Melissa terbangun dari tidurnya. Matanya berpendar menatap ke sekitar kamar. Dia sendiri di kamar ini. Tidak ada Erlangga. Tempat Melissa mengembuskan napasnya dengan lega. Setidaknya dia tidak bangun dengan melihat pria itu. Semalam suntuk dia begitu tersiksa menangisi apa yang sudah pria lakukan itu kamu. Dia bukan gadis naif yang akan menangis karena sebuah ciuman. Yang menangisi adalah cara Erlangga yang memperlakukannya dengan begitu buruk.“Aku tidak akan minta maaf untuk apa yang sudah kulakukan.”“Kau pantas mendapatkannya.”Masih jelas dalam ingatan Melissa ucapan itu terlontar dari bibir Erlangga, belum lagi marah marah di wajah Melissa. Seolah pria itu memiliki hak penuh atas diri gadis itu. Melissa merasa seolah-olah sedang terbelenggu, terperangkap, dan terkekang secara batin.“Arghhh! Aku tidak akan membiarkan pria itu mengatur imajinasinya. Sudah cukup dia menilaiku dalam pernikahan tolol ini, dia tidak boleh mengatur hal yang mustahil.” Ucap Melissa pada dirinya sendir
“Hmm?” bingung Melissa. Kasar dalam artian bagaimana? Sejauh ini Erlangga memang selalu bersikap kasar padanya, kan? Kasar dalam artian ucapannya yang selalu penuh dengan sarkasme dan ancaman. Pria itu juga egois.“Erlangga itu sangat ‘kejam’. Bertahun-tahun memimpin perusahaan membuatnya begitu kejam, tak jarang dia bersikap kasar pada karyawannya. Apakah dia juga kasar padamu?” Tanya Hanna.“Tidak. Dia tak pernah kasar.” Bohong Melissa. “Aku tahu bahwa sikap Erlangga memang seperti itu tapi dia tak pernah kasar padaku.” Ucap Melissa. Rasanya dia ingin sekali mengumpat pada dirinya sendiri karena mengatakan sesuatu yang tidak sesuai fakta.“Lalu.. bagaimana dia di atas ranjang?” tanya Hanna to the point.“APA?” tanya Melissa terkejut. Seketika wajahnya memerah malu. Tiba-tiba bayangan semalam saat Erlangga menciumnya muncul dalam kepalanya.“Wajahmu merah sekali, Melissa. Aku tidak akan bertanya lebih lanjut lagi itu rumah tangga kalian…” ucap Hanna menggoda Melissa.“Tidak seperti i
A NightErlangga sedang berusaha berdiri dari kursi rodanya. Dia merasa latihan yang ia lakukan hari ini bersama Doo mengalami banyak kemajuan. Dia sudah bisa berjalan walau hanya tiga langkah itu juga masih harus berpegangan pada kruk tapi Erlangga tidak pernah merasakan semangat serta harapan yang sebesar ini untuk kembali berjalan. Apalagi latihan hari ini ditemani oleh istri pembangkangnya. Walaupun terlihat begitu tak acuh, Erlangga tahu Melissa sebenarnya mencemaskan setiap pergerakan yang ia lakukan.“Yak! Yak! Jangan terlalu memaksakan dirimu! Kau bisa jatuh!”Suara keras Melissa masih terngiang-ngiang di kepalanya. Dia senang membuat gadis itu cemas. Erlangga kembali mencoba berdiri namun dia dikagetkan dengan suara teriakan Melissa yang terdengar begitu melengking.“Yak! Erlangga apa yang kau lakukan!?” teriak Melisa yang kini berdiri di ambang pintu.“Yak! Kau mengagetkanku saja,” balas Erlangga dengan kesal.“Aku kan sudah bilang kalau mau berlatih harus didampingi. Terapi
“Bukan begitu–”“Aku masih bisa menafkahimu, Melissa.” Ucap Erlangga serius.Melissa mengembuskan napasnya lalu menatap Erlangga dengan serius. “Dengar, aku tidak mau kita berdebat lagi. Bukan maksudku begitu, aku punya tanggung jawab bekerja. Selain aku tidak akan digaji nantinya, aku juga akan menyulitkan pekerjaan di sana karena tidak ada pekerja lain lagi.” Ucap Melissa mencoba memberi pengertian. Sejujurnya dia tak ingin bergantung pada Erlangga.“Kalau begitu berikan aku nomor rekeningmu.” Ucap Erlangga.Erlangga memutar bola matanya kesal. Ia lalu memilih untuk mengalah saja. “Baik, besok saja oke. Sekarang kita berlatih dulu.” Balas Melissa.Erlangga menganggukkan kepalanya lalu kembali melangkahkan kakinya menuju Melissa. Langkah Erlangga mulai terlihat stabil meskipun pria itu membutuh waktu beberapa detik untuk melangkahkan kakinya.“Erlangga, melihat latihanmu hari ini, aku jadi curiga besok kau mulai bisa berlari.” Ucap Melissa.“Jangan membuatku besar kepala.” Ucap Erlan
“Selamat pagi.”“Pagi.”Melissa dan Erlangga saling membocorkan satu sama lain, Melissa masih bermasalah di tempat tidur sedangkan Erlangga seperti biasa menikmati secangkir kopi di atas kursi rodanya.“Bagaimana tidurmu?” tanya Erlangga.“Nyenyak seperti biasanya.” Balas Melissa.“Baguslah…”“Kita selalu memulai hari dengan aku yang baru bangun dan kau yang sudah lebih dulu bangun…” ucap Melissa.“Tidak juga ketika, saya tidak menemukanmu bangun tidur.” Balas Erlangga.“Apa kau tidak bosan? Banyak pria di luar sana yang ingin mereka bangun dengan secangkir kopi kemudian berdandan cantik,” ucap Melissa.“Mungkin itu pria lain, kalau aku tidak peduli dengan hal-hal seperti itu. Aku lebih senang melihat istriku bangun dengan rambut acak-acakan dan wajah bengkak.” Balas Erlangga.“Kau menyindirku, hah?” tanya Melissa dengan tawa kecil.“Aku tidak menyindirmu, aku sedang membicarakanmu.” Ucap Erlangga.“Sialan,” ucap Melissa lalu melempar bantal ke arah Erlangga. Erlangga dengan cepat men
“Kau datang dengan siapa? Rio tidak punya mobil semahal itu.” Ucap Mila.“Temanku.” Balas Melissa ringan.“Teman yang mana? Rata-rata temanmu semua pergi ke mana-mana dengan bus.” Ucap Mila.“Teman baruku, kami baru bertemu beberapa kali.” Ucap Melissa.“Pria?” tanya Mila lagi.“Kau ini ingin tahu saja.” Balas Melissa.“Jangan pernah mengkhianati Rio, dia pria baik.” Ucap Mila lalu berbalik meninggalkan Melissa yang berdiri terdiam di tempatnya.Jangan pernah mengkhianati Rio, dia pria baik.Jangan pernah mengkhianati Rio, dia pria baik.Jangan pernah mengkhianati Rio, dia pria baik.Kata-kata itu terniang niang di kepalanya Melissa.“Hei! Kau tidak akan bekerja?” suara Mila membuat Melissa tersadar dari lamunannya.“Iya! Maafkan aku!” teriak Melissa lalu bergegas menuju loker untuk mengganti pakaiannya dengan seragam pegawai.***Perusahaan ErlanggaErlangga turun dari mobil menggunakan kursi roda dibantu oleh supir dan asistennya. Erlangga menatap lobi perusahaan dengan penuh kerind
Di tempat kerja MellisaMelissa mengelap meja bekas pelanggan terakhir mereka malam ini. Dia membentak jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dia tidak menepati janjinya pada Erlangga. Sebenarnya dia ingin pulang cepat tapi salah satu karyawan di kafe harus pulang lebih awal karena ibunya sakit. Ega meminta Melissa untuk menggantikan karyawan tersebut.“Dia marah sepertinya,” ucap Melissa sambil menatap layar ponselnya. Dia sudah mengirim pesan pada Erlangga dan menjelaskan semua alasan kenapa dia tak bisa pulang cepat tapi Erlangga tidak membalasnya sama sekali.“Selesaikan pekerjaanmu, ini sudah malam! Jangan melamun saja, Melissa” teriak Ega dari pintu dapur.“ Tidak!” balas Melissa keras.“Aku punya roti panggang untukmu!” teriak Ega.“ Tidak! Aku akan cepatttt!” ucap Melissa dengan semangat, dia selalu suka semua kue atau roti buatan Ega. Rasanya seperti sedang memakan kue atau roti buatan ibunya.“ Ah ibu …” ucap Melissa, dia merindukan wanita itu. Tiba-
Melissa mengangkat kepalanya dan menatap Rio dengan dalam. Dia mencari keseriusan di wajah pria itu. Dia menyelesaikan segalanya. Mulai dari masa depannya bersama Rio, kedua orang tuanya, dan pernikahannya bersama Erlangga. Dia memejamkan matanya dan yang muncul di benaknya adalah Rio. “Sudahlah… jangan dipikirkan.” Ucap Rio. “Ya, aku mau.” ucap Melissa tenang. “ Serius ? Kenapa ?” tanya Rio awalnya dia hanya mencoba keberuntungan saja. “Aku lelah dan butuh kepastian. Aku tidak melihat adanya sebuah masa depan dari pernikahanku dengan Erlangga. Aku tidak ingin terus hidup seperti ini. Aku harus membuat pilihan. Tidak, sebenarnya sejak awal aku tidak perlu membuat sebuah pilihan, ini kehidupanku. Aku tidak ingin hidup bersama pria itu karena hubunganku dan ibuku akan terus memburuk walaupun aku melakukan apa pun yang ibu perintahkan. Mungkin dengan aku pergi, aku bisa merubah segalanya secara perlahan. Ibu tidak akan membenciku dengan alasan yang tak tentu, dan aku hanya ingin hidu