Mayte mendongak. Memandang Ruby dan tampak kembali takjub. Sudut pandang Ruby sepertinya belum pernah dengan keras—dan berani, diucapkan di hadapan Mia. “Aku benar bukan?” Ruby meminta pendapat Mayte. “Aku dan Mayte tidak bisa memilih ayah dan dimana dilahirkan…” Ruby beralih memandang Mia lagi dan tersenyum “Tapi kau bisa memilih, Tia. Kau bebas memilih untuk menikah dan berteman dengan siapa, tapi kedua pilihan itu salah juga ternyata.” Mia amat merah, tapi bibirnya terkunci. Tidak punya balasan—tidak mampu memungut remahan untuk membalik keadaan, karena memang Ruby tidak meninggalkan remahan apa pun—bersih. Terlalu telak untuk dibalas. “Aku ingin menemani kalian lebih lama, tapi AJ sudah pulang. Aku harus menemaninya. Sampai nanti, Mayte. Senang bisa mengenalmu.” Ruby tersenyum ramah dan mengangguk pada Mia, meninggalkan meja. Terdengar suara bantingan lagi—Mia kembali menggebrak meja. Ruby tidak menoleh. Dia tidak membuat alasan tadi. AJ benar-benar sudah datang. Ruby bis
“Hai, kau tamu Abuela.” AJ ada di dapur, dan menegur Mayte yang berdiri di depan heater. Menghangatkan susu. Kegiatan dapur telah selesai. Tita dan pelayan lain tidak terlihat. “Namaku Mayte.” Mayte tersenyum dan mengulurkan tangan. Mereka bertemu tadi, tapi belum sempat berkenalan. Mia tidak tampak ingin memperkenalkan, dan Ruby juga tidak, bahkan terlihat tidak ingin membiarkan AJ ada di dekatnya. Wajar tapi. “Alvaro Javier Here… Rosas. Alvaro Javier Rosas. AJ saja tapi. Mudah.” AJ tersenyum dan menyambut tangan Mayte. “Oh… Ya.” Mayte langsung tahu apa alasan dari pemberian nama itu. Mayte kemarin tidak percaya saat Lori menyebut anak—setelah pernikahannya resmi, tapi tidak bisa memungkiri saat anak itu berdiri tegak di depannya---dan jelas sangat Rosas. “Apa kau ingin minum susu? Aku juga mau.” AJ ke dapur untuk mengambil snack, tapi berbelok setelah mencium aroma gurih. “Aku rasa ibumu tidak akan setuju. Kau sudah menyikat gigi.” Ed menegur dari pintu. “Daddy, kau tidak p
Ruby mendesah sambil mengusap kepalanya. Ia mencoba berjalan lurus sejak tadi, tapi kepalanya menolak bekerja sama. Beberapa kali Ruby harus berhenti dan meraba benda di sekitarnya. Mencari pegangan agar tetap bisa berdiri. Pusing yang dirasakannya lebih buruk dari kemarin, dan ia berusaha mencari obat lagi. Tapi ternyata begitu sulit. Ruby ingin mencari bantuan tapi tahu kalau Tita kemungkinan belum bangun. Terlalu pagi—langit mulai terang, tapi matahari belum muncul. “Apa ini…” Ruby mengeluh, menghela napas. Mengerahkan seluruh kekuatannya untuk melangkah ke dapur. Tapi kembali terhambat, kali ini karena menabrak tubuh lain saat berbelok. Ruby memekik dan terhempas dengan mudahnya. “Astaga! Aku tidak melihatmu!” Ruby memicingkan mata, dan melihat Mayte. Tampak panik. Ia terlihat merasa bersalah, dan mengulurkan tangan untuk membantu Ruby. Sudah berjongkok bahkan, tapi ragu untuk menyentuh. Tidak tahu apakah diizinkan atau tidak. “Aku tidak tahu. Maaf, tapi tidak ada cahaya di
“Setidaknya kau sadar. Aku masih belum lupa bagaimana saat kau pingsan karena demam dulu.” Ed meraih tangan Ruby yang tengah berbaring dan menggenggamnya. Mereka sudah ada di UGD, dan sedang menunggu aneka tes yang dilakukan. Ed meminta semua tes lengkap dan harus menunggu sedikit lama untuk hasilnya. “Oh, ya. Aku ingat.” Ruby tersenyum. Tidak mungkin ia lupa. “Aku masih belum tahu kenapa kau harus berenang dini hari sampai sekarang.” Ed mengernyit. Setelah tahu siapa Ruby, Ed banyak mendapat jawaban atas keanehan tingkah Ruby, tapi belum yang paling aneh itu. “Aku… Sedang merasa sangat bersalah saat itu. Esli… Kita kembali dari rumah Esli bukan? Ia menyuruhku untuk membuatmu jatuh cinta padaku. Ia ingin kau berada dalam kekuasaanku.” Ruby tahu hal itu telah lewat, tapi saat mengucapkannya, rasa bersalah masih menusuk lehernya. Pahit, teriring panas di wajahnya—air mata. Ed mendengus. Akhirnya ingat juga kalau hari itu Ruby bertemu Esli setelah sekian lama. Ia memperjelas renca
“Kita membuatnya di Zurich,” kata Ed.PAK! Ruby menampar tangan Ed sedikit keras, sambil memutar bola matanya. Masih ada Tita di kamar. Membantu menyelimuti tubuh Ruby yang telah berbaring.“Apa? Aku benar bukan?” Ed tidak merasa bersalah apa lagi malu. Tita tampak tersenyum geli. Tentu saja paham apa yang dimaksud Ed.“Saya akan mengambil teh dan kue. Anda perlu banyak makan.” Tita mengusap kepala Ruby dengan senyum riang. Ed sudah memberitahunya.“Tolong katakan padaku kalau AJ sudah pulang.” Ruby akan mengatakannya pada AJ sendiri nanti. Ia masih ada di sekolah.“Tentu, Senora.” Tita mengangguk lalu mengundurkan diri.“Kau harus berlatih untuk berhenti tersenyum.” Ruby tentu menegur Ed, yang sepertinya sejak tadi tidak berhenti tersenyum.“Benar. Aku bayangkan Otiz akan sangat heran melihatku tersenyum permanen.” Ed berusaha menurunkan sudut bibirnya, Tapi sebentar saja sudah kembali terangkat membentuk senyuman, terutama saat memandang wajah Ruby.“Sepertinya akan sulit. Aku ter
“Apa…” Liz mendongak dan tersentak. Ia tidak tahu Ed datang dan baru melihatnya.“Apa yang kau lakukan di sini?” Liz menghardik dengan suara gemetar.“Aku bertanya! Siapa yang kira-kira melakukan ini!” Ed mendesis. Ingin segera mendapat jawaban.“Siapa bagaimana?! Dia… dia…” Liz tidak bisa menahan duka dan kembali terisak. Tapi Ed paham. Liz mengira bunuh diri itu benar. Pikirannya sederhana. Esli tidak sampai sangat jauh melibatkan Liz dalam dunia gelapnya. Liz licik, tapi tidak sampai tercemar hitam.“Kalau ada… kau yang membunuhnya! Kau yang membuatnya kehilangan…” Liz berdiri dan mencoba marah pada Ed, tapi kembali terpuruk. Terlalu lemas.“Kau ingin aku diam dan menerima setelah semua yang kalian lakukan? Menggelikan.” Ed mendengus. “Kau yang membunuhnya berarti! Untuk apa kau bertanya?! Kau berpura-pura…”“Jangan melucu. Kalau aku ingin membunuh Esli maka dia sudah mati sejak lama. Bahkan sebelum kau menjadi miskin!” Ed memotong.Liz tampak tersedak, karena tentu juga benar. E
“Mommy sedang tidur, AJ. Nanti saja. Oke?” Tita berusaha membujuk AJ yang memaksa masuk ke kamar Ruby. Ia baru saja pulang dan tentu mencari Ruby yang tadi pagi tidak ditemuinya. Tita menjanjikan nanti, karena memang Ruby masih tidur nyenyak. “Tapi aku ingin bertemu Mommy!” AJ memaksa sambil berusaha lari dari tangan Tita. “Nanti, AJ. Biarkan Mommy istirahat dulu. Nanti kau boleh menemuinya,” rayu Tita. “Aku mau…” “BERISIK!” Seruan AJ padam di tengah jalan, tersambar bentakan Mia yang muncul dari lorong tempat kamarnya berada. “Kau itu bisa tidak sehari saja tenang?!” bentak Mia. “AJ, kita ke dapur. Aku akan membuat biskuit untukmu.” Tita dengan bergegas berusaha menjauhkan AJ dari Mia. Hal yang selalu dilakukannya setiap kali Mia mendekati AJ. “Aku ingin bertemu Mommy! Mommy sakit. Apa kau sudah menjenguk Mommy, Abuela?” tanya AJ. Ia tidak merasakan permusuhan dari Mia, karena memang selama ini Tita berhasil melakukan tugasnya, dan selama Ruby ada Mia tidak mungkin mendekat
“Daddy!” AJ turun tanpa perlu suruhan, dan langsung menyerbu memeluk Ed.“Daddy, aku akan punya adik kata Mommy. Aku tidak perlu meminjam adik dari Derian!”AJ tentu mengabarkan dengan nada kemenangan.“Wow! Itu keren. Kau gembira sekali.” Ed juga tampak lega. Ia cepat-cepat pulang karena ingin ikut membujuk kalau Aj ternyata menanggapi negatif. Dugaan yang salah.“Aku akan mengajaknya bermain petak umpet seperti di sekolah tadi. Mommy, kapan adik akan sampai? Apa besok?”AJ sedikit mengerem karena sadar ia belum tahu teknisnya, dan jelas ia masih menganggap adik ini akan datang seperti barang pesanan yang diantar kurir.“Tidak secepat itu, AJ. Masih ada sekitar tujuh bulan lagi sebelum sampai,” kata Ed, menahan geli. Ia menggendong AJ kembali ke ranjang. AJ langsung menggeletak di samping Ruby, kecewa tentu. “Kenapa lama sekali? Aku mau besok. Aku ingin membawanya ke sekolah!” Ed sudah hampir tidak bisa menahan tawa, tapi memaksakan diri bersikap serius. Ia tahu kalau AJ akan marah
Halo, Ruby dan Ed berakhir hari ini. Bener-bener tamat ya. Terima kasih semua yang sudah menemani sampai akhir tahun ini. Lope smuanya. Sebagai ucapan terima kasih, author mengadakan even give away nih! Yuk lah ikutan. Hadiahnya saldo e-wallet apapun dengan total 500k rupiah. Untuk detail hadiahnya silakan lihat di inst*agram @aisakura.chan ya. Jangan lupa di follow juga, karena nanti pengumuman pemenangnya ada di sana.Terus untuk caranya, gampang banget. Tolong tuliskan bagian paling disukai di novel ini di kolom review depan ya, yang dibawah deskripsi novel, soalnya klo di komentar bab kadang suka ga kebaca, ga muncul di aku T.T entah kenapa tidak tahu. Ditunggu partisipasinya sampai tanggal 1 Januari 2024, nanti pengumuman pemenangnya tanggal 2, Jangan lupa ikutan GA--nya. Dan tentu jangan lupa mengikuti novel author yang berikut. Kemungkinan judulnya SUGAR DADDY YANG HAMPIR MATI.Demikian, terima kasih semua. LOPE U ALL.
“Sangat kacau,” keluh Liz, sambil menatap kerumunan anak-anak ribut yang menjadi tamu utama pernikahannya. “Ya, aku tidak menyangka juga akan menjadi seribut ini.” Ruby duduk di sampingnya dan memandang AJ yang tengah membagikan strawberry berbalut coklat pada anak-anak lainnya. Tidak sendiri, ada Claud—anak kedua dari Val yang membantu. Mereka akrab pada akhirnya. Meski obrolan mereka terkadang terbatas karena Claud lebih mahir berbahasa Italia daripada Inggris, tapi mereka cukup akur. “Bagaimana tadi awalnya?” Ed mengernyit. “Entahlah.” Ruby juga tidak tahu. “Mungkin aku seharusnya tidak setuju saat AJ memintanya.” Liz sudah amat menyesal. AJ entah bagaimana berhasil meyakinkan Liz untuk menyediakan air mancur coklat di hari pernikahannya, dan sudah terbukti sumber bencana. Anak-anak yang lebih kecil menikmati, tapi kemudian menorehkan noda coklat di tangan pada permukaan putih taplak meja—dan aneka bunga putih yang menjadi dekorasi. Mereka dengan sempurna mengabaikan tisu dan
“Apa harus? Aku sudah memeriksa dokumen yang itu kemarin? Tidak bisakah kau saja?” Ed mengeluh, saat mendapati ada satu email lagi yang masuk dari Otiz.Email laporan keuangan. Karena Matteo menyebar uangnya ke segala arah—kurang lebih di tiga puluh perusahaan, maka laporan keuangan yang diterima Otiz pun datang dari berbagai arah—aneka jenis usaha. Ed tidak membayangkan ini sebelumnya. Menjadi penanam modal rupanya juga tidak mudah. Tetap harus bekerja. “Kau sendiri yang harus memeriksanya. Aku hanya perantara.” Otiz dengan tegas menolak.Ia bisa menolak karena permintaan itu datang lewat telepon. Mungkin saat bicara langsung, Otiz akan lebih patuh. Otiz tidak lagi buta mematuhi perintah Ed, dengan hati-hati memilah apa yang seharusnya dilakukan dan tidak. Memeriksa laporan keuangan bukan termasuk tugas, kewajibannya hanya menyampaikan.Ed terdengar menggerutu. Ia cukup terbiasa memeriksa administrasi perusahaan—dari pabrik tequila, tapi tidak sebanyak itu.“Aku sudah memisahkan la
“Kau ingin menunjukkan apa?” tanya Ruby, sambil menghampiri Ed.Meninggalkan sisi AJ yang tengah membacakan cerita untuk kedua adiknya. Elena dan Elisa duduk dengan tenang. Entah benar-benar mendengar atau mengantuk. Waktu tidur siang mereka sudah tiba memang.“Ini bacalah.” Ed bergeser, memberi ruang pada Ruby agar duduk di sampingnya, lalu menyerahkan ponsel yang menampilkan artikel berbahasa spanyol. Berita hangat yang baru terbit kurang dari dua jam lalu.Ruby tidak memperhatikan itu tapi, karena langsung terpana saat melihat judulnya.‘DEA MENANGKAP KARTEL BESAR MEXICO DAN MEMBONGKAR JARINGAN BISNIS BESAR BERNILAI MILIARAN DOLAR’“Apa… kau…” Ruby amat pucat, panik tentu.“Baca sampai selesai.” Ed menunjuk sisa tulisan yang belum dilihatnya.Ruby membaca cepat dan mengernyit. Sama sekali tidak ada nama Ed atau Rosas yang tersebut. Hanya Reyes. Marco Reyes. Ia yang menjadi pusat berita, sekaligus yang disebut menjalankan bisnis itu.“Tapi… bagaimana bisa?” Ruby tidak lagi panik, ta
Dua mobil van berwarna hitam, dengan kecepatan tinggi melaju di jalan sunyi. Hari sudah malam, dan hanya mereka yang ada di sana. Ujung jalan mulai terlihat. Gerbang besi berwarna hitam.“Tabrak!”Seruan terdengar, dan mobil itu tidak melambat. Semua penumpang yang juga berpakaian hitam di dalam berpegangan erat, dan benturan keras memekakkan telinga terdengar.Pintu gerbang itu tumbang dan bengkok, tapi berhasil terbuka. Dua mobil itu menerobos masuk dan berhenti tepat di depan pintu depan rumah yang terang benderang itu.“Masuk dan bunuh semua!” Seruan lain, dan orang-orang yang ada di dalam van langsung berhamburan keluar, dan menyerbu masuk ke dalam rumah yang ada di tepi pantai itu. Ada yang membawa senjata api, ada juga yang membawa pemukul.Tapi mereka semua diam saat sampai di dalam, karena tidak ada siapapun yang menyambut. Seharusnya rumah itu dipenuhi pengawal, karena itu mereka datang berombongan—siap berkonfrontasi. Kenyataannya, yang menyambut mereka kesunyian. Tidak a
“AJ, jangan membuat Abuela lelah!” Ruby menegur saat melihat AJ membawa sesuatu berlari dengan Mia di belakangnya mengejar.Tapi mustahil membuat AJ diam, karena kedua adiknya tertawa dengan girang saat melihat AJ melakukannya. Elisa dan Elena sudah mulai bisa berjalan, dan mereka dengan senang hati mengikutinya.AJ tidak mungkin berhenti saat ada yang mendukung seperti itu. Mia tampak mengomel, tapi siapa pun tahu kalau Mia tidak pernah bisa marah pada AJ.Tapi Ruby harus berdiri—diikuti Ed untuk menjaga Elisa dan Elena. Mereka ada di pantai, kalaupun mereka terjatuh di atas pasir tidak akan terlalu sakit. Tapi ada banyak karang keras yang bisa menggores.“Mommy! Biarkan mereka mengejar! Jangan diambil!” AJ tidak mau kedua adiknya diangkat dan berhenti mengejar.“Ya.” Ruby memang hanya akan mengawasi, mengikuti sambil mengawasi.“Bagaimana kalau kita berlibur?” kata Ed, tiba-tiba. Ia baru saja membaca pesan dari ponselnya.“Hm?” Ruby tentu terkejut. Tidak ada rencana seperti itu ters
“Ini.” Ed mengulurkan sapu tangan kepada Otiz—untuk menghapus air matanya. Kalau hanya sedikit, ia akan membiarkan Otiz menangis—dan menghapus air matanya memakai lengan jas yang dipakainya.Masalahnya Otiz tidak bisa menghentikan air matanya. Ia sudah terharu saat Ed mendampinginya berdiri di altar, semakin parah saat melihat Lori berjalan menuju altar diantar bunga. Terlalu indah dan menyilaukan untuk matanya.“Maaf.” Otiz terbata, sambil menghapus sisa air di wajahnya.“Untuk apa minta maaf? Tidak ada air mata yang salah saat pernikahan. Kau hanya terlalu bahagia. Tidak ada yang akan menyalahkan.” Ed menepuk pelan bahu Otiz, lalu kembali memandang ke depan.Fokus dari acara itu tentu saja Lori. Pilihan gaunnya sangat cocok dan menyatu sempurna dengan seluruh dekorasi yang ada di taman itu. Bunga, pita, lagu, dan kelengkapan lain telah dipilih dengan hati-hati dan presisi—kini memperlihatkan kemegahan yang tidak ada bandingannya.Tapi tidak dengan Ed. Meski bagi yang lain Lori mena
Ed mengetukkan jari pada gelas di tangannya. Matanya hanya fokus pada satu titik—Marco Reyes. Pria itu tengah bicara pada Otiz. Bukan hal penting. Marco hanya berbasa-basi dan Otiz pun sama—bersopan-santun. Menjawab pertanyaan Marco tentang perkembangan kantor pengacaranya. Ed perlu bicara pada mereka berdua sebenarnya, tapi Marco dulu.Ed hanya perlu menggerakkan dagunya dan Otiz langsung paham. Ia berpamitan—beralasan seadanya dan meninggalkan Marco sendiri.“Aku ingin bicara denganmu,” kata Ed setelah mendekat.“Oh? Ada apa?” Marco langsung mengikuti Ed, menyingkir ke halaman samping yang sepi. Tamu yang lain memenuhi ruang tengah.“Aku ingin kau menangani pengiriman ke Ekuador minggu depan, dan Brazil.”Marco tampak seperti tersedak. Ini amat mengejutkan. Ed tidak pernah membiarkannya menyentuh pasar Amerika Selatan selama ini. Selalu Ed yang menanganinya sendiri. Marco hanya mengurus Amerika Utara karena memang ia membantu membuka pasar ke arah utara.“Apa… kenapa?” Marco bingun
“Mommy, aku mau mencoba! Kau Elena, aku Elisa.”AJ mengulurkan tangan, meminta botol susu dari Ruby. Ingin mencoba ikut memberi susu—dan memilih Elisa. Biasanya ada Tita yang membantunya, tapi hari ini Tita sibuk, jadi Ruby sendirian sejak tadi.“Boleh, tapi hati-hati ya. Jangan sampai tersedak, dan jangan ditekan.” Ruby membimbing tangan AJ untuk memegang botol berisi ASI yang sudah dihangatkan itu, dan membantunya mengukur kekuatan agar tidak terlalu menekan bibir Elisa.“Woa! Lihat, Mommy! Dia minum!” AJ amat riang saat melihat Elisa mulai meminum ASI itu. Matanya tampak berkilau girang. Ini pertama kali ia terlibat langsung—melakukan sesuatu untuk adiknya. AJ biasanya hanya menonton, bahkan awalnya takut memegang. Hanya memandang dengan takjub tapi tidak berani menyentuh. “Tidak masalah bukan? Kau tidak perlu takut lagi.”“Ya, sudah lebih besar.” AJ mengangguk setuju. Ia kemarin menyebut takut menyakiti karena keduanya sangat kecil, tapi setelah tiga bulan, pertambahan berat bad