Pagi ini kuterima kabar kesehatan bunda yang memburuk, beliau drop tadi malam dan dilarikan ke rumah sakit menjelang subuh.
"Bisa antarkan ke rumah sakit, Er? Kondisi bunda turun drastis...""Ya, aku pasti ke rumah sakit juga. Aku mengabari kantor dulu karena masuk terlambat," suamiku menyahut ditengah kesibukannya mengenakan kemeja kerja yang sudah kusiapkan."Ehm, aku kemungkinan menginap....?" sambungku bermaksud meminta izinnya. Selama belum bersuami, memang aku lah yang siaga di sisi bunda bila dirawat di rumah sakit."Iya Al, bersiaplah. Oh ya, bagaimana kalau sarapannya dijadikan bekal saja. Setelah memastikan keadaan bunda kita bisa menyantapnya di sana?"Sarannya itu membuatku gegas ke meja makan, mengemas menu sarapan dalam kotak sekali pakai. Tak lupa membungkus sendok dengan kertas tissue dan menyertakan dua botol air mineral.Setelah itu balik ke kamar memasukkan baju ganti dan selimut serta sabun muka plus sikat giSetelah lima hari dirawat di rumah sakit akhirnya bunda bisa pulang dan berikutnya harus menjalani kemoterapi. Terkadang pikiranku kalut, sampai kapankah bunda bisa bertahan dalam pengobatan. Teman masa SMA-ku yang mengidap kanker payudara berpulang pada Illahi Rabbi setelah tujuh tahun berjuang melawan sel kanker. Lalu bagaimana dengan bunda yang usianya menjelang limapuluh tahun?"Mandi dulu atau mau langsung temani aku makan gado-gado ini?" Suamiku menyambut dengan memperlihatkan dua porsi gado-gado."Aku cuci muka dan tangan dulu deh, kayaknya dimakan sekarang lebih enak?" ujarku yang jadi tergiur membayangkan jenis santapan dilengkapi kerupuk itu.Petang ini Erland sudah lebih dahulu tiba di rumah ketika aku pulang dari menjenguk bunda dengan taksi online. Semingguan ini aku memang bolak-balik ke rumah orang tuaku, sebelum kuliah sekalian mengantar porsi masakan yang kubuat untuk ayah bunda. Bisa juga pulang dari kampus aku singgah lalu mala
Dua hari setelahnya aku belum punya cara menyampaikan berita kehamilan pada Erland. Sore ini pukul setengah enam suamiku baru pulang kerja, setelah membersihkan diri maka seperti biasa Erland mencari kesibukan sendiri sedangkan aku berkutat menyiapkan makan malam. Kali ini seleraku adalah sambal goreng jeroan dan hati berkuah santan dengan sayuran lengkap wortel, kembang kol, buncis dan telur puyuh.Sambil menunggu kuah meresapkan bumbu dan bahan isian di atas api kecil, ku iris buah dan mulai menyemil potongan buah pear. Erland mendekat dan ikut menikmati dari piring yang kusodorkan ke dekatnya."Besok aku izin mengantar Arumi berobat lagi, Al?"Uhuk ! Aku tersedak dan gegas meraih gelas minum yang kuteguk dengan darah mendesir. Kejujuran laki-laki ini sungguh mengejutkan.Bermaksud meredakan gemuruh dalam dada, aku berdiri mematikan kompor. Hasilnya sandal pun terkait kaki kursi membuat tubuhku sedikit oleng. Dalam hati aku merutuki be
Pesan masuk dari Om Jiwo pagi ini membuatku tercenung lama, Arumi menolak pergi untuk pengobatannya. Wanita yang kian hari semakin ringkih itu hanya menginginkan menjalani terapi bila bersamaku, ketika dibujuk agar bersedia ditemani kedua orang tuanya justru memunculkan disorientasi. Arumi menanyakan berulang-ulang untuk keperluan apa dia melakukan perjalanan bersama papi-maminya nanti?"Om malu menyampaikan ini Nak Erland, karena memintamu melakukan hal yang sulit. Arumi sendiri yang memintamu menikah, tapi sekarang dia sudah lupa pria yang sudah berkeluarga perlu menjaga marwah pernikahannya. Jika coba dijelaskan padanya, apakah putri om itu bisa memahami bahwa kau punya tanggung jawab terhadap istrimu juga?"Om Jiwo begitu biasa aku menyapa papinya Arumi, mengucapkan kalimat panjang itu dengan suara sedikit bergetar. "Om dan maminya Arumi sudah ikhlas dengan ujian ini, kami hanya berikhtiar untuk bisa memperpanjang waktu bersamanya dua atau
Kediaman mewah dengan taman depan begitu hijau teduh dan asri yang kami masuki, hanya bisa kutebak sebagai tempat tinggal Arumi dan keluarganya. Selebihnya Erland mengemudi dalam diam dan di awal perjalanan ke sini sempat menggenggam jemariku di tengah fokusnya mengemudi."Bersiap lah sore nanti, kita akan menemui Arumi dan keluarganya." Pesan Erland siang tadi masuk ke akun WatsAppku. Dadaku berdebar halus merespon tanggapannya setelah kutantang dini hari setelah kami melaksanakan sholat sunat tengah malam.Seorang pelayan membukakan pintu jati yang menjulang berukiran estetis. Erland sepertinya sudah sangat dikenal karena si pelayan tidak bertanya apa-apa selain langsung menyilakan kami masuk dengan sopan."Saya bersama Alia, istriku. om, tante?" Erland menyapa sepasang suami istri yang kuduga adalah kedua orang tua Arumi, mereka sudah menunggu di ruangan tamu yang dipenuhi set kursi jati berukiran indah beralas busa beledru yang begi
Alzheimer! Penyakit yang merampas ingatan seseorang di masa lansia, itu kini yang menggerogoti Arumi pada usia terbilang muda."Kasus seperti Arumi termasuk langka, tidak sampai 400 orang hingga kini di seluruh dunia yang terkena di bawah usia 65 tahun." ungkap Erland sepulang dari kediaman mantan kekasihnya itu.."Bagaimana gejala awalnya?" rasa penasaranku sedikit terjawab kini."Dua tahun yang lalu, dia mulai mengalami kebingungan. Tidak bisa mengingat hal-hal kecil atau di mana menyimpan benda yang rutin di keseharian. Lalu mulai lupa alamat rumah, kalau keluar rumah mentok satu tujuan. Agenda lain terlupakan, ...""Dia juga melupakan hubungan denganmu?" kejarku jadi ingin tahu perspektif Arumi terhadap kisah cintanya dengan Erland."Orang-orang terdekatnya tetap utuh dalam memorinya Al, tapi kesulitan Arumi adalah menghubungkan antar memori yang membuat ingatannya timbul tenggelam. Hal-hal kecil bagai runtuh, padahal seringkali hal k
"Arumi sakit parah, tentu saja Erlan tidak bisa meninggalkannya? Informasi kawanku sebatas itu, lalu kutanyai Erlan sehari sebelum pernikahan. Dia bilang iya, terus katanya komitmen dan perasaan itu dua hal yang berbeda," Rivana menjawab ketika kutanya sejauh mana dia mengetahui perihal sakit Arumi."Arumi terkena Alzheimer, Va? Erland memenuhi permintaanku untuk dipertemukan dengannya," Hahh, Arumi gegas menghela lenganku ke kamarnya, menutup pintu dan menatapku setengah tak percaya.'Terus gimana? Lanjutin cerita Al,"Kusampaikan situasi pertemuan di kamar Arumi, sikap om Jiwo dan tante Mia, juga penuturan suamiku malam itu."Jadi rivalmu sekarang penderita penyakit langka?" "Issh, jahatnya kamu Va?" Kumelotot mendengar lontarannya."Kapan Erlan belajar mencintaimu bila terus saja terlibat dengan Arumi? Sori ya Al, aku ngomong apa adanya...""Setidaknya dia mencintai anak kami, Va?" tukasku menundu
Pradugaku tak pernah terbukti, meski sangat nyata besarnya cinta Arumi pada Erland dan respek keluarganya pada suamiku itu. Aku terkadang malu dengan rasa syukurku yang amatlah tipis, mudah robek tergores rasa cemburu. Hari demi hari kesehatan Arumi semakin menurun, tak jarang setiap berita dari kediaman keluarga Arumi seolah mimpi buruk yang menghantui. ""Al, nanti siang bersiap ya? Om Jiwo meminta kita datang," Erland menelpon saat masih berada di kampus. "Ini masih ada keperluan dengan dosen pembimbing Er, mungkin aku tidak sempat berganti pakaian? Tidak apa-apa kita langsung ke sana?" sahutku sambil menelisik diri sendiri, outfitku hari ini bukan untuk acara formal tapi cukup membuatku percaya diri dengan kondisi hamil tujuh bulan.Di seberang sana suamiku menyahut bahwa tak masalah dengan penampilanku, yang penting bisa memenuhi hajat om Jiwo dan tante Mia.Apakah kondisi Arumi memburuk? Aku cukup lama tidak mengunjunginya, bebera
Hampir tak kupercaya, keluarga Erland boyongan ke kota kami. Mertuaku pindah menempati sebuah rumah kediaman yang cukup besar berlantai dua dengan halaman belakang yang luas dan rindang oleh pepohonan."Rumah ini dibeli oleh papanya Feysa dan Restu. Investasi buat salah satu dari mereka bila ingin mencoba usaha di kota ini?" ujar mama Netty yang memang merencanakan pindah satu minggu sebelum perkiraan hari melahirkan "Iya sih ma, aset property sebagus ini nggak rugi dibeli." aku mengiyakan, surprais dengan kedatangan beliau. Hari ini aku berkunjung saat rumah pun masih berantakan habis pindahan. "Maunya ngontrak di sini selama satu tahun biar puas menyongsong cucu mama, tapi mana boleh sama tante Moza-mu? Jadi disuruh menempati aja sepuas mama sampai bayimu nanti bisa benar-benar mengenali omanya ini?""Mama niat banget ya, sampai sudah bawa bibik segala?" Aku menunjuk wanita berumur empat puluhan yang tadi dipanggil dengan nama Bik Inah.
Sepulang dari mendampingi kunjungan lapangan, aku jatuh sakit. Keletihan perjalanan darat hari kedua yang menguras tenaga ditambah hari-hari sebelumnya mentalku cukup tertekan setelah mengajukan berkas cerai ke pengadilan agama.Dengan tubuh meriang, aku bahkan tidak bisa melepaskan rindu pada baby Ghaazi. Tante Fifi melarangku langsung menemui putraku, terlebih karena aku baru datang dari daerah. Beliau khawatir masih tersisa penularan virus penyebab pandemi selama dua tahun lalu."Kamu sakit, Al?" Erland yang sore ini mengira baby Ghaazi sudah kubawa pulang ke rumah Citraland, terkejut mendapatiku demam. Aku yang tadinya meringkuk di tempat tidur mau tak mau membuka pintu yang sudah kukunci. Wajah yang pucat dan tubuh berlapis sweater tebal, mendorongnya secara otomatis meletakkan punggung tangan di dahiku."Egha dimana?" Tanyanya menyadari rumah yang sepi."Tante Fifi melarangku singgah untuk membawanya pulang, Mas. Di bandara tadi ak
"Pergi ke Riau dengan bos-CEO? Baguslah, anggap saja kamu sedang healing?" Lontar Rivana tersenyum menggoda. Pagi ini kami bertemu secara tak sengaja. Aku mengantar suster dan baby Ghaazi untuk menginap di tempat orangtua Rivana sampai lusa. Besok ayah dan bunda juga akan datang ke sini menemani cucu mereka."Aku terpaksa diminta ikut, Va. Investor asing perlu penterjemah waktu dialog dengan pihak pemerintah daerah." kilahku berdalih."Nikmati saja, Al. Kurasa Pak Destanto bukan cuma membutuhkanmu di lapangan, tapi dia bermaksud supaya kamu sedikit melupakan perkara perceraian itu." Pungkas Rivana."Ngaco kamu ah, kemarin saja aku ditegur. Disarankan ambil cuti gegara ketahuan melamun?" Sergahku meringis."Haa...itu namanya bos-CEO menaruh perhatian padamu. Peduli dengan yang kamu sedang hadapi, betul gak?!" Rivana mengedipkan sebelah mata. Aku tak menggubrisnya lagi. Bisa jadi apa yang dikatakan Rivana benar, tapi bisa pula keliru. Mana bisa kutebak dengan pasti apa saja dipikiran l
Dengan bantuan om Rudi aku memperoleh jasa pengacara untuk mengurus perceraian. Tak memakan waktu lama untuk menyiapkan berkas, kuserahkan lebih lanjutnya pada pengacara untuk mengajukan sidang.Benar kata Restu, pihak keluarga besarku sudah sangat memahami sejak tujuh bulan lalu. Dukungan terutama dari Rivana, juga Kak Ciko yang memberiku semangat dan meyakinkan pasti ada hikmah di balik semua ini.Hari sabtu Erland datang dan kumanfaatkan momen itu untuk bicara dari hati ke hati."Aku minta maaf sekali lagi, Mas. Senin depan berkas perceraian kita sudah diajukan ke pengadilan agama." Kata-kata itu terucap pelan, tapi mampu merenggut denyut jantungku sendiri hingga serasa berhenti.Erland berpaling ke arahku, tatapan matanya berkilat terluka. Tanpa kuduga ia kemudian berjalan mendekat, lalu menarikku dalam pelukan yang kuat."Aku tahu kau tersiksa menjalani rumah tangga kita, Al. Kau berhak mengambil jalan ini untuk merasa lebih bahagia?"Ya, Allah. Kenapa hatiku sangat sakit menerim
Undangan Desta pada acara tahlilan empat puluh hari mendiang bapaknya, mempertemukanku lagi dengan Alia. Walaupun aku mengetahui kepindahannya ke Jakarta sudah hampir dua minggu, tak ada alasan tepat aku pergi menemui Alia. Terlebih ia disibukkan dengan profesi baru di Bthree Group milik teman baikku.Erlan tidak kau undang?" Tanyaku begitu kami bertemu sebelum acara tahlilan berlangsung"Dia tidak bisa datang, kesibukannya mulai padat menjalankan kembali bisnis milik Tyas." Alia tampak berusaha jujur, kedua bola matanya yang indah menghindar dari tatapan ingin tahuku."Aku permisi ke dalam, Res? Di dalam juga ada Rivana" ujarnya sebelum berlalu. "Rivana, putrinya om Rudi?" cegahku penasaran."Iya, suaminya Dipo juga bekerja di Bthree Group." Aku mengangguk paham dan membiarkan Alia berlalu. Nampaknya para wanita dan kerabat dekat keluarga Desta berkumpul di ruang keluarga rumah kediaman ini.Aku terpekur duduk di antara tamu undangan yang berdatangan. Wajah cantik Alia berkelebat.
Tak kukira akan bertemu Restu di pelaksanaan tahlilan, sepupu Erland itu ternyata diundang langsung oleh CEO Destanto."Erlan tidak kau undang?" Tanya Restu."Dia tidak bisa datang, kesibukannya mulai padat menjalankan kembali bisnis milik Tyas." Sahutku sebagaimana kenyataannya. Erland tidak menjanjikan bisa hadir sewaktu kemarin kusampaikan bahwa bu Retno juga mengundang keluargaku ke acara ini. "Sepertinya aku masih sibuk menyelesaikan pekerjaan pada jam itu." Jawaban Erland kuartikan sebagai keengganannya untuk datang.Terlebih tahlilan almarhum Pak Amirudin dilaksanakan ba'da Ashar, sepertinya Erland memilih berkutat di kantornya daripada datang ke sini demi memantaskan hubungan baik semata.Rivana yang datang mewakili keluargaku, dan sekaligus mendampingi suaminya yang juga masuk di panitia kecil.Rangkaian acara pengajian Ayat Suci Alquran dan Dzikir Tahlilan berlangsung tepat waktu dan lancar karena Sholat Asha
"Alia, maaf mengganggumu dihari libur. Kalau ada waktu bisa ketemu dengan ibu ya, ada yang mau dibicarakan hari ini?" Suara di ujung telpon adalah milik CEO Destanto. "Baik Pak, kalau boleh tahu mengenai apa yang akan dibicarakan ini?" Tanyaku penasaran."Rencana tahlilan almarhum bapak tiga hari lagi, kamu bisa datang hari ini atau besok di jam kerja?" "InsyaAllah siang ini, Pak." Kusanggupi permintaannya."Baiklah, terimakasih. Kami tunggu," terdengar nada suara lega. Lalu telpon di tutup menyusul dikirim mapp lokasi kediaman yang nantinya kutuju.Hari masih pukul delapan, di depan rumahku suster membawa baby Ghaazi sarapan, bergabung dengan para tetangga komplek yang penampakannya hanya terlihat di hari minggu. Pada jam segini ada warga yang lalu lalang baru selesai berolah raga pagi, ada pula yang menemani anak bermain sepedaan, atau sekedar bersih-bersih pekarangan. Semua itu menggantikan suasana lenggang yang b
"Begitu rupanya? Ibu paham sekarang, tapi tidak apa-apa juga toh, bila sandiwara nantinya berlanjut jadi kenyataan?" kata-kata bu Retno bernada gurauan, tapi tetap saja membuatku kesulitan menanggapi."Fokusnya belum ke arah itu, Bu. Alia sedang mengurus perceraian dengan suaminya..."Glek. Kali ini aku hampir tersedak padahal potongan puding yang kusuap amatlah lembut di kerongkongan.Tak bisa berbuat apa-apa. Tak keliru juga ucapan owner Desta. Hanya saja sungguh canggung jadinya ketika di luar kendali masalah pribadiku jadi perbincangan di sini "Ibu turut prihatin. Kalau boleh tahu kamu punya putra atau putri dari pernikahan itu?" Bu Retno menatapku."Seorang bocah lelaki, Bu. Namanya baby Ghaazi..." Sekali lagi owner Desta yang menjawab pertanyaan ibundanya.Aku sudah gerah dengan percakapan ini. Kalau saja bukan bos-ku, pasti kupilih angkat kaki dari sini. Salahku juga yang mengajukan konflik rumahtangga sebagai l
"Hari ini ulangtahun Arumi, Tante Mia mengadakan syukuran dan mengundangmu juga. Kamu bisa pergi, Al?" Perkataan Erland membuat ingatanku kembali terlempar ke masa lalu. "Sepertinya tidak, Mas. Aku ingin istirahat saja." jawabku seadanya. Hari sabtu ini memang kurencanakan menghabiskan waktu di rumah saja, berleha-leha sambil bermain dengan baby Ghaazi."Berarti aku ajak Egha dan suster saja, kebetulan ada Salom Almera putrinya Iqbal. Egha bisa bermain bersamanya," ujar Erland."Tapi, Mas...""Kenapa, Al? Kamu keberatan sekali-sekali Egha pergi denganku? Tiap hari seharian ditinggal kerja, anak balita pun butuh suasana baru di luar sana." imbuhnya Aku terdiam karena sudah terlanjur mengatakan tidak ikut ke rumah Arumi, tapi tidak mengira Erland bahkan tetap mengajak baby Ghaazi dan suster."Ya sudah, akan kusiapkan keperluan Egha dulu." Ucapku tak ingin berkeras, padahal aku bakal kesepian di rumah.Ada benarnya kata-kata Erland, baby Ghaazi dan suster perlu diajak jalan setelah ber
Aku tiba di gedung Perkantoran yang ditempati BThree Group lima belas menit sebelum waktu yang dijanjikan oleh owner Desta.Persis seperti di Surabaya sejumlah apartemen studio menjadi area beraktivitas berbagai divisi menggerakkan jalannya roda perusahaan. Hanya saja masing-masing apartemen studio berukuran lebih besar dengan desain interior eksklusif."Selamat pagi Bu Alia, selamat datang dan selamat bergabung di Bthree Group." Seorang gadis mengucap salam menyambut di meja resepsionis yang berbentuk setengah lingkaran dengan latar belakang logo perushaan berupa tiga hurup B,t,h berukuran besar yang dirangkai apik menggunakan paduan warna elegan.Begitu kusebutkan nama maka garda terdepan ini menyambut dengan kalimat yang spesifik, pertanda sudah mengidentifikasi diriku adalah wajah baru yang mereka ketahui satu paket dengan pemegang tampuk pimpinan perusahaan yang baru. "Selamat pagi, Mbak. Apakah saya akan menunggu Pak Desta di sini