Zein berteriak seolah memecah keheningan ruang makan. "Oma!" Ia berlari ke arah Sari yang tengah duduk santai di meja makan. Sari tersenyum kepada cucunya dan berkata, "Halo, Sayang, kamu sudah bangun?" Zein mengangguk cepat. "Sudah, Oma." Sari lalu mengajak cucu kesayangannya itu untuk makan bersama. "Baiklah, kalau begitu kita sarapan bersama, ya?" Zein setuju. "Baik, Oma."Zein pun menuju kursi Aira. "Pagi, Tante Aira," sapa Zein, sambil menggeser kursi, lalu duduk di samping Aira.Mendengar kedatangan Zein, Aira tersadar dari lamunannya. Aira tersenyum lemah, "Oh ... pagi, Zein." Tatapan Zein berpindah ke arah Steven yang masih berdiri tak tentu arah. "Om Steven, ayo kita sarapan." Dian ikut mengajak. "Steven, ayo duduklah, kita makan bersama." Steven mengangguk, lalu duduk di samping Zein.Suasana sarapan pun semakin ramai dengan kehadiran mereka semua. Sambil menikmati hidangan, Anwar mencuri pandang kepada Santi yang duduk di hadapannya. "Santi, bagaimana keadaanmu sekar
"Kenapa kalian terdiam? Sebenarnya ada apa?" tanya Aira penasaran, melihat kedua lelaki beda generasi itu hanya terdiam.Sejak tadi, Aira mencari keberadaan Steven di mana-mana. Ketika mencari di dapur, Widya memberitahu bahwa ayahnya menyuruh Steven ke ruang kerja. Setibanya di ruang kerja ayahnya, Aira melihat Steven bersama ayahnya, Anwar, yang sedang mengobrol. Namun sayangnya, Aira tak mengerti topik pembicaraan mereka dan rasa penasaran menghantui pikirannya."Ada apa, Pa?" tanya Aira lagi."Oh, tidak apa-apa, Aira," ucap Anwar sambil menggelengkan kepalanya. Lelaki paruh baya itu berdiri dan menatap putrinya dengan ekspresi serius."Benarkah? Kalian tidak menyembunyikan sesuatu dariku?" selidik Aira. Dengan mata tajam, ia melihat ke arah meja kerja ayahnya, di mana ia melihat banyak sekali tumpukan dokumen.Anwar yang melihat itu segera mengalihkan perhatian Aira, tak ingin putrinya melihat sebuah cek di meja kerjanya. "Tenang saja, Aira. Kami hanya sedang membahas masalah peker
Aira merasa dunianya runtuh saat mengetahui bahwa Steven telah menandatangani cek kesepakatan tersebut. Aira yang merasakan kebingungan dan kecewa mencoba mencari jawaban di mata ayahnya.Anwar mencoba menjelaskan dengan suara lembut. "Papa hanya ingin kamu memiliki kehidupan yang lebih baik, Nak. Steven mungkin bukan pilihan yang tepat. Papa hanya ingin kamu bahagia."Namun, Aira merasa hancur karena keputusan yang seakan diambil tanpa melibatkannya. Ia merasa terpukul oleh realitas bahwa pernikahannya dengan Steven mungkin harus berakhir, dan pertanyaan-pertanyaan sulit mulai muncul dalam benaknya.Aira segera menghapus dengan kasar air matanya yang terus mengalir. Dia lalu segera pergi dari hadapan ayahnya. Wanita itu hanya ingin sendiri saat ini, menyelami rasa sakit dan kekecewaannya tanpa harus membaginya dengan siapa pun. Aira merenung tentang segala keputusan yang harus diambil dan bagaimana ia akan menghadapi masa depan yang tak bisa ia bayangkan akan seperti apa.Wusshh ...
"Andai saja sejak awal aku bisa menahan perasaanku ini. Seandainya aku tidak mudah jatuh cinta. Mungkin aku tidak akan merasakan sakit yang begitu mendalam. Aku berpikir bahwa dia adalah obat yang bisa menyembuhkan luka-lukaku. Namun, aku lupa bahwa obat pun bisa begitu pahit." Aira berkata sambil terisak.Hiks!Aira menutup wajahnya yang sudah memanas. Ia merasa hancur dan terpuruk. Memeluk sahabatnya dalam paparan udara yang dingin, ia memeluknya begitu erat menenggelamkan wajahnya di bahu Fika. Aira merasakan keputusasaan yang begitu dalam, seolah-olah dunia ini berputar tanpa arah.Dadanya terasa sesak, hatinya seperti diremas dengan kekuatan yang tak terbendung. Ia meratapi kesedihannya yang begitu mendalam.Perasaan Aira begitu sedih. Ia merasa terluka dan dikhianati oleh orang yang ia cintai. Semua harapannya hancur dalam sekejap. Merasa seperti dunianya runtuh, merasakan kekosongan yang begitu dalam di dalam hatinya.Wanita cantik itu mencoba mengatur napasnya yang terengah-en
Mariani terdiam ketika mendengar lelaki tersebut mengatakan namanya. Tatapan wanita tua itu tampak serius, seakan-akan mencoba mengingat sesuatu yang lama terpendam dalam memorinya."Steven …," gumamnya lirih, sambil memperhatikan lelaki tampan yang ada di hadapannya kini. "cucuku …."Steven begitu bingung ketika wanita tua itu memanggilnya cucu, Ivy segera menyanggah perkataan neneknya. "Maaf, Mas Steven, Nenek memang seperti itu, kalau beliau bertemu dengan lelaki yang bernama Steven, pasti Nenek mengira cucunya," kata Ivy.Ivy lalu menahan tangan neneknya ketika akan menyentuh Steven. "Nek, nama Steven itu banyak di dunia ini. Nenek jangan seperti ini, ya?"Mariani menggelengkan kepalanya. "Tidak, dia cucuku, dia mirip sekali dengan cucuku yang hilang." Mariani tetap bersikukuh menganggap Steven itu adalah cucunya yang hilang.Steven hanya tersenyum mendengar perkataan wanita tersebut. "Mungkin ada kebingungan, Nek. Saya tidak memiliki keluarga di sini. Saya hanya seorang lelaki ya
"Mungkin dia bersama teman-temannya. Kamu coba hubungi dia lewat telepon.""Sudah, Kak, tapi Aira tidak mengangkat telepon dari Steven.""Iya sudah, nanti biar kakak yang meneleponnya."Steven memutuskan sambungan teleponnya, ia berharap Aira mau mengangkat panggilan dari kakanya, Dian.Dalam kegelisahan yang merayap, Steven menunggu dengan resah, sambil menunggu Dian menghubungi Aira, ia hanya bisa berharap Aira akan mengangkat panggilan telepon dari Dian, kakaknya. Setiap detik terasa seperti masa yang tak berkesudahan. Keadaan hatinya semakin cemas ketika Dian kembali meneleponnya."Halo, Steven."Steven menjawab dengan suara gemetar. "Iya, Kak. Bagaimana? Apa Aira mengangkat panggilan telepon dari Kak Dian?"Dian mencoba memberikan semangat kepada Steven. "Kamu tenang saja, Aira bilang ... dia sedang bersama Fika."Seketika, Steven bisa menghembuskan napasnya dengan lega. Namun, ia berpikir, mengapa Aira mengangkat panggilan dari kakaknya, sedangkan sedari tadi Steven menghubungi
Steven, seorang pria berusia 25 tahun, terbangun dari tidurnya di pagi yang cerah. Matanya terbuka dan ia merasa bingung ketika menyadari bahwa istrinya, Aira, tidak berada di sampingnya. "Aku lupa kalau dia menginap di rumah Fika," gumamnya lirih.Ada rasa gelisah di dalam hatinya, karena semalam Aira mengatakan padanya bahwa ia tidak ingin bertemu dengannya. Steven tidak mengerti apa yang telah ia lakukan untuk membuat istrinya merasa begitu. Namun sayangnya, Aira tidak memberi tahu alasannya.Menguap panjang, Steven bangkit sambil memikirkan alasan kenapa Aira tidak ingin bertemu dengannya. Aira menghabiskan malamnya di rumah teman baiknya, Fika, meninggalkan Steven termenung, merasa janggal. Aira jarang bersembunyi dari masalah, jadi tindakannya kali ini membuat Steven merasa tidak berdaya dan cemas.Dalam keadaan rambut yang berantakan, Steven menghela napas panjang dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Pikiran-pikirannya terus berputar mengenai apa yang sebenarny
"Masalah kecil? Tapi, sampai membuat Kak Dian menangis?" tanya Aira penuh selidik.Aira mendengar ada keributan di rumah kakaknya. Setelah pulang dari rumah Fika, ia langsung memutuskan untuk mampir ke rumah kakaknya, Dian. Namun, begitu tiba di sana, ia malah mendengar suara gaduh."Aira, ini memang hal wajar dalam rumah tangga. Bukankah kamu dan Steven juga selalu menghadapi masalah? Apalagi pernikahan kami yang sudah cukup lama," timpal Dimas, ia mencoba menenangkan suasana. Aira merenung sejenak atas kata-kata kakak iparnya itu.Memang, ia dan Steven seringkali mengalami masalah dalam hubungan mereka. Bahkan hingga kini, mereka masih belum saling berbicara satu sama lain. Aira pun mulai berfikir, mungkin waktunya untuk menyelesaikan permasalahan dengan Steven dan tidak mengulangi kesalahan yang terjadi pada kakak dan kakak iparnya.Dimas segera meraih ponselnya ketika mendengar bunyi dering yang nyaring."Halo.""...""Baiklah, aku akan ke sana."Setelah menyelesaikan panggilan, D