Pupil mata Aira membulat sempurna. "Apa? Andre?" Aira tak menyangka bahwa ayahnya, Anwar, akan menyuruhnya untuk fitting baju ulang tahun bersama Andre, lelaki yang selama ini selalu bertengkar dan berkelahi dengan suaminya, Steven.Anwar mengangguk. "Iya, Aira."Aira masih tercengang dengan perkataan ayahnya. "Tapi, Pa, kenapa harus Andre?"Anwar memberikan senyuman kecil. "Kamu tahu sendiri, Aira, kami berdua sudah berjanji dengan pemilik butik untuk sesi fitting besok. Dan Steven punya pekerjaan di toko percetakan. Jadi, Andre mungkin bisa menggantikannya.""T-tapi, Pa …"Anwar menghentikan perkataan Aira dengan mengangkat tangannya. "Sudahlah, Aira. Papa tidak mau debat."Anwar melihat ke arah Steven, lalu berkata, "Steven, kamu tidak masalah kan bila Aira besok pergi bersama Andre?" Steven, meskipun tidak setuju dengan perkataan mertuanya, Anwar, tentang Aira yang akan pergi bersama Andre, tahu bahwa Anwar pasti akan marah kepadanya jika ia tidak mengizinkan Aira pergi bersama An
"Apa?"Dian yang mendengar itu dari ambang pintu merasa kaget, ketika ayahnya, Anwar, berkata bahwa Aira akan dijodohkan dengan Andre. Dian langsung masuk ke dalam kamar orang tuanya, matanya memandang tajam ke arah ayahnya yang masih duduk di tepi ranjang."Pa, apa yang Papa bicarakan? Aira sudah menikah dengan Steven. Kenapa Papa ingin menjodohkan Aira dengan Andre?"Dian merasakan ketakutan dan kebingungan melanda pikirannya tersebut. Tatapannya melihat lekat ke arah Anwar, ayahnya.Anwar dan Sari langsung berdiri dari duduk mereka, menatap ke arah pintu di mana Dian berjalan mendekat. Dengan senyum tenang, Anwar mencoba menjelaskan keputusannya."Sayang, papa tahu Aira sudah menikah dengan Steven. Tapi, ada alasan tertentu yang membuat papa memutuskan untuk menjodohkannya dengan Andre," kata Anwar dengan penuh pertimbangan.Dian menggelengkan kepala, ia tidak bisa menerima keputusan tersebut. "Pa, ini tidak adil. Aira sudah menikah dengan Steven. Mengapa Papa bisa membuat keputusan
Aira menoleh ke arah Andre dengan ekspresi heran. "Apa maksudmu?"Andre tersenyum smirk memasang ekspresi yang membuat Aira bingung. "Nanti juga kamu akan tahu sendiri."Aira memutar bola matanya dengan rasa malas yang mencuat. Dengan tangan dilipat di atas dada, dia memandangi pemandangan dari jendela mobil. Langit di atas tampak mendung, awan hitam mulai menutupinya, memberi pertanda bahwa hujan mungkin akan segera turun.Wanita yang menguncir rambutnya kebelakang itu merasa tidak tenang, terutama saat tadi malam. Ia sama sekali tak bisa tidur. Berbagai pikiran menghantuinya, membuatnya sulit untuk menenangkan pikirannya. Meskipun Steven sudah berusaha membuatnya nyaman dengan memberikan perhatian, namun kekhawatiran itu masih melekat pada pikiran Aira.Mobil melaju melalui jalan yang semakin ramai dengan lalu lintas. Aira merenung, mencoba menggantikan kegelisahan dalam hatinya dengan pemandangan di sekitarnya. Ia hanya bisa berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.Andre menoleh
Aira terduduk lesu di sofa, menjadikan sandaran yang empuk sebagai tempat bersandar untuk tubuh yang lelah. Memejamkan matanya sejenak, ia merasakan kegelisahan hati saat mendengar perkataan Andre tentang rencana perjodohan mereka.Tidak bisa memahami mengapa hidupnya terasa seperti menjadi boneka yang selalu dipermainkan oleh orang-orang terdekatnya, Aira merasa kehilangan kendali atas hidupnya sendiri. Ia hanya ingin dapat menjalani hidup yang sesuai dengan keinginannya, tanpa campur tangan dari siapa pun, termasuk keluarganya.Saat ini, rasa lelah yang membebani tubuhnya terasa begitu besar. Tangannya tidak sadar mengusap perutnya yang masih rata, berkomunikasi dengan calon kehidupan yang hadir di dalam dirinya. Aira merasa sangat bersalah, mengetahui bahwa keadaannya yang begitu lelah dan hatinya yang terguncang pasti berdampak pada calon anaknya."Sayang, mama yakin kamu juga bisa merasakan apa yang mama rasakan," bisik Aira dalam keheningan. "Maafkan mama jika situasi ini mempen
Aira duduk di depan meja rias yang dipenuhi berbagai macam kosmetik, memandang cermin di depannya dengan senyum manisnya. Ia begitu antusias menyambut ulang tahunnya yang ke-24. Kamarnya dipenuhi aroma wangi parfum bunga yang bertebaran di udara. Dia membuka kemasan lipstik merah marun kesukaannya, memulai merias wajahnya.Dengan penuh teliti, Aira menyapukan foundation di wajahnya, menciptakan dasar yang sempurna. Wajahnya yang cerah dan berseri-seri semakin bersinar. Dia memilih eyeshadow bernuansa peach yang cocok dengan gaun malamnya. Mata coklatnya terlihat hidup ketika dia melingkarkan mascara, memanjangkan bulu matanya yang lentik.Saat Aira memilih gaun untuk pesta ulang tahunnya, matanya terpaku pada gaun panjang berwarna biru pastel yang tergantung indah di dalam lemari. Gaun tersebut memiliki potongan yang elegan, dengan payet yang berkilauan seperti bintang di langit malam. Aira merasa bahwa gaun itu adalah pilihan yang sempurna untuk merayakan momen istimewanya."Gaun ini
Steven yang memperhatikan keberadaan Aira bersama keluarga Andre merasa hatinya teriris. Meskipun dia adalah suaminya, ia merasa seperti seorang pelayan di hari ulang tahun istrinya. Steven ingin mengungkapkan kepada semua orang bahwa Aira adalah miliknya, namun status dan keadaannya yang tidak memungkinkan membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa pasrah dengan semua keadaan saat ini.Ketika Steven berjalan membawa beberapa minuman dalam nampannya, pikirannya tak terfokus membuatnya menabrak seseorang yang lewat. Dengan sigap, Steven memutar tubuhnya agar gelas-gelas tersebut tidak tumpah ke jas tamu itu. Namun, semua gelas di tangannya tumpah dan jatuh ke lantai, menyebabkan pecahan gelas berserakan membasahi lantai dan seragam miliknya.Jika Steven memiliki kekuatan untuk menghilang, ia ingin sekali menghilang. Rasa malu menyelimuti dirinya karena keadaan yang ia alami saat ini. Semua tamu yang hadir di acara ulang tahun Aira memperhatikan kejadian tersebut."Mm … maaf, sa
"Steven," Santi menahan lengan Steven ketika lelaki itu terus melangkah mendekati Aira. Steven, yang tersadar dengan situasi tersebut, menghentikan langkahnya dan berdiri di belakang beberapa tamu yang menghalangi jalannya.Aira menghembuskan napas kesal, ia tidak ingin melihat kedekatan Steven dan Santi lagi. Akhirnya, tanpa menunggu lama, setelah lagu ulang tahun dinyanyikan, Aira meniup lilin dan memotong kue.Suasana pesta semakin meriah dengan tawa dan tepuk tangan. Aira mencoba menjaga senyumnya meski perasaannya masih terombang-ambing oleh rasa kekecewaannya.Setelah selesai memotong kue, Aira berbalik dan berusaha tersenyum kepada tamu-tamu yang bersorak gembira. Namun, pandangannya tidak bisa lepas dari Steven dan Santi yang masih berada dalam jangkauan penglihatannya.Fika yang melihat keadaan itu, menghampiri Aira. "Aira, kamu baik-baik saja?"Aira tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja."Fika mengangguk mengerti dan kembali bergabung dengan tamu-tamu lainnya. Aira berusaha f
"Bangunlah, aku tahu kamu hanya berpura-pura pingsan." Suara Aira menusuk telinga Santi, membuat Santi mengerjapkan matanya. Mata Santi terbuka lebar saat melihat Aira yang tersenyum smirk padanya.Aira bangun dari posisinya dan dengan senyum yang sudah berubah terpahat manis di bibirnya, dia memandang beberapa tamu yang ada di sekitarnya. "Kalian semua tidak perlu khawatir, Santi baik-baik saja." Aira kemudian memandang Fika dan Nita. "Kalian berdua, tolong bawa Santi ke dalam rumah."Fika dan Nita mengangguk dan dengan sigap membantu Santi untuk bangkit dan membawanya masuk ke dalam rumah. Para tamu merasa lega melihat Santi dalam keadaan baik-baik saja. Kerumunan pun mulai mereda dan para tamu kembali menikmati malam tersebut.Anwar, ayah Aira, berjalan ke tengah-tengah para tamu dan meminta maaf atas kejadian yang baru saja terjadi. "Mohon maaf untuk kejadian tadi. Mari kita lanjutkan acara ini," ujar Anwar, berusaha mengembalikan suasana yang tenang.Aira memandang ke arah Steven