"Mungkin dia bersama teman-temannya. Kamu coba hubungi dia lewat telepon.""Sudah, Kak, tapi Aira tidak mengangkat telepon dari Steven.""Iya sudah, nanti biar kakak yang meneleponnya."Steven memutuskan sambungan teleponnya, ia berharap Aira mau mengangkat panggilan dari kakanya, Dian.Dalam kegelisahan yang merayap, Steven menunggu dengan resah, sambil menunggu Dian menghubungi Aira, ia hanya bisa berharap Aira akan mengangkat panggilan telepon dari Dian, kakaknya. Setiap detik terasa seperti masa yang tak berkesudahan. Keadaan hatinya semakin cemas ketika Dian kembali meneleponnya."Halo, Steven."Steven menjawab dengan suara gemetar. "Iya, Kak. Bagaimana? Apa Aira mengangkat panggilan telepon dari Kak Dian?"Dian mencoba memberikan semangat kepada Steven. "Kamu tenang saja, Aira bilang ... dia sedang bersama Fika."Seketika, Steven bisa menghembuskan napasnya dengan lega. Namun, ia berpikir, mengapa Aira mengangkat panggilan dari kakaknya, sedangkan sedari tadi Steven menghubungi
Steven, seorang pria berusia 25 tahun, terbangun dari tidurnya di pagi yang cerah. Matanya terbuka dan ia merasa bingung ketika menyadari bahwa istrinya, Aira, tidak berada di sampingnya. "Aku lupa kalau dia menginap di rumah Fika," gumamnya lirih.Ada rasa gelisah di dalam hatinya, karena semalam Aira mengatakan padanya bahwa ia tidak ingin bertemu dengannya. Steven tidak mengerti apa yang telah ia lakukan untuk membuat istrinya merasa begitu. Namun sayangnya, Aira tidak memberi tahu alasannya.Menguap panjang, Steven bangkit sambil memikirkan alasan kenapa Aira tidak ingin bertemu dengannya. Aira menghabiskan malamnya di rumah teman baiknya, Fika, meninggalkan Steven termenung, merasa janggal. Aira jarang bersembunyi dari masalah, jadi tindakannya kali ini membuat Steven merasa tidak berdaya dan cemas.Dalam keadaan rambut yang berantakan, Steven menghela napas panjang dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Pikiran-pikirannya terus berputar mengenai apa yang sebenarny
"Masalah kecil? Tapi, sampai membuat Kak Dian menangis?" tanya Aira penuh selidik.Aira mendengar ada keributan di rumah kakaknya. Setelah pulang dari rumah Fika, ia langsung memutuskan untuk mampir ke rumah kakaknya, Dian. Namun, begitu tiba di sana, ia malah mendengar suara gaduh."Aira, ini memang hal wajar dalam rumah tangga. Bukankah kamu dan Steven juga selalu menghadapi masalah? Apalagi pernikahan kami yang sudah cukup lama," timpal Dimas, ia mencoba menenangkan suasana. Aira merenung sejenak atas kata-kata kakak iparnya itu.Memang, ia dan Steven seringkali mengalami masalah dalam hubungan mereka. Bahkan hingga kini, mereka masih belum saling berbicara satu sama lain. Aira pun mulai berfikir, mungkin waktunya untuk menyelesaikan permasalahan dengan Steven dan tidak mengulangi kesalahan yang terjadi pada kakak dan kakak iparnya.Dimas segera meraih ponselnya ketika mendengar bunyi dering yang nyaring."Halo.""...""Baiklah, aku akan ke sana."Setelah menyelesaikan panggilan, D
Steven memasuki rumahnya dengan langkah lesu, merasa putus asa setelah dipecat oleh Pak Udin. Ketika ia sampai di ruang tamu, ia melihat Aira, istrinya, tengah duduk di sofa sambil memainkan ponselnya. Dengan perasaan sedih, ia meletakkan tasnya di sofa, duduk, dan mulai melepaskan tali sepatunya."Kamu sudah pulang?" tanya Steven lemah."Iya, sudah," jawab Aira dengan nada ketus, seolah menahan amarah yang tersirat.Setelah melepaskan sepatunya, Steven meletakkan sepatunya di tempat sandal, lalu kembali menghadap Aira yang masih terdiam. Dalam hati, ia berharap ada pembicaraan yang dapat melupakan sementara masalah yang dihadapinya."Sudah mau bicara?" tanya Steven, berusaha membuka obrolan.Aira menghela napas, kemudian meletakkan ponselnya di atas meja dengan wajah yang tampak serius."Apa yang kamu bicarakan kemarin dengan Papa?" tanya Aira, sambil menatap tajam ke arah Steven.Steven merasa ragu untuk menjawab. "Hanya masalah pekerjaan saja," jawabnya, berusaha menenangkan suasan
Steven mencoba mengatur napasnya sebelum menjelaskan. "Aku dipecat dari pekerjaan, Sayang," ucapnya lirih, dengan suara bergetar.Aira terkejut, matanya membulat sempurna. "Apa? Kenapa? Bagaimana bisa kamu dipecat?" Aira menatap Steven dengan penuh kekhawatiran, menunggu penjelasan Steven lebih lanjut. Mata Aira terus menatap Steven, ia melihatnya dengan penuh kekhawatiran, ia tidak tahu mengapa suaminya bisa dipecat?Steven mendesah, merasa keputusan yang dihadapinya sangat berat. "Pak Udin bilang, kinerjaku menurun." Hati Aira merasa sakit mendengarnya. Steven yang terus bekerja keras selama ini, hanya dipecat begitu saja? Aira tak bisa membayangkan betapa dia merasa hancur. Rasa ingin menangis menghampiri Aira, tapi ia mencoba menahannya demi Steven. Wanita itu meraih dan menggenggam erat tangan suaminya, menatap matanya yang penuh sesak. "Kamu harus kuat, ya?" ucapnya lembut.Steven mengangguk dan membalas menggenggam tangan Aira, mencari kekuatan dalam rasa dukungan yang diberik
Setelah menuntaskan hasratnya, Steven menatap Aira dengan khawatir, keringat membasahi tubuh keduanya. "Apa aku menyakiti anak kita?" tanyanya.Aira menggeleng lemah. "Aku tidak tahu.""Apa perutmu terasa kram?" tanya Steven lagi.Aira menggeleng kembali. "Tidak juga."Steven turun dari tubuh Aira dengan hati-hati, dan berbaring di sampingnya. Pelan-pelan, ia mengelus perut istrinya yang sedang hamil. "Maafkan papa, ya, Sayang. Papa tidak bisa menahannya," bisik Steven penuh penyesalan sambil mengelus lembut perut Aira yang tengah mengandung.Aira menarik napas dalam-dalam, kemudian bertanya dengan wajah risau, "Aku ... nanti tidak hamil lagi, kan?"Kening Steven mengkerut ketika mendengar pertanyaan Aira. Ia berusaha menenangkan istri tercintanya dengan menjelaskan, "Kemungkinan hamil lagi saat sedang mengandung sangatlah kecil. Dokter juga sudah mengizinkan untuk berhubungan. Jadi, jangan khawatir, Sayang."Aira terdiam, namun masih tampak cemas. Steven, yang merasakan kekhawatiran
Praanngg!Steven menoleh kembali ke arah Ivy, wajahnya terlihat begitu sangat khawatir. "Itu suara apa, Ivy?" tanyanya penasaran.Ivy menggeleng sambil memperhatikan sekeliling. "Aku juga tidak tahu, Mas. Tapi, sepertinya berasal dari kamar Nenek," jawab Ivy.Mereka berdua pun segera berlari menuju kamar Mariani yang terletak di lantai satu. Setelah beberapa saat, mereka tiba di kamar itu dan melihat Mariani terbaring di lantai yang dingin."Nenek!" jerit Ivy, berlari mendekati neneknya. Steven juga segera menghampiri."Nek, bangun, Nek," ujar Steven sambil mengecek denyut nadi Mariani yang masih terasa berdetak."Nenek, bangun," gumam Ivy lirih, menepuk dengan pelan wajah Mariani yang sudah terlihat pucat."Lebih baik, kita bawa Nenek ke rumah sakit," ucap Steven dengan tegas.Ivy mengangguk setuju. "Baik, Mas."Steven lantas menggendong Mariani dengan hati-hati dan membawanya keluar rumah. Sementara itu, Ivy menghubungi sopir keluarga untuk menyiapkan mobil. Begitu di luar, Steven d
"Dokter bilang tekanan darah Nenek naik, Ma. Untung saja tadi Ivy dan Mas Steven langsung membawa Nenek ke rumah sakit," ungkap Ivy dengan mata berkaca.Mendengar berita tentang tekanan darah ibunya yang naik, Emily merasa sangat cemas. Begitu juga dengan nama Steven yang membuat Emily langsung terkejut. "Apa? Steven?" tanyanya penasaran.Ivy mengangguk pelan. "Iya, Ma. Dia lelaki yang sudah menyelamatkan Nenek," jelasnya."Lalu, di mana dia sekarang?"Ivy tersenyum, lalu berkata, "Dia bilang tadi mau keluar sebentar. Mungkin sebentar lagi akan kembali ke sini, Ma."Mendengar itu, Emily menghembuskan napas panjang. "Mama ingin sekali mengucapkan terima kasih langsung padanya," ucapnya seraya memandangi sang ibu yang sedang tertidur lelap.Saat mendengar kisah bagaimana ibunya hampir saja tertabrak mobil, Emily merasa sangat terpukul. Namun setelah tahu ada seseorang yang telah menyelamatkan nyawa ibunya, rasa lega pun datang dalam hatinya. Meskipun demikian, rasa penasaran akan sosok