“Kenapa belum muncul?” tanya Ed, kepada Otiz yang tampak berlari menghampirinya. Ruby terlambat—baru sepuluh menit, tapi tetap terlambat. Karena itu Ed melepaskan AJ tadi, karena tidak sabar lagi melihat ibunya.
“Senora Rosas sepertinya sedikit tidak sehat, tapi kata Tita sudah lebih baik. Sebentar lagi akan datang,” kata Otiz.
“Apa sangat sakit atau…”
“Kata Tita hanya gugup.” Otiz menenangkan.
“Oh? Rupanya bukan aku saja.” Ed bergumam sambil mengusap dadanya. Lega tidak sendirian.
Ed tahu sendiri kalau pernikahan ini sudah disiapkan dengan hati-hati dan seharusnya lancar, tapi tidak mengurangi cemas dalam hatinya juga.
“Ini enak!” AJ mendapatkan apa yang dijanjikan Ed. Air mancur coklat berukuran besar. Aneka buah dan marshmallow berbagai bentuk ada di sekitarnya, sudah tertusuk dan tinggal mencelupkan pada cairan pekat beraroma manis harum itu.“Ya, tapi jangan membawanya ke dekat ibumu!” Lori langsung dengan tegas memperingatkan karena tentu tetesan coklat itu akan menodai gaun Ruby.“Ya… ya…” AJ bergumam sambil cemberut, tapi sama sekali tidak mendekati ibunya setiap kali membawa coklat setelah itu. Lori adalah kelemahan AJ. Lori memanjakan tapi sekaligus amat tegas saat menegur. Ia tidak takut membuat AJ menangis kalau memang salah.Ruby mengingat ini berulang kali, dan berencana untuk mengundang Lori sesering mungkin di masa depan agar AJ ingat untuk tidak terlalu manja.“Terima kasih,” bisik Ruby saat Lori kembali duduk di sampingnya.“Aku tidak.” Ed dari samping Ruby ikut bergumam. Ia sama sekali tidak bisa menerima Lori menegur AJ. Tidak rela.“Untunglah aku tidak menjadi istri Javier. Aku
“Kau berani memotong…”“Maaf, tapi aku tidak akan diam saat ada yang menuduhku sembarangan.” Ruby tersenyum.Mia tertegun. Ia menyadari kalau Ruby berbeda dari gadis yang dulu begitu diam saat dijajah olehnya.“Tia Mia, kau tadi mengatakan ingin Ed bahagia dengan memilih wanita yang tepat bukan? Aku menginginkan hal yang sama. Aku selalu menginginkan Ed bahagia. Tidak kurang satu apapun. Selalu. Tidak ada yang salah dari niat itu bukan?”Mia mendecak. “Itu katamu! Siapa yang akan percaya pada mulut dari Ramos?! Kau dan ayahmu…”“Namaku Herrera, bukan Ramos—dan sekarang Rosas. Aku tidak akan menampik siapa ayahku, tapi aku tidak mau kalau kau memukul rata setiap anaknya. Aku berbeda dari Liz.”Ruby melirik sekitar, sadar kalau sudah terlalu keras bicara, dan akhirnya menurunkan volume suaranya.“Tidak masalah kalau kau tidak percaya dengan apa yang aku katakan saat ini karena memang baru berupa kata, tapi aku mohon kau memberiku kesempatan untuk membuktikannya—bukan menghakimi di awal.
“Jangan.” Ed meraih ponsel Ruby yang sudah terangkat di depan wajah, bersiap melakukan video call, begitu mereka sampai di hotel.“Sebentar saja.” Ruby memohon.“Kau yang tadi tergesa mengajakku pergi dari rumah, Ruby. Kita baru saja sampai dan kau sudah ingin menghubunginya?” Ed sedikit geli.Ruby tadi bersemangat untuk pergi, tapi sepanjang perjalanan mereka—penerbangan kurang lebih 3 jam—semangat Ruby untuk pergi berkurang, berubah menjadi khawatir.“Bagaimana kalau AJ mengamuk? Ini berbeda dari sebelumnya. Kita tidak pernah pergi meninggalkannya berdua saja dan menginap di tempat lain.” Semakin jaraknya jauh dari AJ, Ruby menjadi semakin tidak yakin.Mereka ada d
“Aku tidak tahu sebenarnya.” Ed tersenyum masam. Campuran penyesalan dan pasrah.“Aku tidak dalam usia yang ingin tahu tentang urusan bisnis saat ayahku meninggal. Aki dan Javier tumbuh dalam lingkungan yang menyenangkan. Kami bersenang-senang sesuka hati—Javier mengajakku bersenang-senang.” Ed tersenyum karena tentu Javier yang selalu memiliki ide lebih liar tentang cara bagaimana mereka bersenang-senang.“Aku pernah mengunjungi pabrik tequila, dan itu saja yang aku tahu. Yang lainnya aku baru tahu setelah kedua orang tuaku meninggal. Bukan cara yang menyenangkan untuk tahu, dan terlambat bertanya. Ah...dan itu beberapa saat setelah mengunjungi Esli.”Ed baru teringat sekarang. “Kami mendapat undangan dari Esli. Aku bertemu Liz, dan itu acara terakhir yang aku hadiri
“Aku tidak mau.” AJ menarik pintu mobil, mencengkram erat. Tidak mengizinkan Ruby membukanya.“AJ, kau akan terlambat.” Ruby tidak menegur, sudah ada dalam batasan memohon. Ini karena ia sudah kehabisan tenaga setelah melawan AJ pagi tadi. AJ menolak ke sekolah, dan tidak masuk akal karena ia seharusnya belum membenci siapa pun. Ini hari pertamanya sekolah.“AJ, kita sudah membicarakan ini semenjak seminggu lalu. Kau harus kembali ke sekolah. Ini bukan pilihan untuk didiskusikan. Harus.” Ruby menegaskan dan berusaha mendorong pintu di samping AJ, tapi tidak bergerak.“Ed!” Ruby berseru, meminta Ed membuka kunci pintu itu dari depan karena AJ telah menguncinya lagi.“Apa kau ingin aku mengantar ke dalam?” Ed mena
Tapi Ruby masih bisa mengangkat kepala.“Hanya pusing. Aku rasa banyak berteriak saat pagi tidak sehat memang,” keluh Ruby. Ia sudah merasa sangat lelah dengan semua drama, padahal harinya masih panjang.Ed tersenyum dan mulai menjalankan mobil. “Kau terlalu tegang. Aku rasa bukan AJ saja yang panik dengan hari pertamanya sekolah.”“Memang.” Ruby bergumam. Tentu saja ia juga khawatir dengan keadaan AJ. Meskipun kesal dan marah, Ruby juga sebenarnya khawatir kalau AJ tidak bisa membaur.Ruby tahu Ed memilih sekolah itu karena mutu, tapi terlalu jauh berbeda dari sekolah AJ yang dulu.“Tenanglah. AJ sangat mudah bergaul dan akrab. Ia juga sudah mengenal beberapa anak dari tamu yan
“Kemana dia?” Mia bergumam saat kembali masuk ke rumah bersama Mayte. Ini karena Ruby tidak terlihat lagi.“Ayo, kita ke dalam saja.” Mia menarik Mayte ke dalam, membawanya ke meja yang sudah disiapkan Tita. Berisi teh dan kue.“Aku gembira kau bisa datang hari ini,” kata Mia.“Terima kasih undangannya.” Mayte dengan sopan duduk dan mengambil cangkir berisi teh miliknya.“Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak tahu Ed akan menikah lagi secepat ini.” Mia menggeleng dengan wajah menyesal. Mayte hanya tersenyum masam.Adalah Mia yang mengabarkan pembatalan pernikahan Ed pada Mayte, begitu ia mendengar kabar. Belum lengkap tapi, karena Ed belum menyebut menikah. Mia sudah terlanjur memberi harapan pada Mayte, untuk selanjutnya dihancurkan dengan berita pernikahan.Mayte butuh sebulan lebih untuk bisa datang memenuhi undangan Mia. Terlalu terguncang, tapi sekali lagi harapannya dipupuk oleh Mia.“Pokoknya kau di sini sekarang. Kau tinggalah sampai…”“Tia, apa kau yakin aku bisa menginap?” M
Mayte mendongak. Memandang Ruby dan tampak kembali takjub. Sudut pandang Ruby sepertinya belum pernah dengan keras—dan berani, diucapkan di hadapan Mia. “Aku benar bukan?” Ruby meminta pendapat Mayte. “Aku dan Mayte tidak bisa memilih ayah dan dimana dilahirkan…” Ruby beralih memandang Mia lagi dan tersenyum “Tapi kau bisa memilih, Tia. Kau bebas memilih untuk menikah dan berteman dengan siapa, tapi kedua pilihan itu salah juga ternyata.” Mia amat merah, tapi bibirnya terkunci. Tidak punya balasan—tidak mampu memungut remahan untuk membalik keadaan, karena memang Ruby tidak meninggalkan remahan apa pun—bersih. Terlalu telak untuk dibalas. “Aku ingin menemani kalian lebih lama, tapi AJ sudah pulang. Aku harus menemaninya. Sampai nanti, Mayte. Senang bisa mengenalmu.” Ruby tersenyum ramah dan mengangguk pada Mia, meninggalkan meja. Terdengar suara bantingan lagi—Mia kembali menggebrak meja. Ruby tidak menoleh. Dia tidak membuat alasan tadi. AJ benar-benar sudah datang. Ruby bis
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad