Beberapa orang turun dari mobil SUV silver, yang diparkirkan di depan sebuah bangunan tiga lantai di kawasan pusat bisnis Kota Bandung. Mereka mengayunkan tungkai menuju pintu depan kafe yang dibukaksn seseorang dari dalam. Bilal sempat berbincang dengan sang pegawai, yang segera mengantarkan para tamu ke lantai dua bangunan. Pekikan bergema dari sekelompok pria berpakaian serba putih, kala melihat Bilal muncul sambil menggandeng Yolla. Di belakang keduanya, Lanika menyusul bersama Neni, Fatih dan istrinya. Fazwan bergegas mendatangi kelompok tersebut untuk menyalami mereka. Arudra menghampiri para tamu dan bersalaman, lalu dia memeluk Lanika sesaat dengan hati-hati. Zivara yang tengah berbincang dengan para istri anggota PC dan PG, berdiri dari kursi sambil berpegangan pada Divia. Zivara menyambangi kelompok tamu seraya mengulaskan senyuman. "Sorry, tadi agak macet. Jadinya telat," tukas Lanika seusai beradu pipi dengan Zivara. "Enggak apa-apa, Teh. Acaranya juga belum dimulai,
Lorong di depan ruang bersalin terlihat ramai orang. Tidak ada seorang pun yang terlihat akan pergi. Padahal waktu sudah lewat dari tengah malam. Fazwan jalan mondar-mandir sepanjang koridor. Dia sangat gelisah karena belum ada kabar tentang Zivara yang berada di ruangan dalam. Thamrin tidak putus berdoa untuk keselamatan putri dan cucunya. Begitu pula dengan Rahmadi dan Indriati, yang tadi datang bersama Bhadra serta Casugraha. Zein dan Hendri yang berdiri di dekat pintu ruang bersalin, bekerjasama menggunakan tenaga dalam untuk menarik dan mempercepat proses lahiran. Keduanya telah mendapatkan persetujuan dari Arudra untuk melakukan itu, sebagai cara untuk mempercepat kontraksi agar bayi bisa segera lahir. Mendekati pukul 1 dini hari, pintu besar bercat putih terbuka dan Arudra keluar dari ruangan seraya tersenyum. Dia menepuk pundak kedua sahabatnya yang telah berpindah duduk di kursi terdekat."Bayinya sudah lahir," jelas Arudra. "Alhamdulillah," balas Zein dan yang lainnya
Grup PC Utama Nandito : Alhamdulillah. Buka hape subuh ini, dapat berita gembira. Selamat atas kelahiran putranya, @Arudra. Arya : Welcome, Bayi ganteng. Besok Om ke Bandung bareng Hadrian dan Endaru. Joshua : Selamat, @Arudra dan Zivara. Sanusi : Aku baru bisa berangkat Sabtu pagi. Ada yang mau join? Hans : Aku, @Sanusi. Sekalian pelesiran ke Bandung. Luthfan : Aku berangkatnya sama Mas Arkhan dan Daddy Baskara. Jumat malam berangkat ke Bandung. Agathias ; Aku titip kado ke siapa? Johan : @Zafran. Henley : Aku nitip, dong. Nanti ditransfer. Arnold : Saya kebetulan lagi di rumah mertua. Nanti ke rumah sakitnya bareng istri, Trevor dan Jewel. Kasyafani : Ponakanku sudah lahir! Tunggu, ya, Kasep. Uwa' beresin kerjaan dulu. Jumat siang otw ke Bandung. Haikal : Aku baru nyampe rumah, habis dari Palembang. @Hans, @Idris, kita berangkat bareng Bapak-bapak pengawal lapis satu aja. Idris : Atur, @Haikal. Aku mau duduk manis jadi penumpang. Hans : Pak Sultan mau nitip kado, nih.
Hari berganti. Zivara dan bayinya telah pulang. Atas permintaan Ruslita, sang putri dan cucu baru diangkut ke kediamannya. Bukan tanpa sebab Ruslita melakukan itu. Dia hanya ingin mengurus Zivara yang tentunya butuh perhatian ekstra. Arudra tidak keberatan untuk tinggal sementara di rumah mertua. Dia memahami jika Zivara memerlukan waktu istirahat. Jika di rumah mereka, maka Zivara akan kerepotan mengurus diri dan bayi sekaligus. Zivara tidak mau menggunakan pengasuh khusus bayi. Dia ingin merawat Keef sendiri, tentu saja dengan bantuan Ruslita, dan nantinya Nini yang akan membantu Zivara di rumahnya. Hampir sepanjang hari itu banyak tamu yang datang untuk menjenguk bayi. Selain para tetangga dan kerabat, teman-teman Arudra juga hadir silih berganti. Malam itu, Zivara yang sangat kelelahan akhirnya tidur terlebih dahulu. Ruslita memasuki kamar putrinya. Dia tertegun melihat Zivara telah sangat pulas hingga mendengkur pelan. Perempuan tua berjilbab biru mengambil sang bayi yang se
Jalinan waktu terus bergulir. Malam itu, Mulyadi memimpin pengajian di kediaman Lanika. Bayu, Ubaid dan beberapa murid Mulyadi turut hadir. Demikian pula dengan Neni, Jimmy dan Sheilla. Zein dan Hendri duduk berdampingan di dekat pintu. Keduanya saling menyiku kala merasakan hawa berat melingkupi area. Gunther, Izra dan Emris serentak mengambil tisu untuk mengusap peluh di dahi serta leher mereka. Ubaid dan Bayu sama-sama mengeluarkan saputangan dari saku celana untuk menyeka keringat di wajah keduanya. Naizar, sahabat Zein saat masih kerja di proyek tol dulu, memindai sekitar sembari membatin bila udaranya kian pengap. Naizar yang juga murid Mulyadi, melirik Kenzie yang berada di samping kanannya. "Zie, hawanya tambah nggak enak," bisik Naizar. Kenzie mengangguk. "Ya, Kang. Kayaknya benar-benar ada sesuatu di sini," balasnya. "Kenapa bisa kena lagi, ya? Padahal rumah ini sudah dibersihkan. Maksudku, sebelum diisi dulu," sela Gilang yang duduk di sebelah kanan Kenzie. "Mungkin
Arudra terperangah, sesaat setelah mendengar cerita Bilal, tentang kejadian di kediaman Lanika kemarin malam. Arudra masih melongo selama beberapa saat, hingga pundaknya ditepuk Fawwaz. "Mangap wae. Nanti masuk lalat," seloroh Fazwan sembari mengenakan sepatu kets. "Aku bingung, kok, dia bisa kena lagi?" tanya Arudra. "Kata Pak Mul, karena Lanika lagi lemah," jelas Bilal. Arudra manggut-manggut. "Bisa jadi memang gitu." "Kemaren ada yang ngusulin, supaya Lanika diungsikan lagi." "Ke mana? Dia, kan, masih harus kontrol." "Belum tahu ke mana. Kalau balik kerja lagi ke Singapura, mungkin dia belum kuat." "Ya. Aku juga jadi kepikiran, karena di sana dia sendirian." "Itu juga yang diomongin Yolla. Kalau masih seputar sini, Bibi bisa diangkut buat nemenin Lanika." "Harus nyeberang lautan, kan?" "Kayaknya." "Coba tanyain ke Bang Zein. Mungkin ada keluarganya di Pontianak yang bisa bantu ngawasin." Bilal tertegun. "Aku nggak ingat kalau dia orang Kalimantan." "Karena sudah fasih
Kedatangan Arudra dan Zivara, Jumat sore itu disambut hangat keluarga Janardana. Dalam waktu singkat, Keef sudah berpindah dari satu tangan ke tangan lainnya. Ruslita yang turut mengantarkan putrinya, berbincang serius dengan Indriati dan Yani, tentang kebiasaan cucu pertama mereka yang sangat lucu. Para Bapak yang berkumpul di ruang tamu, sibuk bercakap-cakap tentang berbagai hal. Sementara Arudra dan yang muda-muda memenuhi gazebo belakang rumah, sembari menikmati hidangan yang disediakan. "Aku deg-degan. Baru kali ini jadi qori," tutur Alsaki, Adik sepupu Arudra. "Kamu pasti bisa. Sudah biasa ngaji sama Ustaz Wahyu," balas Bhadra. "Hmm, ya, semoga nggak malu-maluin," papar Alsaki. "Yang jadi satitilawah, siapa?" tanya Soraya, sepupu Zivara yang ikut berkunjung ke kediaman Rahmadi. "Isfani," jawab Zivara. "Nanti habis magrib dia ke sini sama teman-teman. Mau nginap dan bantu-bantu, katanya," lanjutnya. "Bantu ngapain? Nyapu ngepel?" seloroh Casugraha. "Entar, kan, pemasanga
Zivara mengusap sudut matanya dengan tisu. Dia kesulitan menahan tawa hingga akhirnya berurai air mata, akibat menyaksikan adu panco para Bapak di bawah tenda. Baik yang sudah punya anak ataupun belum, beradu otot demi mendapatkan calon menantu. Selain tangan, kaki dan mulut mereka juga tidak berhenti bergerak. Pertandingan panco antara Alvaro melawan Giandra, menjadi lomba paling kocak. Keduanya berganti pose setiap satu menit, hingga adu panco tak kunjung usai. "Var, ngalah!" desis Giandra. "Kagak ada," balas Alvaro sembari menambah kekuatan tangannya. "Aku lebih tua." "Kagak ngaruh. Pokoknya siapa pun yang terkuat, berhak jadi calon besan Wirya." "Jarak Juna ke anak Wirya yang kedua, terlalu jauh. Mending sama anakku, cuma beda setahun." "Anakku yang kedua, bakal seumuran sama adiknya Bayazid." "Ehh, May lagi hamil?" "Hu um." "Apa!" pekik Yanuar dari belakang Alvaro. "Bang, beneran May hamil?" tanyanya sambil berpindah ke kiri sahabatnya. "Ya," sahut Alvaro. "Kok, elu
Awal malam itu, Lanika tiba di bandara Cengkareng, bersama Sebastian, Rylee dan Cornelia. Mereka dijemput Uday yang kemudian mengantarkan keempatnya ke hotel tempat tim PG dan PC menginap. Setibanya di tempat tujuan, Bilal dan Yolla telah menunggu di lobi. Seusai berbincang sesaat, mereka bergegas menuju ruang pertemuan di lantai tiga, untuk menghadiri jamuan makan malam yang diadakan oleh Tio. Ruangan luas itu seketika heboh. Semua orang menyambut kedua anggota PC yang baru tiba, dengan rangkulan. Hal nyaris serupa juga dilakukan tim para istri pada Cornelia dan Lanika. Kendatipun tidak terlalu mengenal Lanika, tetapi Mayuree dan rekan-rekannya tetap bersikap ramah pada perempuan tersebut. Seusai melepas rindu pada keluarganya, Lanika mendatangi Zivara dan langsung memeluk sahabatnya tersebut dengan erat. Kemudian dia mengurai dekapan dan beralih menciumi Keef yang sedang dipangku maminya. "Masyaallah, asa tambah kasep, pangeran Ate," puji Lanika sembari menggosok-gosokkan hidun
Ruang rapat di gedung kantor PG, siang menjelang sore itu terlihat ramai. Lebih dari 100 pria bersetelan jas biru mengilat, berkumpul untuk mendengarkan pidato Tio. Setelahnya, komisaris PG memanggil orang-orang yang hendak berangkat ke Kanada. Mereka berdiri di kiri Tio, sambil memandang ke depan. Arudra, Drew, Ghael, dan Myron bergantian mengucapkan kalimat perpisahan. Benigno yang akan mengantarkan rekan-rekannya ke Kanada, juga turut memberikan pidato singkat. Sementara Alvaro yang menjadi pemimpin rombongan tersebut, hanya diam sambil memandangi semua orang di ruangan. "Teman-teman, mari kita bersalaman dengan para pejuang ini. Berikan dukungan terbaik buat mereka, yang akan bekerja keras menyelesaikan berbagai proyek kita di Kanada," ungkap Tio sembari turun dari podium. "Mid, tolong atur barisan," pinta Tio yang segera dikerjakan direktur operasional PG. Tio menyalami Arudra dan mendekapnya sesaat. Kemudian Tio memundurkan tubuh dan berbincang singkat dengan rekannya terse
Jalinan waktu terus bergulir. Minggu terakhir berada di Bandung, digunakan Arudra dan Zivara untuk lebih dekat dengan keluarga. Setiap hari mereka bergantian mengunjungi kediaman Rahmadi atau Thamrin, agar bisa bercengkerama dengan keluarga inti dan sanak saudara. Kamis sore, Arudra dan Zivara mendatangi kediaman ketua RT tempat mereka tinggal dan tetangga terdekat, untuk berpamitan. Pasangan tersebut tidak lupa untuk berpamitan pada para pedagang di sekitar kompleks, yang menjadi langganan mereka selama menetap di sana.Jumat pagi, Nirwan melajukan mobil sang bos menuju kediaman Rahmadi. Fazwan dan Disti menyusul menggunakan mobil SUV putih milik Zivara. Tidak berselang lama, Bilal datang bersama Yolla dan keluarganya. Demikian pula dengan Thamrin dan Ruslita. Mereka hendak ikut mengantarkan Arudra dan kelompoknya ke Jakarta. Seusai membaca doa bersama, semua orang menaiki kendaraan. Kemudian Bhadra yang berada di mobil terdepan, menekan klakson sebagai tanda perjalanan akan seg
Senin pagi menjelang siang, Arudra dan Zivara beserta yang lainnya bertolak menuju Lombok. Fazwan dan Disti juga ikut dalam rombongan tersebut untuk menikmati bulan madu, sebagai hadiah dari para petinggi Janardana Grup dan Mahendra Grup. Pada awalnya para pria ingin kembali mengunjungi Pulau Komodo. Namun, karena banyak anak-anak yang ikut, akhirnya tempat tujuan diubah supaya cocok dengan anak kecil.Pesawat yang mereka tumpangi akhirnya tiba di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (Bizam) menjelang pukul 4 sore. Perjalanan itu ditempuh dalam waktu yang cukup lama, karena pesawat harus transit di bandara Bali. Dari bandara menuju hotel milik BPAGK, rombongan tersebut menaiki bus berukuran besar yang disediakan pihak hotel. Agung, ketua pengawal Bali dan Nusa Tenggara, kembali menjadi pemandu wisata dadakan.Seperti biasa, para pengawal muda mengadakan kuis berhadiah kudapan dan minuman ringan. Sebab jumlah bos yang ikut cukup banyak, akhirnya semuanya ikut dan terbagi menj
Sabtu pagi di minggu kedua bulan Agustus, pernikahan Fazwan dan Disti dilangsungkan di gedung pertemuan kawasan Buah Batu. Rombongan keluarga calon pengantin pria tiba belasan menit sebelum acara dimulai. Yudha yang menjadi pemimpin, mengatur barisan bersama teman-teman pasukan pengawal area Bandung. Setelah diberi kode oleh tim panitia pihak perempuan, rombongan berseragam serba krem jalan perlahan menuju pintu utama gedung. Mereka berhenti di bawah tenda untuk menyaksikan sambutan dari kedua orang tua Disti. Susunan acara khas Sunda dilaksanakan dengan khidmat, sebelum akhirnya rombongan dipersilakan masuk. Keluarga inti, para petinggi PBK dan keluarga Janardana, serta Mahendra dan Pangestu, menempati kursi dua deretan terdepan sisi kanan. Di belakang mereka dipenuhi keluarga besar Fazwan, dan semua pengawal lapis satu hingga 12 yang hadir bersama keluarga masing-masing. Tidak berselang lama acara dimulai. Fazwan mendengarkan khotbah nikah dengan serius sambil merekamnya dalam
Minggu berganti menjadi bulan. Menjelang keberangkatan ke Kanada, Zivara justru disibukkan dengan persiapan pernikahan Fazwan. Sebab calon pengantin pria sedang sibuk mengikuti Arudra tugas ke luar kota, mau tidak mau Zivara yang menggantikan posisi akangnya untuk membantu Disti. Sore itu sepulang dari kantor, Zivara memacu mobil SUV putih menuju pusat perbelanjaan. Kala berhenti di perempatan lalu lintas, Zivara menyempatkan diri untuk menelepon Nini, yang tengah dijemput Isfani untuk menyusul Zivara, bersama Keef. Setibanya di tempat tujuan, Zivara memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dia merapikan penampilan terlebih dahulu, kemudian menyemprotkan sedikit parfum ke baju. Sekian menit berikutnya, Zivara telah berada di dekat pintu utama. Dia menunggu kedatangan taksi yang ditumpangi Nini dan Isfani tiba, kemudian mereka bergegas menuju lantai tiga, di mana Disti dan kakaknya telah menunggu. Keempat perempuan bersalaman sambil beradu pipi. Sementara Nini hanya menyalami calon istri
"Siapa kamu!" bentak Eyang Min, saat seorang pria tua muncul di dekat teras depan rumahnya. "Tidak perlu tahu aku siapa. Yang penting, setelah ini usahamu menyesatkan orang akan berhenti," jawab Mulyadi dengan sangat tenang. Eyang Min maju beberapa langkah sambil mengacungkan tongkatnya yang berbentuk unik. "Oh, ternyata kamu. Orang yang sudah melindungi Lanika." "Betul." "Tapi, percuma saja. Sebentar lagi dia akan mati." "Nyawa manusia adalah milik Allah. Sehebat apa pun ilmumu, jika Allah berkehendak, maka Lanika akan aman." Eyang Min tertawa melengking. Mulyadi tetap diam sambil mengamati beberapa orang yang muncul di belakang perempuan berbaju merah. Zein dan ketiga sahabatnya telah selesai bertempur. Mereka berdiri beberapa meter di belakang Mulyadi sambil memerhatikan sekeliling. Masih ada titik-titik merah yang beterbangan, dan harus terus diawasi. Eyang Min melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi ular hitam berukuran besar. Mulyadi spontan mundur sembari memukuli u
Embusan angin kencang menerpa apa pun yang berada di bumi. Dedaunan di dahan bergoyang ke sana kemari mengikuti arah sang bayu. Sekali-sekali akan terdengar suara binatang malam. Selebihnya hanya keheningan yang tercipta di sekitar rumah besar, yang berada di tengah-tengah kebun di pinggir Kota Bogor. Jalan depan rumah itu terlihat lengang. Meskipun waktu baru menunjukkan pukul 10, tetapi tidak ada seorang pun yang melintas di sana. Letak bangunan yang berada di perbukitan, ditambah lagi area belakangnya lebih banyak kebun dibandingkan rumah, menjadikan tempat itu seolah-olah terisolir dari dunia luar. Sekelompok orang terlihat jalan cepat di kebun sisi kiri. Sebab sekitarnya gelap, mereka terpaksa menyalakan senter kecil yang tersambung dengan ikat kepala. Sekali-sekali mereka akan berhenti dan berjongkok untuk memindai sekitar. Kemudian mereka melanjutkan langkah hingga tiba di dekat rerimbunan semak di dekat rumah target. Pria terdepan memberi kode dengan tangan. Lima orang be
Arudra termangu, sesaat setelah Nirwan menceritakan tentang kejadian kemarin malam di mobil Lanika. Bhadra, Casugraha, Fazwan dan Bilal yang juga berada di ruang kerja sang presdir, saling melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Sementara Zein menggeleng pelan seraya tersenyum lebar. Sedangkan Hendti justru bertepuk tangan, kemudian dia menepuk-nepuk pundak Nirwan yang terlihat cengengesan. "Hebat, euy! Bisa ninju kunti," tukas Hendri. "Ini berkat ajaran Akang," balas Nirwan. "Dan Bang Zein, serta teman-teman tim pengejar hantu," lanjutnya sambil memandangi pria berkulit kecokelatan yang balas menatapnya saksama. "Kami cuma melatih sedikit. Hatimu memang kuat, itu yang membuatmu sanggup melawan kuntilanak kiriman Nenek tua itu," jelas Zein. "Kamu ikut latihan olah napas, Wan?" tanya Bilal. "Ya, Bang," jawab Nirwan. "Sudah lama?" "Baru dua bulanan. Itu pun karena diajakin Kang Izra. Dia bilang, auraku kuat. Lebih bagus lagi diarahkan ke ilmu kebatinan." "Aku ingat Izra