"Ya Tuhan, apa itu suara Aira?" Fika membekap mulutnya sendiri ketika mendengar suara desahan dari dalam kamar mandi.Pikirannya melayang kemana-mana, ia menangkis lembaran pikiran buruknya terhadap sahabatnya sendiri. Namun, Aira tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Fika juga tidak percaya dengan suara desahan yang ia dengar, tapi kini suara itu terdengar begitu nyata dan jelas di telinganya.Fika mencoba meraih gagang pintu kamar mandi. Akan tetapi, ia mengurungkan niatnya. Ia pun segera keluar dari kamar Aira, langkahnya begitu berat, tidak mampu membayangkan apa yang tengah terjadi dengan sahabatnya itu.Setelah berada di luar kamar Aira, Fika menggenggam pagar pembatas begitu erat, berbagai pertanyaan terlintas di benaknya. Apa itu Aira? Apa yang sedang Aira lakukan di dalam kamar mandi? Mengapa Aira bisa mendesah? Dia melakukannya bersama siapa? Dengan perasaan yang begitu sangat gelisah, Fika berusaha mengatasi kebingungannya. Ia memutuskan untuk memberikan Aira privasi da
"Menangis?" Steven terkejut mendengar perkataan Zein.Zein mengangguk. "Iya, Zein sudah bertanya kenapa Mama menangis. Mama cuma bilang kalau dia bangga memiliki Zein."Steven merenung sejenak, mencoba memahami apa yang dikatakan oleh anak kecil tersebut. "Mungkin Mama merasa bahagia dan terharu karena punya anak sebaik Zein, tapi terkadang orang menangis bukan hanya karena sedih saja, melainkan karena terlalu bahagia atau terlalu bersyukur."Zein mengerutkan keningnya, mencoba mencerna kata-kata Steven. "Bersyukur?"Steven mengangguk. "Ya, Zein. Mama mungkin menangis karena merasa begitu bersyukur memiliki anak sebaik Zein. Itu tanda bahwa Mama sangat mencintaimu."Zein mengangguk mengerti, wajahnya mulai berseri. "Oh, jadi Mama menangis karena bahagia?"Steven tersenyum. "Iya, Zein. Kadang-kadang air mata bisa menjadi cara orang mengekspresikan perasaan mereka, dan air mata Mama adalah cara untuk menunjukkan betapa besar rasa cintanya kepada Zein."Zein memeluk erat Steven. "Terima
Zein berteriak seolah memecah keheningan ruang makan. "Oma!" Ia berlari ke arah Sari yang tengah duduk santai di meja makan. Sari tersenyum kepada cucunya dan berkata, "Halo, Sayang, kamu sudah bangun?" Zein mengangguk cepat. "Sudah, Oma." Sari lalu mengajak cucu kesayangannya itu untuk makan bersama. "Baiklah, kalau begitu kita sarapan bersama, ya?" Zein setuju. "Baik, Oma."Zein pun menuju kursi Aira. "Pagi, Tante Aira," sapa Zein, sambil menggeser kursi, lalu duduk di samping Aira.Mendengar kedatangan Zein, Aira tersadar dari lamunannya. Aira tersenyum lemah, "Oh ... pagi, Zein." Tatapan Zein berpindah ke arah Steven yang masih berdiri tak tentu arah. "Om Steven, ayo kita sarapan." Dian ikut mengajak. "Steven, ayo duduklah, kita makan bersama." Steven mengangguk, lalu duduk di samping Zein.Suasana sarapan pun semakin ramai dengan kehadiran mereka semua. Sambil menikmati hidangan, Anwar mencuri pandang kepada Santi yang duduk di hadapannya. "Santi, bagaimana keadaanmu sekar
"Kenapa kalian terdiam? Sebenarnya ada apa?" tanya Aira penasaran, melihat kedua lelaki beda generasi itu hanya terdiam.Sejak tadi, Aira mencari keberadaan Steven di mana-mana. Ketika mencari di dapur, Widya memberitahu bahwa ayahnya menyuruh Steven ke ruang kerja. Setibanya di ruang kerja ayahnya, Aira melihat Steven bersama ayahnya, Anwar, yang sedang mengobrol. Namun sayangnya, Aira tak mengerti topik pembicaraan mereka dan rasa penasaran menghantui pikirannya."Ada apa, Pa?" tanya Aira lagi."Oh, tidak apa-apa, Aira," ucap Anwar sambil menggelengkan kepalanya. Lelaki paruh baya itu berdiri dan menatap putrinya dengan ekspresi serius."Benarkah? Kalian tidak menyembunyikan sesuatu dariku?" selidik Aira. Dengan mata tajam, ia melihat ke arah meja kerja ayahnya, di mana ia melihat banyak sekali tumpukan dokumen.Anwar yang melihat itu segera mengalihkan perhatian Aira, tak ingin putrinya melihat sebuah cek di meja kerjanya. "Tenang saja, Aira. Kami hanya sedang membahas masalah peker
Aira merasa dunianya runtuh saat mengetahui bahwa Steven telah menandatangani cek kesepakatan tersebut. Aira yang merasakan kebingungan dan kecewa mencoba mencari jawaban di mata ayahnya.Anwar mencoba menjelaskan dengan suara lembut. "Papa hanya ingin kamu memiliki kehidupan yang lebih baik, Nak. Steven mungkin bukan pilihan yang tepat. Papa hanya ingin kamu bahagia."Namun, Aira merasa hancur karena keputusan yang seakan diambil tanpa melibatkannya. Ia merasa terpukul oleh realitas bahwa pernikahannya dengan Steven mungkin harus berakhir, dan pertanyaan-pertanyaan sulit mulai muncul dalam benaknya.Aira segera menghapus dengan kasar air matanya yang terus mengalir. Dia lalu segera pergi dari hadapan ayahnya. Wanita itu hanya ingin sendiri saat ini, menyelami rasa sakit dan kekecewaannya tanpa harus membaginya dengan siapa pun. Aira merenung tentang segala keputusan yang harus diambil dan bagaimana ia akan menghadapi masa depan yang tak bisa ia bayangkan akan seperti apa.Wusshh ...
"Andai saja sejak awal aku bisa menahan perasaanku ini. Seandainya aku tidak mudah jatuh cinta. Mungkin aku tidak akan merasakan sakit yang begitu mendalam. Aku berpikir bahwa dia adalah obat yang bisa menyembuhkan luka-lukaku. Namun, aku lupa bahwa obat pun bisa begitu pahit." Aira berkata sambil terisak.Hiks!Aira menutup wajahnya yang sudah memanas. Ia merasa hancur dan terpuruk. Memeluk sahabatnya dalam paparan udara yang dingin, ia memeluknya begitu erat menenggelamkan wajahnya di bahu Fika. Aira merasakan keputusasaan yang begitu dalam, seolah-olah dunia ini berputar tanpa arah.Dadanya terasa sesak, hatinya seperti diremas dengan kekuatan yang tak terbendung. Ia meratapi kesedihannya yang begitu mendalam.Perasaan Aira begitu sedih. Ia merasa terluka dan dikhianati oleh orang yang ia cintai. Semua harapannya hancur dalam sekejap. Merasa seperti dunianya runtuh, merasakan kekosongan yang begitu dalam di dalam hatinya.Wanita cantik itu mencoba mengatur napasnya yang terengah-en
Mariani terdiam ketika mendengar lelaki tersebut mengatakan namanya. Tatapan wanita tua itu tampak serius, seakan-akan mencoba mengingat sesuatu yang lama terpendam dalam memorinya."Steven …," gumamnya lirih, sambil memperhatikan lelaki tampan yang ada di hadapannya kini. "cucuku …."Steven begitu bingung ketika wanita tua itu memanggilnya cucu, Ivy segera menyanggah perkataan neneknya. "Maaf, Mas Steven, Nenek memang seperti itu, kalau beliau bertemu dengan lelaki yang bernama Steven, pasti Nenek mengira cucunya," kata Ivy.Ivy lalu menahan tangan neneknya ketika akan menyentuh Steven. "Nek, nama Steven itu banyak di dunia ini. Nenek jangan seperti ini, ya?"Mariani menggelengkan kepalanya. "Tidak, dia cucuku, dia mirip sekali dengan cucuku yang hilang." Mariani tetap bersikukuh menganggap Steven itu adalah cucunya yang hilang.Steven hanya tersenyum mendengar perkataan wanita tersebut. "Mungkin ada kebingungan, Nek. Saya tidak memiliki keluarga di sini. Saya hanya seorang lelaki ya
"Mungkin dia bersama teman-temannya. Kamu coba hubungi dia lewat telepon.""Sudah, Kak, tapi Aira tidak mengangkat telepon dari Steven.""Iya sudah, nanti biar kakak yang meneleponnya."Steven memutuskan sambungan teleponnya, ia berharap Aira mau mengangkat panggilan dari kakanya, Dian.Dalam kegelisahan yang merayap, Steven menunggu dengan resah, sambil menunggu Dian menghubungi Aira, ia hanya bisa berharap Aira akan mengangkat panggilan telepon dari Dian, kakaknya. Setiap detik terasa seperti masa yang tak berkesudahan. Keadaan hatinya semakin cemas ketika Dian kembali meneleponnya."Halo, Steven."Steven menjawab dengan suara gemetar. "Iya, Kak. Bagaimana? Apa Aira mengangkat panggilan telepon dari Kak Dian?"Dian mencoba memberikan semangat kepada Steven. "Kamu tenang saja, Aira bilang ... dia sedang bersama Fika."Seketika, Steven bisa menghembuskan napasnya dengan lega. Namun, ia berpikir, mengapa Aira mengangkat panggilan dari kakaknya, sedangkan sedari tadi Steven menghubungi
Beberapa bulan telah berlalu sejak pernikahan Michael dan Fika. Kini, Fika duduk di sofa ruang tamu, menunggu dengan gelisah kedatangan Michael dari kantor. Setiap kali mendengar suara mobil memasuki garasi, hatinya berdegup kencang. Namun, setelah beberapa saat, ketegangan itu berganti menjadi kekhawatiran saat Michael tak kunjung pulang.Fika menyalakan telepon genggamnya, mengecek pesan dari Michael, tetapi tak ada kabar. Waktu terus berlalu, membuat kecemasannya semakin dalam. Selama dua minggu terakhir, dia merasa jantungnya seperti akan copot dari dadanya. Sesuatu yang tak biasa terjadi pada tubuhnya, dan dia mulai curiga akan kehamilan.Fika bergegas menuju kamar mandi, mengambil tespek dari laci. Dengan gemetar, dia membuka bungkusnya dan mengikuti instruksi penggunaan dengan hati-hati. Ketika garis kedua mulai terbentuk, dia terkejut dan hampir tidak percaya. "Aku tidak salah lihat, kan? Ini garis dua, itu artinya aku hamil," gumam Fika, suaranya penuh campuran antara kekaguma
Hari pernikahan Michael dan Fika tiba, dan suasana penuh kebahagiaan menyelimuti rumah mereka. Keluarga dan teman-teman terdekat berkumpul untuk merayakan momen istimewa ini. Taman mereka dihiasi dengan indah, dengan bunga-bunga yang warna-warni menghiasi setiap sudut, menciptakan atmosfer yang mempesona.“Aku begitu deg-degan,” gumam Fika sembari menatap tubuhnya di dalam cermin. Wanita yang sudah mengenakan kebaya berwarna putih itu begitu cantik, bahkan Aira sendiri begitu pangling melihat sahabatnya itu.“Kamu cantik sekali,” puji Aira sambil menyentuh bahu Fika.“Terima kasih, Aira. Oh iya, Santi sama Nita sudah datang belum, ya?”“Sepertinya mereka masih di jalan. Para tamu juga sudah hadir. Apa kamu mau keluar sekarang?”Fika mengangguk. “Boleh.”***Para tamu mulai berdatangan, masing-masing membawa senyuman ceria dan ucapan selamat untuk pasangan pengantin baru. Suasana penuh kehangatan dan kebersamaan terasa begitu kental di udara.Keluarga Michael dan Fika sibuk melayani par
Di ruang tamu rumah orangtuanya, Michael duduk di antara kedua orang tuanya, Carlos dan Emily, sementara Fika duduk di seberang mereka. Suasana terasa tegang, seolah-olah ada sesuatu yang besar akan diungkapkan oleh Michael."Michael, ada apa sebenarnya?" tanya Emily dengan nada cemas. Dia melihat ekspresi serius di wajah anaknya, membuatnya khawatir.Michael menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mulai berbicara. "Ma, Pa, aku punya sesuatu yang ingin aku sampaikan pada kalian."Carlos dan Emily bertukar pandang, mereka bisa merasakan bahwa ini adalah hal yang penting. Mereka menunggu dengan cemas sambil memperhatikan Michael.“Apa yang ingin kamu sampaikan, Michael?” tanya Carlos."Aku ... aku dan Fika telah memutuskan untuk menikah," ujar Michael dengan tegas.Wajah Carlos dan Emily langsung berubah kaget. Mereka tidak bisa menyembunyikan kejutan mereka atas pengumuman tersebut. "Tunggu sebentar, Michael. Apakah kamu serius?" tanya Carlos dengan suara gemetar.Michael menganggu
Steven segera dilarikan ke rumah sakit setelah insiden tragis tersebut. Paramedis dengan cepat membawa tubuhnya yang terluka ke ambulans, sementara Michael dan Aira duduk di bangku belakang, penuh kecemasan dan ketakutan akan nasib Steven. Di perjalanan menuju rumah sakit, Michael mencoba menenangkan Aira, tetapi kecemasan mereka berdua tidak bisa disembunyikan.“Tenanglah, Aira. Steven pasti akan baik-baik saja.”“Aku hanya takut dia kenapa-napa.”Sesampainya di rumah sakit, Steven langsung diterima oleh tim medis yang siap sedia. Dokter segera memeriksa luka tembakannya, memastikan bahwa kondisi Steven stabil sebelum dibawa ke ruang operasi. Operasi dilakukan dengan cepat untuk mengeluarkan peluru yang masuk ke tubuhnya dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya.Sementara itu, Aira duduk gelisah di ruang tunggu, menunggu dengan hati yang penuh kekhawatiran. Setiap detik terasa seperti jam bagi Aira, dan kegelisahannya semakin bertambah ketika tidak ada kabar tentang kondisi suam
Steven, Michael, dan Fika akhirnya tiba di tempat yang diduga menjadi tempat penculikan Veline dan Aira. Michael dengan cepat menyuruh Fika untuk tetap berada di dalam mobil, menyadari bahwa situasi di luar sangatlah berbahaya.Namun, Fika bersikeras ingin ikut keluar dari mobil untuk ikut membantu. "Tapi, tapi, aku juga bisa membantu!" protesnya.Michael menatapnya tajam. "Tidak, kamu tetap di sini," ujarnya dengan nada yang tidak bisa ditawar.Steven, yang duduk di sebelah Fika, menambahkan, "Apa yang dikatakan Michael benar. Kamu tetap di dalam mobil saja karena di luar begitu berbahaya."Fika merasa sedikit kecewa, tetapi dia tahu bahwa mereka berdua hanya ingin melindunginya. Akhirnya, dia mengangguk dengan berat hati. "Baiklah," ucapnya pelan.Steven dan Michael lalu keluar dari mobil dengan hati-hati, siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi di dalam ruangan tersebut. Mereka berdua saling bertukar pandang, menguatkan satu sama lain dengan keberanian mereka.
Steven merasa seperti jantungnya berdegup kencang di dalam dadanya ketika dia menyadari Aira pergi begitu saja, setelah menerima panggilan telepon dari Andre. Panggilan itu memberitahunya bahwa Veline, anak mereka, dalam bahaya. Steven tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Andre, akan melakukan sesuatu yang sekejam ini.Dengan gemetar, Steven segera menyalakan mesin mobilnya lagi. Hati dan pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran yang tak terbayangkan. Dia mulai menekan pedal gas dengan keras, dan segera melaju mengikuti taksi yang sudah membawa Aira pergi.“Aku harus mengikuti Aira dari belakang,” gumam Steven, sambil terus fokus mengendarai mobilnya.Di tengah perjalanan, mobil Steven tiba-tiba mogok. Rasa frustrasi dan putus asa menghantamnya, seperti gelombang yang menghantam batu karang. “Sial, kenapa jadi mogok?” Dia mengetuk kemudi dengan marah, mencoba untuk menghidupkan mobilnya kembali, tetapi tidak ada reaksi. Dalam kepanika
Steven yang mendengar kabar itu langsung merasa khawatir. "Apa? Veline hilang?""I-iya, Steven," ucap Aira gugup."Kenapa bisa hilang, Aira?" Terdengar nada suara Steven yang cemas di seberang sana."A-aku yang ceroboh, aku meninggalkannya sendirian saat menerima telepon." Aira berucap seraya berderai air mata.Steven mengusap kasar wajahnya, ia tak habis pikir kepada Aira, kenapa bisa ia meninggalkan Veline sendirian seperti itu.Steven menghela napas gusar. "Ya sudah, aku akan segera pulang sekarang. Tenanglah, kita pasti menemukannya."Setelah sambungan teleponnya terputus, Aryo menghampiri Steven yang terlihat begitu cemas. "Steven, ada apa?" tanyanya."Veline hilang, Aryo. Aku harus mencarinya sekarang juga.""Apa? Kenapa bisa Veline hilang?" Aryo terkesiap, ketika lelaki itu mendengar bila Veline telah hilang."Aira meninggalkannya sendirian ketika ada yang menelponnya, sudahlah, aku harus pergi sekarang." Steven langsung bergegas pergi dari hadapan Aryo."Steven, aku pasti akan
Mata Aira terbuka secara perlahan saat merasakan sinar matahari pagi yang menghangatkan tubuhnya. Meskipun matanya terasa sangat mengantuk, tetapi ia segera bangkit dari dunia mimpi. Wanita itu menyibak selimut dan dengan langkah hati-hati, turun dari tempat tidur. Steven sudah tidak ada di sampingnya, mungkin suaminya telah lebih dulu bangun.Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, ia memutuskan untuk menuju kamar putrinya. Seulas senyum terukir di wajah Aira, ketika ia melihat Veline yang sudah bangun. "Sayang, kamu sudah bangun?" Aira segera melangkah menghampiri putrinya, Veline yang masih terduduk di tepi ranjang."Mama, aku sudah bangun. Apa hari ini kita akan pergi main, Ma?" tanya Veline, ketika ia masih ingat bila ibunya sempat mengajaknya untuk jalan-jalan.Aira menyadari bahwa Veline perlu jalan-jalan karena sudah lama, ia tak mengajak putrinya itu jalan bersama. "Uh, ternyata putri mama ini sudah tak sabar untuk jalan-jalan, ya? Apa kamu sudah siap memangnya?" Aira tersen
Di rumah Emily, suasana makan malam berlangsung hangat. Meja yang dikelilingi oleh semua anggota keluarga dan tetangga terdekatnya, mengundang tawa dan canda. Emily, yang menjadi tuan rumah, dengan cermat menyajikan hidangan-hidangan lezat yang telah dipersiapkan dengan penuh cinta.Setelah makan malam selesai, Fika, anak tetangga Emily, dengan ramah menawarkan bantuan untuk membersihkan piring-piring kotor. "Tante, biar Fika yang bantu membersihkan beberapa piring yang kotor ke dapur," ujar Fika sambil tersenyum.Emily mengangguk, bersyukur atas tawaran itu, tetapi kemudian menolak dengan lembut. "Terima kasih, Fika, tapi tidak perlu. Kami sudah memiliki pembantu untuk membersihkan semuanya."Namun, Fika tetap bersikeras. "Tidak apa-apa, Tante. Saya ingin membantu." Dengan tegas, ia mulai mengumpulkan beberapa piring kotor dan membawanya ke dapur.Tiba-tiba, Fika terpeleset. Michael, yang berada di dekatnya, dengan cepat menjangkau untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Mata mereka