“Huh?” Mia tidak bisa memproses pastinya, ternganga tanpa suara.
Ed memakai kesempatan itu untuk menceritakan semua dengan lengkap. Termasuk AJ. Cepat atau lambat Mia harus tahu.
“Aku akan menikah dengan Ruby setelah ini, dan akan tinggal di sini bersama AJ juga.” Ed menyelesaikan penjelasannya.
“Kau…kau…” Mia berdiri, menunjuk dengan tangan gemetar. Terlalu marah.
“Kau gila! Kau memang gila!” pekik Mia.
“Tidak juga. Aku memilih dan pilihanku bukan Liz. Kau membenci Liz bukan? Sudah benar. Aku tidak melihat alasan bagimu untuk…”
“DIA JUGA MENIPUMU! SAMA SAJA!” bentak Mia sambil menghentakkan kakinnya ke lantai.
“Dia
“Kenapa kalian tidur bersama?!”Pertanyaan melengking yang membuat Ruby—dan tentu Ed—tersentak. Ruby yang bergelung di paha Ed langsung duduk tegak, dan Ed juga memaksakan diri untuk duduk secepat mungkin meski masih setengah sadar.“Apa?” tanya Ed, sambil mengusap wajahnya.“Kalian tidur bersama disini. Apa boleh?!” AJ memprotes lagi sambil menunjuk dan berkacak pinggang.Pertanyaan yang tidak cocok ditanyakan saat baru saja bangun tidur dengan pikiran berkabut.“Kami… bukan… Kami tidak sengaja tertidur, AJ. Bukan apapun.” Ruby berusaha menjelaskan sambil melirik ke arah Ed yang rupanya membutuhkan waktu lebih lama untuk sadar. Sudah panik
“Aku ingin bicara denganmu," kata Ruby. Setelah semua proses tanda tangan itu selesai dan Liz kembali keluar bersama Ed, Ruby punya kesempatan bicara.“Apa lagi?!” Liz ketus, merasa kalau Ruby akan mengejeknya.“Agak panjang. Bisakah kita…” Ruby menunjuk ke arah cafe yang ada di seberang.Liz mengernyit. Mulai heran. Ruby bukan ingin mengejeknya tentu. Tidak perlu duduk di cafe kalau hanya ingin mengejek.Liz akhirnya mengikuti menyeberang jalan, lalu kembali heran karena melihat Ed memilih set meja yang berbeda saat mereka sampai di dalam cafe. Tidak jauh, tapi terpisah dari Ruby. Ed memesan dan hanya duduk menunggu.“Aku…” Ruby sudah menyiapkan kalimatnya sejak beberap
“Kita tidak ke sana?” Ruby menunjuk belokan yang sudah terlewat. Ia bisa melihat rumah yang biasa ditinggalinya dan danau. Tapi Ed tidak berbelok. “Kau lupa? Aku belum ingin pulang.” Ed berbelok di kelokan berikutnya. “Oh, kita ke sana?” Ruby menunjuk bangunan putih yang biasa dilihatnya dari jendela. Jalan yang mereka lewati hanya berisi bangunan itu. Tidak ada yang lain. “Benar.” Ed mengangguk. “Tapi itu apa?” Ruby akhirnya terlihat tertarik pada sesuatu setelah sepanjang jalan tadi terlihat murung. “Kau akan melihatnya nanti,” kata Ed. “Tapi tidak terlihat.” Ruby mengernyit saat mereka melewati tembok nama bangunan yang ada di samping gerbang. Masih tertutup kain berwarna hitam. Tidak terlihat petunjuk. Hari belum gelap betul, masih ada sedikit warna merah. Tanpa kain itu, Ruby kemungkinan masih bisa membaca namanya. “Apa kau yang membuat ini semua?” Ruby akhirnya sadar. Ed dengan mudahnya masuk ke dalan komplek bangunan yang jelas belum jadi itu. Ia juga dengan mudah me
“Oh, bisa menyala.” Ruby mengedipkan mata, menyesuaikan karena ruangan itu tiba-tiba terang. Ed membawanya masuk ke gedung utama. “Ternyata sudah jadi.” Ruby bergumam sambil memandang sekitar. Ruangan itu adalah loby, dan sudah ada semuanya. Meja konter, kursi tunggu, mesin antrian, dan segala fasilitas yang memang diperlukan ruang tunggu. “Ya, hanya tinggal penyelesaian final. Proses perekrutannya juga sudah final. Begitu semua selesai, bangunan ini bisa langsung dipakai dan berfungsi,” kata Ed. Ruby berpaling menatap Ed, hanya memandang tanpa kata. “Ada apa?” Ed mengernyit. Tentu ia menunggu Ruby bicara. “Aku hanya merasa kalau kau sangat luar biasa. Aku tidak tahu bagaimana kau bisa melakukan ini dengan cepat.” Ruby sedang kagum. “Mudah saja. Uang. Kau tidak boleh meremehkan kekuatan uang. Kau tidak tahu betapa cepatnya perizinan dan lain sebagainya turun dengan bantuan uang.” Ed tersenyum masam. Selain biaya pembangunan, tentu saja ia harus mengeluarkan banyak uang dalam pros
“Mana?” AJ mengulurkan tangan, menyambut Ed dan Ruby di depan pintu.“Apa?” Ruby yang sudah akan menggendong AJ, bingung.“Oh, tidak!” Ed baru ingat.“Coklat!” AJ berseru sambil menghentakkan kaki.“Ah…” Ruby tentulah lupa sama sekali. Ia sangat fokus pada Liz lalu lamaran itu, tidak mungkin ingat pada yang lain.“NO! Mana coklatnya?! Aku mau coklat!” AJ mengamuk berguling di lantai, lalu berputar.“AJ…” Ruby mendesah. Sudah jelas itu adalah tantrum berlebihan. AJ kesal mereka pulang terlambat dan melupakan coklatnya menjadi satu.
Liz menyentuh pembatas transparan rapat yang ada di depannya. Tidak terbuat dari kaca, tapi plastik yang tidak bisa dipecah. Memang mencegah kejadian itu terjadi. Tahanan bisa jadi nekat dan memecah kaca. Bahan plastik itu untuk keamanan.Ada beberapa lubang kecil di plastik pembatas itu, untuk memastikan pembicaraan dua arah terdengar. Liz menghela napas saat pintu yang ada di balik pembatas itu terbuka dan menampakkan ayahnya.Tangannya yang terborgol tampak lebih kurus, perutnya yang membuncit nyaris rata. Rambut di wajahnya juga tidak tercukur.“Liz? Kau benar-benar datang?!” Esli amat terkejut. Ia tadi sudah mendengar nama siapa yang menjenguk saat dipanggil, tapi tidak percaya. Ini pertama kalinya Liz berkunjung.Vonis untuk Esli sudah
“Ughh! Tunggu.”Ruby berhenti melangkah dan kembali duduk. Mencoba untuk bernapas dengan lebih baik. Semua yang menempel pada tubuhnya saat ini adalah pilihan Ruby sendiri, sesuai dengan ukurannya, tapi entah kenapa justru semua terasa salah. Sesak dan tidak nyaman.Ruby tadinya berharap akan bisa tenang dan baik-baik saja karena tidak ada beban apa pun yang memberatkan hatinya saat ini, dan keadaannya sangat berbeda dari pernikahannya sebagai Liz. Tapi tetap saja ia merasa mual dan gugup parah saat hari itu tiba.“Ini bahkan bukan yang pertama,” keluh Ruby, sambil menghela napas panjang.Makanan tidak seberapa yang tadi ditelannya bersamaan saat make up, kini rasanya ada di pangkal tenggorokan.
“Kenapa belum muncul?” tanya Ed, kepada Otiz yang tampak berlari menghampirinya. Ruby terlambat—baru sepuluh menit, tapi tetap terlambat. Karena itu Ed melepaskan AJ tadi, karena tidak sabar lagi melihat ibunya.“Senora Rosas sepertinya sedikit tidak sehat, tapi kata Tita sudah lebih baik. Sebentar lagi akan datang,” kata Otiz.“Apa sangat sakit atau…”“Kata Tita hanya gugup.” Otiz menenangkan.“Oh? Rupanya bukan aku saja.” Ed bergumam sambil mengusap dadanya. Lega tidak sendirian.Ed tahu sendiri kalau pernikahan ini sudah disiapkan dengan hati-hati dan seharusnya lancar, tapi tidak mengurangi cemas dalam hatinya juga.
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad