“Kau menyindirku!??” ucap Melissa dengan tubuh yang sepenuhnya tegak menghadap Erlangga. Dia tidak suka dengan nada bicara pria itu. Kenapa tidak menuduh langsung saja?Erlangga menurunkan buku yang ia baca lalu menatap Melissa dengan dingin. “Aku tidak menyindirmu. Aku mengatakan apa yang aku lihat. Kenapa? Kau tidak nyaman aku menangkap basah kau sedang berciuman dengan kekasihmu?” Ucap Erlangga.“Menangkap basah? Tch– pemilihan kata-katamu baik sekali. Dengar, aku tidak akan minta maaf untuk apa yang aku lakukan di depan gerbang rumahmu. Aku tidak peduli kau marah sekali pun karena kau tidak punya hak untuk itu semua. Dan tolong jangan menatapku atau memperlakukanku seolah aku adalah seorang tersangka, kau tidak akan bisa membuatku merasa bersalah atau menuntutku untuk menjadi seseorang yang kau mau. Kita memang menikah tetapi aku bukan milikmu begitu pun sebaliknya. Tidak ada cinta dalam pernikahan konyol ini. Yang paling penting, walaupun kau adalah nakhoda, aku tidak akan pernah
Melissa terbangun dari tidurnya. Matanya berpendar menatap ke sekitar kamar. Dia sendiri di kamar ini. Tidak ada Erlangga. Tempat Melissa mengembuskan napasnya dengan lega. Setidaknya dia tidak bangun dengan melihat pria itu. Semalam suntuk dia begitu tersiksa menangisi apa yang sudah pria lakukan itu kamu. Dia bukan gadis naif yang akan menangis karena sebuah ciuman. Yang menangisi adalah cara Erlangga yang memperlakukannya dengan begitu buruk.“Aku tidak akan minta maaf untuk apa yang sudah kulakukan.”“Kau pantas mendapatkannya.”Masih jelas dalam ingatan Melissa ucapan itu terlontar dari bibir Erlangga, belum lagi marah marah di wajah Melissa. Seolah pria itu memiliki hak penuh atas diri gadis itu. Melissa merasa seolah-olah sedang terbelenggu, terperangkap, dan terkekang secara batin.“Arghhh! Aku tidak akan membiarkan pria itu mengatur imajinasinya. Sudah cukup dia menilaiku dalam pernikahan tolol ini, dia tidak boleh mengatur hal yang mustahil.” Ucap Melissa pada dirinya sendir
“Hmm?” bingung Melissa. Kasar dalam artian bagaimana? Sejauh ini Erlangga memang selalu bersikap kasar padanya, kan? Kasar dalam artian ucapannya yang selalu penuh dengan sarkasme dan ancaman. Pria itu juga egois.“Erlangga itu sangat ‘kejam’. Bertahun-tahun memimpin perusahaan membuatnya begitu kejam, tak jarang dia bersikap kasar pada karyawannya. Apakah dia juga kasar padamu?” Tanya Hanna.“Tidak. Dia tak pernah kasar.” Bohong Melissa. “Aku tahu bahwa sikap Erlangga memang seperti itu tapi dia tak pernah kasar padaku.” Ucap Melissa. Rasanya dia ingin sekali mengumpat pada dirinya sendiri karena mengatakan sesuatu yang tidak sesuai fakta.“Lalu.. bagaimana dia di atas ranjang?” tanya Hanna to the point.“APA?” tanya Melissa terkejut. Seketika wajahnya memerah malu. Tiba-tiba bayangan semalam saat Erlangga menciumnya muncul dalam kepalanya.“Wajahmu merah sekali, Melissa. Aku tidak akan bertanya lebih lanjut lagi itu rumah tangga kalian…” ucap Hanna menggoda Melissa.“Tidak seperti i
A NightErlangga sedang berusaha berdiri dari kursi rodanya. Dia merasa latihan yang ia lakukan hari ini bersama Doo mengalami banyak kemajuan. Dia sudah bisa berjalan walau hanya tiga langkah itu juga masih harus berpegangan pada kruk tapi Erlangga tidak pernah merasakan semangat serta harapan yang sebesar ini untuk kembali berjalan. Apalagi latihan hari ini ditemani oleh istri pembangkangnya. Walaupun terlihat begitu tak acuh, Erlangga tahu Melissa sebenarnya mencemaskan setiap pergerakan yang ia lakukan.“Yak! Yak! Jangan terlalu memaksakan dirimu! Kau bisa jatuh!”Suara keras Melissa masih terngiang-ngiang di kepalanya. Dia senang membuat gadis itu cemas. Erlangga kembali mencoba berdiri namun dia dikagetkan dengan suara teriakan Melissa yang terdengar begitu melengking.“Yak! Erlangga apa yang kau lakukan!?” teriak Melisa yang kini berdiri di ambang pintu.“Yak! Kau mengagetkanku saja,” balas Erlangga dengan kesal.“Aku kan sudah bilang kalau mau berlatih harus didampingi. Terapi
“Bukan begitu–”“Aku masih bisa menafkahimu, Melissa.” Ucap Erlangga serius.Melissa mengembuskan napasnya lalu menatap Erlangga dengan serius. “Dengar, aku tidak mau kita berdebat lagi. Bukan maksudku begitu, aku punya tanggung jawab bekerja. Selain aku tidak akan digaji nantinya, aku juga akan menyulitkan pekerjaan di sana karena tidak ada pekerja lain lagi.” Ucap Melissa mencoba memberi pengertian. Sejujurnya dia tak ingin bergantung pada Erlangga.“Kalau begitu berikan aku nomor rekeningmu.” Ucap Erlangga.Erlangga memutar bola matanya kesal. Ia lalu memilih untuk mengalah saja. “Baik, besok saja oke. Sekarang kita berlatih dulu.” Balas Melissa.Erlangga menganggukkan kepalanya lalu kembali melangkahkan kakinya menuju Melissa. Langkah Erlangga mulai terlihat stabil meskipun pria itu membutuh waktu beberapa detik untuk melangkahkan kakinya.“Erlangga, melihat latihanmu hari ini, aku jadi curiga besok kau mulai bisa berlari.” Ucap Melissa.“Jangan membuatku besar kepala.” Ucap Erlan
“Selamat pagi.”“Pagi.”Melissa dan Erlangga saling membocorkan satu sama lain, Melissa masih bermasalah di tempat tidur sedangkan Erlangga seperti biasa menikmati secangkir kopi di atas kursi rodanya.“Bagaimana tidurmu?” tanya Erlangga.“Nyenyak seperti biasanya.” Balas Melissa.“Baguslah…”“Kita selalu memulai hari dengan aku yang baru bangun dan kau yang sudah lebih dulu bangun…” ucap Melissa.“Tidak juga ketika, saya tidak menemukanmu bangun tidur.” Balas Erlangga.“Apa kau tidak bosan? Banyak pria di luar sana yang ingin mereka bangun dengan secangkir kopi kemudian berdandan cantik,” ucap Melissa.“Mungkin itu pria lain, kalau aku tidak peduli dengan hal-hal seperti itu. Aku lebih senang melihat istriku bangun dengan rambut acak-acakan dan wajah bengkak.” Balas Erlangga.“Kau menyindirku, hah?” tanya Melissa dengan tawa kecil.“Aku tidak menyindirmu, aku sedang membicarakanmu.” Ucap Erlangga.“Sialan,” ucap Melissa lalu melempar bantal ke arah Erlangga. Erlangga dengan cepat men
“Kau datang dengan siapa? Rio tidak punya mobil semahal itu.” Ucap Mila.“Temanku.” Balas Melissa ringan.“Teman yang mana? Rata-rata temanmu semua pergi ke mana-mana dengan bus.” Ucap Mila.“Teman baruku, kami baru bertemu beberapa kali.” Ucap Melissa.“Pria?” tanya Mila lagi.“Kau ini ingin tahu saja.” Balas Melissa.“Jangan pernah mengkhianati Rio, dia pria baik.” Ucap Mila lalu berbalik meninggalkan Melissa yang berdiri terdiam di tempatnya.Jangan pernah mengkhianati Rio, dia pria baik.Jangan pernah mengkhianati Rio, dia pria baik.Jangan pernah mengkhianati Rio, dia pria baik.Kata-kata itu terniang niang di kepalanya Melissa.“Hei! Kau tidak akan bekerja?” suara Mila membuat Melissa tersadar dari lamunannya.“Iya! Maafkan aku!” teriak Melissa lalu bergegas menuju loker untuk mengganti pakaiannya dengan seragam pegawai.***Perusahaan ErlanggaErlangga turun dari mobil menggunakan kursi roda dibantu oleh supir dan asistennya. Erlangga menatap lobi perusahaan dengan penuh kerind
Di tempat kerja MellisaMelissa mengelap meja bekas pelanggan terakhir mereka malam ini. Dia membentak jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Dia tidak menepati janjinya pada Erlangga. Sebenarnya dia ingin pulang cepat tapi salah satu karyawan di kafe harus pulang lebih awal karena ibunya sakit. Ega meminta Melissa untuk menggantikan karyawan tersebut.“Dia marah sepertinya,” ucap Melissa sambil menatap layar ponselnya. Dia sudah mengirim pesan pada Erlangga dan menjelaskan semua alasan kenapa dia tak bisa pulang cepat tapi Erlangga tidak membalasnya sama sekali.“Selesaikan pekerjaanmu, ini sudah malam! Jangan melamun saja, Melissa” teriak Ega dari pintu dapur.“ Tidak!” balas Melissa keras.“Aku punya roti panggang untukmu!” teriak Ega.“ Tidak! Aku akan cepatttt!” ucap Melissa dengan semangat, dia selalu suka semua kue atau roti buatan Ega. Rasanya seperti sedang memakan kue atau roti buatan ibunya.“ Ah ibu …” ucap Melissa, dia merindukan wanita itu. Tiba-
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Matanya tertuju pada salah satu spot di mana sosok itu berada. Ya, dia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunannya. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Ia menggunakan pakaian serba hitam. Sayangnya, Dikta tak bisa melihat sorot mata yang tertutup oleh bayangan topi yang dikenakannya. Tak hanya dia yang puas, melainkan sosok mereka yang ada disitu pun ikut merayakan kekalahan Dikta. Ya, walaupun sementara mereka sangat yakin itu bisa menjadi peringatan agar Dikta bisa mundur dari jabatannya. Agaknya dalam hati mereka masing-masing silih berganti menghina Dikta. Atau mungkin ada yang menertawakan Dikta juga. Entahlah, pikiran Dikta berkecamuk. Bukan karena masalah diseret tapi siapa lagi yang bermain drama dengannya saat ini. Perlahan namun pasti Dikta meninggalkan kantor utamanya dengan tangan diborgol. Keluar
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Ia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunan. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Mereka sangat puas melihat Dikta, yang diseret paksa bak tersangka sesungguhnya. Agaknya Dikta berat sekali melangkahkan kakinya. Hanya saja Dikta tak bisa menangkapnya dengan jelas, karena polisi lebih dulu menyuruh Dikta untuk masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan Dikta benar-benar pasrah. Bahkan ia tak berbicara sepatah kata apapun. Diam. Dan mengikuti alur mereka inginnya seperti apa. Namun di balik diamnya Dikta, ia terus mengamati sosok itu dari belakang. Mengingat kembali semua yang dikatakan oleh mereka. Harap-harap ada klu yang menyudutkan pada sosok tersangka. Dikta juga masih ingat siapa saja yang ikut andil di dalam sana. Sehingga Dikta bertekad akan kebebasannya akan menelusuri siapa mereka. Apakah benar yang
Tampak nafas pria itu benar-benar tersenggal. Kentara sekali ia sangat kelelahan agaknya. "Ada apa? Minum dulu!" sosor Dikta seiring memberikan segelas air minum. Mengambil dan meneguk airnya dengan rasa tamak. Agaknya ia sangat kelelahan. Baik Sierra maupun Dikta masih menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya itu. "Ada apa?" Hosh! Hosh! "Anu, Pak. Itu kantor—" Mata Dikta membulat sempurna mendengarkan hal itu. Kini tatapannya mulai menatap lekat untuk membenarkan rasa jujurnya itu. Sehingga batin Dikta dili seperti sudah dikejar seseorang. Memperhatikan keadaan kamar di manan Sierra berada. Dikta berusaha mencerna kembali 11 "Pak gawat kantor kena sidik oleh pihak terkait dan investor!" sosornya terburu-buru. "Jangan bercanda! Ini tidak lucu!" sanggah Dikta geram. Menelan salivanya kuat-kuat. Sierra hanya bisa menatapnya datar. Karena hal ini sering terjadi. Sierra hanya busa menonton kejadian klasik ini. Ia yakin Dikta pasti terkejut akan apa yang terjadi. Walaupun Sierr
Mengangguk. Ia ingin merangkul Sierra, hanya saja lengannya benar-benar tak kuasa menahan nyeri karena luka itu. Ditambah Dikta dihantam berkali-kali saat melawan Sony yang membuat salah satu tangannya kebas.“DIKTA TANGANMU TERLUKA! PAK CEPAT KE RUMAH SAKIT!”Sang pengawal pun langsung menginjak pedal gasnya begitu saja. Sierra benar-benar panik akan apa yang terjadi. Dikta hanya terkekeh melihat tingkah Sierra yang terlalu berlebihan ini. Padahal lukanya tak seberapa dengan rasa khawatirnya itu.Sesampainya di rumah sakit, malah bukan Dikta yang dilarikan untuk di tangani. Tapi malah Sierra yang dilarikan ke ruang UGD. Dikta memboyong tubuh wanita yang merintih kesakitan itu.“Sus, tolong!”Dengan sigap para perawat itu membawa Sierra berlalu menuju ruang UGD. Dikta hanya bisa menunggunya di depan ruangan dengan harap-harap cemas. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang diembannya saat ini.Ya, perjalanan yang cukup terjal dari tempat kejadian membuat Sierra mengalami pendarahan d
Tapi Bella malah menarik paksa pria itu dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini ia elu-elukan setiap malam. Jujur saja, Bella sangat merindukan Dikta kala ini. Ya, dia sangat menginginkan Dikta kembali dalam pelukannya. Kembali merajut dunia yang telah lama hilang. Ternyata Bella baru menyadari, jika Diktalah yang berhasil membangun dunianya terasa megah. Atau bisa dikatakan hanya Dikta yang bisa mengerti segala keinginannya. Bukan Noah maupun kedua orangtuanya. Bahkan bisa dikatakan jika Diktalah yang berhasil membuatnya menjadi istri yang layak. Dia berhasil mengagungkan Bella dengan segala perjuangannya yang tulus itu. Dan tak pernah Bella temukan pada Noah hingga saat ini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella takan pernah melakukan itu. Dan mungkin saja anaknya masih hidup sampai saat ini kan?Dikta menepis segala rayuan Bella yang mulai menjalari tubuhnya. Sungguhpun, Dikta jijik dan muak sekali. “Bella! Lepaskan! Kenapa kau mau menjadi jalang seperti ini,
Dari root top bangunan di seberang jalan, tepatnya di seberang kosan Sony, seorang pria mengawasi Sony yang sedang dikepung oleh Dikta dan pengawalnya.Pria itu sudah siap dengan senapan laras panjangnya, bersiap membidik target. Saat itu Dikta menanyai Sony, tapi dia diam ... tidak mau berkata jujur. Setelah dihajarpun Sony ditanya kembali oleh Dikta. “Sekarang!” perintah wanita dari telepon, kepada pria yang menggunakan penutup kepala dengan earpiece di telinganya. Dan ... DOR! Dikta dan ketiga pengawal terkejut, mereka menoleh sekeliling dan mencari sumber suara. Setelah beberapa menit barulah Dikta tahu, seseorang mencoba lari dari rooftop rumah di seberang kostan yang ditinggali oleh Sony. “Di sana! Tangkap!” perintah Dikta menunjuk ke bangunan di seberang kostan, dua pengawal langsung bergerak untuk mengejar penembak Sony. “Urus mayatnya,” titah Dikta pada dua pengawal yang sedari awal memegangi tubuh Sony, dan sekarang dua pengawal itu sedikit gemetar yang mereka
Satu persatu masalah menghampiri Dikta, hampir tak berkesudahan, satu masalah selesai satu lagi muncul. Dia hampir gila, merasa ingin menyerah saat ini karena salah satu dari masalah tersebut adalah Sierra. Istrinya itu adalah kekuatannya, harta yang ia punya satu-satunya. Sedang mengandung buah hati mereka, tapi karena termakan hasutan orang dia lebih memilih pergi meninggalkannya. Dikta tidak tahu harus mencari Sierra ke mana. Ponselnya juga tak aktif, tidak bisa dihubungi sama sekali. Dikta juga tak mendapati istrinya ada di rumah kakeknya. Dia tak tahu apakah ada tempat tinggal Sierra yang lain atau istrinya itu hanya tidur di hotel. Dikta akhirnya membiarkan istrinya itu menenangkan diri dan dia berjanji akan mengurus masalahnya supaya cepat selesai. Pagi ini Dikta pergi ke kantor seperti biasanya, hari ini kakek sudah bilang tidak akan mampir ke kantornya, kakek membantu Dikta mencarikan investor baru untuk perusahaan yang dipimpin oleh Dikta itu, pria itu bersyukur sekali.
Dikta menerima telepon dari kakek Sierra, menyuruhnya untuk segera datang ke rumah orangtua Bella. “Aku ada di apartemen, Kek,” ucap Dikta, dia seketika teringat amanah dari ayah Bella yang merupakan mertuanya dulu. “Kau harus bawa mayatku juga istriku. Tolong kebumikan kami dengan layak. Aku yakin hidupku sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi,” ucap ayah Bella sesaat sebelum dia tewas karena peluru yang bersarang di kepalanya. Dikta tak bisa untuk tidak sedih, marah dan kecewa, perasaan itu campur aduk di dalam hatinya sekarang. Karena sudah ditunggu oleh kakek, dia segera turun dan menuju ke rumah Bella lagi. Beberapa menit kemudian Dikta sampai di kediaman orangtua Bella, bunga duka sudah berjejer rapi di depan gerbang rumah, banyak mobil yang juga berderet-deret memenuhi tepi jalan. Dikta memarkirkan mobilnya, agak jauh dari kediaman mantan mertuanya itu. Dia turun kemudian melangkah masuk ke sana, orang-orang sudah datang untuk melawat. Dikta melihat ada Bella di sana y
Dikta terperangah, dia membelakakkan matanya sekarang. Kedua mantan mertuanya itu terkapar, dan malangnya di depan matanya ayah mertuanya dihabisi begitu saja. Dikta yang geram berusaha mengejar siapa penembak yang bersembunyi di gudang tadi. Dikta berlari kencang, melawan rasa sakit kepalanya akibat hantaman tongkat baseball yang mengenai kepalanya. Pria itu kabur, melesat dengan cepat berlari dari arah gudang ke depan. Dari belakang Dikta menyusul berlari kencang, seperti mengenal sosok tersebut, dia mempercepat langkah kemudian menarik jaket hitam yang dikenakan pria yang akan kabur itu. Dikta menarik dengan kedua tangannya hingga pria itu terjerembab. Pria itu menggunakan pakaian serba hitam yakni pakaian serba hitam, sepatu hitam, bertopi hitam, masker hitam dan tak lupa kedua tangannya menggunakan sarung tangan. Dikta menarik masker dan topi pria itu, membuangnya asal, dan ketika semuanya terlepas pria itu tertawa. “Hahaha ... Sudah pas bukan waktunya?” ujar Noah, dia seakan