Satu nomor telepon yang tidak terdaftar telah berulang kali menghubungi Zivara. Terdorong rasa penasaran, akhirnya Arudra mengangkat panggilan tersebut. Sapaan salam seorang pria dari seberang telepon, menyebabkan Arudra mengerutkan dahi, karena merasa mengenali suara tersebut. Setelah sang penelepon menjelaskan identitasnya, barulah Arudra merasa tenang, dan balas menyapa dengan ramah."Apa kabar?" tanya Arudra. "Alhamdulillah, kabarku, baik," jawab Evan. "Syukurlah." "Aku dengar kabar dari Dirga, kalau Zivara sedang hamil. Betulkah?" "Ya." Arudra melirik istrinya yang tengah tidur. "Baru 6 minggu usia kandungannya. Lagi mabuk parah dia," terangnya. "Aku ikut senang. Semoga masa-masa awal kehamilan yang berat bisa segera lewat." "Makasih, doanya." "Kalau mau, boleh dicoba kasih air jahe, Mas. Buatan sendiri lebih bagus. Jangan yang kemasan." "Oke, besok kubuatin. Ada tips lain?" "Ehm, sediakan aroma yang dia sukai. Itu bisa membantu meredakan rasa mual." "Besok kutanyain k
Jalinan waktu terus bergulir. Siang itu, Indah dikejutkan dengan kedatangan Fendi ke ruang kerjanya. Direktur keuangan Pramudya Grup, terkesiap ketika Fendi mengajaknya menemui seseorang. "Ehm, aku banyak kerjaan, Mas," tolak Indah dengan halus. "Sebentar saja, Dek. Paling lama satu jam," bujuk Fendi. Indah mendengkus pelan. "Oke, satu jam. Setelah itu, aku mau ke kantor PBK." "Baik, nanti saya antarkan. Sekalian saya mau ketemu Varo." Indah berdiri dan memasukkan ponselnya ke baugette bag putih. Dia berpindah ke depan cermin besar di dekat pintu untuk mengecek penampilan. Fendi mengamati perempuan berparas manis yang telah mencuri perhatiannya selama beberapa bulan terakhir. Fendi sudah sering menemui Indah dengan berbagai alasan. Bahkan, hampir tiap hari dia akan menelepon perempuan tersebut hanya untuk sekadar melepas rindu. Sekian menit berlalu, keduanya sudah jalan menyusuri koridor. Indah mengabaikan senyuman para staf yang berulang kali menggodanya, bila didatangi Fendi.
Hari berganti. Malam itu, Zivara tiba di rumah dengan diantar Nirwan. Seusai membawakan kardus ke ruang tengah, sang ajudan berpamitan untuk pulang ke mess pengawal area Bandung. Tidak berselang lama terdengar suara motor menjauhi kediaman Zivara. Perempuan berbaju salem menutup dan mengunci pintu depan, kemudian jalan memasuki ruang tengah. Zivara menyalami suaminya dengan takzim, lalu ikut duduk di samping kanan Arudra yang tengah mengunyah singkong goreng garing buatan Nini. Zivara mengambil kudapan dari meja dan menikmatinya dengan santai. "Mas, dapat salam dari Teh Lanika dan Yolla," tutur Zivara di sela-sela mengunyah. "Waalaikumsalam," sahut Arudra. "Dia, sehat?" tanyanya. "Ya, tapi kurusan. Pipinya tirus banget." "Mungkin dia kecapean." "Ehm, minggu depan dia mau pindah ke Singapura." Arudra tertegun kemudian dia menoleh ke kanan. "Pindah?" "Hu um. Sepupunya Pak Budi yang punya cabang perusahaan di sana, nawarin Teh Lanika buat ngisi jabatan manajer operasional.""Oh
Lanika membulatkan mata ketika Yolla memasuki kamarnya, dan mengabarkan jika ada Arudra dan Zivara di ruang tamu. Lanika bergegas berganti pakaian dengan yang lebih sopan, kemudian merias dirinya sedikit agar tidak terlihat pucat. Perempuan bergaun panjang kuning muda motif bunga-bunga kecil, keluar dari kamarnya dan mengayunksn tungkai ke ruang tamu. Lanika menyalami pasangan tersebut yang datang bersama Zein dan Bayu. Lanika duduk di antara Kabir dan Yolla. Mereka membahas tentang berbagai hal random. Sebelum Arudra menerangkan maksud kedatangannya dan Zein, serta Bayu. Wajah Lanika seketika semringah. Dia langsung menyetujui permintaan sang mantan suami, yang kemudian mengeluarkan beberapa lembar kertas dari tasnya, untuk diberikan pada Lanika. "Kamu pelajari dulu, Lan. Santai saja. Tidak perlu buru-buru," tukas Arudra. "Pahami baik-baik semua poinnyq. Jika sudah mantap, baru tanda tangani," lanjutnya. "Ya, Mas. Nanti aku baca dan pahami," jawab Lanika. Dia mengalihkan niatnya
Grup Power Rangers Putih dan Biru Nanang : Bagosss! Tikung aja terus! Farraz : Why, oh, why? Yusuf : Kemaren, dilewatin Bilal. Sekarang, Fazwan. Dimas : Aku nggak bisa berkiti-kiti. Jauhari : Aku pasrah ajalah. Robi : Terima nasib dilangkahi junior. Kimora : Kang @Fazwan mau nikah, ya? Jeffrey : Ya, @Kimora. Ini orangnya di depanku. Ibrahim : Cengengesan mulu dia. Bikin kesal! Hisyam : Selamat buat @Fazwan. Beni : Acaranya kapan? Jeffrey : Setelah tugasnya selesai. Sekitar 7 bulan lagi. Wahyudi : Berarti sebelum puasa tahun depan. Lazuardi : Habis lebaran aja. Biar aku dan tim London bisa hadir. Riaz : Betul. Sekalian sama Kang @Bilal. Diatur aja waktunya. Mukti : Hajatan lagi kita, Gaes. Fazwan : Makasih, @Bang Hisyam. Buat para senior, hampura. Urang ngelewatin. Nawang : Aku, sih, nggak apa-apa ditikung juga. Umur Kang @Fazwan, lebih tua dariku. Fikri : Yoih. Fazwan memang angkatan pengawal baru. Tapi umurnya sama denganku. Bilal juga. Sony : Ada kabar apa, Teman
Ruslita memandangi putrinya yang baru tiba dari kantor. Wajah kuyu Zivara membuat sang ibu prihatin. Ruslita menduga jika Zivara kelelahan, karena masih aktif bekerja.Perempuan berjilbab biru menyambangi Zivara yang tengah menjulurkan kaki ke bangku kecil. Ruslita meletakkan dua cangkir teh melati dan sepiring kroket kampung, yang dilengkapi semangkuk kecil saus kacang. Ruslita mengamati sang putri yang langsung menyantap kudapan. Dia menggeleng pelan melihat tingkah Zivara yang seolah-olah sedang kelaparan. "Neng, Sabtu nanti kita bertamu ke rumah Disti," tutur Ruslita. "Besok sore, bisa nemenin Ibu belanja?" tanyanya "Au eana aa?" tanya Zivara dengan mulut penuh kroket. "Telan dulu eta kroket, baru ngomong!" Zivara cepat-cepat mengunyah dan menelan makanannya. "Mau belanja apa?" ulangnya. "Apa, ya? Ibu bingung." Perempuan yang lebih muda meringis, kemudian dia berkata, "Ibu mau bawain buah tangan buat keluarganya, atau Disti?" "Kalau bisa, dua-duanya. Tapi Ibu bingung." Ru
Detik berganti menit. Putaran jam menggerus waktu dengan maksimal. Minggu berubah menjadi bulan. Musim kemarau bergeser ke musim hujan, seiring dengan seringnya mendung yang menggelayut di langit. Usia kandungan Zivara telah mencapai 4 bulan. Sore itu, diadakan pengajian di kediaman orang tuanya, dengan dihadiri ibu-ibu kelompok pengajian masjid kompleks, dan sanak saudara serta kerabat. Arudra duduk berdampingan dengan kedua adiknya, serta Nirwan, Bilal dan Fazwan yang tengah libur seminggu. Beberapa sahabat Arudra turut hadir dalam acara tersebut bersama istri masing-masing. Begitu pula dengan Yolla yang datang bersama Neni. Keduanya sibuk membantu keempat sahabat Zivara yang tengah menyiapkan isi tas berisi nasi kotak, kue dan buah-buahan buat seluruh tamu. Dibantu Disti dan Soraya, sepupu Zivara, para perempuan tersebut bekerja cepat hingga semua tas tersusun rapi di dekat pintu kamar utama.Seusai pengajian, semua tas dibagikan oleh keempat orang tua, beserta Arudra dan Zivar
Grup PC Utama Ilyas : Selamat buat @Emris dan Sitha. Arudra : Alhamdulillah. Ponakan baru sudah lahir. Haikal : Barakallah buat baby. Selamat, @Emris dan Sitha.Drew : Yihaaaa! Arnold : Welcome, Baby boy. Zijl : Dedek bayi, selamat datang ke dunia. Hans : Mana fotonya? Farisyasa : Ada di story Kang Emris. Henley HKB : Kirimlah ke sini. Tiga foto bayi berselimut dan bertopi biru muncul di layar ponsel semua anggota grup, yang kemudian berebutan mengetik dan mengirimkannya ke grup beranggotakan 80 orang. Zein : Meni kasep, euy! Hendri : Jiga urang, yak!Wirya : H ngaku-ngaku. Zulfi : Dia memang nggak tahu malu. Haikal : Demennya ngemil paku. Ridwan : Pintu. Hans : Kayu. Yoga : Bolu. Andri : Minumnya kopi susu. Haryono : Baca susu, otakku jadi nganu. Eknath : Astagfirullah, Mas Yon! Arya : @Yono, saya ngakak, dipandangin anak-anak. Bram : Rada sarap emang, @Yono.Hamiz : Eleuh-eleuh, @Mas Yono. Mark : Gusti nu agung! Zavian : Sepertinya Mas Yon kudu diruwat. Adyan
Awal malam itu, Lanika tiba di bandara Cengkareng, bersama Sebastian, Rylee dan Cornelia. Mereka dijemput Uday yang kemudian mengantarkan keempatnya ke hotel tempat tim PG dan PC menginap. Setibanya di tempat tujuan, Bilal dan Yolla telah menunggu di lobi. Seusai berbincang sesaat, mereka bergegas menuju ruang pertemuan di lantai tiga, untuk menghadiri jamuan makan malam yang diadakan oleh Tio. Ruangan luas itu seketika heboh. Semua orang menyambut kedua anggota PC yang baru tiba, dengan rangkulan. Hal nyaris serupa juga dilakukan tim para istri pada Cornelia dan Lanika. Kendatipun tidak terlalu mengenal Lanika, tetapi Mayuree dan rekan-rekannya tetap bersikap ramah pada perempuan tersebut. Seusai melepas rindu pada keluarganya, Lanika mendatangi Zivara dan langsung memeluk sahabatnya tersebut dengan erat. Kemudian dia mengurai dekapan dan beralih menciumi Keef yang sedang dipangku maminya. "Masyaallah, asa tambah kasep, pangeran Ate," puji Lanika sembari menggosok-gosokkan hidun
Ruang rapat di gedung kantor PG, siang menjelang sore itu terlihat ramai. Lebih dari 100 pria bersetelan jas biru mengilat, berkumpul untuk mendengarkan pidato Tio. Setelahnya, komisaris PG memanggil orang-orang yang hendak berangkat ke Kanada. Mereka berdiri di kiri Tio, sambil memandang ke depan. Arudra, Drew, Ghael, dan Myron bergantian mengucapkan kalimat perpisahan. Benigno yang akan mengantarkan rekan-rekannya ke Kanada, juga turut memberikan pidato singkat. Sementara Alvaro yang menjadi pemimpin rombongan tersebut, hanya diam sambil memandangi semua orang di ruangan. "Teman-teman, mari kita bersalaman dengan para pejuang ini. Berikan dukungan terbaik buat mereka, yang akan bekerja keras menyelesaikan berbagai proyek kita di Kanada," ungkap Tio sembari turun dari podium. "Mid, tolong atur barisan," pinta Tio yang segera dikerjakan direktur operasional PG. Tio menyalami Arudra dan mendekapnya sesaat. Kemudian Tio memundurkan tubuh dan berbincang singkat dengan rekannya terse
Jalinan waktu terus bergulir. Minggu terakhir berada di Bandung, digunakan Arudra dan Zivara untuk lebih dekat dengan keluarga. Setiap hari mereka bergantian mengunjungi kediaman Rahmadi atau Thamrin, agar bisa bercengkerama dengan keluarga inti dan sanak saudara. Kamis sore, Arudra dan Zivara mendatangi kediaman ketua RT tempat mereka tinggal dan tetangga terdekat, untuk berpamitan. Pasangan tersebut tidak lupa untuk berpamitan pada para pedagang di sekitar kompleks, yang menjadi langganan mereka selama menetap di sana.Jumat pagi, Nirwan melajukan mobil sang bos menuju kediaman Rahmadi. Fazwan dan Disti menyusul menggunakan mobil SUV putih milik Zivara. Tidak berselang lama, Bilal datang bersama Yolla dan keluarganya. Demikian pula dengan Thamrin dan Ruslita. Mereka hendak ikut mengantarkan Arudra dan kelompoknya ke Jakarta. Seusai membaca doa bersama, semua orang menaiki kendaraan. Kemudian Bhadra yang berada di mobil terdepan, menekan klakson sebagai tanda perjalanan akan seg
Senin pagi menjelang siang, Arudra dan Zivara beserta yang lainnya bertolak menuju Lombok. Fazwan dan Disti juga ikut dalam rombongan tersebut untuk menikmati bulan madu, sebagai hadiah dari para petinggi Janardana Grup dan Mahendra Grup. Pada awalnya para pria ingin kembali mengunjungi Pulau Komodo. Namun, karena banyak anak-anak yang ikut, akhirnya tempat tujuan diubah supaya cocok dengan anak kecil.Pesawat yang mereka tumpangi akhirnya tiba di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (Bizam) menjelang pukul 4 sore. Perjalanan itu ditempuh dalam waktu yang cukup lama, karena pesawat harus transit di bandara Bali. Dari bandara menuju hotel milik BPAGK, rombongan tersebut menaiki bus berukuran besar yang disediakan pihak hotel. Agung, ketua pengawal Bali dan Nusa Tenggara, kembali menjadi pemandu wisata dadakan.Seperti biasa, para pengawal muda mengadakan kuis berhadiah kudapan dan minuman ringan. Sebab jumlah bos yang ikut cukup banyak, akhirnya semuanya ikut dan terbagi menj
Sabtu pagi di minggu kedua bulan Agustus, pernikahan Fazwan dan Disti dilangsungkan di gedung pertemuan kawasan Buah Batu. Rombongan keluarga calon pengantin pria tiba belasan menit sebelum acara dimulai. Yudha yang menjadi pemimpin, mengatur barisan bersama teman-teman pasukan pengawal area Bandung. Setelah diberi kode oleh tim panitia pihak perempuan, rombongan berseragam serba krem jalan perlahan menuju pintu utama gedung. Mereka berhenti di bawah tenda untuk menyaksikan sambutan dari kedua orang tua Disti. Susunan acara khas Sunda dilaksanakan dengan khidmat, sebelum akhirnya rombongan dipersilakan masuk. Keluarga inti, para petinggi PBK dan keluarga Janardana, serta Mahendra dan Pangestu, menempati kursi dua deretan terdepan sisi kanan. Di belakang mereka dipenuhi keluarga besar Fazwan, dan semua pengawal lapis satu hingga 12 yang hadir bersama keluarga masing-masing. Tidak berselang lama acara dimulai. Fazwan mendengarkan khotbah nikah dengan serius sambil merekamnya dalam
Minggu berganti menjadi bulan. Menjelang keberangkatan ke Kanada, Zivara justru disibukkan dengan persiapan pernikahan Fazwan. Sebab calon pengantin pria sedang sibuk mengikuti Arudra tugas ke luar kota, mau tidak mau Zivara yang menggantikan posisi akangnya untuk membantu Disti. Sore itu sepulang dari kantor, Zivara memacu mobil SUV putih menuju pusat perbelanjaan. Kala berhenti di perempatan lalu lintas, Zivara menyempatkan diri untuk menelepon Nini, yang tengah dijemput Isfani untuk menyusul Zivara, bersama Keef. Setibanya di tempat tujuan, Zivara memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dia merapikan penampilan terlebih dahulu, kemudian menyemprotkan sedikit parfum ke baju. Sekian menit berikutnya, Zivara telah berada di dekat pintu utama. Dia menunggu kedatangan taksi yang ditumpangi Nini dan Isfani tiba, kemudian mereka bergegas menuju lantai tiga, di mana Disti dan kakaknya telah menunggu. Keempat perempuan bersalaman sambil beradu pipi. Sementara Nini hanya menyalami calon istri
"Siapa kamu!" bentak Eyang Min, saat seorang pria tua muncul di dekat teras depan rumahnya. "Tidak perlu tahu aku siapa. Yang penting, setelah ini usahamu menyesatkan orang akan berhenti," jawab Mulyadi dengan sangat tenang. Eyang Min maju beberapa langkah sambil mengacungkan tongkatnya yang berbentuk unik. "Oh, ternyata kamu. Orang yang sudah melindungi Lanika." "Betul." "Tapi, percuma saja. Sebentar lagi dia akan mati." "Nyawa manusia adalah milik Allah. Sehebat apa pun ilmumu, jika Allah berkehendak, maka Lanika akan aman." Eyang Min tertawa melengking. Mulyadi tetap diam sambil mengamati beberapa orang yang muncul di belakang perempuan berbaju merah. Zein dan ketiga sahabatnya telah selesai bertempur. Mereka berdiri beberapa meter di belakang Mulyadi sambil memerhatikan sekeliling. Masih ada titik-titik merah yang beterbangan, dan harus terus diawasi. Eyang Min melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi ular hitam berukuran besar. Mulyadi spontan mundur sembari memukuli u
Embusan angin kencang menerpa apa pun yang berada di bumi. Dedaunan di dahan bergoyang ke sana kemari mengikuti arah sang bayu. Sekali-sekali akan terdengar suara binatang malam. Selebihnya hanya keheningan yang tercipta di sekitar rumah besar, yang berada di tengah-tengah kebun di pinggir Kota Bogor. Jalan depan rumah itu terlihat lengang. Meskipun waktu baru menunjukkan pukul 10, tetapi tidak ada seorang pun yang melintas di sana. Letak bangunan yang berada di perbukitan, ditambah lagi area belakangnya lebih banyak kebun dibandingkan rumah, menjadikan tempat itu seolah-olah terisolir dari dunia luar. Sekelompok orang terlihat jalan cepat di kebun sisi kiri. Sebab sekitarnya gelap, mereka terpaksa menyalakan senter kecil yang tersambung dengan ikat kepala. Sekali-sekali mereka akan berhenti dan berjongkok untuk memindai sekitar. Kemudian mereka melanjutkan langkah hingga tiba di dekat rerimbunan semak di dekat rumah target. Pria terdepan memberi kode dengan tangan. Lima orang be
Arudra termangu, sesaat setelah Nirwan menceritakan tentang kejadian kemarin malam di mobil Lanika. Bhadra, Casugraha, Fazwan dan Bilal yang juga berada di ruang kerja sang presdir, saling melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Sementara Zein menggeleng pelan seraya tersenyum lebar. Sedangkan Hendti justru bertepuk tangan, kemudian dia menepuk-nepuk pundak Nirwan yang terlihat cengengesan. "Hebat, euy! Bisa ninju kunti," tukas Hendri. "Ini berkat ajaran Akang," balas Nirwan. "Dan Bang Zein, serta teman-teman tim pengejar hantu," lanjutnya sambil memandangi pria berkulit kecokelatan yang balas menatapnya saksama. "Kami cuma melatih sedikit. Hatimu memang kuat, itu yang membuatmu sanggup melawan kuntilanak kiriman Nenek tua itu," jelas Zein. "Kamu ikut latihan olah napas, Wan?" tanya Bilal. "Ya, Bang," jawab Nirwan. "Sudah lama?" "Baru dua bulanan. Itu pun karena diajakin Kang Izra. Dia bilang, auraku kuat. Lebih bagus lagi diarahkan ke ilmu kebatinan." "Aku ingat Izra