Hanna mengendarai mobilnya untuk kembali ke apartemen setelah melewati berbagai drama bersama Isabelle saat mereka berbelanja kebutuhan pokok tadi. Bagaimana tidak? Isabelle tanpa tahu malu menggoda seorang pramuniaga pria yang tidak terlalu tampan hanya untuk mendapatkan potongan harga yang besar. Kini dia terjebak di persimpangan menunggu lampu lalu lintas berubah menjadi hijau saat Isabelle kembali menghubunginya melalui ponsel.
"Ya, apa lagi?" Tanpa sapaan, Hanna berucap ketus.
"Ck, aku hanya lupa mengatakan sesuatu padamu, Hanna sayang!" ucap Isabelle manja.
"Katakan!" balas Hanna.
Isabelle terkekeh mendengar suara Hanna yang kurang bersahabat, "kau seperti sedang mengalami PMS. Baiklah, aku hanya ingin memberitahumu. Em, meminta tolong lebih tepatnya. Tiga hari ke depan ada sebuah acara amal yang kebetulan diselenggarakan di Hotel Astoria, dan ayah memintaku untuk menggantikannya hadir kesana. Maukah kau menemaniku, Nona cantik?"
"Tunggu, bukankah Astoria adalah hotel bintang lima yang terkenal mewah itu? Apa kamu yakin akan mengajakku?"
"Ck, menurutmu siapa lagi yang bisa kuajak? Hanya kaulah kandidat satu-satunya. Lagi pula kau tahu bahwa aku tidak memiliki pasangan." Ada keheningan sesaat di ujung telepon sebelum Isabelle kembali bersuara. Namun kali ini suaranya melemah seolah tak bersemangat, "Apakah kamu akan membiarkan gadis lajang sepertiku ini hadir dengan kondisi yang menyedihkan?" Isabelle memelas.
"Ya, baiklah! Kita akan membicarakannya nanti. Berhentilah bersikap seolah-olah kamu ini adalah orang yang paling malang di dunia!" ucap Hanna sambil menghela napas.
Isabelle tertawa bahagia," Terima kasih gadisku. Aku berjanji akan segera menemukan pria agar tidak terus menerus merepotkanmu."
Hanna memutuskan sambungan telepon tanpa mengucapkan apapun.
Dering ponsel kembali terdengar di telinga gadis berambut blonde keemasan itu. Hanna yang sedang fokus menyetir merasa terganggu. Dirinya berpikir jika Isabelle tidak mempunyai kegiatan yang lebih bermanfaat selain terus-terusan mengganggunya. Bibir merah mudanya mengumpat sebelum menerima panggilan itu, "Tidak bisakah kamu sebentar saja untuk tidak menggangguku?"
"Hanna." Terdengar suara pria yang begitu familiar di telinga Hanna. Sejenak gadis cantik itu terdiam. Dia tidak tahu harus mengatakan apa. Setelah mendengar suara itu Hanna merasakan kesakitan itu kembali menghujam jantungnya.
"Hanna." Suara itu kembali memenuhi pendengarannya.
"Bisakah kita bicara, Hanna?" Pria itu tak lain adalah Mathew, mantan kekasih yang sangat diingat Hanna. Diingat sebagai seorang pria brengsek yang sayangnya pernah Hanna cintai.
"Aku tahu, kamu mendengarku, Hanna. Baiklah, aku rasa kau akan mempertimbangkannya. Aku akan menunggumu malam ini di Mexican Cafe pukul delapan."
Hanna kembali memutuskan sambungan telepon itu dengan perasaan sakit yang masih jelas dia rasakan. Tak mudah menerima kenyataan bahwa pria yang dulu menjanjikan kebahagiaan kepadanya kini justru dia lah yang menghancurkan kebahagiaan itu. Akan tetapi, sebelum mengubur semua kenangan tentang Mathew sepenuhnya, Hanna memilih untuk menyelesaikannya dengan cara baik-baik. Memaafkan mungkin salah satu cara agar dirinya bisa melangkah lebih baik.
"Baiklah, aku akan datang." Hanna bergumam. Meskipun tidak dipungkiri, ada sisa kerinduan yang dirasakannya terhadap pria yang sudah bertunangan dengan tante angkatnya itu. Namun, rasa sakit yang ditorehkan oleh Mathew baginya tidak akan mampu membuatnya bersedia untuk kembali jika nanti Mathew meminta.
***
Di Cafe.
Mathew beberapa kali melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Sesekali dia melemparkan pandangan ke arah pintu masuk. Jika Hanna masih memiliki perasaan terhadapnya, maka wanita itu pasti akan datang menemuinya. Seperti itulah pemikiran Mathew untuk saat ini. Berapa detik setelah itu nampak siluet Hanna dengan balutan mini dress krem bercorak bunga lili. Rambutnya dibiarkan tergerai indah berwarna keemasan.
Wanita itu tampak lebih cantik berkali-kali lipat dari terakhir kali mereka bertemu di kediaman keluarga Abraham. Ada luka yang seolah kembali berdarah di dalam hati Mathew karena tindakan bodohnya menghkianati Hanna.
Mathew menyesali apa yang telah ia lakukan. Terlebih lagi setelah melihat penampilan Hanna malam ini. Bukan hanya Mathew yang terganggu dengan penampilan wanita itu. Bahkan, sebagian besar pengunjung yang berada di cafe itu memokuskan pandangan mereka ke arah Hanna ketika dirinya memasuki ruang cafe. Seolah semua pria tersihir ketika menyaksikan seorang jelmaan bidadari di antara mereka.
Hanna melihat posisi Mathew yang tidak begitu jauh dari dirinya. Segera setelah itu, Hanna mendekati bayangan pria yang pernah bertahta di dalam hatinya pada kehidupan masa lalu.
"Banyak hal yang perlu saya kerjakan, Tuan Mathew. Sebaiknya Anda sampaikan yang Anda maksud dengan singkat."
Mathew jelas sekali melihat perubahan yang begitu kentara pada diri Hanna. Bukan hanya penampilan yang semakin menarik, namun sikap gadis itu seolah-olah jauh berbeda dengan apa yang ia ketahui selama ini. Mathew mengamati dengan cermat dan melihat ketidak sabaran di mata Hanna. Mata yang dulu hanya memancarkan cinta kasih. Kini, seolah rasa itu sudah lenyap.
"Silakan duduk dulu, Hanna," ucap Mathew sopan.
"Maaf ..." Kata-kata itulah yang pertama kali terucap di bibir Mathew. Kata yang cukup sederhana terdengar. Namun, sulit untuk diterima begitu saja, "Aku mengerti kekecewaan yang kamu rasakan setelah kejadian itu." Mathew terdengar menghela napas sebelum kembali melanjutkan kata-kata dari mulutnya.
"... Hanna ... Hingga saat ini perasaanku terhadapmu tidak sedikit pun berubah. Aku masih Mathew yang dulu, Matthew yang sangat mencintaimu."
Hanna mengerutkan kening saat seringai sinis menyebar di wajah cantiknya, "Mencintai?" Hanna mengembangkan senyum mematikan di hadapan Mathew. Tak perlu banyak kata yang harus dia ucapkan sebagai reaksi dari apa yang ia dengar. Sudah pasti pria itu akan menunjukkan kebolehannya dalam menakhlukkan hati seorang wanita.
Bagi Hanna, usaha itu tidak sekali pun berefek padanya. Entah mengapa pertemuan dengan Mathew kali ini tidak sama sekali memberikan getaran yang biasanya dia rasakan sebelum kenyataan pahit itu terkuak.
"Ya! Aku sangat mencintaimu Hanna. Aku mengakui kesalahanku di masa lalu. Aku terjebak, jika kamu ingin tahu."
Hanna mulai merasakan dadanya yang sakit mengingat runtutan kejadian yang dia alami saat terakhir kali berada di klinik kandungan. Sangat jelas wajah pria yang sedang berhadapan dengannya saat ini justru tampak sinis ketika Clarissa menyerang Hanna dengqn sikapnya saat itu.
Tidak sedikit pun Mathew menunjukkan ekspresi simpatik, dan itu cukup menjelaskan seperti apa perasaan Mathew yang sesungguhnya dibandingkan dengan ucapan-ucapan manis yang dia lontarkan sekarang.
"Tuan Mathew, bukankah Tuan meninggalkan saya karena Clarissa lebih menjanjikan untuk kehidupan Anda di masa mendatang?" Ucapan Hanna membuat wajah Mathew seketika menegang. Seakan-akan mengerti arah pembicaraan Hanna. Keringat dingin di pelipisnya nampak berkilat akibat pantulan cahaya lampu menandakan jika pria itu sedang gugup.
Hanna kembali menyunggingkan senyum tipis di sudut bibirnya. "Bukankah Clarissa dengan senang hati sudah berbagi kehangatan bersama Anda, dan saya pikir hal itu terjadi bukan hanya sekali, sehingga saat ini dia berhasil menghadiahi Anda dengan kehamilannya. Benar begitu, Tuan?" Hanna berdiri di hadapan Mathew, "Saya permisi. Terima kasih atas undangannya Tuan Mathew!"
Hanna membungkuk hormat sebelum kemudian membalikkan tubuhnya menjauhi sang mantan kekasih. Bagaimana bisa Mathew mengatakan bahwa ia masih mencintai Hanna? Hanna tak cukup bodoh untuk menafsirkan sikap keluarga dan kekasihnya enam bulan belakangan ini. Meskipun tak menaruh curiga, tapi Hanna merasakan perubahan dari sikap mereka di saat sang kakek sudah menunjukkan kondisi yang lemah.
Sejak saat itu terlihat sikap Mathew yang lebih akrab dengan Clarissa. Namun, sebagai keponakan angkat Hanna tak sedikitpun berasumsi buruk tentang kedekatan keduanya.
Hanna melangkah pergi dengan perasaan yang jauh lebih tenang. Setidaknya dia tahu seperti apa pria yang pernah ia cintai. Sehingga dirinya merasa sangat beruntung telah berpisah dari pria brengsek itu.
Tanpa Hanna sadari, seseorang sedang mengamatinya di tempat yang sama.
Kemarahan menyapu diri Bart seperti gelombang. Bart menyaksikan cukup jelas seorang wanita cantik yang beberapa hari ini mengganggu pikirannya. Wanita yang secara tiba-tiba ia nikahi tanpa pertimbangan lebih lanjut hanya untuk mendapatkan status menikah di mata hukum. Di mata Bart, Hanna memang terlihat sangat cantik, meskipun dia belum memiliki perasaan yang lebih terhadap wanita itu. Meski demikian, Bart harus mengakui bahwa kecantikan Hanna berada di level tertinggi dari para wanita yang pernah dia lihat. Bahkan, di kota yang penuh dengan wanita-wanita cantik itu hampir tak ada satu pun yang mampu menyamai kecantikan Hanna. Akan tetapi, yang menjadi masalah saat ini, Bart merasa sangat terganggu dengan apa yang sudah dia saksikan. Wanita yang sudah berstatus sebagai seorang istri itu ternyata menemui pria lain. Bahkan, Bart mengenal siapa pria yang tadi bertemu dengan istrinya. Bart mengepalkan tangannya hingga nampak buku-buku jemarinya memutih. Dia
Hanna membulatkan kedua bola matanya mendengar ucapan Bart. Bukannya dia tidak mau hidup normal layaknya pasangan suami istri, tetapi semua terjadi begitu cepat baginya. Bahkan dia dan Bart belum mengenal satu sama lain. Kini, harus hidup serumah dan menghabiskan waktu bersama lebih banyak. Terlebih lagi pria yang berstatus sebagai suami sahnya itu memang terlihat menyebalkan dan jangan lupa akan Bart pernah berkata bahwa Hanna hanyalah pengantin kedua yang artinya dia akan berhadapan dengan pengantin pertama pria itu. "Bagaimana jika aku menolak?" Hanna yang sebenarnya takut melihat tatapan suaminya mencoba untuk melakukan perlawanan. "Maka saya akan menuntutmu atas tuduhan perselingkuhan!" ucap Bart ketus. Pria ini benar-benar menyebalkan. Bukankah dia yang sudah meninggalkan Hanna ketika pernikahan baru saja terlaksana. Kini tiba-tiba saja datang dan memaksakan kehendak. "Lalu apa alasanmu memaksaku untuk tinggal bersamamu? Bukankah kamu sudah meni
Hanna kembali mengedarkan pandangannya ketika memasuki kamar yang begitu luas menurutnya. Bahkan, ruang ini seukuran dengan ruang utama apartement yang beberapa hari lalu dia sewa. Ruang maskulin khas seorang pria dengan cat dinding perpaduan warna hitam, putih dan abu-abu, serta ranjang berukuran king size yang diposisikan di bagian tengah. Aroma maskulin menyeruak di ruangan itu. Aroma yang pernah dia rasakan ketika mereka pernah berada dalam jarak yang begitu dekat saat pernikahan keduanya berlangsung, membuat Hanna seolah terbius menikmati melalui indra penciuman. Ruang kamar terhubung dengan sebuah ruang kecil yang khusus untuk digunakan menyimpan pakaian yang ukurannya sekitar enam puluh empat kaki persegi berisikan dengan pakaian, tas, dan sepatu ber-merk. Hanna menelan ludah dengan kasar, "Pria ini benar-benar kaya," gumamnya. Dia memendarkan pandangan, mengabsen satu persatu apa yang ditampilkan dari ruang pria berkelas t
"Emh ..." Hanna tersentak dari tidur saat bias cahaya menembus sisi tirai dan tepat mengenai mata indah miliknya. Sudah bisa dipastikan sekarang sudah bukan saatnya untuk bermalas-malasan lagi di atas tempat tidur. Dia terkejut dengan suasana yang begitu asing baginya, merasakan sakit di salah satu bagian tubuh, perlahan dia sadar bahwa saat ini dia berada di kediaman Bart. Tapi kemana pria itu pergi? Hanna bermimpi sedikit nakal, semalam. Bahkan, perasaan itu terasa begitu nyata. Apakah itu artinya Bart yang hadir di dalam mimpinya? "Ini akibat kata-kata kotor Isabelle," rutuknya. untuk sepersekian detik, mata Hanna membulat. Ada rasa kekhawatiran yang begitu menyiksa perasaan wanita cantik itu saat ini, sesuatu yang berbeda sedang dia rasakan. Kali ini Hanna menyibakkan selimutnya. Tubuh wanita itu seketika menjadi lemas setelah melihat sesuatu yang tidak ingin dia temukan. "Saya akan meminta Bibi Helena untuk membelikanmu obat pereda nyeri." Suara Ba
"Apa kamu serius akan meninggalkan apartemen ini, bukankah sewanya akan berakhir dalam waktu yang masih lama? Isabelle mengekori Hanna yang sedang sibuk mengemasi pakaiannya. "Apa aku terlihat bercanda? Dia mengancamku atas tuduhan perselingkuhan. Ck! Ini gara-gara Matthew sialan! Jika saja aku tidak bertemu dengannya, mungkin aku masih menjadi Hanna yang sama hari ini." Sesekali Hanna menyeka peluh di pelipis. "Hanna yang sama?" Ucapan Isabelle membuat suasana menjadi hening. Kedua wanita itu saling beradu pandang. Hanna yang tadi tanpa sengaja mengucapkan kata-kata itu terlihat menatap Isabelle dengan ekspresi gugup. Sementara Isabelle menatapnya curiga. "Oh ...! Aku sungguh bahagia dengan pikiranku sendiri." Isabelle tertawa puas. "Jadi apa kau menikmatinya?" "Jangan gila, Isabelle! Aku tidak mengatakan apapun. Otakmu terlalu pendek!" ucap Hanna dengan ketus. "Baiklah, aku yang salah." Isabelle tersenyum setelah melihat wajah Hanna memerah
Hanna mengelus dada akibat perilaku Bart yang di luar dugaan. Bukankah benar apa yag dikatakan Hanna? Lalu apa yang salah sehingga membuat pria itu pergi. Tak ingin terlalu dipenuhi dengan pikiran-pikiran buruk, Hanna bergabung dengan Bibi Helena untuk memasak makan malam. "Em ... Bibi Helena? Hanna membuka suaranya. Dia ragu-ragu untuk bertanya, namun rasa penasaran sudah tidak mampu lagi dibendung. "Ya?" "Sejak kapan Bibi mengenal Bart?" Wanita paruh baya itu tersenyum dan menghentikan kegiatannya yang sedang memotong beberapa buah tomat. Perlahan dia meletakkan pisau di sisi sayuran dan menghadap tepat ke arah Hanna. "Aku sudah bersama keluarga Megens sejak Tuan Bart berusia sepuluh tahun." Bibi Helena menatap langit-langit membayangkan si Kecil Bart di masa lalu. "Tuan memiliki masa lalu yang kurang baik," wajah Bibi Helena menunjukkan perubahan saat membahas tentang itu. Sejenak dia menghela napas sebelum meneruskan ucapannya, "Aku
Hanna tidak mengerti dengan perasaannya sendiri. Meskipun menikahi Bart terjadi akibat sebuah tantangan gila dari Isabelle, akan tetapi setiap berdekatan dengan Bart, jantungnya selalu saja terasa berdetak lebih cepat. Hanna masih termenung duduk di ruang makan hingga tengah malam sambil menggenggam gelas berisikan air mineral. Tiba-tiba saja terlihat siluet Bart menuju kulkas untuk mengambil minuman. Hanna menggigit bibirnya dengan kuat, berusaha keras untuk tidak bersinggungan mata dengan pria itu. Sementara Bart melirik Hanna dengan tatapan kebencian. Keheningan menambah kegugupan di dalam hati Hanna hingga tangannya terasa dingin dan basah. Situasi seperti ini membuatnya merasa sangat gugup. Di detik berikutnya Bart melintas di hadapan Hanna dan membuka kulkas. Pria itu menenggak habis segelas air mineral di tempat ia berdiri saat ini. "Entah mengapa rumah ini semakin tidak menyenangkan setelah kamu ada di sini." Suara Bart memecah keheningan sekaligus memb
Ruang kerja berada tepat di samping kamar tidur. Bibi Helena bersiap untuk mengetuk pintu yang terlihat masih tertutup itu. Namun, sebelum dirinya mengetuk pintu ruang kerja, justru pintu ruang kamar lah yang tiba-tiba terbuka. Bart keluar dengan pakaian kerja yang sudah melekat di tubuh. Wajahnya benar-benar tampan, meskipun terdapat rona hitam di bawah mata. Hal itu menandakan semalam Bart kurang tidur. Mungkinkah dia tidak dapat memejamkan matanya setelah berbicara dengan Hanna semalam? "Em ... Tuan, sarapan sudah siap." Bibi Helena membungkuk dan mengekori Bart menuju ruang makan . Bart begitu gagah dengan tampilannya saat ini. Dia adalah pria yang sangat memperhatikan penampilan. Jam Rolex edisi terbatas melingkar dengan elegan di salah satu pergelangan tangan Bart. Jika ditaksir harganya kurang lebih seratus ribu Euro. Hanna yang sudah menunggu di meja makan merasakan kehadiran Bart. Dia memejamkan mata dan menarik napas perlahan. Wajahnya menundu
"Hanna, aku membawakanmu es krim," ucap Bart dengan antusias. Hanna melebarkan kedua kelopak mata dengan perasaan terkejut. Baru saja dia merindukan Bart, kini pria itu sudah berada di hadapannya. Hanna melirik ke arah papper bag yang dia yakini berisikan es krim seperti yang dia inginkan. Bart membuka papper bag tersebut setelah menyadari arah fokus mata istrinya itu. Sebuah es krim strawberry dengan warna pink terbungkus sebuah kotak dengan gambar yang menggiurkan. Hanna menelan ludah dengan kasar, dia membayangkan rasa es krim yang masih berada di tangan suaminya. "Apa yang kau lakukan?" ucap Hanna dengan nada sinis. Bart mendekat, meletakkan kotak es krim di atas meja. "Aku sudah memperingatkanmu untuk pergi dari hidupku, 'kan? Untuk apa kau kesini, bukankah semuanya sudah jelas!" Hanna membuang wajah saat Bart tak memutus sedikit pun pandangannya. "Hanna, aku bisa menjelaskan semuanya." Hanna menggigit bibirnya kuat-kuat, dan .."Aw!" Bibirnya berdarah bersamaan dengan suar
"Aku dan Hanna sempat bertemu dan dia memelukku. Aku pikir dia sudah memaafkankau. Kalian tahu bagaimana aku sangat merindukannya. Aku bahkan sampai menyusulnya ke sini karena tak ingin sesuatu yang buruk terjadi padanya. Aku tak tahu jika Hanna sedang mengandung anakku. Aku bahkan berpikir dia memiliki hubungan khusus bersema pria lain dan melupakanku begitu saja," ucap Bart penuh sesal. "Pria yang menjadi salah satu korban ledakanitu?" sahut Tuan Megens bertanya."Ya, namanya Paul. Dia pernah mengancamku di awal pernikahanku bersama Hanna. Yang kutahu dia pernah mencoba untuk mendekati Hanna sa-saat Sophia kembali." Bart merasa tak nyaman saat menyebut nama Sophia seolah kenangan buruk itu kembali berputar di dalam ingatan. Kenangan di mana dirinya sudah melukai istrinya sendiri dengan mengabaikan wanita itu dan memilih untuk menemani wanita lain. Wajah Tuan Megens berubah masam saat mendengar putranya menuduh istrinya sendiri memiliki hubungan bersama pria lain, padahal wanita
Bart melangkah perlahan saat posisinya sudah benar-benar dekat dengan tirai pembatas antar brankar pasien. Dia kemudian menyibak tirai tersebut dnegan rasa gugup yang entah mengapa semakin tak terkendali. Jantungnya bertalu dengan kencang. Bahkan Bart sempat memegangi dadanya yang terasa nyeri. Napas pria itu berembus cepat dan pendek. Bart seolah tak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Saat tirai terbuka, tubuh Bart seolah membeku, hawa dingin menjalar hingga dia tidak merasakan pijakan lagi. Bart tercengang untuk beberapa saat ... "Bart! Bart! Kumohon jangan tinggalkan aku lagi!" Hanna menjerit saat mendapati Bart yang terkulai tak berdaya di hadapannya. Padahal ini adalah momen dimana mereka kembali dipersatukan, setelah sekian lama keduanya tak saling besitatap. Hanna mengabaikan luka dan lebam di tubuhnya. Dia beranjak dari brankar untuk meraih tubuh sang suami yang sudah tak menjawab panggilannya. "Bart kumohon! Bangunlah! Bertahanlah untuk aku dan bayi kita." Hanna benar-be
Bart merasa harga dirinya tercederai karena telah membiarkan Hanna hamil seorang diri. Bagaimana bisa dia tidak mengetahui hal itu dan bagaimana Hanna menjalani hari-harinya bersama buah cinta mereka tanpa kehadiran Bart. Terbayang wajah Hanna yang menjalani masa-masa sulit dan menyembunyikan kehamilannya, padahal mereka begitu ingin memiliki keturunan sejak menyadari perasaan mereka di awal pernikahan. "Terima kasih, Issabelle," ucap Bart kembali merangkul Isabelle yang masih terisak mencoba menerima kenyataan pahit yang dia alami. Dia tidak menyangka jika Hanna mengandung anaknya dan tetap menjaga janin tak berdosa itu meski Bart sudah membuatnya terluka berulang kali. Apakah itu sebuah sinyal bahwa mereka bisa bersatu kembali, terlebih lagi berkas pembatalan pernikahan mereka berdua masih bisa dicabut dari pengadilan. Kali ini Bart tak akan membiarkan kesempatan itu hilang, dia ingin kembali bersama Hanna dan memperbaiki segala kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu. Ba
Di tempat lain, Bart dan Tonny mendarat di Bandar Udara Heathrow Britania Raya beberapa jam yang lalu. Keduanya terlihat tergesa-gesa saat mendapatkan panggilan telepon salah satu orang kepercayaan Bart. Namun, saat ini mereka tidak bisa diandalkan karena ternyata Samantha pergi ke negara itu tidak seorang diri saja. Dia memiliki penjagaan dan sepertinya wanita itu tahu bahwa Hanna juga memiliki banyak orang yang melindunginya. "Kami baru saja melumpuhkan orang-orang kepercayaan Nona Samantha, tapi kepolisian setempat menghentikan langkah kami untuk mengejar wanita itu__""Ini semua salahmu bod**, kau membuat keributan hingga kita menjadi pusat perhatian," ucap salah seorang bodyguard kepada temannya yang diberikan tugas untuk menjaga Hanna selama berada di Inggris. Nampaknya orang-orang suruhan Bart sedang saling menyalahkan satu sama lain atas apa yang mereka alami. Mereka harus berurusan dengan pihak kepolisian akibat keributan yang sudah mereka ciptakan di tempat umum. Bart me
Bart tiba-tiba saja merasa sangat mengkhawatirkan Hanna, padahal sebelumnya dia begitu cemburu hingga ingin membatalkan pernikahan mereka. Ternyata apa yang dia khawatirkan terjadi juga. Namun Bart tak pernah menduga jika Samantha secepat ini mengetahu keberadaan Hanna. "Jika begitu, biar aku mendampingimu ke sana. Aku juga ingin meluruskan sesuatu," ucap Tonny.Bart mengangguk kemudian menyambar jasnya yang menggantung di sandaran kursi lalu bergegas meninggalkan ruang kerja miliknya. Dia tak butuh mempersiapkan apa pun termasuk pakaian yang akan dia bawa ke London. Malam itu juga Bart dan Tonny memutuskan untuk pergi menyusul Hanna. Di perjalanan menuju lapangan udara, Tonny mengambil alih kemudi mobil sementara Bart sibuk dengan banyak panggilan yang masuk ke dalam ponselnya. Tentu semua yang dibahas adalah tentang Samantha. Bart menggenggam ponsel dengan frustasi, memantau dari jarak jauh melalui orang-orang kepercayaan yang dia tempatkan di London untuk melindungi istrinya di
"Apakah itu cara yang adil bagimu?" Isabelle menunduk sejenak kemudian melanjutkan kata-katanya, "Bukankah aku terlihat egois jika pergi demi orang lain?"Selama beberapa menit ruang utama unit apartemen milik Isabelle terasa hening. Isabelle dan Tonny saling berpandang dalam diam. Jarak mereka sudah tak sedekat tadi sehingga keduanya bisa melihat dengan jelas mimik wajah dan gestur tubuh masing-masing."A-apa kita masih sepasang kekasih?" Isabelle kembali bersuara dengan terbata-bata, menatap dalam kedua mata sendu Tonny, berharap sebuah jawaban yang membuatnya memiliki jaminan untuk bisa kembali nantinya. Egois memang, tiba-tiba Isabelle menyadari bahwa meninggalkan Tonny demi Paul adalah sebuah kebodohan. Namun, jika saat bersama Tonny tapi hati dan pikirannya selalu tentang Paul, maka hal itu justru tidak baik. Isabelle semakin dilanda kegamangan."Jika menurutmu demikian, aku tak keberatan," ucap Tonny tertawa kecil."Tapi, kau sudah tahu 'kan perasaanku. Aku mencintaimu tapi ti
Tak seperti biasanya kota Amsterdam pagi ini terlihat cerah, padahal sepanjang tahun langit selalu ditutupi awan hingga membuat terik matahari enggan menyentuh permukaan bumi. Namun, berbeda dengan hari ini, hangat dan sangat mengangumkan bagi penduduk Amsterdam yang menganggap hal ini merupakan momen langka sejak beberapa dekade.Akan tetapi, berbeda dengan perasaan Isabelle. Hangatnya kota Amsterdam tak mampu menghangatkan hatinya. Dia bersama Tonny menghabiskan akhir pekan dengan berjemur di pantai. Saat bersama pria itu, pikirannya justru sedang berada di Inggris. Berulang kali ponselnya berbunyi tanda bahwa wanita itu sedang berkomunikasi menggunakan aplikasi hijau bersama Hanna. "Aku merindukanmu, Isabelle. Paul sangat baik dan sangat perhatian padaku, tapi semuanya terasa berbeda saat kau jauh. Kapan kau akan menyusul?" ucap Hanna melalui pesan singkat yang dia kirimkan. Isabelle menatap nanar pesan tersebut dengan senyum pahit. Baru saja dia mendapatkan pesan gambar yang d
Air wajah Isabelle mennjukkan sesuatu yang mengganggu pikirannya. Tiap kali dia menyebut nama Paul, darahnya berdesir. "Aku tidak keberatan samasekali asalkan aku bisa pergi." Hanna menatap lurus ke depan dengan pandangan kosong. Cinta itu mungkin masih ada, tapi kadar kekecewaan tentu sangat besar. Setelah pemberitaan yang dia lihat malam itu, dia enggan untuk melihat televisi samasekali. Bahkan, Hanna bertekad untuk tidak berselancar di media sosial untuk menghindari luka yang menganga di dalam hatinya tersiram air garam lagi. Isabelle tersenyum tipis atas ucapan Hanna yang dia dengar, "Baiklah, aku akan segera mengaturnya. Tonny, bisakah kau menemani Hanna sebentar?""Aku akan tidur sebentar di sini," ucap Tonny menjatuhkan bokongnya di atas sofa sebagai tanda persetujuan. Isabelle pergi dengan wajah gusar. Tonny tak bertanya ke mana dia akan pergi sehingga Isabelle tak perlu menjelaskan apa pun. Dia melangkah ke lobby rumah sakit untuk menemui Paul. Dia sengaja melakukan hal it