Aira mencengkram kedua pinggang Steven ketika Steven menelusupkan lidahnya ke dalam mulut. Aira tidak bisa menahan desiran aneh yang ia rasakan, jantungnya berdebar kencang di dalam dadanya.Dia memejamkan matanya sejenak, tangannya masih erat mencengkram kemeja Steven. Mereka saling melumat dan mengulum satu sama lain, tak bisa dihindari, kejadian dan amarah yang melanda mereka berdua beberapa waktu lalu kini mulai menipis, digantikan oleh perasaan yang mendebarkan satu sama lain.Aira melenguh karena merasa sesak, pasokan oksigen dalam tubuhnya mulai menipis. Steven tak memberinya celah untuk bernapas, meskipun hanya sekejap.Namun, di tengah momen intens itu, Steven merasa perlu memberikan ruang untuk mereka agar bisa bernapas. Dia melepaskan pelukannya, memandang Aira dengan mata penuh intens. "Maafkan aku."Aira, meski masih terengah-engah, mencoba untuk menenangkan dirinya. "Aku … tadi belum selesai bicara."Steven merapikan rambut Aira yang sudah basah kuyup. "Tidak apa-apa. Ki
"Ya Tuhan, apa itu suara Aira?" Fika membekap mulutnya sendiri ketika mendengar suara desahan dari dalam kamar mandi.Pikirannya melayang kemana-mana, ia menangkis lembaran pikiran buruknya terhadap sahabatnya sendiri. Namun, Aira tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Fika juga tidak percaya dengan suara desahan yang ia dengar, tapi kini suara itu terdengar begitu nyata dan jelas di telinganya.Fika mencoba meraih gagang pintu kamar mandi. Akan tetapi, ia mengurungkan niatnya. Ia pun segera keluar dari kamar Aira, langkahnya begitu berat, tidak mampu membayangkan apa yang tengah terjadi dengan sahabatnya itu.Setelah berada di luar kamar Aira, Fika menggenggam pagar pembatas begitu erat, berbagai pertanyaan terlintas di benaknya. Apa itu Aira? Apa yang sedang Aira lakukan di dalam kamar mandi? Mengapa Aira bisa mendesah? Dia melakukannya bersama siapa? Dengan perasaan yang begitu sangat gelisah, Fika berusaha mengatasi kebingungannya. Ia memutuskan untuk memberikan Aira privasi da
"Menangis?" Steven terkejut mendengar perkataan Zein.Zein mengangguk. "Iya, Zein sudah bertanya kenapa Mama menangis. Mama cuma bilang kalau dia bangga memiliki Zein."Steven merenung sejenak, mencoba memahami apa yang dikatakan oleh anak kecil tersebut. "Mungkin Mama merasa bahagia dan terharu karena punya anak sebaik Zein, tapi terkadang orang menangis bukan hanya karena sedih saja, melainkan karena terlalu bahagia atau terlalu bersyukur."Zein mengerutkan keningnya, mencoba mencerna kata-kata Steven. "Bersyukur?"Steven mengangguk. "Ya, Zein. Mama mungkin menangis karena merasa begitu bersyukur memiliki anak sebaik Zein. Itu tanda bahwa Mama sangat mencintaimu."Zein mengangguk mengerti, wajahnya mulai berseri. "Oh, jadi Mama menangis karena bahagia?"Steven tersenyum. "Iya, Zein. Kadang-kadang air mata bisa menjadi cara orang mengekspresikan perasaan mereka, dan air mata Mama adalah cara untuk menunjukkan betapa besar rasa cintanya kepada Zein."Zein memeluk erat Steven. "Terima
Zein berteriak seolah memecah keheningan ruang makan. "Oma!" Ia berlari ke arah Sari yang tengah duduk santai di meja makan. Sari tersenyum kepada cucunya dan berkata, "Halo, Sayang, kamu sudah bangun?" Zein mengangguk cepat. "Sudah, Oma." Sari lalu mengajak cucu kesayangannya itu untuk makan bersama. "Baiklah, kalau begitu kita sarapan bersama, ya?" Zein setuju. "Baik, Oma."Zein pun menuju kursi Aira. "Pagi, Tante Aira," sapa Zein, sambil menggeser kursi, lalu duduk di samping Aira.Mendengar kedatangan Zein, Aira tersadar dari lamunannya. Aira tersenyum lemah, "Oh ... pagi, Zein." Tatapan Zein berpindah ke arah Steven yang masih berdiri tak tentu arah. "Om Steven, ayo kita sarapan." Dian ikut mengajak. "Steven, ayo duduklah, kita makan bersama." Steven mengangguk, lalu duduk di samping Zein.Suasana sarapan pun semakin ramai dengan kehadiran mereka semua. Sambil menikmati hidangan, Anwar mencuri pandang kepada Santi yang duduk di hadapannya. "Santi, bagaimana keadaanmu sekar
"Kenapa kalian terdiam? Sebenarnya ada apa?" tanya Aira penasaran, melihat kedua lelaki beda generasi itu hanya terdiam.Sejak tadi, Aira mencari keberadaan Steven di mana-mana. Ketika mencari di dapur, Widya memberitahu bahwa ayahnya menyuruh Steven ke ruang kerja. Setibanya di ruang kerja ayahnya, Aira melihat Steven bersama ayahnya, Anwar, yang sedang mengobrol. Namun sayangnya, Aira tak mengerti topik pembicaraan mereka dan rasa penasaran menghantui pikirannya."Ada apa, Pa?" tanya Aira lagi."Oh, tidak apa-apa, Aira," ucap Anwar sambil menggelengkan kepalanya. Lelaki paruh baya itu berdiri dan menatap putrinya dengan ekspresi serius."Benarkah? Kalian tidak menyembunyikan sesuatu dariku?" selidik Aira. Dengan mata tajam, ia melihat ke arah meja kerja ayahnya, di mana ia melihat banyak sekali tumpukan dokumen.Anwar yang melihat itu segera mengalihkan perhatian Aira, tak ingin putrinya melihat sebuah cek di meja kerjanya. "Tenang saja, Aira. Kami hanya sedang membahas masalah peker
Aira merasa dunianya runtuh saat mengetahui bahwa Steven telah menandatangani cek kesepakatan tersebut. Aira yang merasakan kebingungan dan kecewa mencoba mencari jawaban di mata ayahnya.Anwar mencoba menjelaskan dengan suara lembut. "Papa hanya ingin kamu memiliki kehidupan yang lebih baik, Nak. Steven mungkin bukan pilihan yang tepat. Papa hanya ingin kamu bahagia."Namun, Aira merasa hancur karena keputusan yang seakan diambil tanpa melibatkannya. Ia merasa terpukul oleh realitas bahwa pernikahannya dengan Steven mungkin harus berakhir, dan pertanyaan-pertanyaan sulit mulai muncul dalam benaknya.Aira segera menghapus dengan kasar air matanya yang terus mengalir. Dia lalu segera pergi dari hadapan ayahnya. Wanita itu hanya ingin sendiri saat ini, menyelami rasa sakit dan kekecewaannya tanpa harus membaginya dengan siapa pun. Aira merenung tentang segala keputusan yang harus diambil dan bagaimana ia akan menghadapi masa depan yang tak bisa ia bayangkan akan seperti apa.Wusshh ...
"Andai saja sejak awal aku bisa menahan perasaanku ini. Seandainya aku tidak mudah jatuh cinta. Mungkin aku tidak akan merasakan sakit yang begitu mendalam. Aku berpikir bahwa dia adalah obat yang bisa menyembuhkan luka-lukaku. Namun, aku lupa bahwa obat pun bisa begitu pahit." Aira berkata sambil terisak.Hiks!Aira menutup wajahnya yang sudah memanas. Ia merasa hancur dan terpuruk. Memeluk sahabatnya dalam paparan udara yang dingin, ia memeluknya begitu erat menenggelamkan wajahnya di bahu Fika. Aira merasakan keputusasaan yang begitu dalam, seolah-olah dunia ini berputar tanpa arah.Dadanya terasa sesak, hatinya seperti diremas dengan kekuatan yang tak terbendung. Ia meratapi kesedihannya yang begitu mendalam.Perasaan Aira begitu sedih. Ia merasa terluka dan dikhianati oleh orang yang ia cintai. Semua harapannya hancur dalam sekejap. Merasa seperti dunianya runtuh, merasakan kekosongan yang begitu dalam di dalam hatinya.Wanita cantik itu mencoba mengatur napasnya yang terengah-en
Mariani terdiam ketika mendengar lelaki tersebut mengatakan namanya. Tatapan wanita tua itu tampak serius, seakan-akan mencoba mengingat sesuatu yang lama terpendam dalam memorinya."Steven …," gumamnya lirih, sambil memperhatikan lelaki tampan yang ada di hadapannya kini. "cucuku …."Steven begitu bingung ketika wanita tua itu memanggilnya cucu, Ivy segera menyanggah perkataan neneknya. "Maaf, Mas Steven, Nenek memang seperti itu, kalau beliau bertemu dengan lelaki yang bernama Steven, pasti Nenek mengira cucunya," kata Ivy.Ivy lalu menahan tangan neneknya ketika akan menyentuh Steven. "Nek, nama Steven itu banyak di dunia ini. Nenek jangan seperti ini, ya?"Mariani menggelengkan kepalanya. "Tidak, dia cucuku, dia mirip sekali dengan cucuku yang hilang." Mariani tetap bersikukuh menganggap Steven itu adalah cucunya yang hilang.Steven hanya tersenyum mendengar perkataan wanita tersebut. "Mungkin ada kebingungan, Nek. Saya tidak memiliki keluarga di sini. Saya hanya seorang lelaki ya