“Halo?” Ruby menjawab dengan takut-takut. Pria tua itu tampak ramah dan lemah awaknya, tapi itu tipuan. Ruby tidak akan lupa tamparan yang diberikan pria itu kemarin.“Kau belum mengacau bukan?” Terdengar pertanyaan bercampur geraman dari Esli.Rasa takut Ruby berkurang jauh seketika. Menyadari kalau geraman itu tidak lebih dari ancaman kosong. Ia tidak perlu takut, Esli tidak bisa menyentuhnya saat ini. kalau hanya omelan, Ruby masih bisa menanggungnya.“Mengacau dalam hal apa?” tanya Ruby dengan sedikit lebih berani. Sikap hormat yang kemarin ditunjukkan Ruby karena menganggap Esli pria yang tengah bersedih akibat anaknya mengalami kecelakaan dan koma, tidak lagi ada. Baginya, Esli tidak lebih dari penipu yang memanfaatkannya.“Kau jangan macam-macam!” Esli terdengar semakin marah.“Aku tidak mengacau.” Ruby tidak ingin membuatnya marah lebih jauh. Teringat ibunya masih ada bersama Esli. Kalau tahu wajah asli Esli adalah penipu, Ruby tidak akan membiarkan Esli membawanya. “Kalau
“Tidak akan terjadi! Kau tidak akan menikah dengannya.” Esli menghela napas sambil menghempaskan tubuh ke kursi. Lelah dengan tiba-tiba.“Oh, syukurlah.” Liz lega ayahnya tidak ingkar janji.“Tapi kau pergilah! Ke Paris atau kemana terserah. Jauhi negara ini. Jangan pulang sebelum aku minta,” kata Esli dengan tegas.“BENARKAH?!” Liz memekik girang dan langsung menghambur memeluk ayahnya. Liburan mendadak selalu terdengar menyenangkan.“Jangan sampai bertemu dengan teman-teman yang mengenalmu tapi.” “Hah? Kenapa begitu?” Liz merajuk dengan menghentakkan kaki. Apa gunanya berlibur kalau tidak bisa bersama teman-temannya?“Kau pergi saja dan jangan menghubungi siapapun dari sini! Aku akan mengawasimu!” Esli tidak mendengar protes itu dan menyuruh dengan lebih tegas.“Tapi…”“BERANGKAT SEKARANG!”Liz tersentak dan menatap ayahnya dengan mata memerah. Ini pertama kali ia mendengar ayahnya membentak. Liz menyambar vas yang ada di atas meja lalu membantingnya ke lantai. Ungkapan emosi sebag
“Kau tahu aku sibuk,” kata Ed, sambil memijat keningnya. Nyeri itu masih ada. Obat itu sepertinya tidak berguna.”“Dan kenapa kau bertanya?” Ed bertanya, tapi sudah tahu apa jawabannya.“Kau punya istri sekarang. Tanggung jawabmu adalah untuk pulang.”Tebakan Ed tidak salah. Javier membahas hal yang tidak ingin didengarnya.“Kau terlalu peduli dengannya!” desis Ed.“Dia istrimu sekarang. Tentu aku peduli. Kau seharusnya datang dan mencoba untuk dekat dengannya. Meminta maaf paling tidak. Kau menyakitinya.” Javier mengomel.“Haruskah? Aku tidak memaksa…”“Entah kau memaksa atau tidak, kau membuatnya menangis! Kau ingat menangis? Hal yang terjadi saat ada yang merasa sakit, terluka atau sedih, marah juga.” Javier tentu hanya tengah bersikap sarkastik. Menyindir Ed—menyebutnya tidak berperasaan karena tidak mengerti emosi.“Aku tidak sangat bodoh!” gerutu Ed.“Tapi sekarang terlihat seperti itu! Pulang dan urus dia!” Javier kini tidak menyarankan lagi, tapi menyuruh.“Nanti!” Ed tidak me
Ruby memegang rak penyimpanan piring sambil mengatur napas. Tiba-tiba saja pandangannya gelap tadi, hanya sekilas. “Senora, apa Anda yakin bisa membawanya?” Tita menyerahkan nampan makanan pada Ruby dengan wajah ragu. “Oh, bisa.” Ruby menegakkan tubuh. Ia sudah meminum teh manis tadi, dan tubuhnya sudah cukup segar. Ia membantu Tita sejak tadi tanpa masalah—bersama dua pelayan lain. Makanan itu adalah jatah Pastor Javier. Satu-satunya penghuni rumah yang boleh tidak datang ke meja makan rupanya Javier. Biasanya Tita yang mengantar. Ruby menawarkan diri untuk membawa makanan itu pondok di sebelah chapel yang menjadi tempat tinggal Javier. Bukan karena terlalu rajin, tapi pilihan yang lain adalah menyiapkan makanan di meja. Ruby tidak ingin berada di ruang makan itu. Bisa jadi Pedro akan mendatanginya lagi. Mía mungkin buta sampai tidak bisa melihat kalau pria itu mata keranjang. “Ini tidak berat.” Ruby mengangguk meyakinkan Tita. Nampan itu tidak sangat berat. Ruby biasa membawa
“Pingsan? Kenapa memang?” tanya Ed. Javier mendesah sambil mengusap rambutnya. Kakaknya itu tidak terdengar peduli. Ia hanya bertanya sekadarnya karena penasaran. “Tiba-tiba saja begitu.” Javier tidak akan besar mulut dan mengumbar apa yang dilakukan Pedro. Kakaknya tidak memerlukan tambahan beban. Pedro hanya pria bangsat yang pengecut sebenarnya. “Mungkin ia hanya berpura-pura karena ingin lari.” “Tidak. Kau pikir aku tidak bisa membedakan pingsan pura-pura dan asli. Dia benar-benar lemas.” Javier memandang dokter yang saat ini memeriksa Liz dan tidak melihat keanehan. Dokter itu merawat dan tampak memasang infus malah. Tidak mungkin Liz berpura-pura. Javier yang memanggil dokter itu setelah Tita menyusul karena khawatir tadi. Javier meminta Tita untuk diam sementara ini.“Ya sudah kau rawat saja.” Ed tidak terdengar khawatir. “Kau benar tidak akan pulang? Kau harus melihatnya!” Tujuan Javier mengubungi tentu karena menyuruh Ed untuk pulang dan menjenguk Liz. “Untuk apa aku m
Sebelum benar-benar tidak sadar, Ruby masih mendengar bagaimana Javier menyebut tentang Mía. Tidak dalam konteks buruk. Justru dengan hati-hati. Tentang membiarkan Pedro ada karena Mía. “Mungkin hanya kurang tidur. Aku tidak tidur terlalu nyenyak dua hari ini. Tempat baru.” Ruby memutuskan untuk diam. Kehati-hatian yang sama karena seharusnya ia tidak menimbulkan masalah. Paling tidak sampai dua minggu ini. Ruby tidak akan melawan maupun melakukan apa pun yang mengguncang rumah Rosas untuk dua minggu ini. “Yah, aku juga sama. Sulit untuk menyesuaikan diri di tempat baru.” Javier percaya dan Ruby lega. Alasannya masuk akal. “Tapi kau tidak perlu khawatir sebenarnya. Yah… Pedro memang brengsek. Tapi tidak ada yang berbuat aneh padamu selain dia. Kau bisa tenang di sini.” Kalau bisa, Ruby ingin tertawa tergelak. Javier sepertinya tidak tahu seperti apa Mía bersikap padanya. Entah terlalu buta dan menyayangi bibinya itu, atau memang ia tidak paham sifatnya. “Ini makanlah. Tita tadi
“Lebih baik kau istirahat dulu di sini.” Javier bisa melihat keadaan Ruby masih belum pulih.Wajah Ruby menghangat. Tidak ada rasa jijik seperti saat Pedro mendekatinya, atau pun Ed yang membuatnya takut.“Tidak. Aku akan kembali.” Ruby tidak akan gila dan membiarkan dirinya semakin kehilangan arah. Bersama Javier lebih lama lagi akan membuat otaknya sinting karena semakin terpesona.Terpesona pada adik iparnya saja sudah buruk, apalagi adik ipar itu adalah pastor.“Aku antar kalau begitu.”Ruby ingin menggeleng lagi, tapi Javier sudah memapah dan membantunya berjalan. Ruby mengeluh dalam hati, tapi memang membutuhkan bantuan itu. Ruby tahu tubuhnya tidak akan sampai keluar ruangan kalau berjalan sendiri.“Aku mohon kau makan dengan lebih teratur. Tubuhmu sepertinya rapuh.” Javier kembali berkomentar saat membantu Ruby menaiki undakan batu.“Oke.” Ruby tidak membantah meskipun sebenarnya merasa geli. Baru sekali ini ada orang yang mengatakan tubuhnya rapuh. Ruby tidak pernah merasa ra
“Maaf, tapi tidak ada apa pun. Semua bagian kepala Anda baik-baik saja.” Dokter yang ada di hadapan Ed menyampaikan dengan takut-takut, karena mata Ed tampak semakin menyipit.“Tapi sakitnya ada!” desis Ed.“Saya mengerti, tapi kami tidak menemukan apapun. Hasil CT scan dan yang lain sangat bersih. Tidak ada retak mau pun kelainan yang bisa kami temukan.”Dokter itu juga sangat tidak nyaman menyampaikan berita itu karena sudah mengulang prosedur ini paling tidak untuk ketiga kalinya. Dan hasilnya selalu sama tidak ada kelainan pada kepala Ed.“Jadi maksudmu aku hanya berhalusinasi dan gila?” Ed sekuat tenaga menahan diri agar tidak membentak. Dokter adalah orang yang ia harap bisa membantunya saat ini. Tapi dokter yang didatanginya malah terlihat menyerah dan tidak tahu.“Bukan gila. Anda salah paham. Ini hanya masalah psikologis.” Dokter itu semakin tidak tenang. Meski Ed mencoba untuk bicara setenang mungkin, tapi ia tahu kalau pasiennya itu menyimpan amarah.“Kau baru saja mengatak
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad