Aira menoleh ke arah Andre dengan ekspresi heran. "Apa maksudmu?"Andre tersenyum smirk memasang ekspresi yang membuat Aira bingung. "Nanti juga kamu akan tahu sendiri."Aira memutar bola matanya dengan rasa malas yang mencuat. Dengan tangan dilipat di atas dada, dia memandangi pemandangan dari jendela mobil. Langit di atas tampak mendung, awan hitam mulai menutupinya, memberi pertanda bahwa hujan mungkin akan segera turun.Wanita yang menguncir rambutnya kebelakang itu merasa tidak tenang, terutama saat tadi malam. Ia sama sekali tak bisa tidur. Berbagai pikiran menghantuinya, membuatnya sulit untuk menenangkan pikirannya. Meskipun Steven sudah berusaha membuatnya nyaman dengan memberikan perhatian, namun kekhawatiran itu masih melekat pada pikiran Aira.Mobil melaju melalui jalan yang semakin ramai dengan lalu lintas. Aira merenung, mencoba menggantikan kegelisahan dalam hatinya dengan pemandangan di sekitarnya. Ia hanya bisa berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.Andre menoleh
Aira terduduk lesu di sofa, menjadikan sandaran yang empuk sebagai tempat bersandar untuk tubuh yang lelah. Memejamkan matanya sejenak, ia merasakan kegelisahan hati saat mendengar perkataan Andre tentang rencana perjodohan mereka.Tidak bisa memahami mengapa hidupnya terasa seperti menjadi boneka yang selalu dipermainkan oleh orang-orang terdekatnya, Aira merasa kehilangan kendali atas hidupnya sendiri. Ia hanya ingin dapat menjalani hidup yang sesuai dengan keinginannya, tanpa campur tangan dari siapa pun, termasuk keluarganya.Saat ini, rasa lelah yang membebani tubuhnya terasa begitu besar. Tangannya tidak sadar mengusap perutnya yang masih rata, berkomunikasi dengan calon kehidupan yang hadir di dalam dirinya. Aira merasa sangat bersalah, mengetahui bahwa keadaannya yang begitu lelah dan hatinya yang terguncang pasti berdampak pada calon anaknya."Sayang, mama yakin kamu juga bisa merasakan apa yang mama rasakan," bisik Aira dalam keheningan. "Maafkan mama jika situasi ini mempen
Aira duduk di depan meja rias yang dipenuhi berbagai macam kosmetik, memandang cermin di depannya dengan senyum manisnya. Ia begitu antusias menyambut ulang tahunnya yang ke-24. Kamarnya dipenuhi aroma wangi parfum bunga yang bertebaran di udara. Dia membuka kemasan lipstik merah marun kesukaannya, memulai merias wajahnya.Dengan penuh teliti, Aira menyapukan foundation di wajahnya, menciptakan dasar yang sempurna. Wajahnya yang cerah dan berseri-seri semakin bersinar. Dia memilih eyeshadow bernuansa peach yang cocok dengan gaun malamnya. Mata coklatnya terlihat hidup ketika dia melingkarkan mascara, memanjangkan bulu matanya yang lentik.Saat Aira memilih gaun untuk pesta ulang tahunnya, matanya terpaku pada gaun panjang berwarna biru pastel yang tergantung indah di dalam lemari. Gaun tersebut memiliki potongan yang elegan, dengan payet yang berkilauan seperti bintang di langit malam. Aira merasa bahwa gaun itu adalah pilihan yang sempurna untuk merayakan momen istimewanya."Gaun ini
Steven yang memperhatikan keberadaan Aira bersama keluarga Andre merasa hatinya teriris. Meskipun dia adalah suaminya, ia merasa seperti seorang pelayan di hari ulang tahun istrinya. Steven ingin mengungkapkan kepada semua orang bahwa Aira adalah miliknya, namun status dan keadaannya yang tidak memungkinkan membuatnya tak bisa berbuat apa-apa. Ia hanya bisa pasrah dengan semua keadaan saat ini.Ketika Steven berjalan membawa beberapa minuman dalam nampannya, pikirannya tak terfokus membuatnya menabrak seseorang yang lewat. Dengan sigap, Steven memutar tubuhnya agar gelas-gelas tersebut tidak tumpah ke jas tamu itu. Namun, semua gelas di tangannya tumpah dan jatuh ke lantai, menyebabkan pecahan gelas berserakan membasahi lantai dan seragam miliknya.Jika Steven memiliki kekuatan untuk menghilang, ia ingin sekali menghilang. Rasa malu menyelimuti dirinya karena keadaan yang ia alami saat ini. Semua tamu yang hadir di acara ulang tahun Aira memperhatikan kejadian tersebut."Mm … maaf, sa
"Steven," Santi menahan lengan Steven ketika lelaki itu terus melangkah mendekati Aira. Steven, yang tersadar dengan situasi tersebut, menghentikan langkahnya dan berdiri di belakang beberapa tamu yang menghalangi jalannya.Aira menghembuskan napas kesal, ia tidak ingin melihat kedekatan Steven dan Santi lagi. Akhirnya, tanpa menunggu lama, setelah lagu ulang tahun dinyanyikan, Aira meniup lilin dan memotong kue.Suasana pesta semakin meriah dengan tawa dan tepuk tangan. Aira mencoba menjaga senyumnya meski perasaannya masih terombang-ambing oleh rasa kekecewaannya.Setelah selesai memotong kue, Aira berbalik dan berusaha tersenyum kepada tamu-tamu yang bersorak gembira. Namun, pandangannya tidak bisa lepas dari Steven dan Santi yang masih berada dalam jangkauan penglihatannya.Fika yang melihat keadaan itu, menghampiri Aira. "Aira, kamu baik-baik saja?"Aira tersenyum tipis. "Aku baik-baik saja."Fika mengangguk mengerti dan kembali bergabung dengan tamu-tamu lainnya. Aira berusaha f
"Bangunlah, aku tahu kamu hanya berpura-pura pingsan." Suara Aira menusuk telinga Santi, membuat Santi mengerjapkan matanya. Mata Santi terbuka lebar saat melihat Aira yang tersenyum smirk padanya.Aira bangun dari posisinya dan dengan senyum yang sudah berubah terpahat manis di bibirnya, dia memandang beberapa tamu yang ada di sekitarnya. "Kalian semua tidak perlu khawatir, Santi baik-baik saja." Aira kemudian memandang Fika dan Nita. "Kalian berdua, tolong bawa Santi ke dalam rumah."Fika dan Nita mengangguk dan dengan sigap membantu Santi untuk bangkit dan membawanya masuk ke dalam rumah. Para tamu merasa lega melihat Santi dalam keadaan baik-baik saja. Kerumunan pun mulai mereda dan para tamu kembali menikmati malam tersebut.Anwar, ayah Aira, berjalan ke tengah-tengah para tamu dan meminta maaf atas kejadian yang baru saja terjadi. "Mohon maaf untuk kejadian tadi. Mari kita lanjutkan acara ini," ujar Anwar, berusaha mengembalikan suasana yang tenang.Aira memandang ke arah Steven
Aira mencengkram kedua pinggang Steven ketika Steven menelusupkan lidahnya ke dalam mulut. Aira tidak bisa menahan desiran aneh yang ia rasakan, jantungnya berdebar kencang di dalam dadanya.Dia memejamkan matanya sejenak, tangannya masih erat mencengkram kemeja Steven. Mereka saling melumat dan mengulum satu sama lain, tak bisa dihindari, kejadian dan amarah yang melanda mereka berdua beberapa waktu lalu kini mulai menipis, digantikan oleh perasaan yang mendebarkan satu sama lain.Aira melenguh karena merasa sesak, pasokan oksigen dalam tubuhnya mulai menipis. Steven tak memberinya celah untuk bernapas, meskipun hanya sekejap.Namun, di tengah momen intens itu, Steven merasa perlu memberikan ruang untuk mereka agar bisa bernapas. Dia melepaskan pelukannya, memandang Aira dengan mata penuh intens. "Maafkan aku."Aira, meski masih terengah-engah, mencoba untuk menenangkan dirinya. "Aku … tadi belum selesai bicara."Steven merapikan rambut Aira yang sudah basah kuyup. "Tidak apa-apa. Ki
"Ya Tuhan, apa itu suara Aira?" Fika membekap mulutnya sendiri ketika mendengar suara desahan dari dalam kamar mandi.Pikirannya melayang kemana-mana, ia menangkis lembaran pikiran buruknya terhadap sahabatnya sendiri. Namun, Aira tidak mungkin melakukan hal seperti itu. Fika juga tidak percaya dengan suara desahan yang ia dengar, tapi kini suara itu terdengar begitu nyata dan jelas di telinganya.Fika mencoba meraih gagang pintu kamar mandi. Akan tetapi, ia mengurungkan niatnya. Ia pun segera keluar dari kamar Aira, langkahnya begitu berat, tidak mampu membayangkan apa yang tengah terjadi dengan sahabatnya itu.Setelah berada di luar kamar Aira, Fika menggenggam pagar pembatas begitu erat, berbagai pertanyaan terlintas di benaknya. Apa itu Aira? Apa yang sedang Aira lakukan di dalam kamar mandi? Mengapa Aira bisa mendesah? Dia melakukannya bersama siapa? Dengan perasaan yang begitu sangat gelisah, Fika berusaha mengatasi kebingungannya. Ia memutuskan untuk memberikan Aira privasi da
Beberapa bulan telah berlalu sejak pernikahan Michael dan Fika. Kini, Fika duduk di sofa ruang tamu, menunggu dengan gelisah kedatangan Michael dari kantor. Setiap kali mendengar suara mobil memasuki garasi, hatinya berdegup kencang. Namun, setelah beberapa saat, ketegangan itu berganti menjadi kekhawatiran saat Michael tak kunjung pulang.Fika menyalakan telepon genggamnya, mengecek pesan dari Michael, tetapi tak ada kabar. Waktu terus berlalu, membuat kecemasannya semakin dalam. Selama dua minggu terakhir, dia merasa jantungnya seperti akan copot dari dadanya. Sesuatu yang tak biasa terjadi pada tubuhnya, dan dia mulai curiga akan kehamilan.Fika bergegas menuju kamar mandi, mengambil tespek dari laci. Dengan gemetar, dia membuka bungkusnya dan mengikuti instruksi penggunaan dengan hati-hati. Ketika garis kedua mulai terbentuk, dia terkejut dan hampir tidak percaya. "Aku tidak salah lihat, kan? Ini garis dua, itu artinya aku hamil," gumam Fika, suaranya penuh campuran antara kekaguma
Hari pernikahan Michael dan Fika tiba, dan suasana penuh kebahagiaan menyelimuti rumah mereka. Keluarga dan teman-teman terdekat berkumpul untuk merayakan momen istimewa ini. Taman mereka dihiasi dengan indah, dengan bunga-bunga yang warna-warni menghiasi setiap sudut, menciptakan atmosfer yang mempesona.“Aku begitu deg-degan,” gumam Fika sembari menatap tubuhnya di dalam cermin. Wanita yang sudah mengenakan kebaya berwarna putih itu begitu cantik, bahkan Aira sendiri begitu pangling melihat sahabatnya itu.“Kamu cantik sekali,” puji Aira sambil menyentuh bahu Fika.“Terima kasih, Aira. Oh iya, Santi sama Nita sudah datang belum, ya?”“Sepertinya mereka masih di jalan. Para tamu juga sudah hadir. Apa kamu mau keluar sekarang?”Fika mengangguk. “Boleh.”***Para tamu mulai berdatangan, masing-masing membawa senyuman ceria dan ucapan selamat untuk pasangan pengantin baru. Suasana penuh kehangatan dan kebersamaan terasa begitu kental di udara.Keluarga Michael dan Fika sibuk melayani par
Di ruang tamu rumah orangtuanya, Michael duduk di antara kedua orang tuanya, Carlos dan Emily, sementara Fika duduk di seberang mereka. Suasana terasa tegang, seolah-olah ada sesuatu yang besar akan diungkapkan oleh Michael."Michael, ada apa sebenarnya?" tanya Emily dengan nada cemas. Dia melihat ekspresi serius di wajah anaknya, membuatnya khawatir.Michael menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya mulai berbicara. "Ma, Pa, aku punya sesuatu yang ingin aku sampaikan pada kalian."Carlos dan Emily bertukar pandang, mereka bisa merasakan bahwa ini adalah hal yang penting. Mereka menunggu dengan cemas sambil memperhatikan Michael.“Apa yang ingin kamu sampaikan, Michael?” tanya Carlos."Aku ... aku dan Fika telah memutuskan untuk menikah," ujar Michael dengan tegas.Wajah Carlos dan Emily langsung berubah kaget. Mereka tidak bisa menyembunyikan kejutan mereka atas pengumuman tersebut. "Tunggu sebentar, Michael. Apakah kamu serius?" tanya Carlos dengan suara gemetar.Michael menganggu
Steven segera dilarikan ke rumah sakit setelah insiden tragis tersebut. Paramedis dengan cepat membawa tubuhnya yang terluka ke ambulans, sementara Michael dan Aira duduk di bangku belakang, penuh kecemasan dan ketakutan akan nasib Steven. Di perjalanan menuju rumah sakit, Michael mencoba menenangkan Aira, tetapi kecemasan mereka berdua tidak bisa disembunyikan.“Tenanglah, Aira. Steven pasti akan baik-baik saja.”“Aku hanya takut dia kenapa-napa.”Sesampainya di rumah sakit, Steven langsung diterima oleh tim medis yang siap sedia. Dokter segera memeriksa luka tembakannya, memastikan bahwa kondisi Steven stabil sebelum dibawa ke ruang operasi. Operasi dilakukan dengan cepat untuk mengeluarkan peluru yang masuk ke tubuhnya dan memperbaiki kerusakan yang diakibatkannya.Sementara itu, Aira duduk gelisah di ruang tunggu, menunggu dengan hati yang penuh kekhawatiran. Setiap detik terasa seperti jam bagi Aira, dan kegelisahannya semakin bertambah ketika tidak ada kabar tentang kondisi suam
Steven, Michael, dan Fika akhirnya tiba di tempat yang diduga menjadi tempat penculikan Veline dan Aira. Michael dengan cepat menyuruh Fika untuk tetap berada di dalam mobil, menyadari bahwa situasi di luar sangatlah berbahaya.Namun, Fika bersikeras ingin ikut keluar dari mobil untuk ikut membantu. "Tapi, tapi, aku juga bisa membantu!" protesnya.Michael menatapnya tajam. "Tidak, kamu tetap di sini," ujarnya dengan nada yang tidak bisa ditawar.Steven, yang duduk di sebelah Fika, menambahkan, "Apa yang dikatakan Michael benar. Kamu tetap di dalam mobil saja karena di luar begitu berbahaya."Fika merasa sedikit kecewa, tetapi dia tahu bahwa mereka berdua hanya ingin melindunginya. Akhirnya, dia mengangguk dengan berat hati. "Baiklah," ucapnya pelan.Steven dan Michael lalu keluar dari mobil dengan hati-hati, siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang mungkin terjadi di dalam ruangan tersebut. Mereka berdua saling bertukar pandang, menguatkan satu sama lain dengan keberanian mereka.
Steven merasa seperti jantungnya berdegup kencang di dalam dadanya ketika dia menyadari Aira pergi begitu saja, setelah menerima panggilan telepon dari Andre. Panggilan itu memberitahunya bahwa Veline, anak mereka, dalam bahaya. Steven tidak bisa mempercayai apa yang baru saja terjadi. Dia tidak pernah membayangkan bahwa Andre, akan melakukan sesuatu yang sekejam ini.Dengan gemetar, Steven segera menyalakan mesin mobilnya lagi. Hati dan pikirannya dipenuhi dengan kekhawatiran yang tak terbayangkan. Dia mulai menekan pedal gas dengan keras, dan segera melaju mengikuti taksi yang sudah membawa Aira pergi.“Aku harus mengikuti Aira dari belakang,” gumam Steven, sambil terus fokus mengendarai mobilnya.Di tengah perjalanan, mobil Steven tiba-tiba mogok. Rasa frustrasi dan putus asa menghantamnya, seperti gelombang yang menghantam batu karang. “Sial, kenapa jadi mogok?” Dia mengetuk kemudi dengan marah, mencoba untuk menghidupkan mobilnya kembali, tetapi tidak ada reaksi. Dalam kepanika
Steven yang mendengar kabar itu langsung merasa khawatir. "Apa? Veline hilang?""I-iya, Steven," ucap Aira gugup."Kenapa bisa hilang, Aira?" Terdengar nada suara Steven yang cemas di seberang sana."A-aku yang ceroboh, aku meninggalkannya sendirian saat menerima telepon." Aira berucap seraya berderai air mata.Steven mengusap kasar wajahnya, ia tak habis pikir kepada Aira, kenapa bisa ia meninggalkan Veline sendirian seperti itu.Steven menghela napas gusar. "Ya sudah, aku akan segera pulang sekarang. Tenanglah, kita pasti menemukannya."Setelah sambungan teleponnya terputus, Aryo menghampiri Steven yang terlihat begitu cemas. "Steven, ada apa?" tanyanya."Veline hilang, Aryo. Aku harus mencarinya sekarang juga.""Apa? Kenapa bisa Veline hilang?" Aryo terkesiap, ketika lelaki itu mendengar bila Veline telah hilang."Aira meninggalkannya sendirian ketika ada yang menelponnya, sudahlah, aku harus pergi sekarang." Steven langsung bergegas pergi dari hadapan Aryo."Steven, aku pasti akan
Mata Aira terbuka secara perlahan saat merasakan sinar matahari pagi yang menghangatkan tubuhnya. Meskipun matanya terasa sangat mengantuk, tetapi ia segera bangkit dari dunia mimpi. Wanita itu menyibak selimut dan dengan langkah hati-hati, turun dari tempat tidur. Steven sudah tidak ada di sampingnya, mungkin suaminya telah lebih dulu bangun.Setelah mencuci muka dan menggosok gigi, ia memutuskan untuk menuju kamar putrinya. Seulas senyum terukir di wajah Aira, ketika ia melihat Veline yang sudah bangun. "Sayang, kamu sudah bangun?" Aira segera melangkah menghampiri putrinya, Veline yang masih terduduk di tepi ranjang."Mama, aku sudah bangun. Apa hari ini kita akan pergi main, Ma?" tanya Veline, ketika ia masih ingat bila ibunya sempat mengajaknya untuk jalan-jalan.Aira menyadari bahwa Veline perlu jalan-jalan karena sudah lama, ia tak mengajak putrinya itu jalan bersama. "Uh, ternyata putri mama ini sudah tak sabar untuk jalan-jalan, ya? Apa kamu sudah siap memangnya?" Aira tersen
Di rumah Emily, suasana makan malam berlangsung hangat. Meja yang dikelilingi oleh semua anggota keluarga dan tetangga terdekatnya, mengundang tawa dan canda. Emily, yang menjadi tuan rumah, dengan cermat menyajikan hidangan-hidangan lezat yang telah dipersiapkan dengan penuh cinta.Setelah makan malam selesai, Fika, anak tetangga Emily, dengan ramah menawarkan bantuan untuk membersihkan piring-piring kotor. "Tante, biar Fika yang bantu membersihkan beberapa piring yang kotor ke dapur," ujar Fika sambil tersenyum.Emily mengangguk, bersyukur atas tawaran itu, tetapi kemudian menolak dengan lembut. "Terima kasih, Fika, tapi tidak perlu. Kami sudah memiliki pembantu untuk membersihkan semuanya."Namun, Fika tetap bersikeras. "Tidak apa-apa, Tante. Saya ingin membantu." Dengan tegas, ia mulai mengumpulkan beberapa piring kotor dan membawanya ke dapur.Tiba-tiba, Fika terpeleset. Michael, yang berada di dekatnya, dengan cepat menjangkau untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. Mata mereka