Selamat membaca."DIA TIDAK PANTAS MEMILIKIMU!"Entah hanya perasaanku atau bukan, tapi daratan yang saat ini kupijaki. Seakan berubah warna, menjadi sangat kelam. Bersama dengan tanaman dan hewan-hewan yang juga berubah menjadi lebih menyeramkan dari sebelumnya.Aku juga tidak bisa melihat apapun. Hanya kamu, Baginda.Kak Tara menarik lenganku kasar, membuatku bangkit. Menjauh dari Baginda. "Emabell bukan ini yang kuinginkan."Mataku berkaca-kaca, dan alisku mengkerut ke atas. Mengecap bibir. Aku berkata, "ini adalah janji yang ku buat untuk mendapatkan kedamaian. Setiap malam kak, setiap malam. Bahkan sebelum mengenalnya pun janji ini sudah.""Emabell….""Aku akan memberikan segalanya demi mendapatkan impianku. Kak…aku memiliki memiliki banyak kesalahan. Ini juga kesalahan, tapi untuk menyesal…." Aku menggelengkan kepalaku sembari tersenyum pada kak Tara. "Aku tidak akan menyesalinya."Kak Tara terkejut. Sama terkejutnya dengan Vardiantura, dari jarak 10 kaki. Vardiantura menatapku
Selamat membaca.Di sungai Clossiana Frigga yang terhubung langsung dengan laut utama Rulyria. Aku akhirnya bisa menyentuh air tanpa sembunyi-sembunyi lagi, ini adalah kehidupan yang aku inginkan tapi mengapa. Semuanya berbeda saat tidak ada kalian.Tap!Tap!Tap!Suara langkah kaki mendekat. Dan mataku sontak melirik ke arah samping tapi tidak menoleh pada sumber suara VARDIANTURA. Aku tahu, itu pasti dia."Kau marah pada Edanosa? Kau menantangnya Emabell.""Tidak.""Lalu?""Aku hanya bercanda."'hah' ku dengar ia menghembuskan nafasnya kasar. Meratapi sikapku yang sepenuhnya berubah dari kata seorang manusia—tapi inilah kehidupan. Jika bukan orang yang kau cintai, maka maka waktulah yang akan mengubahmu."Dan sejak kapan, candanya seorang Emabell. Berubah menjadi kata-kata jahat yang penuh penyesalan." Jelasnya—itu pasti aduan Rubia."Penyesalan?" Ulangku."Kau ingin dunia ini hancur.""Aku hanya bercanda Var, mengapa menanggapinya dengan serius? Lagi pula," aku Menjeda. Menyipitkan
Selamat membaca.cermin yang sedang berada di depanku dengan bayangan wajah seorang manusia biasa yang tertidur dengan nyenyak seolah tak sedang terjadi apa-apa semalam.Brak!"Emabell!"Aku tersentak kaget. Dan kepalaku langsung menoleh ke arah pintu masuk—yang menampakan Rubia dengan wajah kelelahan. sekaligus kaget melihat ke arahku ."ada apa?" tanyaku cemas."Pangeran Edanosa...Vardiantura...Emabell..." alis Rubia mengerut....Hosh!Hosh!Hosh!Aku dan Rubia buru-buru berlari ke arah rumah ibuku. Dan yap. disana sudah ada banyak sekali yang berkumpul sampai di depan rumah. Dan wajah mereka terlihat binggung saat menyadari keberadaanku. Perlahan aku mendekat.Mereka membukakan jalan. Namun mereka terlihat berubah-ubah. Dan suara hati mereka bertabrakan seperti benang yang kusut—kepalaku sakit, tapi masih bisa ku tahan.Tap! Tap! Tap....Langkah ku sontak terhenti. Mata dan bibirku bergetar dengan hebat saat melihat sosok yang sedang berdiri jauh dari kerumunan. Menyisahkan temp
Selamat membaca.Benar—sejak awal. Hanya ada pertentangan, mereka tidak benar-benar menerimaku tanpa alasan yang kuat. 'kehidupan' ternyata mereka jika punya tujuan yang kuat. Aku yang terlambat mengerti."Emabell." Tangan kokoh itu memapah wajahku yang tertunduk, menatap buram ke arah tanah. Berkaca-kaca, ingin menangis. Tetapi tidak bisa "jangan menangis."Kami sekarang berada di Utara. Hutan Utara, sebab istana telah hancur dan butuh waktu untuk memperbaiki istana—aku memutuskan untuk ikut Baginda karena aku tak sanggup menghadapi Edanosa dan juga Vardiantura saat mereka terbangun nanti.Ini jelas salahku. "Kau menyalahkan dirimu lagi?" Tebak Baginda. Mencoba membaca ekspresi dan apa yang aku pikirkan—yang ternyata tepat sasaran. "Emabell….""Hm?" Aku tersenyum menatap matanya. "Senang kau tidak mati."Dan dari tangannya muncul bongkahan es berbentuk hati, jamur langkah berwarna hitam pekat dari Hutan pinus yang terbungkus es. "Indah." Pujiku. Sesaat sebelum Baginda menyodorkan bo
Selamat membaca.Ribuan panah amarah penuh penolakan di tengah kedamaian tanpa Utara. Dari orang-orang yang pernah tersenyum padaku—Tetapi Dia, Baginda. Dengan cepat menerjang ribuan anak panah itu seperti meteor yang kembali naik ke atas langit tanpa rasa takut.WUSH!Angin berhembus menerpa ku dengan sangat kuat, membuat surai dan pakaian kami beterbangan ke mana-mana. Tapi mata kami seakan menatap biasa saja ke arah Baginda.Zurra menatapku. "Nah Emabell, kita pulang?" Ia mengulurkan tangannya. Membuat aku tergetar, tersentak kagum. Melihat senyuman mereka yang berdiri di hadapanku, dengan ribuan prajurit Utara yang mendekat. Seolah menjemput kami untuk kembali pulang.Meski hanya kumpulan tengkorak dan mayat hidup. Mengapa rasanya bisa sangat hangat? Kegerian dan ketakutan yang pernah ada, sekarang ada dimana? Dan tekad untuk pulang ke Clossiana Frigga yang membuat banyak sekali rasa sakit. Terbang ke angkasa mana?"Ayo kita pulang." Senyumku sembari meraih tangan Zurra.Namun seb
Selamat membaca.Aku berjalan seperti orang bodoh diantara dinginnya malam, menikmati luasnya taman yang di bangun hanya untukku. Emabell dari Clossiana Frigga, bahkan nama taman ini adalah namaku. TAMAN EMABELL. Semuanya lengkap, kasih sayang, cinta, perhatian bahkan makanan sudah tersedia. Hanya saja, mengapa? Aku terus menatap ke arah tembok raksasa yang menghalangi duniaku."Baginda?" Sadar kalau ada langkah yang terus mengikutiku sedari tadi—Kubiarkan karena Baginda juga diam saja sedari tadi.Tiba-tiba. Ia memelukku dari belakang. "Tidak dingin?" tanyanya—Bisa kurasakan dengan jelas hembusan nafasnya yang menyentuh leher jenjangku. "Em.""Em?" Ulangnya.Aku tidak bersemangat sampai aku bisa membaca isi pikirannya. "Baginda mereka mengadakan pertemuan dan akhirnya Utara diundang….""Kita tidak akan pergi!""Mereka memilihku sebagai perwakilan." Aku sangat bersemangat sampai lupa akan sesuatu. "Ini…" tak melanjutkan ucapanku, kepalaku malah tertunduk ke bawah. Dan tak kusadari k
Selamat membaca.Aku tersenyum senang. Lalu menatap ke arah Nesessbula yang ingin menyampaikan informasi ini. "Sekalian, katakan padanya, aku masih menunggu." Terangku yang membuat Sih Vardiantura sialan itu tersenyum sinis."Apa yang kau harapkan?""Sampaikan saja!" Potongku. Tak peduli pada wajah angkuh seakan tak terkalahkan padahal cuma mayat hidup, aku jadi merindukan dia yang ku ciptakan dalam benakku. "Ini perintah!" Deg!"Kau….""Kau ingin aku menjadi ratu, akan ku lakukan sesuai yang kau inginkan. Dan kalian akan hidup!" Tegasku sembari tersenyum sampai mataku tidak lagi terbuka—meski artinya adalah sindiran.Mereka saling tatap. Tersenyum satu sama lainnya. "kau mau menikah denganku?" tanya Vardiantura."Hm." Jawabku sembari terus mengunyah."Kau mau menjadi ratu kami tanpa Baginda tercinta mu itu?""Hm." "Kau ingin memberikanku cinta.""Tentu.""Bagaimana dengan keturunan.""Tidak buruk."Mereka semakin bingung. "Kau masih waras Emabell?""Tidak. Setengah gila. YAH WARASL
Selamat membaca.Akhirnya hari itu tiba juga. Aku dan gaun pengantin di hadapanku, perhiasan bahkan mahkota yang akan ku kenakan terpajang dalam lemari kaca yang begitu mewah.Pernikahanku dan Vardiantura. Mereka berpikir kami akan menjadi 'lawan mencintai lawan' harusnya begitu. Tapi aku sudah mencintai lawanku yang sebenarnya—pria brengsek itu bukan Vardiantura tapi Baginda.Aku tersenyum membayangkan. "Kau tersenyum?" Edanosa muncul di sampingku. "Kau suka gaunnya?""Ya.""Aku mengenal guruku Emabell, dia memiliki dua senyuman. Yang satunya tulus, dan yang satunya lagi tulus dengan rencana.""Hm?" Ku kerutkan keningku pada pangeran Edanosa yang ada di sampingku. Sebelum tersenyum padanya. "Benarkah? Jadi, apa arti senyumanku ini?!" "Tulus dengan rencana." Aku tersenyum senang. "Emabell. Aku mohon!" Dia mengerutkan keningnya padaku. Mengandeng tanganku dengan mata berkaca-kaca."Lepas.""Alasan kau koma, bukan karena kekuataan misterius yang membutakan. Tapi karena…." Aku buru-bu