Pekikan seseorang terdengar dari dalam sebuah rumah besar, di tengah-tengah area kebun luas. Beberapa orang yang turut berada di sana, seketika sibuk membantu sang pemilik rumah. Eyang Min terbaring di lantai sambil membeliakkan mata. Perempuan tua tersebut komat-kamit membaca mantra penangkal sihirnya, yang dikembalikan pelindung orang yang dikirimi teluh. Lanika menutupi mulut dengan kedua tangan. Dia ketakutan karena asap tebal membumbung dari tempat bakaran kemenyan, yang masih menyala di tengah-tengah ruangan. Kedua murid Eyang Min membantu guru mereka agar bisa duduk. Sementara 3 orang lagi langsung menggantikan posisi perempuan tua yang mundur sedikit untuk mengatur napasnya yang memburu. Lanika berpindah ke dekat Eyang Min. Dia memindai sekitar yang tiba-tiba terasa panas dan pengap. Mata Lanika membulat saat menyaksikan sekelebat bayangan besar menembus dinding, kemudian rubuh di dekat jendela. Kedua murid Eyang Min segera menghambur untuk mengecek sosok makhluk yang tid
Jalinan waktu terus bergulir. Lanika kian sering merasakan badannya gatal yang kadang disertai sakit kepala. Meskipun sudah mendatangi dokter, tetapi ketidaknyamanan itu hanya berhenti sesaat, lalu kembali lagi. Siang itu, Lanika baru kembali dari tempat praktik dokter, ketika dipanggil ke ruangan sang direktur utama. Perempuan bersetelan blazer hitam memasuki ruangan dan seketika terpaku.Beberapa orang pria memandanginya dengan saksama. Lanika memaksakan senyuman sambil jalan menyambangi Fendi dan berhenti di samping kiri sang bos. Keduanya berbincang sesaat, sebelum Lanika mengambil berkas dari meja dan menjauh Dia baru tiba di pintu, ketika merasakan hawa berat di belakangnya. Lanika mengabaikan hal itu dan bergegas keluar untuk memasuki ruang kerjanya. Lanika menutup dan mengunci pintu. Dia jalan ke meja untuk meletakkan berkas, kemudian membuka blazer dan berpindah ke depan cermin. Lanika membalikkan tubuh karena ingin melihat kondisi punggungnya yang terasa panas. Lanika m
Lanika dan kedua temannya tiba di kota kembang, Sabtu siang. Mereka mendatangi Yolla terlebih dahulu, sebelum mengajak perempuan tersebut ikut ke tempat orang pintar yang diterangkan temannya Sheila. Sepanjang jalan, Yolla sibuk berbalas pesan dengan Bilal, yang memintanya untuk tetap diam dan berpura-pura mendukung Lanika. Pria itu berjanji akan menemui Yolla esok hari di tempat kerja gadis itu. Mobil sedan yang dikemudikan Neni, melaju menuju Antapani. Lanika menahan diri untuk tidak menggerutu karena benjolan yang dideritanya makin bertambah setiap harinya. Lanika sudah mendatangi dokter lain, tetapi mereka menolak melakukan tindakan apa pun dan hanya meresepkan obat, yang hampir mirip dengan obat dari dokter pertama. Perempuan berambut panjang juga telah menghubungi Eyang Min. Namun, Nenek tersebut ternyata tengah dirawat di rumah sakit, sejak beberapa hari lalu. Hingga tidak bisa membantu Lanika. Setibanya di tempat tujuan, Lanika sempat ragu-ragu untuk turun. Dia merasakan
Jalinan waktu terus bergulir. Arudra dan Zivara pagi itu mendatangi kepala KUA di rumahnya, bersama Thamrin dan Tarmizi beserta istri masing-masing. Arudra meminta pada sang kepala KUA untuk membantu proses pengulangan akad, yang akan dilaksanakan Sabtu pekan depan. Setelah mendapatkan persetujuan itu, mereka berpamitan untuk kembali ke rumah masing-masing. Arudra dan Zivara memisahkan diri dari kelompok keluarga. Mereka bergerak menuju kantor cabang EO GIC di kawasan Lodaya.Cyra, istri Zafran, yang menjabat sebagai manajer area Bandung, menyambut kedatangan pasangan tersebut dengan senyuman. Cyra mengajak kedua rekannya ke ruangan pribadi di lantai atas untuk mendiskusikan dekorasi buat resepsi. "Yang dulu, nuansa biru dan putih. Yang sekarang, aku pengen nuansanya pink dan ungu muda," pinta Zivara, sesaat setelah mereka berbincang basa-basi. "Model dekorasinya, sudah punya bayangan kayak gimana?" tanya Cyra. "Belum. Bingung aku." "Bisa pilih dari 3 model ini," tutur Cyra sambi
Rinai hujan mengiringi acara pemakaman Ibu Lanika. Meskipun ada tenda, tetap banyak pelayat yang mengembangkan payung supaya tidak basah. Lanika bergenggaman tangan dengan Yolla dan Neni. Sementara Fatih memegangi ayahnya yang tampak lemas. Hadirin terharu ketika semua anggota keluarga besar almarhumah Desti mengucapkan salam perpisahan, sebelum makamnya ditutup tanah. Kepala Lanika tiba-tiba pusing dan membuatnya limbung. Yolla dan Neni memegangi Lanika yang terkulai lemas. Demikian pula dengan Sheila yang datang bersama teman-teman kerja Lanika di kantor lama. Fatih mendatangi adiknya, dan menggendong Lanika. Pria berbaju koko hitam jalan secepatnya menuju mobil sang ayah, yang posisinya paling dekat dengan makam. Yolla dan Neni membuntuti Fatih, kemudian mereka mengoleskan minyak angin ke pelipis dan hidung Lanika. Fatih kembali ke dekat ayahnya untuk menyaksikan prosesi pemakaman hingga usai. Fatih terkejut ketika ditepuk dari belakang dan segera berbalik. Pria berkulit kuni
Grup Pengantar Pengantin PriaYusuf : Gaes, posisi? Zulfi : ZH. Di belakang mobil pengantin. Jauhari : JD. Masih di posisi semula. Yoga : YP. Aku masih setia di mobil keempat. Aditya : AF. Mobilku mundur, gara-gara diserobot Mas Yon. Haryono : Opo, toh? Sopirmu aja yang lemot, @Aditya. Harun : HR. Lupa, ini mobil urutan ke berapa. Andri : AK. Harun ketularan pikun bosnya. Riaz : RV. Aku tetap di posisi ke-9..Chan : CG. Di mobil Mayuree.Rusdi : RB. Masih mendampingi Mas Justin yang jadi sopir. Ilyas : IR.. Rusdi pelanggaran! Tuan Muda disuruh nyetir. Irwin : IG. Aku duduk manis di samping Bro Radeya. Hans : HB. Pasukan pengawal Pangestu kacau semua. Syahrul : SJ. Di sini, Teh Varsa yang maksa nyetir. Padahal sudah dicegah Bapak Linggha. Zein : ZA. Varsa mau nunjukin kepiawaiannya jadi pembalap formula 9.Gunther : GD. Ngeri aku, Neng Varsa sudah menyalip beberapa mobil. Hendri : HD. Mantap memang anak sulung Mas Linggha. Emyr : EY. Aku ngakak, dipelototin Teh Monica d
Lanika memandangi foto-foto kiriman Yolla. Perempuan berambut panjang menyunggingkan senyuman. Dia turut senang dengan pernikahan ulang yang dilakukan Arudra dan Zivara tadi pagi. Sebenarnya Lanika telah diundang pasangan tersebut. Bahkan Arudra meneleponnya Jumat malam dan memintanya hadir. Namun, Lanika memutuskan untuk tidak datang agar tidak menodai kesakralan acara itu. Lanika meletakkan ponsel ke meja. Dia mengalihkan pandangan ke luar jendela untuk mengamati langit gelap. Lanika menghela napas berat, kemudian dia memutar badan untuk melanjutkan aktivitas berbenah. Ketukan di pintu mengalihkan perhatian Lanika. Dia jalan ke depan dan mengintip melalui lubang kecil. Lanika membulatkan mata menyaksikan sosok pria di luar. Dia segera membukakan pintu dan mempersilakan sang tamu memasuki ruangan. "Jadi, kamu benar-benar mau pindah?" tanya Fendi sambil memerhatikan sekeliling. "Ya," sahut Lanika. "Saya belum ACC permohonanmu untuk berhenti kerja." "Ehm, tidak apa-apa. Aku juga
Jalinan waktu terus bergulir. Pagi itu Arudra berpamitan pada Zivara dan keluarganya, untuk berangkat menuju Surabaya.Zivara melambaikan tangan melepas suaminya yang berada di mobil yang dikemudikan Gilang, yang hendak mengantarkan beberapa bos PC ke bandara. Tidak berselang lama, Fazwan berangkat menuju kantor Janardana, untuk mengantarkan mobil Adik iparnya. Zivara enggan menggunakan mobil itu. Dia memilih mobil SUV putih untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Tepat pukul 8, Zivara memasuki mobilnya yang telah dinyalakan mesinnya sejak tadi. Seusai memasang sabuk pengaman, perempuan bersetelan blazer ungu muda membaca doa, lalu melajukan kendaraan keluar dari pekarangan rumah orang tuanya. Sementara itu, Arudra dan rekan-rekannya telah berada di ruang tunggu bandara. Para lelaki berbeda tampilan tengah sibuk dengan ponsel masing-masing. Terutama untuk memantau perusahaan mereka.Setelahnya, Arudra mengecek semua pesan yang masuk. Dia terkejut melihat ada grup baru yang telah men
Awal malam itu, Lanika tiba di bandara Cengkareng, bersama Sebastian, Rylee dan Cornelia. Mereka dijemput Uday yang kemudian mengantarkan keempatnya ke hotel tempat tim PG dan PC menginap. Setibanya di tempat tujuan, Bilal dan Yolla telah menunggu di lobi. Seusai berbincang sesaat, mereka bergegas menuju ruang pertemuan di lantai tiga, untuk menghadiri jamuan makan malam yang diadakan oleh Tio. Ruangan luas itu seketika heboh. Semua orang menyambut kedua anggota PC yang baru tiba, dengan rangkulan. Hal nyaris serupa juga dilakukan tim para istri pada Cornelia dan Lanika. Kendatipun tidak terlalu mengenal Lanika, tetapi Mayuree dan rekan-rekannya tetap bersikap ramah pada perempuan tersebut. Seusai melepas rindu pada keluarganya, Lanika mendatangi Zivara dan langsung memeluk sahabatnya tersebut dengan erat. Kemudian dia mengurai dekapan dan beralih menciumi Keef yang sedang dipangku maminya. "Masyaallah, asa tambah kasep, pangeran Ate," puji Lanika sembari menggosok-gosokkan hidun
Ruang rapat di gedung kantor PG, siang menjelang sore itu terlihat ramai. Lebih dari 100 pria bersetelan jas biru mengilat, berkumpul untuk mendengarkan pidato Tio. Setelahnya, komisaris PG memanggil orang-orang yang hendak berangkat ke Kanada. Mereka berdiri di kiri Tio, sambil memandang ke depan. Arudra, Drew, Ghael, dan Myron bergantian mengucapkan kalimat perpisahan. Benigno yang akan mengantarkan rekan-rekannya ke Kanada, juga turut memberikan pidato singkat. Sementara Alvaro yang menjadi pemimpin rombongan tersebut, hanya diam sambil memandangi semua orang di ruangan. "Teman-teman, mari kita bersalaman dengan para pejuang ini. Berikan dukungan terbaik buat mereka, yang akan bekerja keras menyelesaikan berbagai proyek kita di Kanada," ungkap Tio sembari turun dari podium. "Mid, tolong atur barisan," pinta Tio yang segera dikerjakan direktur operasional PG. Tio menyalami Arudra dan mendekapnya sesaat. Kemudian Tio memundurkan tubuh dan berbincang singkat dengan rekannya terse
Jalinan waktu terus bergulir. Minggu terakhir berada di Bandung, digunakan Arudra dan Zivara untuk lebih dekat dengan keluarga. Setiap hari mereka bergantian mengunjungi kediaman Rahmadi atau Thamrin, agar bisa bercengkerama dengan keluarga inti dan sanak saudara. Kamis sore, Arudra dan Zivara mendatangi kediaman ketua RT tempat mereka tinggal dan tetangga terdekat, untuk berpamitan. Pasangan tersebut tidak lupa untuk berpamitan pada para pedagang di sekitar kompleks, yang menjadi langganan mereka selama menetap di sana.Jumat pagi, Nirwan melajukan mobil sang bos menuju kediaman Rahmadi. Fazwan dan Disti menyusul menggunakan mobil SUV putih milik Zivara. Tidak berselang lama, Bilal datang bersama Yolla dan keluarganya. Demikian pula dengan Thamrin dan Ruslita. Mereka hendak ikut mengantarkan Arudra dan kelompoknya ke Jakarta. Seusai membaca doa bersama, semua orang menaiki kendaraan. Kemudian Bhadra yang berada di mobil terdepan, menekan klakson sebagai tanda perjalanan akan seg
Senin pagi menjelang siang, Arudra dan Zivara beserta yang lainnya bertolak menuju Lombok. Fazwan dan Disti juga ikut dalam rombongan tersebut untuk menikmati bulan madu, sebagai hadiah dari para petinggi Janardana Grup dan Mahendra Grup. Pada awalnya para pria ingin kembali mengunjungi Pulau Komodo. Namun, karena banyak anak-anak yang ikut, akhirnya tempat tujuan diubah supaya cocok dengan anak kecil.Pesawat yang mereka tumpangi akhirnya tiba di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (Bizam) menjelang pukul 4 sore. Perjalanan itu ditempuh dalam waktu yang cukup lama, karena pesawat harus transit di bandara Bali. Dari bandara menuju hotel milik BPAGK, rombongan tersebut menaiki bus berukuran besar yang disediakan pihak hotel. Agung, ketua pengawal Bali dan Nusa Tenggara, kembali menjadi pemandu wisata dadakan.Seperti biasa, para pengawal muda mengadakan kuis berhadiah kudapan dan minuman ringan. Sebab jumlah bos yang ikut cukup banyak, akhirnya semuanya ikut dan terbagi menj
Sabtu pagi di minggu kedua bulan Agustus, pernikahan Fazwan dan Disti dilangsungkan di gedung pertemuan kawasan Buah Batu. Rombongan keluarga calon pengantin pria tiba belasan menit sebelum acara dimulai. Yudha yang menjadi pemimpin, mengatur barisan bersama teman-teman pasukan pengawal area Bandung. Setelah diberi kode oleh tim panitia pihak perempuan, rombongan berseragam serba krem jalan perlahan menuju pintu utama gedung. Mereka berhenti di bawah tenda untuk menyaksikan sambutan dari kedua orang tua Disti. Susunan acara khas Sunda dilaksanakan dengan khidmat, sebelum akhirnya rombongan dipersilakan masuk. Keluarga inti, para petinggi PBK dan keluarga Janardana, serta Mahendra dan Pangestu, menempati kursi dua deretan terdepan sisi kanan. Di belakang mereka dipenuhi keluarga besar Fazwan, dan semua pengawal lapis satu hingga 12 yang hadir bersama keluarga masing-masing. Tidak berselang lama acara dimulai. Fazwan mendengarkan khotbah nikah dengan serius sambil merekamnya dalam
Minggu berganti menjadi bulan. Menjelang keberangkatan ke Kanada, Zivara justru disibukkan dengan persiapan pernikahan Fazwan. Sebab calon pengantin pria sedang sibuk mengikuti Arudra tugas ke luar kota, mau tidak mau Zivara yang menggantikan posisi akangnya untuk membantu Disti. Sore itu sepulang dari kantor, Zivara memacu mobil SUV putih menuju pusat perbelanjaan. Kala berhenti di perempatan lalu lintas, Zivara menyempatkan diri untuk menelepon Nini, yang tengah dijemput Isfani untuk menyusul Zivara, bersama Keef. Setibanya di tempat tujuan, Zivara memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dia merapikan penampilan terlebih dahulu, kemudian menyemprotkan sedikit parfum ke baju. Sekian menit berikutnya, Zivara telah berada di dekat pintu utama. Dia menunggu kedatangan taksi yang ditumpangi Nini dan Isfani tiba, kemudian mereka bergegas menuju lantai tiga, di mana Disti dan kakaknya telah menunggu. Keempat perempuan bersalaman sambil beradu pipi. Sementara Nini hanya menyalami calon istri
"Siapa kamu!" bentak Eyang Min, saat seorang pria tua muncul di dekat teras depan rumahnya. "Tidak perlu tahu aku siapa. Yang penting, setelah ini usahamu menyesatkan orang akan berhenti," jawab Mulyadi dengan sangat tenang. Eyang Min maju beberapa langkah sambil mengacungkan tongkatnya yang berbentuk unik. "Oh, ternyata kamu. Orang yang sudah melindungi Lanika." "Betul." "Tapi, percuma saja. Sebentar lagi dia akan mati." "Nyawa manusia adalah milik Allah. Sehebat apa pun ilmumu, jika Allah berkehendak, maka Lanika akan aman." Eyang Min tertawa melengking. Mulyadi tetap diam sambil mengamati beberapa orang yang muncul di belakang perempuan berbaju merah. Zein dan ketiga sahabatnya telah selesai bertempur. Mereka berdiri beberapa meter di belakang Mulyadi sambil memerhatikan sekeliling. Masih ada titik-titik merah yang beterbangan, dan harus terus diawasi. Eyang Min melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi ular hitam berukuran besar. Mulyadi spontan mundur sembari memukuli u
Embusan angin kencang menerpa apa pun yang berada di bumi. Dedaunan di dahan bergoyang ke sana kemari mengikuti arah sang bayu. Sekali-sekali akan terdengar suara binatang malam. Selebihnya hanya keheningan yang tercipta di sekitar rumah besar, yang berada di tengah-tengah kebun di pinggir Kota Bogor. Jalan depan rumah itu terlihat lengang. Meskipun waktu baru menunjukkan pukul 10, tetapi tidak ada seorang pun yang melintas di sana. Letak bangunan yang berada di perbukitan, ditambah lagi area belakangnya lebih banyak kebun dibandingkan rumah, menjadikan tempat itu seolah-olah terisolir dari dunia luar. Sekelompok orang terlihat jalan cepat di kebun sisi kiri. Sebab sekitarnya gelap, mereka terpaksa menyalakan senter kecil yang tersambung dengan ikat kepala. Sekali-sekali mereka akan berhenti dan berjongkok untuk memindai sekitar. Kemudian mereka melanjutkan langkah hingga tiba di dekat rerimbunan semak di dekat rumah target. Pria terdepan memberi kode dengan tangan. Lima orang be
Arudra termangu, sesaat setelah Nirwan menceritakan tentang kejadian kemarin malam di mobil Lanika. Bhadra, Casugraha, Fazwan dan Bilal yang juga berada di ruang kerja sang presdir, saling melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Sementara Zein menggeleng pelan seraya tersenyum lebar. Sedangkan Hendti justru bertepuk tangan, kemudian dia menepuk-nepuk pundak Nirwan yang terlihat cengengesan. "Hebat, euy! Bisa ninju kunti," tukas Hendri. "Ini berkat ajaran Akang," balas Nirwan. "Dan Bang Zein, serta teman-teman tim pengejar hantu," lanjutnya sambil memandangi pria berkulit kecokelatan yang balas menatapnya saksama. "Kami cuma melatih sedikit. Hatimu memang kuat, itu yang membuatmu sanggup melawan kuntilanak kiriman Nenek tua itu," jelas Zein. "Kamu ikut latihan olah napas, Wan?" tanya Bilal. "Ya, Bang," jawab Nirwan. "Sudah lama?" "Baru dua bulanan. Itu pun karena diajakin Kang Izra. Dia bilang, auraku kuat. Lebih bagus lagi diarahkan ke ilmu kebatinan." "Aku ingat Izra