Alzheimer! Penyakit yang merampas ingatan seseorang di masa lansia, itu kini yang menggerogoti Arumi pada usia terbilang muda.
"Kasus seperti Arumi termasuk langka, tidak sampai 400 orang hingga kini di seluruh dunia yang terkena di bawah usia 65 tahun." ungkap Erland sepulang dari kediaman mantan kekasihnya itu.."Bagaimana gejala awalnya?" rasa penasaranku sedikit terjawab kini."Dua tahun yang lalu, dia mulai mengalami kebingungan. Tidak bisa mengingat hal-hal kecil atau di mana menyimpan benda yang rutin di keseharian. Lalu mulai lupa alamat rumah, kalau keluar rumah mentok satu tujuan. Agenda lain terlupakan, ...""Dia juga melupakan hubungan denganmu?" kejarku jadi ingin tahu perspektif Arumi terhadap kisah cintanya dengan Erland."Orang-orang terdekatnya tetap utuh dalam memorinya Al, tapi kesulitan Arumi adalah menghubungkan antar memori yang membuat ingatannya timbul tenggelam. Hal-hal kecil bagai runtuh, padahal seringkali hal k"Arumi sakit parah, tentu saja Erlan tidak bisa meninggalkannya? Informasi kawanku sebatas itu, lalu kutanyai Erlan sehari sebelum pernikahan. Dia bilang iya, terus katanya komitmen dan perasaan itu dua hal yang berbeda," Rivana menjawab ketika kutanya sejauh mana dia mengetahui perihal sakit Arumi."Arumi terkena Alzheimer, Va? Erland memenuhi permintaanku untuk dipertemukan dengannya," Hahh, Arumi gegas menghela lenganku ke kamarnya, menutup pintu dan menatapku setengah tak percaya.'Terus gimana? Lanjutin cerita Al,"Kusampaikan situasi pertemuan di kamar Arumi, sikap om Jiwo dan tante Mia, juga penuturan suamiku malam itu."Jadi rivalmu sekarang penderita penyakit langka?" "Issh, jahatnya kamu Va?" Kumelotot mendengar lontarannya."Kapan Erlan belajar mencintaimu bila terus saja terlibat dengan Arumi? Sori ya Al, aku ngomong apa adanya...""Setidaknya dia mencintai anak kami, Va?" tukasku menundu
Pradugaku tak pernah terbukti, meski sangat nyata besarnya cinta Arumi pada Erland dan respek keluarganya pada suamiku itu. Aku terkadang malu dengan rasa syukurku yang amatlah tipis, mudah robek tergores rasa cemburu. Hari demi hari kesehatan Arumi semakin menurun, tak jarang setiap berita dari kediaman keluarga Arumi seolah mimpi buruk yang menghantui. ""Al, nanti siang bersiap ya? Om Jiwo meminta kita datang," Erland menelpon saat masih berada di kampus. "Ini masih ada keperluan dengan dosen pembimbing Er, mungkin aku tidak sempat berganti pakaian? Tidak apa-apa kita langsung ke sana?" sahutku sambil menelisik diri sendiri, outfitku hari ini bukan untuk acara formal tapi cukup membuatku percaya diri dengan kondisi hamil tujuh bulan.Di seberang sana suamiku menyahut bahwa tak masalah dengan penampilanku, yang penting bisa memenuhi hajat om Jiwo dan tante Mia.Apakah kondisi Arumi memburuk? Aku cukup lama tidak mengunjunginya, bebera
Hampir tak kupercaya, keluarga Erland boyongan ke kota kami. Mertuaku pindah menempati sebuah rumah kediaman yang cukup besar berlantai dua dengan halaman belakang yang luas dan rindang oleh pepohonan."Rumah ini dibeli oleh papanya Feysa dan Restu. Investasi buat salah satu dari mereka bila ingin mencoba usaha di kota ini?" ujar mama Netty yang memang merencanakan pindah satu minggu sebelum perkiraan hari melahirkan "Iya sih ma, aset property sebagus ini nggak rugi dibeli." aku mengiyakan, surprais dengan kedatangan beliau. Hari ini aku berkunjung saat rumah pun masih berantakan habis pindahan. "Maunya ngontrak di sini selama satu tahun biar puas menyongsong cucu mama, tapi mana boleh sama tante Moza-mu? Jadi disuruh menempati aja sepuas mama sampai bayimu nanti bisa benar-benar mengenali omanya ini?""Mama niat banget ya, sampai sudah bawa bibik segala?" Aku menunjuk wanita berumur empat puluhan yang tadi dipanggil dengan nama Bik Inah.
Putraku hadir di dunia melalui proses kelahiran normal, sosok mungilnya yang didekatkan padaku segera saja membayar ribuan gelombang rasa sakit yang tadi menghantam. Rasa perih yang tersisa di jalan lahir pun terabaikan, kuresapi kebahagiaan ketika kulit bayiku menempel di dada saat IMD Senyum tulus Erland mengembang saat berkali-kali membisikkan terima kasih, berulang pula kecupannya lembut menyentuh keningku. "Setahun yang lalu kamu menjadikanku sebagai seorang suami, dan hari ini statusku lengkap menjadi seorang ayah. Terima kasih, sayang?" Dibelainya wajahku dengan tatapan memuja. Biasanya suamiku tak berlama-lama menautkan mata, perasaannya padaku lebih banyak disampaikannya melalui sentuhan saja.Mata adalah jendela hati, mungkin Erland takut aku bisa mengintip sebesar apa cinta bertahta untuk Arumi. Tapi di hari kelahiran anak kami, lelaki ini tak ragu bertahan lama menatap mataku. "Wajah bayi kita mirip sekali dengan wajahmu, Al. Aku ng
Aqiqahan Atthaya Ghaazi digelar di rumah tante Moza yang sekarang ditinggali oleh mertuaku. Rumah yang berhalaman luas itu disulap oleh jasa tim dekor, menjadi jauh lebih semarak dan hangat dibanding melaksanakan dengan Fullday di hotel. Pada hari lahirnya ke empatpuluh keluarga besar suamiku menyambut hadirnya putra kami, kecuali Feysa yang sedang studi di luar negeri. Melewati waktu zhuhur tamu undangan yang menyaksikan acara pokok aqiqah dan pemberian nama sudah pulang, hanya tamu keluarga dari pihak Erland dan keluarga-kerabatku yang masih mengalir, juga beberapa rekan kerja suamiku yang silih berganti.""Boleh ku gendong, Al?" Restu minta izin melihat Atthaya Ghaazi yang nampak anteng dalam gendonganku."Bisa, kamu?" Kutersenyum mencandai, tapi kuulurkan bayiku ke tangan Restu yang menyambutnya sedikit kaku."Dengan Om Restu dulu ya Nak, mama lapar lagi ini," Perutku sudah keruyukan lagi padahal pukul tujuh sudah sarapan,
Matahari di ufuk timur menyembul malu-malu, sehabis hujan dini hari. Udara segar yang berhembus menyentuh kulit terasa sejuk kuresapi diantara ayunan kaki mendorong stroller baby Ghaazi perlahan di tracking paving blcok pedestrian.Beberapa remaja tanggung meluncur di atas skateboard ditingkahi tawa dan celoteh tak jelas terbawa angin. Satu-dua pasangan terlihat mengayun langkah santai mengitari ruang terbuka hijau di area cluater.Kuhentikan langkah buat memastikan putraku masih nyaman, siapa tahu topi kupluk rajutnya bergeser terlalu dekat ke mata. Aih, si penakluk hati tersenyum dengan manisnya.Tiiin.Tiiin.Mobil Inova yang sangat kukenali menepi. Restu turun dari pintu pengemudi dan memutari belakang mobil. Mengenakan kaos dan slack-pants warna biru navy, lelaki itu terlihat begitu segar. Dengan cekatan mengeluarkan baby Ghaazi dan menyerahkan padaku."Pagi, babby-boy? Hari ini temani om,ya?" "Kita kemana, Res?" bertanya bingung
"Kamu saja yang ke sana, Al? Aku harus ke kantor, banyak invoice terbengkalai kutinggal pergi lima hari?" ucapan Erland menyahuti ajakanku mengunjungi Arumi pagi ini."Temani Ghaazi bentar, kusiapkan sarapan." kuletakkan putraku di tempat tidur, agak ketengah. Khawatir dia akan berguling walaupun berapa hari ini masih tahap ancang-ancang.Sambil menyiapkan roti selai dan sosis panggang di oven, kupertimbangkan usulan suami untuk mengunjungi Arumi tanpa ditemani. Jika Ghaazi kubawa serta tentunya akan menghibur Om Jiwo dan tante Mia, karena setahuku baby Saloom Almeraa dan papa-mamanya sudah balik ke kota domisili mereka.Erland muncul di ruang makan menggendong Ghaazi yang terkekeh senang khas bayi dicandai papanya."Bagaimana kalau kesana ditemani sama mama? Kutelponkan beliau...""Tidak usah Mas, mama biar istirahat dulu. Sudah lima hari kami merecoki beliau?" tolakku cepat. Lima hari Erland pergi ke luar negeri maka selama it
Sepanjang obrolanku dengan tante Mia, jarum waktu barangkali sudah melampaui satu jam. Arumi masih betah berinteraksi dengan putraku, baby Ghaazi pun anteng saja.Percakapan ringan seputar maraknya kedua bayi sepantaran, Ghaazi dan Saloom yang menggemaskankami, kabar mertuaku yang pindah ke kota ini dan kondisi kesehatan bunda pun sempat ditanyakan oleh tante Mia. Baby Ghaazi yang mulai rewel segera kutitipkan ke assisten Arumi, sementara aku permisi ke tolilet BAK sekaligus untuk memompa ASI. Susu Formula juga kucadangkan karena bayi lelakiku belum kuberi MPASI. "Biar sebentar denganku?" Arumi berucap ketika baby Ghaazi kusodorkan ke arah Assistennya. Sejenak kuragu, tetapi tante Mia bergerak cepat ke samping Arumi."Tante di sini, kok?" ucapnya meyakinkan. Bukan apa-apa, aku khawatir Arumi tak bisa mengimbangi bobot bayiku bila memegangnya dengan tanggung."Baby Ghaazi lumayan berat lho, mama Arumi?" ucapku kikuk, meminta pengertian t