Home / Romansa / Pengantin Kedua Sang CEO / CHAPTER 1 (Mari Bercinta)

Share

Pengantin Kedua Sang CEO
Pengantin Kedua Sang CEO
Author: Madam Assili

CHAPTER 1 (Mari Bercinta)

Author: Madam Assili
last update Huling Na-update: 2021-08-16 16:42:17

"Jangan pernah menjanjikan begitu banyak kebahagian, aku takut suatu hari justru akan membuat kita saling membenci." Genggaman tangan terurai, sepasang kekasih sedang mengucap sebuah kata perpisahan tepat di pintu masuk sebuah bandara internasional Schipol, Amsterdam.

Hanna--wanita berperawakan tinggi, sesuai dengan ras kaukasoid. Berkulit cerah dengan rambut blonde tergerai menutup punggungnya hingga hampir menyentuh pinggang dengan wajah sendu mengucapkan kata-kata itu kepada Mathew tanpa memutus tatapannya.

Bukan ... bukan berarti dia tidak mencintai kekasihnya itu. Justru dia takut jika cinta membuatnya berharap terlalu tinggi, tapi mungkin bisa saja membuatnya sakit saat terjatuh suatu hari nanti.

"Aku akan menunggumu." Kalimat terakhir yang dia ucapkan dengan bibir yang bergetar.

Usia jalinan kasih yang telah bertaut sejak dua tahun yang lalu, bukanlah waktu yang singkat bagi keduanya. Kini, Hanna harus rela bersabar menanti kepulangan Matthew setelah pria itu menyelesaikan pendidikan kedokteran yang mungkin akan terwujud hingga enam tahun ke depan.

Enam tahun kemudian.

"Ada yang ingin menjelaskan sesuatu?" Sepasang mata indah berkilat menatap penuh amarah ke arah dua manusia yang sangat dia kenal. Wanita berusia 24 tahun, berperawakan tinggi dengan iris mata berwarna hazel itu tadinya dengan antusias pergi ke sebuah klinik kandungan untuk memeriksakan kesehatan rahimnya.

Sesuai dengan rencana yang disusun sejak beberapa tahun yang lalu, dia dan sang kekasih--Matthew akan melangsungkan pernikahan di tahun ini. Bahkan keduanya sudah berencana untuk memiliki keturunan setelah menikah nanti.

Namun, kunjungannya di klinik tersebut justru membuat Hanna harus menelan pil pahit. Matthew, seorang pria muda berusia tiga puluh tahun, berprofesi sebagai dokter umum yang sukses di awal karirnya. Pria itu tak lain merupakan kekasih yang telah dipacarinya selama bertahun-tahun. Kini sedang bersama wanita lain di klinik kandungan yang sama.

Dia adalah Clarissa, adik perempuan dari Tuan Abraham--pria yang selama ini selalu dia panggil dengan sebutan 'Ayah', dan kini baru Hanna sadari jika wanita berusia 37 tahun itu terlihat dengan perut sedikit membuncit. Hanna mencoba bersikap tenang dengan apa yang dia saksikan. Sejak setahun terakhir dia memang sudah merasakan hal terburuk akan terjadi di antara dirinya dengan Matthew. Sebab, pria yang sudah memperoleh kesuksesan berkat dukungan Hanna di masa lalu itu, terlihat menunjukkan perubahan sikap tak biasa.

Hanna menatap lekat sepasang penghianat yang berdiri tanpa perasaan bersalah di hadapannya itu. Seringai kebencian terbit di wajah cantik Hanna, sedangkan senyum ejekan tipis tergambar jelas dari wajah Clarissa. Wanita itu mengibaskan sebuah amplop yang berasal dari hasil pemeriksaannya dengan mata yang menatap ke sembarang arah, sementara Matthew menatap sinis wajah Hanna layaknya seorang musuh.

Ah! Ke mana wajah teduh penuh cinta yang dulu selalu disuguhkan lelaki itu? Kenyataan ini menghantam jiwa Hanna hingga ke dasar bumi. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Semua terjadi begitu saja bahkan di saat dirinya masih begitu mencintai Mathew.

Tanpa malu, Clarissa menyerahkan amplop tersebut ke tangan Hanna yang masih menatapnya tajam. Secara naluriah, Hanna menjatuhkan pandangan ke arah amplop yang berada di tangannya.

"Akhem ... ini benar-benar sebuah kabar baik." Hanna tersenyum tipis dengan wajah yang tenang setelah memastikan jika itu adalah hasil rekam ultrasonografi milik Clarissa.

"... Tapi aku rasa, aku cukup beruntung karena sudah terlepas dari dua orang pembohong yang pandai bermain drama seperti kalian. Bukankah selama ini kamu berada di luar negeri, Matthew?" Hanna menaikkan kedua alisnya.

"... Ah, ya aku mengerti. Tanteku yang sudah berumur ini rupanya tidak cukup percaya diri untuk mendapatkan pria lain selain kekasih milik keponakannya sendiri." Mata itu kembali menyipit ke arah Clarissa yang sedang menunjukkan wajah angkuh.

"Pttt ..." Hanna menutup kedua mulutnya dan menunjukkan gestur tubuh yang seolah-olah ingin tertawa mengejek, membuat Clarissa geram, sebelum dia kembali melanjutkan kata-katanya.

"Dan kamu ..." Hanna mengarahkan jari telunjuknya ke hadapan wajah Matthew, "Seorang pengkhianat memang lebih pantas bersama seorang penggoda." Kali ini tatapan jijik yang dilayangkan Hanna menghujam tepat ke arah pandangan Matthew. Wajah Clarissa yang tadinya terlihat mengejek berangsur-angsur mengendur dengan hati yang seolah tercubit.

Hanna melangkah pergi meninggalkan sepasang manusia menjijikkan itu untuk menuju kediamannya. Berjalan sambil mengibaskan kedua tangan di wajah untuk mendapatkan oksigen lebih banyak, karena tentu kejadian tadi membuat dadanya sesak.

Kecewa? Tentu saja, bahkan bisa dikatakan apa yang dia rasakan saat ini adalah lebih dari sekedar rasa sakit itu. Namun, sebagai wanita berpendidikan, tentu Hanna tak perlu melakukan hal-hal yang konyol dan terlihat menyedihkan di hadapan kedua orang yang pernah dia sayangi di masa lalu.

Sebagai seorang yang mandiri, Hanna lebih memilih untuk tinggal sendiri di dalam sebuah apartemen pribadi. Apartemen yang dihadiahkan mendiang kakek--pria tua yang menghadiahinya sebuah keluarga yang hangat setelah dirinya diadopsi dari sebuah panti asuhan belasan tahun yang lalu. Namun sang kakek kini sudah tidak mampu melindunginya lagi setelah pria tua itu pergi untuk selama-lamanya pekan lalu. Kepergian sang kakek meninggalkan luka yang belum mengering di hati Hanna hingga saat ini, dan sayangnya luka itu kini semakin parah setelah apa yang baru saja dia alami.

Sesaat ketika dia tiba di kediamannya, terdengar suara ketukan pintu yang cukup keras.

"Ayah ..." Begitu pintu dibuka, Hanna dengan matanya yang sedikit membengkak menyapa orang yang selama ini telah merawatnya semenjak ia kecil, "Maaf aku belum sempat mengunjungimu, Ayah," ucapnya tulus.

Pria itu datang dengan raut wajah yang berbeda. Ada perpaduan kesedihan dan amarah yang tergambar secara bersamaan, "Bisakah kau berhenti memanggilku dengan sebutan 'Ayah'?"

"Ayah ...?" Hanna tersenyum getir tepat di hadapan wajah Tuan Abraham.

"Aku tahu, kehamilan Clarissa bersama Matthew telah melukaimu. Tapi tidak seharusnya kamu mengatai mereka dengan ucapan-ucapan buruk, apalagi di depan umum. Jika Matthew lebih memilih Clarissa, maka kamu harus menghargai keputusannya." Wajah pria berumur itu memerah. Sejujurnya, dia tidak ingin berada di situasi seperti ini. Clarissa adalah adik satu-satunya yang dia miliki, sementara Hanna hanyalah seorang anak angkat.

Pria itu menghela napas sejenak, sebelum melanjutkan perkataannya, "Mereka akan segera menikah. Terlebih lagi Clarissa sedang mengandung penerus keluarga Abraham. Sementara kamu ..." Tuan Abraham menghentikan ucapannya, kemudian melangkah untuk meninggalkan Hanna. Tanpa ada yang menyadari bahwa pria berumur itu meneteskan air mata secara diam-diam. Rasa sakit itu hadir di saat dia ingin mengucapkan kata-kata terakhir untuk putri yang begitu dia cintai.

Sebelum meneruskan langkahnya, Tuan Abraham berbalik dan memperingatkan Hanna, "Aku tidak punya daya untuk mempertahankan kamu meskipun aku ingin.

Hanna Georgiana Abraham, mulai sekarang tanggalkan nama 'Abraham' di belakang namamu," ucap pria itu dengan tegas.

Hanna melebarkan kedua kelopak matanya. Dia masih belum mampu untuk menangis atau memberikan reaksi lebih dari ini. Hanya karena dia bersikap ketus terhadap kedua penghianat di depan matanya, dia justru ditendang keluar dari keluarga besar Abraham. Sefatal itukah akibatnya?

"Hiduplah lebih baik, Hanna. Aku yakin kamu bisa." Tuan Abraham melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti, sementara Hanna menatap kepergiannya dengan hati yang remuk.

***

"What the f*** are you talking about, Hanna?" Isabelle menutup mulutnya yang masih menganga dengan kedua telapak tangan. "Kamu tidak sedang bercanda, 'kan?

Hanna menyesap Green Juice yang berada di hadapannya dengan santai, "Yah ... Seperti yang aku ceritakan padamu tadi. Aku langsung kembali ke apartemenku dan membawa apa yang memang menjadi milikku lalu pergi begitu saja." Wajahnya terlalu tenang untuk seukuran orang yang baru saja mengalami kejadian yang tidak menyenangkan.

"Lalu kamu masih bisa bersikap setenang itu?" Isabelle menarik kursi untuk semakin medekati posisi Hanna saat ini.

"Kenapa kamu menatapku seperti itu? Jangan katakan jika kamu adalah penyuka sesama jenis." Hanna menatap Issabelle penuh selidik.

"Ck ... Gadis bodoh." Issabelle memutar bola matanya.

"... Aku terlalu menggairahkan jika hanya untuk menyukai dirimu. Potensiku untuk mendapatkan pria-pria tampan dan kaya lebih besar dari pada penyuka sesama jenis."

Hanna terkekeh melihat reaksi Isabelle. Padahal dirinya tadi hanya bercanda.

"Lalu langkah apa yang akan kau ambil?" Isabelle kembali menatap Hanna yang masih terlihat santai.

Hanna mengendikkan kedua bahunya, "Menurutmu apa yang akan dilakukan seorang tuna wisma sebatang kara sepertiku?"

"Apa kamu masih akan menjalankan tugasmu di perusahan Tuan Abraham?"

"Kamu pikir aku rela mengemis di hadapan mereka? Sejak aku melangkah pergi dari kediaman mereka, sejak itu juga aku harus menanggalkan nama Abraham di belakang namaku," ucap Hanna tak bersemangat.

"Ck! ... Malang sekali nasibmu, Kawan!" Isabelle miris menyaksikan wajah murung sahabatnya.

"Aku akan mencari tempat tinggal sementara. Mungkin masih ada kontrakan kecil yang layak untuk ditempati." Hanna tau, wanita berponi di hadapannya itu terlahir sebagai keluarga kaya. Tapi tak sedikitpun di dalam benak Hanna untuk meminta bantuan dari Isabelle.

"Bagaimana jika kuberikan pinjaman? Kamu bisa mencari tempat tinggal yang layak dan membangun usaha kecil. Buktikan kepada si brengsek Mathew bahkan kamu bisa bangkit meskipun sudah diinjak-injak!" Isabelle terlalu bersemangat bahkan dengan lantang berucap dan berdiri hingga membuat beberapa pasang mata menatap aneh dirinya.

Hanna mendongak risih melihat perilaku sahabatnya yang sedang berdiri angkuh. "Tidak ... Tidak, aku tidak suka berhutang. Aku masih bisa membiayai hidupku sendiri. Kamu jangan kha ...."

Belum sempat Hanna menyelesaikan kalimatnya, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Terlihat sebuah pesan dari seseorang yang bernama 'Ayah' di layar itu.

("Semua fasilitas sudah dibekukan, kecuali mobil peninggalan Kakek. Gunakanlah, dan belajarlah untuk melupakan kami. Maaf, Clarissa mengancamku. Jika tidak, dia akan menggugurkan kandungannya.")

Wajah Hanna berubah muram seketika dengan mata yang berembun.

"Kenapa?" Isabelle yang menyadari perubahan raut wajah Hanna segera merebut dan melihat isi pesan yang ditampilkan di layar ponsel Hanna.

"Ayolah! Setidaknya kamu tidak akan tidur di jalan malam ini. Jangan menyusahkan dirimu sendiri," bujuk Isabelle.

Hanna bergeming, tatapannya masih lekat mengarah ke layar ponsel. Isabelle sejenak berpikir dan mengedarkan pandangan ke sekitar kemudian berbisik, "Lihat pria tampan yang ada di belakangmu."

Naluri Hanna membuatnya menoleh seketika. Benar saja, pria itu sangat tampan dengan setelan kemeja biru laut yang dia kenakan. Bagaimana bisa sedari tadi Hanna tidak menyadari keberadaannya.

Pria itu melihat tatapan Hanna yang memperhatikannya sekilas. Hanna yang merasa terciduk seketika membalikkan pandangannya ke arah Isabelle. Matanya memelototi Isabelle membuat sahabatnya itu terkekeh.

Isabelle mendekat dan berbisik ke telinga Hanna, "Sepertinya dia bukan orang sembarangan. Lihat jam Rolex mewah edisi terbatas yang dia kenakan."

Sekali lagi Hanna melirik pria itu setelah terpancing dengan ucapan Isabelle disusul dengan timbulnya kerutan di antara kedua alisnya seolah ingin berucap pada Isabelle, 'Apa tujuanmu mengatakan itu?'

Ide konyol itu muncul begitu saja. "Aku akan memberikanmu tantangan. Jadi kamu tidak perlu berhutang padaku" tawar Issabel yang mengerti akan maksud raut wajah yang ditampakkan Hanna.

Hanna menaikkan kedua alisnya, sebelum Isabelle melanjutkan kata-katanya, "Aku akan menghadiahimu satu juta Euro jika kamu berhasil mengajak pria itu bercinta," ucap Isabelle secara mengejutkan.

"Tawaran yang menarik! Tapi idemu sungguh gila, Isabelle. Aku bahkan tidak pernah berniat untuk melakukannya, apalagi dengan pria asing," ucap Hanna dengan mengibaskan tangan tanda penolakan.

"Jika kamu belum mencoba, kamu tidak akan pernah tahu hasilnya. Bisa saja uang satu juta Euro itu akan menjadi milikmu hari ini. Jika dia menyambut tawaranmu dan kamu berubah pikiran setelahnya, maka aku akan memberikan setengah dari hadiah yang kujanjikan. Kamu tidak perlu bercinta sungguhan, gadis bodoh!" Isabelle menatap Hanna dengan antusias.

"... Tapi jika kamu ingin mencoba berbagi keringat dengan pria tampan itu, aku akan mendukungmu!" goda Isabelle sambil menggigit bibir bawahnya dengan nakal. Dengan gigih dirinya meminta Hanna yang masih terfokus pada minuman di hadapannya. Tentu ini hanyalah cara Isabelle untuk memberikan sedikit bantuan kepada sang sahabat, mengingat Hanna enggan menerima pemberian Isabele secara cuma-cuma.

"Baiklah aku akan mengambil tawaran yang kedua. Memintanya bercinta lalu membatalkannya, semoga saja dia menolakku." Senyum tipis tergambar di wajah cantik Hanna. Sepertinya wajah muram yang sempat menghiasi wajahnya tadi sudah hilang entah ke mana.

"... Tapi ini terakhir kalinya aku menginjakkan kaki di tempat ini jika dia menolakku! Aku lebih tertarik untuk mendapatkan setengah dari hadiahmu saja, tanpa harus bersusah-susah bercinta dengan pria asing." Sekali lagi Hanna memantapkan ucapannya. Dia kemudian berdiri dan merapikan penampilannya.

Sebagai wanita yang akan menggoda pria di belakangnya, tampilan Hanna terbilang sangat mendukung dan peluang keberhasilan cukup besar. Bahkan, jika disandingkan dengan model sekalipun, tetap Hanna-lah yang lebih cantik.

Tubuh ramping dengan rambut bergelombang yang panjang. Untuk wajah? Ya, bisa dibayangkan begitu banyak para wanita yang insecure melihat kecantikannya.

Menepis keraguan, Hanna mendekati pria tampan itu dengan pasti. Sementara Isabelle merasakan kegugupan yang sulit untuk dia kendalikan secara tiba-tiba. Nampak jelas tangannya sedikit gemetar dengan peluh yang mulai membasahi jidat. Khawatir jika tantangan yang dia berikan justru akan mempermalukan sahabatnya sendiri. Kenapa tadi dia tidak berpikiran seperti itu. Justru di saat-saat genting seperti ini Isabelle menyesal dan baru menyadari.

"Sepertinya jelang musim dingin akan ada banyak penikmat wine yang berkunjung ke sini. Jadi, bolehkah aku menraktirmu hari ini, pria tampan?" Sebenarnya Hanna tidak serius melakukan tindakan konyol itu. Dia hanya ingin mengikuti permainan yang ditawarkan Isabelle. Sikap Hanna membuat Isabelle menggapit kedua bibirnya dengan rasa was-was yang tidak bisa digambarkan.

Pria itu menatap Hanna yang mendaratkan tubuh duduk tepat di sampingnya. "Pst ... Tuan." Hanna mengarahkan bibir ranumnya ke arah telinga pria itu dengan intim dan ... sedikit nakal.

"... Maukah kamu bekerja sama denganku? Aku sedang melakukan tantangan berhadiah. Jika kamu bersedia bekerja sama, kita bisa membagi hadiahnya." Dia mengedipkan sebelah mata ke arah pria itu.

Tanpa mendapatkan persetujuan dari pria itu, Hanna mengulurkan tangan. Di detik selanjutnya, dia bersuara lebih keras dari sebelumnya, "Perkenalkan! Aku Hanna.

"Bagaimana jika kita bercinta?" Hanna mengucapkan kalimat lanjutan sedikit lebih pelan karena khawatir dirinya akan menjadi pusat perhatian. Namun, ucapannya masih jelas terdengar di telinga Isabelle.

"Boss!" teriak salah seorang bartender yang secara tiba-tiba mengalihkan perhatian keduanya. Pria yang mengenakan apron hitam itu mendekat dengan senyum terkembang.

"Lama tak berkunjung ke sini. Apa kau sudah melupakan club milikmu ini?" Pria itu melirik ke arah Hanna sekilas.

Tak ada jawaban baik dari pria tampan itu maupun Hanna. Jika sang pria tampan hanya menunjukkan raut wajah yang santai, tapi tidak bagi Hanna. Tiba-tiba saja dirinya merasakan sebuah sinyal yang memaksanya untuk meninggalkan pria itu.

"... Ah, maaf sepertinya aku datang di saat yang tidak tepat. Panggil aku jika kau membutuhkan sesuatu," ucap bartender sambil beringsut mundur dengan sebuah kedipan mata yang dia hadiahkan untuk Hanna yang kini terlihat kikuk. Bukankah baru saja pria itu mengatakan pria yang akan dia traktir barusan adalah pemilik club ini? Lalu, tidakkah memalukan jika pria itu mendengar tawarannya tadi? Hanna seolah kehilangan muka yang tidak mungkin bisa dia sembunyikan lagi saat ini.

Mga Comments (4)
goodnovel comment avatar
Lan Tak Kau
cerita yang menarik, sy suka...
goodnovel comment avatar
Aroanto Pasungku
ceritax seruh buat yg baca selalu penasran
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
menarik sih ceritanya.. mau follow akun sosmed nya dong kalo boleh?
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

  • Pengantin Kedua Sang CEO   CHAPTER 2 (Jangan Menyesali Keputusanmu!)

    Isabelle menahan napas dan memejamkan mata saat mendengar kata-kata itu meluncur bebas dari mulut tak tahu malu sahabatnya. Tapi, bukankah dia sendiri yang memberikan tantangan konyol itu? Tak berselang lama kesadaran Hanna kembali ke tempat yang semestinya, setelah kalimat bodoh itu dia ucapkan, perasaan malu yang luar biasa menyerangnya membabi buta. Baginya, kabur adalah keputusan yang paling tepat saat ini. Jika bisa memutar waktu, tentu Hanna akan menolak tantangan konyol itu. Bagaimana tidak? Pandangan mata pria itu seolah menyiratkan kalimat 'betapa tak tahu malunya kamu, Nona'. Apalagi wajah tampannya yang baru Hanna sadari, sudah pasti pria itu bukan orang sembarangan yang dengan suka hati menerima kehadiran orang asing. Hanna berdiri untuk pergi dan kalau boleh dia ingin berlari sekencang mungkin. Namun, pada detik selanjutnya tangan kekar sang pria tampan memegang lengan Hanna untuk menghentikan niat gadis yang sudah kehilangan muka itu. "

    Huling Na-update : 2021-08-16
  • Pengantin Kedua Sang CEO   CHAPTER 3 (Janji Nikah)

    "Gila! Apa yang baru saja aku lakukan? Menggoda pria asing lalu menikah di hari yang sama? Bahkan aku sendiri tidak menyangka akan menjadi pengantin keduanya. Apa itu artinya dia sudah menikah dan hanya menjadikanku sebagai seorang wanita simpanan?" Hanna bermonolog di dalam hati dan merutuki kebodohannya sendiri. Masih ada waktu untuk membatalkan ide konyol ini. Tapi, pria itu sudah buru-buru mengatakan bahwa tidak ada kesempatan untuk berubah pikiran. "Aku yang sedang gila atau pria itu yang gila? Hingga suka rela menerima tawaranku tadi?" Masih tak habis pikir dengan kejadian yang sedang berlangsung saat ini. Di sini, tepat di teras kantor catatan sipil. Hanna terdiam menghentikan langkah kecilnya. Bart merasakan wanita di sisinya tak bergerak. Dia melemparkan pandangan ke sisi kanannya, tepat di posisi Hanna berdiri saat ini. "Saya tunggu di dalam." Pria itu pun berlalu dengan wajah datarnya. Wajah gusar yang ditampakkan Ha

    Huling Na-update : 2021-08-17
  • Pengantin Kedua Sang CEO   CHAPTER 4 (Suasana Baru)

    "Bagaimana menurutmu tempat ini?" Hanna memindai setiap sudut ruang appartement yang baru saja disewanya. Untuk seorang single woman seperti Hanna, ruang appartement seperti ini cukup luas. Dengan desain interior modern, memiliki dua kamar tidur yang masing-masing terkoneksi dengan toilet pribadi. Bukan pemborosan, tapi memang hanya tipe ruang itulah yang tersisa untuk saat ini. "Cukup bagus, bahkan jika suami tampanmu datang nanti, kalian akan leluasa berpindah-pindah untuk variasi bercinta. Di kamar, di dapur, atau mungkin kau ingin mencobanya di balkon." Kalimat provokatif itu dengan mudahnya meluncur dari bibir manis Isabelle. Hanna hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Mimpi saja," ucapnya lirih. Isabelle menelisik wajah Hanna dan tersenyum mengejek, "Diam-diam rupanya kau juga mendamba." Tawa Isabelle mengakhiri kalimat itu. Hanna hanya mengepakkan tangan ke udara dan berlalu. Tidak akan ada habisnya jika terus meladeni kata-kata cabul Isabelle. Ruang apartemen itu sudah di

    Huling Na-update : 2021-08-17
  • Pengantin Kedua Sang CEO   CHAPTER 5 (Berita Infotainment)

    Isabelle menarik pergelangan tangan Hanna menuju sofa yang tepat berada di depan televisi berukuran lima puluh inchi. Sejenak, Hanna melupakan kebingungan yang sempat dia rasakan perihal pakaian satin yang saat ini masih dia kenakan. Sedikit terhuyung ketika Isabelle menarik tangannya dengan paksa. Namun, Hanna seolah patuh mengikuti langkah Isabelle. "Lihat!" Isabelle menyalakan televisi dan memilih saluran infotaintment, "Tidakkah kamu ingat siapa wanita itu?" Isabelle menatap layar televisi dan wajah Hanna secara bergantian. "... Sejak semalam hingga pagi ini hanya wajahnya yang terlihat di acara televisi. Karena itulah aku datang menemuimu." Hanna mengamati wajah seorang wanita yang cukup cantik menurutnya. Wanita itu sepertinya bukan orang sembarangan. Beberapa saat kemudian Hanna dan Isabelle saling bertatapan tanpa mengucapkan kata apapun. Seketika Isabelle menoyor jidat sahabatnya sehingga membuat Hanna meringis. "Jangan menatapku sep

    Huling Na-update : 2021-08-18
  • Pengantin Kedua Sang CEO   CHAPTER 6 (Menyesal)

    Kedua wanita cantik itu telah berada di sebuah restaurant bernuansa Asia. Tempat ini dipilih oleh Isabelle karena sejak dulu ia menyukai masakan oriental seperti menu ala Thailand atau China. Tak ada masalah dengan lidahnya jika harus bersinggungan dengan makanan pedas seperti Thai Green Curry yang ia nikmati saat ini. Sementara Hanna lebih memilih Green Salad dari pada makanan berat yang dipilih sahabatnya sepagi ini. Isabelle sesekali melirik Hanna yang sejak tadi hanya diam menikmati menu sarapan paginya. "Apa kamu merasa kesal denganku, Hanna? Sejak tadi kamu bahkan tidak berbicara sama sekali." "Kamu tidak membuatku kesal. Hanya saja ide bodohmu itu membuatku ingin menenggelamkan diri ke dasar lautan!" ketus Hanna. "Maksudmu? Bukankah sepertinya tadi kamu tidak begitu peduli dengan pernikahan ini. Lalu mengapa sekarang sepertinya kamu terlihat gelisah?" Hanna mendesah malas, "Aku berpikir sepertinya hal ini akan menjadi ma

    Huling Na-update : 2021-08-19
  • Pengantin Kedua Sang CEO   CHAPTER 7 (Janji Temu)

    Hanna mengendarai mobilnya untuk kembali ke apartemen setelah melewati berbagai drama bersama Isabelle saat mereka berbelanja kebutuhan pokok tadi. Bagaimana tidak? Isabelle tanpa tahu malu menggoda seorang pramuniaga pria yang tidak terlalu tampan hanya untuk mendapatkan potongan harga yang besar. Kini dia terjebak di persimpangan menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau saat Isabelle kembali menghubunginya melalui ponsel. "Ya, apa lagi?" Tanpa sapaan, Hanna berucap ketus. "Ck, aku hanya lupa mengatakan sesuatu padamu, Hanna sayang!" ucap Isabelle manja. "Katakan!" balas Hanna. Isabelle terkekeh mendengar suara Hanna yang kurang bersahabat, "kau seperti sedang mengalami PMS. Baiklah, aku hanya ingin memberitahumu. Em, meminta tolong lebih tepatnya. Tiga hari ke depan ada sebuah acara amal yang kebetulan diselenggarakan di Hotel Astoria, dan ayah memintaku untuk menggantikannya hadir kesana. Maukah kau menemaniku, Nona cantik?" "Tunggu

    Huling Na-update : 2021-09-07
  • Pengantin Kedua Sang CEO   CHAPTER 8 (Sebuah Hukuman)

    Kemarahan menyapu diri Bart seperti gelombang. Bart menyaksikan cukup jelas seorang wanita cantik yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya. Wanita yang secara tiba-tiba ia nikahi tanpa pertimbangan lebih lanjut hanya untuk mendapatkan status menikah di mata hukum. Di mata Bart, Hanna memang terlihat sangat cantik, meskipun dia belum memiliki perasaan yang lebih terhadap wanita itu. Meski demikian, Bart harus mengakui bahwa kecantikan Hanna berada di level tertinggi dari para wanita yang pernah dia lihat. Bahkan, di kota yang penuh dengan wanita-wanita cantik itu hampir tak ada satu pun yang mampu menyamai kecantikan Hanna. Akan tetapi, yang menjadi masalah saat ini, Bart merasa sangat terganggu dengan apa yang sudah dia saksikan. Wanita yang sudah berstatus sebagai seorang istri itu ternyata menemui pria lain. Bahkan, Bart mengenal siapa pria yang tadi bertemu dengan istrinya. Bart mengepalkan tangannya hingga nampak buku-buku jemarinya memutih. Dia

    Huling Na-update : 2021-09-07
  • Pengantin Kedua Sang CEO   CHAPTER 9 (Status yang Terhormat)

    Hanna membulatkan kedua bola matanya mendengar ucapan Bart. Bukannya dia tidak mau hidup normal layaknya pasangan suami istri, tetapi semua terjadi begitu cepat baginya. Bahkan dia dan Bart belum mengenal satu sama lain. Kini, harus hidup serumah dan menghabiskan waktu bersama lebih banyak. Terlebih lagi pria yang berstatus sebagai suami sahnya itu memang terlihat menyebalkan dan jangan lupa akan Bart pernah berkata bahwa Hanna hanyalah pengantin kedua yang artinya dia akan berhadapan dengan pengantin pertama pria itu. "Bagaimana jika aku menolak?" Hanna yang sebenarnya takut melihat tatapan suaminya mencoba untuk melakukan perlawanan. "Maka saya akan menuntutmu atas tuduhan perselingkuhan!" ucap Bart ketus. Pria ini benar-benar menyebalkan. Bukankah dia yang sudah meninggalkan Hanna ketika pernikahan baru saja terlaksana. Kini tiba-tiba saja datang dan memaksakan kehendak. "Lalu apa alasanmu memaksaku untuk tinggal bersamamu? Bukankah kamu sudah meni

    Huling Na-update : 2021-09-07

Pinakabagong kabanata

  • Pengantin Kedua Sang CEO   CHAPTER 122 (Mari Bercinta)

    "Hanna, aku membawakanmu es krim," ucap Bart dengan antusias. Hanna melebarkan kedua kelopak mata dengan perasaan terkejut. Baru saja dia merindukan Bart, kini pria itu sudah berada di hadapannya. Hanna melirik ke arah papper bag yang dia yakini berisikan es krim seperti yang dia inginkan. Bart membuka papper bag tersebut setelah menyadari arah fokus mata istrinya itu. Sebuah es krim strawberry dengan warna pink terbungkus sebuah kotak dengan gambar yang menggiurkan. Hanna menelan ludah dengan kasar, dia membayangkan rasa es krim yang masih berada di tangan suaminya. "Apa yang kau lakukan?" ucap Hanna dengan nada sinis. Bart mendekat, meletakkan kotak es krim di atas meja. "Aku sudah memperingatkanmu untuk pergi dari hidupku, 'kan? Untuk apa kau kesini, bukankah semuanya sudah jelas!" Hanna membuang wajah saat Bart tak memutus sedikit pun pandangannya. "Hanna, aku bisa menjelaskan semuanya." Hanna menggigit bibirnya kuat-kuat, dan .."Aw!" Bibirnya berdarah bersamaan dengan suar

  • Pengantin Kedua Sang CEO   CHAPTER 121 (Drama Es Krim)

    "Aku dan Hanna sempat bertemu dan dia memelukku. Aku pikir dia sudah memaafkankau. Kalian tahu bagaimana aku sangat merindukannya. Aku bahkan sampai menyusulnya ke sini karena tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku tak tahu jika Hanna sedang mengandung anakku. Aku bahkan berpikir dia memiliki hubungan khusus bersema pria lain dan melupakanku begitu saja," ucap Bart penuh sesal. "Pria yang menjadi salah satu korban ledakanitu?" sahut Tuan Megens bertanya."Ya, namanya Paul. Dia pernah mengancamku di awal pernikahanku bersama Hanna. Yang kutahu dia pernah mencoba untuk mendekati Hanna sa-saat Sophia kembali." Bart merasa tak nyaman saat menyebut nama Sophia seolah kenangan buruk itu kembali berputar di dalam ingatan. Kenangan di mana dirinya sudah melukai istrinya sendiri dengan mengabaikan wanita itu dan memilih untuk menemani wanita lain. Wajah Tuan Megens berubah masam saat mendengar putranya menuduh istrinya sendiri memiliki hubungan bersama pria lain, padahal wanita

  • Pengantin Kedua Sang CEO   CHAPTER 120 (Pernyataan Cinta)

    Bart melangkah perlahan saat posisinya sudah benar-benar dekat dengan tirai pembatas antar brankar pasien. Dia kemudian menyibak tirai tersebut dnegan rasa gugup yang entah mengapa semakin tak terkendali. Jantungnya bertalu dengan kencang. Bahkan Bart sempat memegangi dadanya yang terasa nyeri. Napas pria itu berembus cepat dan pendek. Bart seolah tak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Saat tirai terbuka, tubuh Bart seolah membeku, hawa dingin menjalar hingga dia tidak merasakan pijakan lagi. Bart tercengang untuk beberapa saat ... "Bart! Bart! Kumohon jangan tinggalkan aku lagi!" Hanna menjerit saat mendapati Bart yang terkulai tak berdaya di hadapannya. Padahal ini adalah momen dimana mereka kembali dipersatukan, setelah sekian lama keduanya tak saling besitatap. Hanna mengabaikan luka dan lebam di tubuhnya. Dia beranjak dari brankar untuk meraih tubuh sang suami yang sudah tak menjawab panggilannya. "Bart kumohon! Bangunlah! Bertahanlah untuk aku dan bayi kita." Hanna benar-be

  • Pengantin Kedua Sang CEO   CHAPTER 119 (Penghormatan Terakhir)

    Bart merasa harga dirinya tercederai karena telah membiarkan Hanna hamil seorang diri. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui hal itu dan bagaimana Hanna menjalani hari-harinya bersama buah cinta mereka tanpa kehadiran Bart. Terbayang wajah Hanna yang menjalani masa-masa sulit dan menyembunyikan kehamilannya, padahal mereka begitu ingin memiliki keturunan sejak menyadari perasaan mereka di awal pernikahan. "Terima kasih, Issabelle," ucap Bart kembali merangkul Isabelle yang masih terisak mencoba menerima kenyataan pahit yang dia alami. Dia tidak menyangka jika Hanna mengandung anaknya dan tetap menjaga janin tak berdosa itu meski Bart sudah membuatnya terluka berulang kali. Apakah itu sebuah sinyal bahwa mereka bisa bersatu kembali, terlebih lagi berkas pembatalan pernikahan mereka berdua masih bisa dicabut dari pengadilan. Kali ini Bart tak akan membiarkan kesempatan itu hilang, dia ingin kembali bersama Hanna dan memperbaiki segala kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu. Ba

  • Pengantin Kedua Sang CEO   CHAPTER 118 (Puncak Rasa Dendam)

    Di tempat lain, Bart dan Tonny mendarat di Bandar Udara Heathrow Britania Raya beberapa jam yang lalu. Keduanya terlihat tergesa-gesa saat mendapatkan panggilan telepon salah satu orang kepercayaan Bart. Namun, saat ini mereka tidak bisa diandalkan karena ternyata Samantha pergi ke negara itu tidak seorang diri saja. Dia memiliki penjagaan dan sepertinya wanita itu tahu bahwa Hanna juga memiliki banyak orang yang melindunginya. "Kami baru saja melumpuhkan orang-orang kepercayaan Nona Samantha, tapi kepolisian setempat menghentikan langkah kami untuk mengejar wanita itu__""Ini semua salahmu bod**, kau membuat keributan hingga kita menjadi pusat perhatian," ucap salah seorang bodyguard kepada temannya yang diberikan tugas untuk menjaga Hanna selama berada di Inggris. Nampaknya orang-orang suruhan Bart sedang saling menyalahkan satu sama lain atas apa yang mereka alami. Mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian akibat keributan yang sudah mereka ciptakan di tempat umum. Bart me

  • Pengantin Kedua Sang CEO   CHAPTER 117 (Kedatangan Samantha)

    Bart tiba-tiba saja merasa sangat mengkhawatirkan Hanna, padahal sebelumnya dia begitu cemburu hingga ingin membatalkan pernikahan mereka. Ternyata apa yang dia khawatirkan terjadi juga. Namun Bart tak pernah menduga jika Samantha secepat ini mengetahu keberadaan Hanna. "Jika begitu, biar aku mendampingimu ke sana. Aku juga ingin meluruskan sesuatu," ucap Tonny.Bart mengangguk kemudian menyambar jasnya yang menggantung di sandaran kursi lalu bergegas meninggalkan ruang kerja miliknya. Dia tak butuh mempersiapkan apa pun termasuk pakaian yang akan dia bawa ke London. Malam itu juga Bart dan Tonny memutuskan untuk pergi menyusul Hanna. Di perjalanan menuju lapangan udara, Tonny mengambil alih kemudi mobil sementara Bart sibuk dengan banyak panggilan yang masuk ke dalam ponselnya. Tentu semua yang dibahas adalah tentang Samantha. Bart menggenggam ponsel dengan frustasi, memantau dari jarak jauh melalui orang-orang kepercayaan yang dia tempatkan di London untuk melindungi istrinya di

  • Pengantin Kedua Sang CEO   CHAPTER 116 (Dalam Bahaya)

    "Apakah itu cara yang adil bagimu?" Isabelle menunduk sejenak kemudian melanjutkan kata-katanya, "Bukankah aku terlihat egois jika pergi demi orang lain?"Selama beberapa menit ruang utama unit apartemen milik Isabelle terasa hening. Isabelle dan Tonny saling berpandang dalam diam. Jarak mereka sudah tak sedekat tadi sehingga keduanya bisa melihat dengan jelas mimik wajah dan gestur tubuh masing-masing."A-apa kita masih sepasang kekasih?" Isabelle kembali bersuara dengan terbata-bata, menatap dalam kedua mata sendu Tonny, berharap sebuah jawaban yang membuatnya memiliki jaminan untuk bisa kembali nantinya. Egois memang, tiba-tiba Isabelle menyadari bahwa meninggalkan Tonny demi Paul adalah sebuah kebodohan. Namun, jika saat bersama Tonny tapi hati dan pikirannya selalu tentang Paul, maka hal itu justru tidak baik. Isabelle semakin dilanda kegamangan."Jika menurutmu demikian, aku tak keberatan," ucap Tonny tertawa kecil."Tapi, kau sudah tahu 'kan perasaanku. Aku mencintaimu tapi ti

  • Pengantin Kedua Sang CEO   CHAPTER 115 (Pengakuan)

    Tak seperti biasanya kota Amsterdam pagi ini terlihat cerah, padahal sepanjang tahun langit selalu ditutupi awan hingga membuat terik matahari enggan menyentuh permukaan bumi. Namun, berbeda dengan hari ini, hangat dan sangat mengangumkan bagi penduduk Amsterdam yang menganggap hal ini merupakan momen langka sejak beberapa dekade.Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Isabelle. Hangatnya kota Amsterdam tak mampu menghangatkan hatinya. Dia bersama Tonny menghabiskan akhir pekan dengan berjemur di pantai. Saat bersama pria itu, pikirannya justru sedang berada di Inggris. Berulang kali ponselnya berbunyi tanda bahwa wanita itu sedang berkomunikasi menggunakan aplikasi hijau bersama Hanna. "Aku merindukanmu, Isabelle. Paul sangat baik dan sangat perhatian padaku, tapi semuanya terasa berbeda saat kau jauh. Kapan kau akan menyusul?" ucap Hanna melalui pesan singkat yang dia kirimkan. Isabelle menatap nanar pesan tersebut dengan senyum pahit. Baru saja dia mendapatkan pesan gambar yang d

  • Pengantin Kedua Sang CEO   CHAPTER 114 (Kekecewaan yang Memuncak)

    Air wajah Isabelle mennjukkan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tiap kali dia menyebut nama Paul, darahnya berdesir. "Aku tidak keberatan samasekali asalkan aku bisa pergi." Hanna menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Cinta itu mungkin masih ada, tapi kadar kekecewaan tentu sangat besar. Setelah pemberitaan yang dia lihat malam itu, dia enggan untuk melihat televisi samasekali. Bahkan, Hanna bertekad untuk tidak berselancar di media sosial untuk menghindari luka yang menganga di dalam hatinya tersiram air garam lagi. Isabelle tersenyum tipis atas ucapan Hanna yang dia dengar, "Baiklah, aku akan segera mengaturnya. Tonny, bisakah kau menemani Hanna sebentar?""Aku akan tidur sebentar di sini," ucap Tonny menjatuhkan bokongnya di atas sofa sebagai tanda persetujuan. Isabelle pergi dengan wajah gusar. Tonny tak bertanya ke mana dia akan pergi sehingga Isabelle tak perlu menjelaskan apa pun. Dia melangkah ke lobby rumah sakit untuk menemui Paul. Dia sengaja melakukan hal it

DMCA.com Protection Status