"Dia cukup cantik," tutur pria berkumis dan berjanggut tipis. "Yoih," balas pria berkacamata. "Tapi cantikan yang kedua, sih." "Hu um. Yang ini, lebih montok, doang." "Auranya nggak enak." "Rumek. Sangat berat." "Apa dia pakai susuk?" "Enggak, tapi, dia pakai pelapis di satu tempat." "Di mana?" "Pinggulnya." "Apa fungsinya?" "Mungkin biar goyangannya oke." "Goyang dombret?" "Dumang." "Gergaji." "Duh, linu." "W dan H. Obrolan kalian bikin Riaz ngakak, noh," sela Zein yang mendengarkan percakapan itu dari alat perekam tersembunyi, di Bluetooth yang digunakan kedua rekannya. "Harusnya kamu yang masuk, Z. Hendri otaknya kacau," keluh Wirya yang mengenakan kumis palsu. "Kalau aku yang masuk, dia pasti aware, karena kami pernah ketemu waktu meeting dulu," terang Zein. "Sstt. Dia ngelihat ke sini, Abang ipar," timpal Hendri yang menggunakan kacamata. "Dia senyum," bisik Wirya. "Balas, atuh." "Urang mendadak sieun." "Teu ecreug!" Zein dan Riaz yang menunggu di mobil, s
Suasana hening menyelimuti sebuah ruang VIP di restoran khas Korea, yang berada di pusat kota. Meskipun ada beberapa orang di dalamnya, tetapi mereka fokus menghabiskan makanan. Setelahnya, barulah percakapan dimulai. Andrew alias Hendri meladeni Neni yang terlihat antusias menanyakan berbagai hal tentang bisnis alat-alat berat yang memang dikuasai Andrew.Sementara Bastian alias Wirya berusaha keras menahan diri untuk tidak kabur dari tempat itu, akibat ditempeli Lanika. Perempuan bergaun hijau tua bertali kecil, berulang kali menyentuh paha kanan Bastisn sembari memancing pembicaraan tentang kehidupan pria tersebut. "Kenapa belum menikah, Mas?" tanya Lanika. "Sedang mencari orang yang tepat," jawab Bastian. "Seperti apa kriterianya?" "Pertama, tentu harus good looking. Biar nggak malu digandeng ke sana kemari. Kedua, harus smart, supaya bisa mengimbangi saya. Ketiga, satu keyakinan. Saya malas untuk berjuang bila beda agama." "Hanya 3?" "Enggak, masih ada beberapa lagi. Tapi,
Zivara mengerjap-ngerjapkan mata saat membukakan pintu buat Arudra dan beberapa orang di belakang lelakinya. Zivara bingung melihat raut wajah tegang Arudra. Dia ingin bertanya, tetapi Bhadra telah memegangi tangannya sambil menggeleng pelan. Zivara mundur untuk memberikan jalan buat para tamu. Dia membalas jabatan tangan Wirya, Hendri dan Zein sambil bertanya-tanya dalam hati, alasan para bos HWZ mendatangi rumahnya menjelang tengah malam. Sekian menit berlalu, Zivara jalan ke ruang tamu sambil membawa nampan berisikan cangkir-cangkir teh, dan sepiring brownies yang dibuatnya tadi sore. Dari kamar depan, sayup-sayup terdengar percakapan Arudra dan Bhadra. Zivara benar-benar penasaran, hingga memberanikan diri untuk bertanya pada Wirya yang menjelaskannya dengan lugas.Zivara membulatkan mata sambil menutupi mulutnya dengan tangan kanan. Dia tidak menyangka jika perilaku Lanika sudah di luar batas dan akhirnya terjebak dalam rencana ketiga lelaki tersebut. "Aku minta, kamu tetap d
Jalinan waktu terus bergulir. Arudra masih bersikap seperti orang yang tengah patah hati. Meskipun tetap bekerja, tetapi Arudra lebih sering melamun. Bila berada di rumah, Zivara akan setia menemaninya berbincang dan memperlakukannya dengan sangat baik. Bahkan gadis tersebut bersusah payah membuatkan makanan kesukaan Arudra, dan mengantarkannya ke kantor setiap hari. Siang itu, Zivara tiba beberapa menit sebelum jam 12. Dia membalas sapaan para karyawan dengan senyuman. Hingga sampai di dekat ruang kerja suaminya. "Mbak, Mas Ra ada?" tanya Zivara sambil memandangi sekretaris direksi. "Ada, Teh. Tapi, lagi nerima tamu," jelas Maura. "Ehm, kalau gitu, aku titip ini." Zivara meletakkan tas biru ke meja. "Ditunggu, Teh. Mungkin bentar lagi tamunya pulang." "Aku mau ke tempat kursus. Hari ini terakhir, sebelum Senin nanti aku mulai kerja." "Teteh mau kerja di sini?" "Enggak. Aku dapat tawaran di HWZ." "Tamunya Bapak juga bos HWZ, dan dua orang lainnya." "Bos yang mana?" "Pak Ze
Lanika menahan diri untuk tidak mengumpat pria paruh baya di seberang meja. Dia mengepalkan kedua tangan di pangkuan, sambil terus mendengarkan ucapan Budiman Sudarmanto. Neni yang berada di sebelah kanan Lanika, mengeluh dalam hati karena dirinya terseret dalam kasus yang menimpa sahabatnya tersebut. Akibatnya, Neni harus menjalani perintah dari bos mereka secepat mungkin. "Saya minta, kalian segera berkemas. Saya sudah menemukan orang yang tepat untuk menggantikan posisi kalian di sini. Tentu saja, mereka orang-orang yang tidak gemar membuat kericuhan!" tegas Budiman. "Neni, maksimal 3 hari ke depan, kamu sudah stand by di kantor cabang Surabaya," tukas Budiman sambil memandangi asistennya saksama. "Segera lapor saya, jika kamu sudah tiba di kantor sana," lanjutnya yang dibalas anggukan perempuan berbaju kuning muda. "Lanika, kamu juga harus segera berangkat ke Bogor. Paling lambat lusa, kamu sudah bekerja di cabang sana," tambah Budiman sembari mengambil lembaran kertas dari me
Bilal menghentikan mobil bosnya di ujung kanan area parkir. Dia mematikan mesin, kemudian membuka sabuk pengaman. Bilal keluar bersamaan dengan Arudra. Sementara Zivara diminta suaminya untuk tetap berada di mobil. Tiga pria berbeda tampilan keluar dari pintu depan ruko 3 lantai, yang merupakan kantor LCGL, perusahaan bentukan Linggha, Leandru, Giandra dan Chakra. Niko, direktur operasional perusahaan itu, dan Yusuf serta Jauhari, mendatangi Arudra dan Bilal. Mereka belum sempat berbincang, ketika seunit mobil SUV abu-abu berhenti di dekat pagar dan keenam penumpangnya turun. Arudra menggertakkan gigi menyaksikan Kakak tertua Lanika datang bersama teman-temannya. Arudra maju beberapa langkah untuk menjauhkan diri dari mobil, di mana Zivara berada. "Kamu benar-benar kurang ajar!" hardik Fatih, sesaat setelah berhadapan dengan Arudra. "Kamu yang kurang ajar. Datang-datang langsung marah!" geram Arudra. "Aku marah karena kamu nggak punya etika. Menceraikan adikku dan membuangnya ba
Ruslita baru tiba di rumah, pagi menjelang siang, ketika didatangi tetangga sebelah rumah yang mengantarkan paket. Sebab rumah Ruslita kosong, akhirnya kurir menitipkan benda itu ke Ibu sebelah, yang kebetulan tengah menyapu di halamannya. Seusai berbasa-basi, Ruslita memasuki rumah dari pintu samping. Dia meletakkan paket ke meja makan, kemudian dia berpindah ke dapur untuk memisah-misahkan barang belanjaan sesuai jenisnya. Tidak berselang lama, Ruslita duduk di kursi dekat meja makan. Dia penasaran dengan isi kotak yang ditujukan untuk suaminya. Perempuan tua mengambil gunting dari meja, lalu membuka paket dengan hati-hati. Sepucuk amplop tebal terlihat di bagian paling atas. Ruslita mengambil benda itu dan mengeluarkan beberapa lembar kertas yang diketik rapi. Ruslita membaca deretan kalimat dengan teliti. Dia terperangah saat ada kata-kata yang menerangkan jika Arudra telah menikahi perempuan lain, sebelum menikahi Zivara. Ruslita meletakkan lembaran kertas, lalu meraih amplo
Selama beberapa hari berikutnya, dunia Arudra terasa gelap. Dia lebih sering melamun dan sulit berkonsentrasi. Bahkan, selera makannya menghilang, hingga perlahan tubuhnya kian kurus.Arudra tetap tinggal di rumah Zivara. Dia akan memeluk baju terakhir yang dikenakan perempuan tersebut, nyaris sepanjang waktu tidurnya. Bilal dan Bhadra serta Casugraha telah membujuk Arudra untuk mau pindah ke rumah Rahmadi. Namun, sang presdir Janardana tetap bersikeras tinggal di rumah penuh kenangannya bersama Zivara. Arudra dan keluarganya tidak berhasil menghubungi gadis itu, karena nomor telepon Zivara tidak aktif. Arudra juga sudah mendatangi kediaman Thamrin, tetapi rumah itu telah kosong. Siang itu, Arudra menemui Zein di kantor HWZ. Dia menceritakan semuanya dan meminta bantuan pria tersebut untuk mencarikan Zivara. "Aku sudah nyoba nanya ke orang proyek, kata mereka, Zivara nggak ada berkunjung ke sana, setelah pulang denganmu tempo hari," ungkap Zein. "Dia cuma sekali nelepon Izra, dan
Awal malam itu, Lanika tiba di bandara Cengkareng, bersama Sebastian, Rylee dan Cornelia. Mereka dijemput Uday yang kemudian mengantarkan keempatnya ke hotel tempat tim PG dan PC menginap. Setibanya di tempat tujuan, Bilal dan Yolla telah menunggu di lobi. Seusai berbincang sesaat, mereka bergegas menuju ruang pertemuan di lantai tiga, untuk menghadiri jamuan makan malam yang diadakan oleh Tio. Ruangan luas itu seketika heboh. Semua orang menyambut kedua anggota PC yang baru tiba, dengan rangkulan. Hal nyaris serupa juga dilakukan tim para istri pada Cornelia dan Lanika. Kendatipun tidak terlalu mengenal Lanika, tetapi Mayuree dan rekan-rekannya tetap bersikap ramah pada perempuan tersebut. Seusai melepas rindu pada keluarganya, Lanika mendatangi Zivara dan langsung memeluk sahabatnya tersebut dengan erat. Kemudian dia mengurai dekapan dan beralih menciumi Keef yang sedang dipangku maminya. "Masyaallah, asa tambah kasep, pangeran Ate," puji Lanika sembari menggosok-gosokkan hidun
Ruang rapat di gedung kantor PG, siang menjelang sore itu terlihat ramai. Lebih dari 100 pria bersetelan jas biru mengilat, berkumpul untuk mendengarkan pidato Tio. Setelahnya, komisaris PG memanggil orang-orang yang hendak berangkat ke Kanada. Mereka berdiri di kiri Tio, sambil memandang ke depan. Arudra, Drew, Ghael, dan Myron bergantian mengucapkan kalimat perpisahan. Benigno yang akan mengantarkan rekan-rekannya ke Kanada, juga turut memberikan pidato singkat. Sementara Alvaro yang menjadi pemimpin rombongan tersebut, hanya diam sambil memandangi semua orang di ruangan. "Teman-teman, mari kita bersalaman dengan para pejuang ini. Berikan dukungan terbaik buat mereka, yang akan bekerja keras menyelesaikan berbagai proyek kita di Kanada," ungkap Tio sembari turun dari podium. "Mid, tolong atur barisan," pinta Tio yang segera dikerjakan direktur operasional PG. Tio menyalami Arudra dan mendekapnya sesaat. Kemudian Tio memundurkan tubuh dan berbincang singkat dengan rekannya terse
Jalinan waktu terus bergulir. Minggu terakhir berada di Bandung, digunakan Arudra dan Zivara untuk lebih dekat dengan keluarga. Setiap hari mereka bergantian mengunjungi kediaman Rahmadi atau Thamrin, agar bisa bercengkerama dengan keluarga inti dan sanak saudara. Kamis sore, Arudra dan Zivara mendatangi kediaman ketua RT tempat mereka tinggal dan tetangga terdekat, untuk berpamitan. Pasangan tersebut tidak lupa untuk berpamitan pada para pedagang di sekitar kompleks, yang menjadi langganan mereka selama menetap di sana.Jumat pagi, Nirwan melajukan mobil sang bos menuju kediaman Rahmadi. Fazwan dan Disti menyusul menggunakan mobil SUV putih milik Zivara. Tidak berselang lama, Bilal datang bersama Yolla dan keluarganya. Demikian pula dengan Thamrin dan Ruslita. Mereka hendak ikut mengantarkan Arudra dan kelompoknya ke Jakarta. Seusai membaca doa bersama, semua orang menaiki kendaraan. Kemudian Bhadra yang berada di mobil terdepan, menekan klakson sebagai tanda perjalanan akan seg
Senin pagi menjelang siang, Arudra dan Zivara beserta yang lainnya bertolak menuju Lombok. Fazwan dan Disti juga ikut dalam rombongan tersebut untuk menikmati bulan madu, sebagai hadiah dari para petinggi Janardana Grup dan Mahendra Grup. Pada awalnya para pria ingin kembali mengunjungi Pulau Komodo. Namun, karena banyak anak-anak yang ikut, akhirnya tempat tujuan diubah supaya cocok dengan anak kecil.Pesawat yang mereka tumpangi akhirnya tiba di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (Bizam) menjelang pukul 4 sore. Perjalanan itu ditempuh dalam waktu yang cukup lama, karena pesawat harus transit di bandara Bali. Dari bandara menuju hotel milik BPAGK, rombongan tersebut menaiki bus berukuran besar yang disediakan pihak hotel. Agung, ketua pengawal Bali dan Nusa Tenggara, kembali menjadi pemandu wisata dadakan.Seperti biasa, para pengawal muda mengadakan kuis berhadiah kudapan dan minuman ringan. Sebab jumlah bos yang ikut cukup banyak, akhirnya semuanya ikut dan terbagi menj
Sabtu pagi di minggu kedua bulan Agustus, pernikahan Fazwan dan Disti dilangsungkan di gedung pertemuan kawasan Buah Batu. Rombongan keluarga calon pengantin pria tiba belasan menit sebelum acara dimulai. Yudha yang menjadi pemimpin, mengatur barisan bersama teman-teman pasukan pengawal area Bandung. Setelah diberi kode oleh tim panitia pihak perempuan, rombongan berseragam serba krem jalan perlahan menuju pintu utama gedung. Mereka berhenti di bawah tenda untuk menyaksikan sambutan dari kedua orang tua Disti. Susunan acara khas Sunda dilaksanakan dengan khidmat, sebelum akhirnya rombongan dipersilakan masuk. Keluarga inti, para petinggi PBK dan keluarga Janardana, serta Mahendra dan Pangestu, menempati kursi dua deretan terdepan sisi kanan. Di belakang mereka dipenuhi keluarga besar Fazwan, dan semua pengawal lapis satu hingga 12 yang hadir bersama keluarga masing-masing. Tidak berselang lama acara dimulai. Fazwan mendengarkan khotbah nikah dengan serius sambil merekamnya dalam
Minggu berganti menjadi bulan. Menjelang keberangkatan ke Kanada, Zivara justru disibukkan dengan persiapan pernikahan Fazwan. Sebab calon pengantin pria sedang sibuk mengikuti Arudra tugas ke luar kota, mau tidak mau Zivara yang menggantikan posisi akangnya untuk membantu Disti. Sore itu sepulang dari kantor, Zivara memacu mobil SUV putih menuju pusat perbelanjaan. Kala berhenti di perempatan lalu lintas, Zivara menyempatkan diri untuk menelepon Nini, yang tengah dijemput Isfani untuk menyusul Zivara, bersama Keef. Setibanya di tempat tujuan, Zivara memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dia merapikan penampilan terlebih dahulu, kemudian menyemprotkan sedikit parfum ke baju. Sekian menit berikutnya, Zivara telah berada di dekat pintu utama. Dia menunggu kedatangan taksi yang ditumpangi Nini dan Isfani tiba, kemudian mereka bergegas menuju lantai tiga, di mana Disti dan kakaknya telah menunggu. Keempat perempuan bersalaman sambil beradu pipi. Sementara Nini hanya menyalami calon istri
"Siapa kamu!" bentak Eyang Min, saat seorang pria tua muncul di dekat teras depan rumahnya. "Tidak perlu tahu aku siapa. Yang penting, setelah ini usahamu menyesatkan orang akan berhenti," jawab Mulyadi dengan sangat tenang. Eyang Min maju beberapa langkah sambil mengacungkan tongkatnya yang berbentuk unik. "Oh, ternyata kamu. Orang yang sudah melindungi Lanika." "Betul." "Tapi, percuma saja. Sebentar lagi dia akan mati." "Nyawa manusia adalah milik Allah. Sehebat apa pun ilmumu, jika Allah berkehendak, maka Lanika akan aman." Eyang Min tertawa melengking. Mulyadi tetap diam sambil mengamati beberapa orang yang muncul di belakang perempuan berbaju merah. Zein dan ketiga sahabatnya telah selesai bertempur. Mereka berdiri beberapa meter di belakang Mulyadi sambil memerhatikan sekeliling. Masih ada titik-titik merah yang beterbangan, dan harus terus diawasi. Eyang Min melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi ular hitam berukuran besar. Mulyadi spontan mundur sembari memukuli u
Embusan angin kencang menerpa apa pun yang berada di bumi. Dedaunan di dahan bergoyang ke sana kemari mengikuti arah sang bayu. Sekali-sekali akan terdengar suara binatang malam. Selebihnya hanya keheningan yang tercipta di sekitar rumah besar, yang berada di tengah-tengah kebun di pinggir Kota Bogor. Jalan depan rumah itu terlihat lengang. Meskipun waktu baru menunjukkan pukul 10, tetapi tidak ada seorang pun yang melintas di sana. Letak bangunan yang berada di perbukitan, ditambah lagi area belakangnya lebih banyak kebun dibandingkan rumah, menjadikan tempat itu seolah-olah terisolir dari dunia luar. Sekelompok orang terlihat jalan cepat di kebun sisi kiri. Sebab sekitarnya gelap, mereka terpaksa menyalakan senter kecil yang tersambung dengan ikat kepala. Sekali-sekali mereka akan berhenti dan berjongkok untuk memindai sekitar. Kemudian mereka melanjutkan langkah hingga tiba di dekat rerimbunan semak di dekat rumah target. Pria terdepan memberi kode dengan tangan. Lima orang be
Arudra termangu, sesaat setelah Nirwan menceritakan tentang kejadian kemarin malam di mobil Lanika. Bhadra, Casugraha, Fazwan dan Bilal yang juga berada di ruang kerja sang presdir, saling melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Sementara Zein menggeleng pelan seraya tersenyum lebar. Sedangkan Hendti justru bertepuk tangan, kemudian dia menepuk-nepuk pundak Nirwan yang terlihat cengengesan. "Hebat, euy! Bisa ninju kunti," tukas Hendri. "Ini berkat ajaran Akang," balas Nirwan. "Dan Bang Zein, serta teman-teman tim pengejar hantu," lanjutnya sambil memandangi pria berkulit kecokelatan yang balas menatapnya saksama. "Kami cuma melatih sedikit. Hatimu memang kuat, itu yang membuatmu sanggup melawan kuntilanak kiriman Nenek tua itu," jelas Zein. "Kamu ikut latihan olah napas, Wan?" tanya Bilal. "Ya, Bang," jawab Nirwan. "Sudah lama?" "Baru dua bulanan. Itu pun karena diajakin Kang Izra. Dia bilang, auraku kuat. Lebih bagus lagi diarahkan ke ilmu kebatinan." "Aku ingat Izra