[Apa susahnya mengabariku jika kamu sudah pulang? Aku bahkan merelakan untuk melewatkan tidur siangku hanya untuk menemanimu di rumah sakit.]
Hanna memberi jarak antara ponsel dan telinganya dengan salah satu mata menyipit. Suara Isabelle memekakkan gendang telinga ketika panggilan baru saja tersambung. Tentu saja sesuatu yang dia khawatirkan akhirnya terjadi juga. Marahnya Isabelle tentunya cukup beralasan. Selagi Hanna dirawat di rumah sakit, dia lah yang setia menjaga siang dan malam.
Hanna mendekatkan lagi ponsel itu ke arah telinga setelah memastikan Isabelle menghentikan ocehannya, "Maaf, Isabelle. Bart membawaku tiba-tiba dan aku tidak sempat menghubungimu. Sekali lagi aku minta maaf," sesalnya.
[Sudahlah, aku akan menghubungimu lagi nanti.] Panggilan terputus tanpa ada ucapan perpisahan dari wanita berponi itu. Hanna bisa memakluminya, wajar jika Isabelle kesal. Dia juga tidak bisa menyalahkan art yang cemburu ketika Hanna ingin menghubungi Isabelle s
"Bagaimana ini, Hanna ... Saya semakin tidak bisa jauh darimu," ucap Bart di sela-sela sentuhannya membelai wajah sang istri yang baru saja dia rebahkan ke atas ranjang. Hanna tidak mampu membalas ucapan sang suami, suhu tubuhnya mendadak naik. Sesuatu yang bergelora di dalam tubuh menginginkan sesuatu yang lebih. Namun, dia tidak akan mengatakan itu untuk menjaga reputasinya di hadapan Bart, sebelum Bart sendiri lah yang memulai lebih dulu. "Mengapa semakin hari kamu semakin cantik di mata saya?" Suara Bart terdengar berat bercampur deru napasnya yang mulai tidak beraturan. 'Bukankah memang semestinya seperti itu Bart,' batin Hanna. Wajar sebagai suami, Bart hanya mengagumi istrinya sendiri. Yang salah adalah ketika seorang pria beristri justru memikirkan orang lain. Berulang kali Bart mendaratkan kecupan-kecupan seolah memuja wanita yang berada di bawahnya. Hanna memberanikan diri untuk menatap wajah Bart sehingga kedua pasang mata mereka saling bersitatap. T
"Bibi akan membuatkanmu teh hijau. Setelah meminumnya Bibi yakin kamu akan sedikit lebih rileks," tawar Bibi Helena. Sepertinya Bibi Helena enggan membahas sesuatu yang dia pikirkan sejak kemarin. Diam-diam dia memperhatikan sikap Bart. Terlebih lagi semalam tanpa sengaja dia melihat Bart keluar dari kamarnya dengan terburu-buru. Bibi Helena cukup mengenal pria itu. Jika sudah berada di dalam kamar, tidak ada seorang pun yang bisa mengganggunya, terkecuali Tuan Besar Megens. Dan ... Sophia di masa lalu. Jika bukan Tuan Besar Megens yang meminta Bart untuk datang, maka mungkinkah seseorang yang membuatnya meninggalkan Hanna di malam selarut itu adalah Sophia? Tidak ingin menerka-nerka apa yang sedang terjadi, Bibi Helena berusaha bersikap wajar, meskipun dia tidak bisa mengenyahkan pikiran tentang Sophia. Tidak mungkin wanita itu datang kembali ke dalam kehidupan Bart. Tapi, dengan kehadiran Thomas secara tiba-tiba tidak menutup kemungkinan hal itu juga terjadi dengan Sophia.
Dengan embusan napas kasar, Bart menyambar sweater yang dia bawa semalam, "Tolong kabari aku jika sesuatu terjadi kepadanya," pinta Bart. Tentu saja Bart tidak bisa melepaskan Sophia bersama Tonny begitu saja. Tonny mengibaskan tangan agar Bart segera berlalu. Dia tahu apa yang akan dia lakukan terhadap orang sakit. Jadi, Bart tidak perlu menunjukkan sikap yang berlebihan. Bart melaju membelah jalanan menuju kediamannya. Hanya satu hal yang ingin dia lakukan setelah tiba nanti. Memeluk Hanna dengan erat dan tidak akan pernah membiarkan wanita itu pergi seperti apa yang dikatakan Tonny di rumah sakit tadi. Sesuatu di dalam dirinya memaksa untuk mengatakan betapa dia begitu mencintai Hanna tanpa perlu mencari tahu alasannya. Dia mendesah frustasi, menyalahkan diri sendiri yang begitu egois. Bisa saja dia memberikan pengertian kepada Sophia. Namun, setiap kali melihat pandangan mata Sophia yang memelas, dia seolah tidak bernyali untuk mengatakan sebuah fakta bahwa wanit
Hanna mendesah pasrah. Baiklah dia harus benar-benar kembali mengakui bahwa dirinya terlalu lemah untuk sekedar memberikan penolakan. Tubuhnya sering kali berkhianat dengan keinginannya sendiri. Tangannya seolah bermuatan magnet sehingga dengan mudah bergeser dan menempel ke wajah Bart. Membelainya lembut, merasakan rambut-rambut halus itu di setiap sudut jemarinya. "Tapi ..." ucap Hanna dengan ragu. Jari jemarinya berhenti bergerak-gerak pada satu titik, tepat di atas bibir sang suami. Mata Bart mengerling ke arah dua mata Hanna yang menatapnya begitu lekat, berusaha menyelami perasaan wanita itu, "Tapi apa?" tanyanya penasaran. "Tapi, bagaimana aku bisa memastikan jika kamu tidak akan mengecewakan aku lagi, Bart? Hatiku tidak sekuat yang kamu pikir, suatu hari nanti aku mungkin akan menyerah dengan sikapmu itu." Hanna melepaskan pandangan matanya yang sejak tadi bersitatap dengan kedua mata Bart, lalu mengalihkan tatapan ke arah jempolnya yang mengusa
"Gila!" umpat Tonny di dalam hati. Sepertinya Sophia baru saja menunjukkan gelagat yang mencurigakan. Akan tetapi, Tonny tidak bisa mendengar percakapan yang dilakukan wanita licik itu di dengan lawan bicaranya melalui sambungan telepon tadi. Tonny yakin, sesuatu yang buruk sedang direncanakan oleh wanita itu. Tonny tetap berpura-pura tidur hingga yakin tidak ada lagi yang perlu dia dengar. Namun, Tonny masih berharap akan ada titik terang yang dapat menuntunnya menemukan sebuah kebenaran. Pergerakan Sophia yang terdengar mengendap-endap tentu saja tak lepas dari pengamatan Tonny dalam kepura-puraannya. Dia mendengar suara pintu ruang perawatan terbuka dan tak lama kemudian terdengar bisikan yang tidak begitu jelas. Namun, Tonny yakin seseorang yang datang merupakan salah satu sumber fakta yang berhubungan dengan rencana jahat Sophia. "Sudah kukatakan jangan ke sini. Kamu hanya akan memperburuk suasana," bisik Sophia tepat di depan pintu yang terbuka. Tepat di
Satu hal yang membuat Tonny ingin sekali tertawa saat ini, bukankah Sophia biasanya terlihat sangat lemah saat berhadapan dengan Bart. Bahkan ketika ingin makan saja dia meminta untuk disuapi dengan alasan tangannya yang sering kali gemetaran saat memegang gagang sendok. Tapi, Tonny menyaksikan sendiri seperti apa gesitnya wanita itu ketika menghindar. Tonny terkekeh dalam hati setelah yakin ada sesuatu yang tidak beres dengan wanita itu. Setidaknya, hari ini dia sudah menemukan sedikit petunjuk tentang niat buruk Sophia. Satu hal lagi, dia sangat yakin jika orang yang baru saja datang tadi adalah Samantha. Tonny tidak perlu gegabah dengan langsung mengabarkan hal ini kepada Bart. Dia mungkin akan memberi sedikit waktu sampai benar-benar yakin dan menemukan bukti-bukti yang bisa membuka topeng kedua wanita licik itu. Di dalam kamar, Sophia berulang kali menarik napas panjang. Dia berpikir rahasianya hampir saja terbongkar. Dia menyembunyikan koper itu di tempat yang
Memiliki hubungan pernikahan yang sehat tentunya menjadi sebuah pencapaian yang diinginkan setiap pasangan yang menikah. Bart merasa tidak pernah merasa setenang ini menjalani kehidupan, meskipun hubungan baiknya bersama Hanna baru saja dibangun beberapa jam yang lalu. Dia bahkan hampir melupakan keberadaan Sophia yang terakhir kali dia lihat masih lemah berbaring di rumah sakit. "Hey, bagaimana jika kita berbulan madu?" Bart memeluk Hanna dari belakang saat wanitanya sedang menatap ke luar jendela. Entah apa yang dipikirkan Hanna, sejak tadi wanita itu tak henti untuk tersenyum. Mendengar ajakan Bart membuat Hanna melebarkan kedua matanya kemudian berbalik dengan ekspresi takjub. Pertama kali yang dia lihat adalah deretan gigi-gigi milik Bart berjejer rapi di antara dua bibirnya yang terbuka. Bagaimana mungkin Bart yang dingin bisa bersikap semanis ini. Apakah ini benar-benar sosok pria yang sudah menikahinya ataukah Bart terlahir menjadi manusia yang baru?
Tidak ada yang boleh mengetahui rencananya bersama Sophia. Matthew ingin Bart benar-benar hancur. Hancur dalam segala hal. Selama bertahun-tahun sejak pertemuan mereka yang kacau. Bart sudah menjadi ikon saudara yang buruk di mata Matthew. Dia menginginkan apa yang dimiliki Bart. Harta, ketenaran, bahkan istri yang dimiliki Bart, terlebih lagi wanita yang menjadi istri Bart adalah Hanna, kekasihnya di masa lalu yang masih begitu dia cintai. Mattew melajukan kendaraannya melalui jalan tol yang cukup sepi di waktu-waktu sekarang. Ini merupakan pilihan yang tepat dengan apa yang dia rencanakan. Dari kaca spion yang ditatap Matthew, nampak sebuah mobil minibus milik Tonny mengekorinya dari jarak yang cukup dekat. Matthew mendesis, dia menginjak pedal melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Menyadari itu, Tonny terpancing untuk mengejarnya. Beberapa saat setelahnya, Tonny menyadari bahwa Matthew sengaja melakukan itu untuk melarikan diri karena menyadari tujuannya.
"Hanna, aku membawakanmu es krim," ucap Bart dengan antusias. Hanna melebarkan kedua kelopak mata dengan perasaan terkejut. Baru saja dia merindukan Bart, kini pria itu sudah berada di hadapannya. Hanna melirik ke arah papper bag yang dia yakini berisikan es krim seperti yang dia inginkan. Bart membuka papper bag tersebut setelah menyadari arah fokus mata istrinya itu. Sebuah es krim strawberry dengan warna pink terbungkus sebuah kotak dengan gambar yang menggiurkan. Hanna menelan ludah dengan kasar, dia membayangkan rasa es krim yang masih berada di tangan suaminya. "Apa yang kau lakukan?" ucap Hanna dengan nada sinis. Bart mendekat, meletakkan kotak es krim di atas meja. "Aku sudah memperingatkanmu untuk pergi dari hidupku, 'kan? Untuk apa kau kesini, bukankah semuanya sudah jelas!" Hanna membuang wajah saat Bart tak memutus sedikit pun pandangannya. "Hanna, aku bisa menjelaskan semuanya." Hanna menggigit bibirnya kuat-kuat, dan .."Aw!" Bibirnya berdarah bersamaan dengan suar
"Aku dan Hanna sempat bertemu dan dia memelukku. Aku pikir dia sudah memaafkankau. Kalian tahu bagaimana aku sangat merindukannya. Aku bahkan sampai menyusulnya ke sini karena tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku tak tahu jika Hanna sedang mengandung anakku. Aku bahkan berpikir dia memiliki hubungan khusus bersema pria lain dan melupakanku begitu saja," ucap Bart penuh sesal. "Pria yang menjadi salah satu korban ledakanitu?" sahut Tuan Megens bertanya."Ya, namanya Paul. Dia pernah mengancamku di awal pernikahanku bersama Hanna. Yang kutahu dia pernah mencoba untuk mendekati Hanna sa-saat Sophia kembali." Bart merasa tak nyaman saat menyebut nama Sophia seolah kenangan buruk itu kembali berputar di dalam ingatan. Kenangan di mana dirinya sudah melukai istrinya sendiri dengan mengabaikan wanita itu dan memilih untuk menemani wanita lain. Wajah Tuan Megens berubah masam saat mendengar putranya menuduh istrinya sendiri memiliki hubungan bersama pria lain, padahal wanita
Bart melangkah perlahan saat posisinya sudah benar-benar dekat dengan tirai pembatas antar brankar pasien. Dia kemudian menyibak tirai tersebut dnegan rasa gugup yang entah mengapa semakin tak terkendali. Jantungnya bertalu dengan kencang. Bahkan Bart sempat memegangi dadanya yang terasa nyeri. Napas pria itu berembus cepat dan pendek. Bart seolah tak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Saat tirai terbuka, tubuh Bart seolah membeku, hawa dingin menjalar hingga dia tidak merasakan pijakan lagi. Bart tercengang untuk beberapa saat ... "Bart! Bart! Kumohon jangan tinggalkan aku lagi!" Hanna menjerit saat mendapati Bart yang terkulai tak berdaya di hadapannya. Padahal ini adalah momen dimana mereka kembali dipersatukan, setelah sekian lama keduanya tak saling besitatap. Hanna mengabaikan luka dan lebam di tubuhnya. Dia beranjak dari brankar untuk meraih tubuh sang suami yang sudah tak menjawab panggilannya. "Bart kumohon! Bangunlah! Bertahanlah untuk aku dan bayi kita." Hanna benar-be
Bart merasa harga dirinya tercederai karena telah membiarkan Hanna hamil seorang diri. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui hal itu dan bagaimana Hanna menjalani hari-harinya bersama buah cinta mereka tanpa kehadiran Bart. Terbayang wajah Hanna yang menjalani masa-masa sulit dan menyembunyikan kehamilannya, padahal mereka begitu ingin memiliki keturunan sejak menyadari perasaan mereka di awal pernikahan. "Terima kasih, Issabelle," ucap Bart kembali merangkul Isabelle yang masih terisak mencoba menerima kenyataan pahit yang dia alami. Dia tidak menyangka jika Hanna mengandung anaknya dan tetap menjaga janin tak berdosa itu meski Bart sudah membuatnya terluka berulang kali. Apakah itu sebuah sinyal bahwa mereka bisa bersatu kembali, terlebih lagi berkas pembatalan pernikahan mereka berdua masih bisa dicabut dari pengadilan. Kali ini Bart tak akan membiarkan kesempatan itu hilang, dia ingin kembali bersama Hanna dan memperbaiki segala kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu. Ba
Di tempat lain, Bart dan Tonny mendarat di Bandar Udara Heathrow Britania Raya beberapa jam yang lalu. Keduanya terlihat tergesa-gesa saat mendapatkan panggilan telepon salah satu orang kepercayaan Bart. Namun, saat ini mereka tidak bisa diandalkan karena ternyata Samantha pergi ke negara itu tidak seorang diri saja. Dia memiliki penjagaan dan sepertinya wanita itu tahu bahwa Hanna juga memiliki banyak orang yang melindunginya. "Kami baru saja melumpuhkan orang-orang kepercayaan Nona Samantha, tapi kepolisian setempat menghentikan langkah kami untuk mengejar wanita itu__""Ini semua salahmu bod**, kau membuat keributan hingga kita menjadi pusat perhatian," ucap salah seorang bodyguard kepada temannya yang diberikan tugas untuk menjaga Hanna selama berada di Inggris. Nampaknya orang-orang suruhan Bart sedang saling menyalahkan satu sama lain atas apa yang mereka alami. Mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian akibat keributan yang sudah mereka ciptakan di tempat umum. Bart me
Bart tiba-tiba saja merasa sangat mengkhawatirkan Hanna, padahal sebelumnya dia begitu cemburu hingga ingin membatalkan pernikahan mereka. Ternyata apa yang dia khawatirkan terjadi juga. Namun Bart tak pernah menduga jika Samantha secepat ini mengetahu keberadaan Hanna. "Jika begitu, biar aku mendampingimu ke sana. Aku juga ingin meluruskan sesuatu," ucap Tonny.Bart mengangguk kemudian menyambar jasnya yang menggantung di sandaran kursi lalu bergegas meninggalkan ruang kerja miliknya. Dia tak butuh mempersiapkan apa pun termasuk pakaian yang akan dia bawa ke London. Malam itu juga Bart dan Tonny memutuskan untuk pergi menyusul Hanna. Di perjalanan menuju lapangan udara, Tonny mengambil alih kemudi mobil sementara Bart sibuk dengan banyak panggilan yang masuk ke dalam ponselnya. Tentu semua yang dibahas adalah tentang Samantha. Bart menggenggam ponsel dengan frustasi, memantau dari jarak jauh melalui orang-orang kepercayaan yang dia tempatkan di London untuk melindungi istrinya di
"Apakah itu cara yang adil bagimu?" Isabelle menunduk sejenak kemudian melanjutkan kata-katanya, "Bukankah aku terlihat egois jika pergi demi orang lain?"Selama beberapa menit ruang utama unit apartemen milik Isabelle terasa hening. Isabelle dan Tonny saling berpandang dalam diam. Jarak mereka sudah tak sedekat tadi sehingga keduanya bisa melihat dengan jelas mimik wajah dan gestur tubuh masing-masing."A-apa kita masih sepasang kekasih?" Isabelle kembali bersuara dengan terbata-bata, menatap dalam kedua mata sendu Tonny, berharap sebuah jawaban yang membuatnya memiliki jaminan untuk bisa kembali nantinya. Egois memang, tiba-tiba Isabelle menyadari bahwa meninggalkan Tonny demi Paul adalah sebuah kebodohan. Namun, jika saat bersama Tonny tapi hati dan pikirannya selalu tentang Paul, maka hal itu justru tidak baik. Isabelle semakin dilanda kegamangan."Jika menurutmu demikian, aku tak keberatan," ucap Tonny tertawa kecil."Tapi, kau sudah tahu 'kan perasaanku. Aku mencintaimu tapi ti
Tak seperti biasanya kota Amsterdam pagi ini terlihat cerah, padahal sepanjang tahun langit selalu ditutupi awan hingga membuat terik matahari enggan menyentuh permukaan bumi. Namun, berbeda dengan hari ini, hangat dan sangat mengangumkan bagi penduduk Amsterdam yang menganggap hal ini merupakan momen langka sejak beberapa dekade.Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Isabelle. Hangatnya kota Amsterdam tak mampu menghangatkan hatinya. Dia bersama Tonny menghabiskan akhir pekan dengan berjemur di pantai. Saat bersama pria itu, pikirannya justru sedang berada di Inggris. Berulang kali ponselnya berbunyi tanda bahwa wanita itu sedang berkomunikasi menggunakan aplikasi hijau bersama Hanna. "Aku merindukanmu, Isabelle. Paul sangat baik dan sangat perhatian padaku, tapi semuanya terasa berbeda saat kau jauh. Kapan kau akan menyusul?" ucap Hanna melalui pesan singkat yang dia kirimkan. Isabelle menatap nanar pesan tersebut dengan senyum pahit. Baru saja dia mendapatkan pesan gambar yang d
Air wajah Isabelle mennjukkan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tiap kali dia menyebut nama Paul, darahnya berdesir. "Aku tidak keberatan samasekali asalkan aku bisa pergi." Hanna menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Cinta itu mungkin masih ada, tapi kadar kekecewaan tentu sangat besar. Setelah pemberitaan yang dia lihat malam itu, dia enggan untuk melihat televisi samasekali. Bahkan, Hanna bertekad untuk tidak berselancar di media sosial untuk menghindari luka yang menganga di dalam hatinya tersiram air garam lagi. Isabelle tersenyum tipis atas ucapan Hanna yang dia dengar, "Baiklah, aku akan segera mengaturnya. Tonny, bisakah kau menemani Hanna sebentar?""Aku akan tidur sebentar di sini," ucap Tonny menjatuhkan bokongnya di atas sofa sebagai tanda persetujuan. Isabelle pergi dengan wajah gusar. Tonny tak bertanya ke mana dia akan pergi sehingga Isabelle tak perlu menjelaskan apa pun. Dia melangkah ke lobby rumah sakit untuk menemui Paul. Dia sengaja melakukan hal it