Melissa Keluar dari dalam kamar mandi setelah mengganti pakaiannya dengan pakaian rumahan. Dilihatnya Erlangga sedang mengutak-ngatik ponselnya. Apa yang sedang pria itu lakukan?“Kau sedang apa?” tanya Melissa.“Mengetik pesan.” Balas Erlangga tak acuh.“Aku mau buat susu coklat, kau mau?” tanya Melissa, mendadak dia bingung dengan dirinya sendiri. Mengapa dia jadi begitu baik pada Erlangga. Mengapa setelah mereka pergi bersama hari ini, dia merasa Erlangga itu bisa menjadi seorang teman yang baik.“Boleh, tidak usah pakai gula.” Balas Erlangga.“Mana enak.” Timpal Melissa.“Buatkan saja.” Desis Erlangga.“Ish– dasar tukang perintah.” Ucap Melissa lalu keluar dari kamar. Erlangga mengangkat kepalanya dan menatap istrinya yang telah menghilang di balik pintu.Erlangga mengusap tengkuknya, permasalahan perusahaan sedikit menyita perhatiannya. Tetapi ada hal penting yang jauh lebih menyita perhatiannya. Hal itu adalah Melissa istrinya. Setelah hari ini, dia banyak merenungkan keberadaan
“Maaf mengganggu pembicaraan kalian, tadinya aku tidak ingin ikut campur tetapi setelah mendengar lebih jauh tampaknya ini tidak bisa hanya menjadi sebuah pembicaraan antara kalian berdua.” Ucap Erlangga dengan tenang. Pria itu lantas menatap ibu Melissa dengan serius, dia menatap wanita itu penuh hormat. Tidak ada perbedaan rasa hormat yang ia miliki pada wanita itu, baik ketika Marrisa yang berstatus sebagai kekasihnya atau Melissa yang kini berstatus sebagai istrinya. Baginya wanita itu adalah ibunya sekarang.“Maaf ibu mertua, ini pernikahan kami. Aku dan Melissa. Bukan aku dan Marissa, dulu ketika Marissa adalah kekasihku, aku mencurahkan seluruh perasaanku untuknya tapi sekarang semuanya sudah berbeda. Bukan Marissa yang menjadi pendampingku melainkan Melissa. Mungkin kita semua masih terkejut dan tak menyangka dengan apa yang terjadi dengan hubunganku dan Marissa, tapi inilah faktanya aku dan Melissa sudah menikah, kami melakukan janji dan sumpah pernikahan di hadapan Tuhan dan
A MorningErlangga mengerjapkan matanya lalu perlahan membuka matanya, ditatapnya sekeliling kamar yang tampak senyap. Ia meraba sisi sebalah tempat tidurnya.“Ke mana gadis itu?” ucap Erlangga serak.Erlangga lalu menegakkan tubuhnya dan duduk bersandar pada kepala ranjang. Diraihnya ponsel hitam di nakas samping tempat tidur. Tak ada pesan apa pun dari Melissa.Ceklek!Erlangga mengangkat kepalanya dan menatap Melissa yang keluar dari kamar mandi dengan rambut basah. Pria itu diam-diam bernapas lega untuk alasan yang tidak dia ketahui.“Aku pikir kau sudah kabur.” Ucap Erlangga.“Aku memang berencana kabur dari rumah ini!” ucap Melissa kasar.“Sebelum kau kabur, aku akan lebih dulu mencegahmu.” Ucap Erlangga. Melissa hanya mencibir tanpa suara. Gadis itu lalu mengeringkan rambutnya menggunakan hairdryer di depan cermin. Erlangga menatap gerakan gadis itu dengan serius.“Kau mau pergi ke mana pagi-pagi begini? Ini hari libur.” Ucap Erlangga.“Aku bukan pekerja kantoran atau guru yang
“Aku tahu. Keluargaku akan malu sekali lagi dan mungkin hal ini akan menyakiti hati keluarga Erlangga dan keluarga kita.” Ucap Melissa.“Dan hatimu juga hatiku.” Ucap Rio.Melissa menolehkan kepalanya dan menatap Rio dengan dalam. Pria ini masih memikirkan perasaan mereka di saat seperti ini.“Mungkin awalnya ini akan jadi keputusan yang sangat berani untuk kita ambil tetapi perlahan mungkin akan muncul penyesal-penyesalan di hati kita, Melissa. Aku tahu kau sangat benci dengan pernikahanmu dan juga apa yang kakakmu lakukan tetapi jauh di lubuk hatimu meskipun kau benci dengan sikap kedua orang tuamu kau masih mempertimbangkan keberadaan orang tuamu. Aku tahu kau sangat sayang dan mencintai mereka. Kalau kita pergi, aku takut hatimu akan hancur nantinya.” Ucap Rio.“Ya, kau benar. Aku sangat sayang pada ibu dan Ayah walaupun eomma selalu membuatku menangis dan melakukan hal-hal yang tidak aku sukai. Aku juga sempat berpikir bahwa bila aku pergi apa yang akan terjadi pada ibu? Dia mung
“Aku akan mengantarmu.” Ucap Rio.“sayang, aku tidak mau pulang. Kita pergi ke apartementmu saja, bagaimana?” ucap Melissa.“Melissa, kau akan membuat keluarga Erlangga cemas.” Ucap Rio. “Mereka akan bertanya-tanya ke mana dirimu pergi.” Ucap Rio.“Erlangga pasti punya seribu jawaban yang bisa membuat orang tuanya tenang.” Balas Melissa.“Tidak, aku tidak ingin kau terkena masalah karena menginap bersamaku. Lagi pula saat ini kau bukanlah gadis lajang seperti dulu, kau istri dari Erlangga.” Ucap Rio berubah muram. Walaupun dia merasa cemburu setengah mati tetapi dia satu-satunya orang yang harus berpikiran jernih di sini. Dia harus membantu Melissa agar gadis itu tidak terus terkena masalah.“Oke?” ucap Rio mengulang ajakannya, gadis itu tampak sedang melamun.“Hmm.” Angguk Melissa dengan wajah muramnya. Rio menolehkan kepalanya ke arah Melissa lalu tersenyum simpul. Dia tahu Melissa pasti sangat tersiksa tinggal bersama dengan keluarga Erlangga.“Ayo!” ucap Rio lalu merangkul gadis i
Erlangga masih menatap Melissa dengan tatapan tajam. Lalu kemudian tatapan itu sedetik berubah menjadi tatapan menuduh lalu kembali menjadi tatapan tajam.“Lain kali kalau mau pulang larut malam tolong kabari aku.” Ucap Erlangga dingin. Pria itu lalu menekan tombol kursi rodanya sehingga kursi berjalan menuju ranjang.“Maaf, ponselku mati.” Ucap Melissa pelan, dia sedikit takut melihat sikap dingin Erlangga.Tak ada balasan dari Erlangga, Melissa berdiri dengan gamang, apa yang harus dia lakukan sekarang? Lebih baik dia mendengar Erlangga berbicara sarkastis padanya daripada diam seperti ini.“Aku mandi dulu.” Ucap Melissa lalu berjalan menuju kamar mandi.Melissa berjalan dengan cepat menuju kamar mandi, rasanya dia ingin mendekam saja di kamar mandi lalu keluar keesokan harinya. Dia tidak tahu harus bersikap seperti apa pada Erlangga yang sedang berada dalam mode seperti itu. Sikap diam Erlangga memberikan banyak pertanyaan untuk Melissa. Apakah pria itu sedang marah ataukah dia tid
“Kau menyindirku!??” ucap Melissa dengan tubuh yang sepenuhnya tegak menghadap Erlangga. Dia tidak suka dengan nada bicara pria itu. Kenapa tidak menuduh langsung saja?Erlangga menurunkan buku yang ia baca lalu menatap Melissa dengan dingin. “Aku tidak menyindirmu. Aku mengatakan apa yang aku lihat. Kenapa? Kau tidak nyaman aku menangkap basah kau sedang berciuman dengan kekasihmu?” Ucap Erlangga.“Menangkap basah? Tch– pemilihan kata-katamu baik sekali. Dengar, aku tidak akan minta maaf untuk apa yang aku lakukan di depan gerbang rumahmu. Aku tidak peduli kau marah sekali pun karena kau tidak punya hak untuk itu semua. Dan tolong jangan menatapku atau memperlakukanku seolah aku adalah seorang tersangka, kau tidak akan bisa membuatku merasa bersalah atau menuntutku untuk menjadi seseorang yang kau mau. Kita memang menikah tetapi aku bukan milikmu begitu pun sebaliknya. Tidak ada cinta dalam pernikahan konyol ini. Yang paling penting, walaupun kau adalah nakhoda, aku tidak akan pernah
Melissa terbangun dari tidurnya. Matanya berpendar menatap ke sekitar kamar. Dia sendiri di kamar ini. Tidak ada Erlangga. Tempat Melissa mengembuskan napasnya dengan lega. Setidaknya dia tidak bangun dengan melihat pria itu. Semalam suntuk dia begitu tersiksa menangisi apa yang sudah pria lakukan itu kamu. Dia bukan gadis naif yang akan menangis karena sebuah ciuman. Yang menangisi adalah cara Erlangga yang memperlakukannya dengan begitu buruk.“Aku tidak akan minta maaf untuk apa yang sudah kulakukan.”“Kau pantas mendapatkannya.”Masih jelas dalam ingatan Melissa ucapan itu terlontar dari bibir Erlangga, belum lagi marah marah di wajah Melissa. Seolah pria itu memiliki hak penuh atas diri gadis itu. Melissa merasa seolah-olah sedang terbelenggu, terperangkap, dan terkekang secara batin.“Arghhh! Aku tidak akan membiarkan pria itu mengatur imajinasinya. Sudah cukup dia menilaiku dalam pernikahan tolol ini, dia tidak boleh mengatur hal yang mustahil.” Ucap Melissa pada dirinya sendir
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Matanya tertuju pada salah satu spot di mana sosok itu berada. Ya, dia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunannya. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Ia menggunakan pakaian serba hitam. Sayangnya, Dikta tak bisa melihat sorot mata yang tertutup oleh bayangan topi yang dikenakannya. Tak hanya dia yang puas, melainkan sosok mereka yang ada disitu pun ikut merayakan kekalahan Dikta. Ya, walaupun sementara mereka sangat yakin itu bisa menjadi peringatan agar Dikta bisa mundur dari jabatannya. Agaknya dalam hati mereka masing-masing silih berganti menghina Dikta. Atau mungkin ada yang menertawakan Dikta juga. Entahlah, pikiran Dikta berkecamuk. Bukan karena masalah diseret tapi siapa lagi yang bermain drama dengannya saat ini. Perlahan namun pasti Dikta meninggalkan kantor utamanya dengan tangan diborgol. Keluar
Dan apa yang dikatakan oleh seseorang tak dikenal itu masuk ke gendang telinganya. Dikta menyisir semua orang yang ada di sekitarnya saat ini. Ia mendapati sosok yang tak dikenal masuk dikerumunan. Terlihat seringai senyum puasnya itu terulas di mukanya. Mereka sangat puas melihat Dikta, yang diseret paksa bak tersangka sesungguhnya. Agaknya Dikta berat sekali melangkahkan kakinya. Hanya saja Dikta tak bisa menangkapnya dengan jelas, karena polisi lebih dulu menyuruh Dikta untuk masuk ke dalam mobilnya. Sepanjang perjalanan Dikta benar-benar pasrah. Bahkan ia tak berbicara sepatah kata apapun. Diam. Dan mengikuti alur mereka inginnya seperti apa. Namun di balik diamnya Dikta, ia terus mengamati sosok itu dari belakang. Mengingat kembali semua yang dikatakan oleh mereka. Harap-harap ada klu yang menyudutkan pada sosok tersangka. Dikta juga masih ingat siapa saja yang ikut andil di dalam sana. Sehingga Dikta bertekad akan kebebasannya akan menelusuri siapa mereka. Apakah benar yang
Tampak nafas pria itu benar-benar tersenggal. Kentara sekali ia sangat kelelahan agaknya. "Ada apa? Minum dulu!" sosor Dikta seiring memberikan segelas air minum. Mengambil dan meneguk airnya dengan rasa tamak. Agaknya ia sangat kelelahan. Baik Sierra maupun Dikta masih menunggu apa yang ingin dikatakan olehnya itu. "Ada apa?" Hosh! Hosh! "Anu, Pak. Itu kantor—" Mata Dikta membulat sempurna mendengarkan hal itu. Kini tatapannya mulai menatap lekat untuk membenarkan rasa jujurnya itu. Sehingga batin Dikta dili seperti sudah dikejar seseorang. Memperhatikan keadaan kamar di manan Sierra berada. Dikta berusaha mencerna kembali 11 "Pak gawat kantor kena sidik oleh pihak terkait dan investor!" sosornya terburu-buru. "Jangan bercanda! Ini tidak lucu!" sanggah Dikta geram. Menelan salivanya kuat-kuat. Sierra hanya bisa menatapnya datar. Karena hal ini sering terjadi. Sierra hanya busa menonton kejadian klasik ini. Ia yakin Dikta pasti terkejut akan apa yang terjadi. Walaupun Sierr
Mengangguk. Ia ingin merangkul Sierra, hanya saja lengannya benar-benar tak kuasa menahan nyeri karena luka itu. Ditambah Dikta dihantam berkali-kali saat melawan Sony yang membuat salah satu tangannya kebas.“DIKTA TANGANMU TERLUKA! PAK CEPAT KE RUMAH SAKIT!”Sang pengawal pun langsung menginjak pedal gasnya begitu saja. Sierra benar-benar panik akan apa yang terjadi. Dikta hanya terkekeh melihat tingkah Sierra yang terlalu berlebihan ini. Padahal lukanya tak seberapa dengan rasa khawatirnya itu.Sesampainya di rumah sakit, malah bukan Dikta yang dilarikan untuk di tangani. Tapi malah Sierra yang dilarikan ke ruang UGD. Dikta memboyong tubuh wanita yang merintih kesakitan itu.“Sus, tolong!”Dengan sigap para perawat itu membawa Sierra berlalu menuju ruang UGD. Dikta hanya bisa menunggunya di depan ruangan dengan harap-harap cemas. Ia tak peduli lagi dengan rasa sakit yang diembannya saat ini.Ya, perjalanan yang cukup terjal dari tempat kejadian membuat Sierra mengalami pendarahan d
Tapi Bella malah menarik paksa pria itu dalam pelukannya. Pelukan yang selama ini ia elu-elukan setiap malam. Jujur saja, Bella sangat merindukan Dikta kala ini. Ya, dia sangat menginginkan Dikta kembali dalam pelukannya. Kembali merajut dunia yang telah lama hilang. Ternyata Bella baru menyadari, jika Diktalah yang berhasil membangun dunianya terasa megah. Atau bisa dikatakan hanya Dikta yang bisa mengerti segala keinginannya. Bukan Noah maupun kedua orangtuanya. Bahkan bisa dikatakan jika Diktalah yang berhasil membuatnya menjadi istri yang layak. Dia berhasil mengagungkan Bella dengan segala perjuangannya yang tulus itu. Dan tak pernah Bella temukan pada Noah hingga saat ini. Andai saja waktu bisa diputar kembali, mungkin Bella takan pernah melakukan itu. Dan mungkin saja anaknya masih hidup sampai saat ini kan?Dikta menepis segala rayuan Bella yang mulai menjalari tubuhnya. Sungguhpun, Dikta jijik dan muak sekali. “Bella! Lepaskan! Kenapa kau mau menjadi jalang seperti ini,
Dari root top bangunan di seberang jalan, tepatnya di seberang kosan Sony, seorang pria mengawasi Sony yang sedang dikepung oleh Dikta dan pengawalnya.Pria itu sudah siap dengan senapan laras panjangnya, bersiap membidik target. Saat itu Dikta menanyai Sony, tapi dia diam ... tidak mau berkata jujur. Setelah dihajarpun Sony ditanya kembali oleh Dikta. “Sekarang!” perintah wanita dari telepon, kepada pria yang menggunakan penutup kepala dengan earpiece di telinganya. Dan ... DOR! Dikta dan ketiga pengawal terkejut, mereka menoleh sekeliling dan mencari sumber suara. Setelah beberapa menit barulah Dikta tahu, seseorang mencoba lari dari rooftop rumah di seberang kostan yang ditinggali oleh Sony. “Di sana! Tangkap!” perintah Dikta menunjuk ke bangunan di seberang kostan, dua pengawal langsung bergerak untuk mengejar penembak Sony. “Urus mayatnya,” titah Dikta pada dua pengawal yang sedari awal memegangi tubuh Sony, dan sekarang dua pengawal itu sedikit gemetar yang mereka
Satu persatu masalah menghampiri Dikta, hampir tak berkesudahan, satu masalah selesai satu lagi muncul. Dia hampir gila, merasa ingin menyerah saat ini karena salah satu dari masalah tersebut adalah Sierra. Istrinya itu adalah kekuatannya, harta yang ia punya satu-satunya. Sedang mengandung buah hati mereka, tapi karena termakan hasutan orang dia lebih memilih pergi meninggalkannya. Dikta tidak tahu harus mencari Sierra ke mana. Ponselnya juga tak aktif, tidak bisa dihubungi sama sekali. Dikta juga tak mendapati istrinya ada di rumah kakeknya. Dia tak tahu apakah ada tempat tinggal Sierra yang lain atau istrinya itu hanya tidur di hotel. Dikta akhirnya membiarkan istrinya itu menenangkan diri dan dia berjanji akan mengurus masalahnya supaya cepat selesai. Pagi ini Dikta pergi ke kantor seperti biasanya, hari ini kakek sudah bilang tidak akan mampir ke kantornya, kakek membantu Dikta mencarikan investor baru untuk perusahaan yang dipimpin oleh Dikta itu, pria itu bersyukur sekali.
Dikta menerima telepon dari kakek Sierra, menyuruhnya untuk segera datang ke rumah orangtua Bella. “Aku ada di apartemen, Kek,” ucap Dikta, dia seketika teringat amanah dari ayah Bella yang merupakan mertuanya dulu. “Kau harus bawa mayatku juga istriku. Tolong kebumikan kami dengan layak. Aku yakin hidupku sudah tak bisa bertahan lebih lama lagi,” ucap ayah Bella sesaat sebelum dia tewas karena peluru yang bersarang di kepalanya. Dikta tak bisa untuk tidak sedih, marah dan kecewa, perasaan itu campur aduk di dalam hatinya sekarang. Karena sudah ditunggu oleh kakek, dia segera turun dan menuju ke rumah Bella lagi. Beberapa menit kemudian Dikta sampai di kediaman orangtua Bella, bunga duka sudah berjejer rapi di depan gerbang rumah, banyak mobil yang juga berderet-deret memenuhi tepi jalan. Dikta memarkirkan mobilnya, agak jauh dari kediaman mantan mertuanya itu. Dia turun kemudian melangkah masuk ke sana, orang-orang sudah datang untuk melawat. Dikta melihat ada Bella di sana y
Dikta terperangah, dia membelakakkan matanya sekarang. Kedua mantan mertuanya itu terkapar, dan malangnya di depan matanya ayah mertuanya dihabisi begitu saja. Dikta yang geram berusaha mengejar siapa penembak yang bersembunyi di gudang tadi. Dikta berlari kencang, melawan rasa sakit kepalanya akibat hantaman tongkat baseball yang mengenai kepalanya. Pria itu kabur, melesat dengan cepat berlari dari arah gudang ke depan. Dari belakang Dikta menyusul berlari kencang, seperti mengenal sosok tersebut, dia mempercepat langkah kemudian menarik jaket hitam yang dikenakan pria yang akan kabur itu. Dikta menarik dengan kedua tangannya hingga pria itu terjerembab. Pria itu menggunakan pakaian serba hitam yakni pakaian serba hitam, sepatu hitam, bertopi hitam, masker hitam dan tak lupa kedua tangannya menggunakan sarung tangan. Dikta menarik masker dan topi pria itu, membuangnya asal, dan ketika semuanya terlepas pria itu tertawa. “Hahaha ... Sudah pas bukan waktunya?” ujar Noah, dia seakan