naga dan Raja Iblis. Dan, di tengah-tengah kecemasannya akan nasib Benua Zhejiang, Kaisar Gao pun berpikir. Ia tidak bisa hanya diam saja mempertahankan pembatas sedangkan nasib semua penduduk di Benua Zhejiang dan sekitarnya sedang berada di ujung tanduk. "Te-Tetua Shu!" panggilnya pada Shu Haocun. Shu Haocun sontak berpaling setelah ia mendengar panggilan itu, netra tuanya nanar menatap Kaisar Gao. Mencoba mencari tahu apa yang ingin Kaisar Gao bicarakan padanya. "Ada apa, Yang Mulia?" tanyanya dengan kening berkernyit. "Bisakah Tetua Shu menjelaskan padaku, di mana aku bisa menemukan Permaisuri Raja Naga?" tanya Kaisar Gao. Shu Haocun berpikir sejenak, kemudian ia berpaling ke arah Biksu Changyi. Setelah saling bertukar isyarat... Shu Haocun
Netra Raja Iblis yang tajam berkeliaran, meneliti satu persatu ruangan Istana Raja Naga. Apa yang dilakukan oleh Raja Iblis itu tidak luput dari pandangan Jinlong, ia bahkan tersenyum tipis kala menyadari apa yang sedang dicari oleh Raja Iblis. Hingga suara erangan tertahan menyentakkannya dari mengamati Raja Iblis. Caping telinganya bergerak pelan mencoba mencari asal suara, sementara netranya berputar mengamati sekitar pulau. Hingga netranya jatuh pada sesosok tubuh yang berada di atas pundak Raja Iblis. Tubuh itu bergerak, dari sanalah erangan yang baru ia dengar berasal. Bukan hanya Jinlong yang tersentak mendengar erangan tadi, Raja Iblis yang tengah fokus mencari Feng Huang juga sama terkejutnya di saat ia menyadari kalau Hong Hu mulai tersadar di pundaknya. Tidak ingin Hong Hu kembali berontak padanya, Raja Iblis pun mengangkat tangannya untuk menyentuh kepala Hong Hu. Namun, tanpa ia duga, tiba-tiba... Wussh!! Hembusan sedingin badai salju memukul pergelangan tangannya. M
"Jenderal Shui, pembatas air!" titah Jinlong. Dengan cambuk air di tangannya, Jenderal Shui berkelebat melewati Raja Iblis dan ke tujuh bawahannya. Ia mengambang 30 kaki dari permukaan Laut Xishi lalu memecutkan cambuknya ke atas permukaan air laut. Permukaan air bergemuruh, air bergolak mengelilingi pulau di balik kabut. Naik ke atas membentuk pembatas air setinggi 100 kaki. "Sekarang, Jenderal Xiao!" teriak JinlongDua tombak Jenderal Xiao beradu, percikan api besar pun meluncur ke angkasa dan membentuk sebuah kubah api raksasa. Dua perpaduan elemen yang saling bertolak belakang dalam membentuk pembatas ini, membuat kagum para Kultivator yang baru saja menembus kabut tebal dengan belasan perahu. "Hentikan perahu!!" teriakan Shu Haocun menggema. Para juru kemudi segera menarik energi kultivasi mereka yang mereka pergunakan untuk menggerakkan perahu agar perahu segera berhenti. Di saat perahu-perahu itu telah berhenti sempurna tak jauh dari pembatas, Shu Haocun segera mendekati
Di pulau di balik kabut, di Istana Jinlong. Prajurit-prajurit Alam Langit yang ditugaskan untuk menjaga Istana, kini sedang mengumpulkan para pelayan yang dulunya merupakan korban persembahan untuk Dewa Naga di dalam sebuah ruangan. Setelah semua pelayan berkumpul di ruangan tersebut, sekeliling ruangan itu langsung disegel dan diberi penghalang oleh Jenderal Xiao. Agar jika Raja Iblis benar-benar menyerang Istana ini nantinya, maka para pelayan itu akan tetap aman. Usai dengan tugasnya, Jenderal Xiao pun pergi menemui Kaisarnya yang menunggu kedatangan Raja Iblis di depan Istananya bersama dengan Jenderal Shui. "Bagaimana dengan tugasmu, Jenderal Xiao?" lontar Jinlong ketika ia menyadari kehadiran bawahannya itu. Jenderal Xiao mengangguk, "Semua sesuai dengan perintah Yang Mulia," sahutnya, sembari mengambil tempat di sisi kanan Jinlong. Seperti halnya Jenderal Shui dan Jinlong, ia ikut melemparkan pandangannya ke arah perairan, di mana saat ini dari kejauhan... Kedatangan Raja Ibl