Liz mengunci pintu bangunan yang akan segera menjadi butik yang dikelolanya, sambil tersenyum. Setelah hampir sebulan mencari dan menyiapkan segalanya, sebentar lagi ia akan siap untuk memulai. Liz mengusap nama yang tertulis pada papan nama yang tergantung di pintu. Gemma’s Boutique. Liz sengaja memakai nama itu, karena tidak akan ada lagi yang akan pernah memakai nama itu untuk memanggilnya setelah ini. Nama itu akan hilang. Dengan menjadi nama tokonya, Gemma tidak akan hilang. Nama itu akan menjadi bagian dirinya sekarang, dan akan tetap disebut. “Agh!” Liz memekik kaget saat berbalik karena melihat orang tidak terduga. Mendez berdiri di belakangnya sejak tadi. “Maaf, telah mengejutkan Anda.” Mendez membungkuk. “Apa yang kau lakukan di sini? Kau kemarin menolak bertemu denganku bukan? Apalagi sekarang?!” Liz jelas marah karena kemarin Mendez telah menolak untuk bertemu dengannya. Meski Ed sudah menyuruh, tapi Mendez menolak. Liz hanya bisa marah, tapi tidak ingin memohon pa
“Mulutmu seperti sampah!” Liz berseru sambil bangkit sendiri dan menunjuk pria yang baru mengumpat padanya itu.Wajahnya tampan—rambut bergelombang sedikit panjang, mata cokelat terang tajam, tapi mulutnya tidak seindah wajah itu.“Tunggu, Nenek Sihir! Apa kau baru saja menghinaku? Kau tidak meminta maaf dan malah marah padaku?!” Pria itu menunjuk kerusakan laptopnya. Liz melirik dan sebenarnya merasa bersalah, tapi sikap pria kasar itu terlalu menyebalkan.“Apa kau tahu ada apa saja di sana? Pekerjaan dan…”“Apa aku harus peduli?” Liz menepis debu yang ada di mantel, lalu berjalan melewati pria itu. Tidak peduli.“Hei!” Pria itu menyambar lengan Liz.“Kau mau kemana? Kau tidak merasa bersalah? Tidakkah kau harus bertanggung jawab?!” serunya.“Bersalah? Kau keluar di jalan dengan laptop terbuka dan kopi di tangan! Angin saja bisa membuat keduanya jatuh! Untuk apa aku bertanggung jawab atas kebodohanmu sendiri?” Liz menepis tangan itu. Laptop itu tidak akan retak kalau tidak menghant
“Maaf, kau siapa?” Ruby bertanya dengan kebingungan. “Siap… Mudah sekali kau lupa pada dosamu!” desisnya. “Aku lupa apa? Kau bicara apa?” Ruby semakin merasa pria itu tidak masuk akal. “Hei! Apa ingatanmu sependek ini? Kita baru bertemu siang tadi!” Pria itu membentak lagi. “Siang apa? Aku tidak bertemu siapapun hari ini!” Ruby membantah keras. Ia tidak keluar rumah hari ini. “Jangan berpura-pura! Aku masih membawanya!” Pria itu merogoh ransel yang tadi ada di punggungnya, mengeluarkan laptop yang terlihat buruk. “Lihat ini! Ini! Kau masih berpura-pura lupa?!” “Aku tidak tahu itu apa? Kau yakin dirimu sehat?” Ruby mempertanyakan kewarasan tentu. “Aku sehat! Kau yang tidak sehat! Sepertinya…” “CUKUP!” Bentakan berat membuat ruang depan itu sunyi. Ed muncul sambil mengernyit, lalu menarik Ruby ke balik punggungnya. “Aku menawarkan kau untuk datang, tapi tidak akan mengampuni kalau kau kasar pada istriku!” Ed menggeram. “Istri? Wanita itu istrimu ?” Seruan terkejut. Ruby mend
“Ada apa denganmu?! Kenapa kau tiba-tiba menjadi seperti ini?!”Lori melepaskan cengkramannya dari tangan Liz dan menuding. Ia tidak ingin marah, tapi dengan jelas ia tadi melihat Liz bercumbu dengan pria di sudut bar. Lori tadinya tidak ingin melarang apapun, tapi tidak mungkin diam lagi saat melihat kesalahan fatal itu.“Kau tidak usah sok suci! Kau juga melakukannya! Kau bahkan tidak mengenal pria itu!” Liz menunjuk pria yang menunggu Lori di belakangnya. Tangannya tidak lurus, dan goyah, karena setengah mabuk.Lori mendesah, karena memang kenyataannya seperti itu. Ia bahkan tidak ingat siapa namanya.“Tapi aku belum menikah—tidak menikah dengan Rosas, Liz! Apa kau mencari mati?!” Lori kembali menarik tangan Liz karena melihatnya melambai lagi pada pria yang tadi ditinggalkannya.“Mati atau tidak bukan urusanmu! Pokoknya terserah padaku! Kau tidak perlu ikut campur! Urus saja urusanmu sendiri! Berisik!” Liz mengibaskan tangan di depan wajah Lori.“Hei! Aku begini karena peduli pada
“Senorita, saya mohon…”Otiz melarang, tapi Lori dengan cepat berpindah ke atas pangkuannya. Otiz langsung mematung diam duduk di tepi ranjang dengan Lori di atasnya.“Hei… Kau tadi mengatakan akan menemaniku bukan? Kenapa malah bingung?” Lori dengan matanya yang sendu.“Saya… tidak termasuk yang ini…” keluh Otiz, sambil menurunkan kedua tangan Lori yang menumpang di bahunya. Otiz setengah mati berusaha tidak kasar. Ia terpaksa membawa Lori ke hotel karena mabuk parah, dan rencananya hanya menurunkan Lori di ranjang saja tadi, bukan malah bergelut untuk melepaskan diri.Tapi bisa membawa Lori ke kamar saja sudah merupakan keajaiban. Lori nyaris tidak bisa membuka mata, dan yang membuatnya sadar saat ini adalah benturan kepala—tidak sengaja—di pintu. Sadar yang rupanya menambah kerepotan, karena Lori tidak melepaskan Otiz.“Senorita, saya…”“Lori! Kenapa kau sopan sekali padaku? Aku bukan Ed! Bukan Liz juga!” protes Lori sambil menangkup kedua pipi Otiz.Lori mengernyit lalu menyingkir
“Apa kau akan selalu ada saat Ed ada?” tanya Lori, sambil ikut bersandar di pagar balkon. Otiz ada di teras balkon, seperti biasa, mengawasi dari kejauhan saat Ed sedang ada acara.Setelah pesta di bar itu, kini mereka bertemu di pesta lagi. Hanya lebih resmi. Salah satu acara yang dibenci Lori, hanya terpaksa ada karena ibunya mengenal dekat tuan rumah. Lori bahkan lupa acara apa, tapi pasti penting karena Ed bersusah payah datang. Lori belum melihatnya, tapi Otiz ada berarti kemungkinan besar Ed datang.“Tidak harus begitu. Saya akan ada kalau Don Rosas memerlukan,” kata Otiz, menjawab dengan sopan sambil menurunkan gelas wine di tangannya. Akan lebih baik kalau ia tidak menyentuh alkohol di dekat Lori. Sekarang saja Otiz ingin merebut gelas di tangan Lori dan membuang isinya.“Kenapa kau begitu setia padanya?” tanya Lori. Penasaran. Lori tahu Otiz bekerja untuk keluarga Javier dan Ed, tidak tahu asal muasal. Tapi jelas tidak melalui jalur standard. Javier menganggapnya keluarga,
“Hai!”Otiz tersentak. Ada orang yang baru saja menubruk punggungnya, dan jelas sengaja, karena wajah cerah kini mengintip dari balik lengannya.Lori dan semangatnya, seperti biasa. Mengalahkan cerah langit biru di atas.“Aku tidak tahu kau bermain golf, Otiz.” Lori menemani ayahnya hari ini, dan menemukan Otiz yang tengah berjongkok di dekat salah satu lubang. Sedang mengukur jarak agar pukulannya yang berikut bisa masuk.“Aku juga tidak tahu kau bermain golf,” kata Otiz.“Sama sekali tidak. Ini… aku baru sekali ini memegangnya. Aku ke sini karena paksaan ayahku,” keluh Lori, sambil menunjukkan tongkat golf yang ada di tangannya. Lori memakai perlengkapan yang benar, dari topi, pakaian, sepatu, sampai sarung tangan, tapi jelas semua baru.“Lalu kau melarikan diri?” Otiz menatap sekitar dan tidak melihat siapa pun. Seperti biasa, Lori tidak suka diatur.“Yah, kalau bisa. Ayahku sedikit memaksa hari ini. Aku harap ia tidak sadar aku menyingkir.” Lori melirik sekitar, jelas berharap aya
“Hai, Papa. Aku tidak tahu kau ada di sini,” kata Lori. Berusaha bersikap santai sambil menilai wajah ayahnya. Apakah marah atau normal. Sepertinya normal, mungkin ia memang tidak mendengar pertengkarannya dengan Otiz.“Aku di sini karena kau tidak ada. Kenapa kau menghilang? Kau membuat Michael kebingungan.” Ayah Lori menggeser tubuhnya yang sedikit tambun, dan terlihat pria amat rapi yang tampak kebingungan memang. Tampan, licin dan bersih. Tipikal anak orang kaya yang umum.“Kau tiba-tiba tidak ada.” Michael tersenyum masam.“Aku… aku pergi untuk menyapa seseorang. Impulsif saja, jadi…” Lori berbohong tentu. Ia meninggalkan Michael karena membosankan. Pembicaraannya tidak menarik.“Menyapa? Siapa?” Ayah Lori menatap Otiz. Tidak mengenalinya. “Ini… Otiz Montoya.” Lori memperkenalkan dengan normal, tapi kemudian menambahkan dengan nekat.“Dan kami dekat.” Lori meraih tangan Otiz, menggandengnya. Jelas mengindikasikan kalau Otiz bukan hanya kenalan maupun teman.“Otiz, ini ayahku. A
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad