104 Arudra tiba di rumah sore itu dengan langkah tergesa-gesa. Dia mencari sang istri yang tengah berkebun di belakang, kemudian Arudra mengajak Zivara segera berkemas. "Mau ke mana, sih?" tanya Zivara sembari mencuci tangannya di keran belakang. "Aku lupa, undangannya Adik Bang Ilyas itu, nanti malam, bukan besok sore," jelas Arudra sambil membuka kancing kemejanya. "Aduh, aku ada acara juga besok." "Acara apaan?" "Akikahan anaknya Kak Wati, staf marketing kantor." "Jam berapa?" "Dari jam 10 sampai jam 1 siang." "Bisa kita ngejar pulang ke sini." Nirwan muncul sambil membawa tas travel milik sang bos. "Mas, di sini cuma ada kemeja putih sama dasi dan celana," paparnya. "Kamu yang pakai itu. Nanti tambahkan jasku," tukas Arudra yang mengejutkan ajudannya. "Aku pakai baju Mas?" "Ya, sekalian buatmu. Belum pernah kupakai itu, cuma dicuci, doang." "Ehm, aku pakai kemejaku aja." "Itu buat pulang besok." Arudra memandangi lelaki berusia 24 tahun yang tengah mengambil sesuatu
"Ya, ampun. Pipiku keram ketawa terus," keluh Zivara sembari membuka dan menutup mulutnya, untuk mengurangi rasa tidak nyaman di kedua pipi. "Makin ke sini, lawakan tim PBK makin kacau," papar Arudra. "Bang Ari pakai gaun gitu, cantik." "Mukanya memang imut. Kulitnya putih juga. Jadi pas kalau berlakon sebagai bences." "Tapi dadanya berbulu. Apalagi Bang Yan." "Segitu pasti sudah mereka cukur. Bang Yan aslinya itu bulu sampai ke dekat udel." Zivara mengamati suaminya. "Mas, kok, nggak berbulu dadanya?" "Beda orang, ya, beda juga. Aku bulunya di tangan dan kaki. Dada, nggak ada." Arudra mengingat-ingat tubuh kedua adiknya. "Bhadra, dada dan kakinya berbulu. Kalau Casugraha, cuma tangan aja," lanjutnya. "Di-waxing, biar mulus.""Sakit, atuh." "Sebentar, doang." "Kamu, sering di-waxing?" "Ya, tapi cuma kaki." "Segitiga Bermuda, coba di-wax juga." Zivara spontan menepuk paha suaminya. "Enggak mau. Entar kayak Mbak Sarah, dia nyoba wax bagian itu, jadinya alergi." "Alergi gim
Hari berganti. Siang itu, Zivara tengah menikmati kudapan manis kiriman Arudra, ketika mendengar namanya dipanggil. Zivara melirik ke kiri kemudian dia mengamgguk saat Zein memberi kode dengan tangan, agar Zivara mengikutinya keluar. Sekian menit berlalu, keduanya telah duduk saling berhadapan di set sofa abu-abu tua berbentuk huruf L, di ruang kerja komisaris satu HWZ.Zivara mendengarkan penuturan Zein, sambil mencatat beberapa hal penting. Perempuan bersetelan blazer sage menggigit bibir bawah, ketika menyadari bila dia harus melimpahkan banyak pekerjaan ke staf lain. "Cari orang buat gantiin kamu, Zi. Persiapan dari jauh-jauh hari, lebih bagus daripada mepet waktu," ujar Zein sembari menyandar ke belakang. "Ya, Bang," sahut Zivara. "Rini masuk, kamu cuti panjang. Ditambah Gunther juga cuti buat nikah dan honeymoon. Izra juga repot ngurus bayinya yang akan lahir bulan depan. Tinggal Kenzie, Gilang dan Emyr yang bisa keluyuran ke luar kota. Gwen stand by di sini," lanjutnya. "
Hari berganti. Pagi itu, Arudra berpamitan pada Zivara untuk berangkat ke Jakarta, buat menghadiri rapat bulanan PG dan PC. Arudra berlutut dengan kedua kaki, kemudian mengusap perut istrinya sembari berbincang satu arah dengan anaknya, yang membalas dengan gerakan keras yang menjadikan Arudra tersenyum. Pria berkemeja abu-abu muda menciumi perut Zivara, kemudian berdiri dan mendekap istrinya dengan hati-hati. Arudra membaca doa selamat dalam hati, lalu mengecup puncak kepala kekasih hati. Tidak berselang lama, Arudra telah berada di mobilnya yang dikemudikan Nirwan. Mereka hendak menjemput Bhadra terlebih dahulu, kemudian bergabung dengan rekan-rekan Arudra di kantor cabang PC. Zivara berpamitan pada Nini, lalu dia menaiki mobil taksi. Sejak kandungannya kian membesar, Arudra melarang Zivara mengemudi sendiri. Sebab Nirwan mengawal suaminya, perempuan tersebut terpaksa menumpang di taksi. Puluhan menit terlewati, Arudra dan rekan-rekannya telah berangkat menggunakan beberapa mob
Zivara tergelak seusai menonton video kiriman Arudra. Begitu pula dengan Casugraha, Rahmadi dan Indriati yang turut menyaksikan tayangan itu dari laptop sang menantu. Zivara diminta Indriati menginap selama Arudra tidak berada di Bandung. Perempuan tua khawatir menantunya kenapa-kenapa bila tetap tinggal di rumahnya. Meskipun akan ditemani Nini dan kedua anaknya, tetap saja Indriati khawatir. Sang menantu menuruti permintaan mertuanya, semata-mata agar Indriati merasa senang. Selain itu, Zivara juga jadi memiliki teman mengobrol yang seru, yaitu Adik iparnya. Kendatipun usia Casugraha masih muda, tapi cara berpikirnya cukup dewasa. Zivara seolah-olah merasa memiliki Adik yang tidak pernah dipunyainya. "Mama jadi pengen ke Belitung," tutur Indriati, sesaat setelah tontonan usai. "Jauh, Ma. Repot juga, dua kali naik pesawat," sahut Casugraha. 'Tapi, resornya bagus." "Iya. Kalau Mama sanggup turun naik pesawat, sih, boleh kita ke sana." "Tunggu Zi beres lahiran," sela Rahmadi. "A
Kelas materi terakhir baru saja usai. Seluruh peserta diklat jalan keluar ruang pertemuan di belakang resor, yang menghadap ke pantai. Satu per satu orang keluar dan menuruni tangga. Mereka berpencar ke kanan dan kiri, sesuai dengan arah masing-masing cottage. Arudra tiba di cottage nomor 8 sisi kiri. Dia menempati ruangan luas itu bersama sembilan anggota kelompoknya, yang merupakan gabungan dari anggota PG dan PC. Kendatipun ruangan itu luas, tetapi karena dipenuhi extra bed, jadi terkesan sempit. Kasur ukuran besar di kamar belakang, ditempati Bryan dan Hugo. Sementara Arudra menghuni kamar depan bersama Joshua. Sisanya, memenuhi ruangan depan. "Mau mandi duluan, Ra?" tanya Joshua, sesaat setelah keduanya memasuki kamar. "Mas duluan aja. Aku mau rebahan bentar," sahut Arudra sambil berbaring di kasur pertama. "Aku juga mau istirahat dulu. Capek." Joshua tengkurap di kasur kedua. "Enggak kerasa, ini sudah hari terakhir." "Hu um. Jadwalnya padat. Tahu-tahu sudah jam 5." "Di
"Posisi terbaik 15, diraih oleh Leandru Mahendra dari PG," ujar Gustavo, yang disambut seruan penonton. "Terbaik 14, adalah Arkhan Maheswara dari PC," lanjutnya. "Juara 13, ini sebenarnya nggak disangka-sangka, karena orangnya baru bergabung selama beberapa bulan. Yakni, Zijl Naratama dari PC," sela Tio yang menyebabkan rekan-rekan Zijl di tim 11 berseru kegirangan. "Pemenang 12, Kasyafani Suwardana dari PC," imbuh Gustavo. "Urutan 11, Atalaric Dewawarman dari PG," sambungnya. "Sekarang kita lanjut ke posisi 10 terbaik," timpal Tio sembari berpindah ke dekat kedua pelatih utama. "Silakan, Mas Helmy dan Mas Indra," bebernya. "Posisi top 10 diraih oleh Luthfan Baihaqi dari PC," terang Helmy, prajurit KOPASSUS yang selalu menjadi pelatih khusus diklat PBK khusus para bos. "Top 9, dimenangkan oleh Arudra Janardana dari PC," jelas Indra, rekan Helmy di KOPASSUS. "Lanjut, W," pinta Tio sambil mendatangi rekannya. "Top 8, ditempati oleh Emris Rafardhan dari PC!" seru Wirya. "Ayah, si
Pagi harinya, seusai acara penutupan, semua peserta diminta berfoto sesuai kelompok masing-masing. Kemudian mereka berkumpul membentuk barisan 7 lapis, dengan semua pelatih dan panitia di bagian tengah. Nandira yang datang bersama rombongan Sultan dan Gustavo, diminta berfoto berdua dengan Januar dalam berbagai pose. Hadirin terkekeh kala Hadrian memaksa ikut berfoto dengan alasan jika dirinya juga ikut andil, hingga pasangan tersebut menikah beberapa tahun silam. Setelahnya, semua orang dipersilakan bersiap-siap untuk kembali ke Jakarta. Kecuali Januar dan Nandira yang mendapat hadiah tambahan dari tim SHEHHBY, yakni menginap dus hari satu malam di cottage mana pun yang mereka kehendaki. Selain Januar dan istrinya, seluruh petinggi PBK juga ikut berlibur bersama keluarga masing-masing yang turut dalam rombongan Sultan. Tepat setelah salat Zuhur, para peserta, panitia dan pelatih, berpamitan pada kelompok PBK. Kemudian mereka menaiki sepuluh speedboat dan dua pesawat khu
Awal malam itu, Lanika tiba di bandara Cengkareng, bersama Sebastian, Rylee dan Cornelia. Mereka dijemput Uday yang kemudian mengantarkan keempatnya ke hotel tempat tim PG dan PC menginap. Setibanya di tempat tujuan, Bilal dan Yolla telah menunggu di lobi. Seusai berbincang sesaat, mereka bergegas menuju ruang pertemuan di lantai tiga, untuk menghadiri jamuan makan malam yang diadakan oleh Tio. Ruangan luas itu seketika heboh. Semua orang menyambut kedua anggota PC yang baru tiba, dengan rangkulan. Hal nyaris serupa juga dilakukan tim para istri pada Cornelia dan Lanika. Kendatipun tidak terlalu mengenal Lanika, tetapi Mayuree dan rekan-rekannya tetap bersikap ramah pada perempuan tersebut. Seusai melepas rindu pada keluarganya, Lanika mendatangi Zivara dan langsung memeluk sahabatnya tersebut dengan erat. Kemudian dia mengurai dekapan dan beralih menciumi Keef yang sedang dipangku maminya. "Masyaallah, asa tambah kasep, pangeran Ate," puji Lanika sembari menggosok-gosokkan hidun
Ruang rapat di gedung kantor PG, siang menjelang sore itu terlihat ramai. Lebih dari 100 pria bersetelan jas biru mengilat, berkumpul untuk mendengarkan pidato Tio. Setelahnya, komisaris PG memanggil orang-orang yang hendak berangkat ke Kanada. Mereka berdiri di kiri Tio, sambil memandang ke depan. Arudra, Drew, Ghael, dan Myron bergantian mengucapkan kalimat perpisahan. Benigno yang akan mengantarkan rekan-rekannya ke Kanada, juga turut memberikan pidato singkat. Sementara Alvaro yang menjadi pemimpin rombongan tersebut, hanya diam sambil memandangi semua orang di ruangan. "Teman-teman, mari kita bersalaman dengan para pejuang ini. Berikan dukungan terbaik buat mereka, yang akan bekerja keras menyelesaikan berbagai proyek kita di Kanada," ungkap Tio sembari turun dari podium. "Mid, tolong atur barisan," pinta Tio yang segera dikerjakan direktur operasional PG. Tio menyalami Arudra dan mendekapnya sesaat. Kemudian Tio memundurkan tubuh dan berbincang singkat dengan rekannya terse
Jalinan waktu terus bergulir. Minggu terakhir berada di Bandung, digunakan Arudra dan Zivara untuk lebih dekat dengan keluarga. Setiap hari mereka bergantian mengunjungi kediaman Rahmadi atau Thamrin, agar bisa bercengkerama dengan keluarga inti dan sanak saudara. Kamis sore, Arudra dan Zivara mendatangi kediaman ketua RT tempat mereka tinggal dan tetangga terdekat, untuk berpamitan. Pasangan tersebut tidak lupa untuk berpamitan pada para pedagang di sekitar kompleks, yang menjadi langganan mereka selama menetap di sana.Jumat pagi, Nirwan melajukan mobil sang bos menuju kediaman Rahmadi. Fazwan dan Disti menyusul menggunakan mobil SUV putih milik Zivara. Tidak berselang lama, Bilal datang bersama Yolla dan keluarganya. Demikian pula dengan Thamrin dan Ruslita. Mereka hendak ikut mengantarkan Arudra dan kelompoknya ke Jakarta. Seusai membaca doa bersama, semua orang menaiki kendaraan. Kemudian Bhadra yang berada di mobil terdepan, menekan klakson sebagai tanda perjalanan akan seg
Senin pagi menjelang siang, Arudra dan Zivara beserta yang lainnya bertolak menuju Lombok. Fazwan dan Disti juga ikut dalam rombongan tersebut untuk menikmati bulan madu, sebagai hadiah dari para petinggi Janardana Grup dan Mahendra Grup. Pada awalnya para pria ingin kembali mengunjungi Pulau Komodo. Namun, karena banyak anak-anak yang ikut, akhirnya tempat tujuan diubah supaya cocok dengan anak kecil.Pesawat yang mereka tumpangi akhirnya tiba di Bandara Internasional Zainuddin Abdul Madjid (Bizam) menjelang pukul 4 sore. Perjalanan itu ditempuh dalam waktu yang cukup lama, karena pesawat harus transit di bandara Bali. Dari bandara menuju hotel milik BPAGK, rombongan tersebut menaiki bus berukuran besar yang disediakan pihak hotel. Agung, ketua pengawal Bali dan Nusa Tenggara, kembali menjadi pemandu wisata dadakan.Seperti biasa, para pengawal muda mengadakan kuis berhadiah kudapan dan minuman ringan. Sebab jumlah bos yang ikut cukup banyak, akhirnya semuanya ikut dan terbagi menj
Sabtu pagi di minggu kedua bulan Agustus, pernikahan Fazwan dan Disti dilangsungkan di gedung pertemuan kawasan Buah Batu. Rombongan keluarga calon pengantin pria tiba belasan menit sebelum acara dimulai. Yudha yang menjadi pemimpin, mengatur barisan bersama teman-teman pasukan pengawal area Bandung. Setelah diberi kode oleh tim panitia pihak perempuan, rombongan berseragam serba krem jalan perlahan menuju pintu utama gedung. Mereka berhenti di bawah tenda untuk menyaksikan sambutan dari kedua orang tua Disti. Susunan acara khas Sunda dilaksanakan dengan khidmat, sebelum akhirnya rombongan dipersilakan masuk. Keluarga inti, para petinggi PBK dan keluarga Janardana, serta Mahendra dan Pangestu, menempati kursi dua deretan terdepan sisi kanan. Di belakang mereka dipenuhi keluarga besar Fazwan, dan semua pengawal lapis satu hingga 12 yang hadir bersama keluarga masing-masing. Tidak berselang lama acara dimulai. Fazwan mendengarkan khotbah nikah dengan serius sambil merekamnya dalam
Minggu berganti menjadi bulan. Menjelang keberangkatan ke Kanada, Zivara justru disibukkan dengan persiapan pernikahan Fazwan. Sebab calon pengantin pria sedang sibuk mengikuti Arudra tugas ke luar kota, mau tidak mau Zivara yang menggantikan posisi akangnya untuk membantu Disti. Sore itu sepulang dari kantor, Zivara memacu mobil SUV putih menuju pusat perbelanjaan. Kala berhenti di perempatan lalu lintas, Zivara menyempatkan diri untuk menelepon Nini, yang tengah dijemput Isfani untuk menyusul Zivara, bersama Keef. Setibanya di tempat tujuan, Zivara memarkirkan mobilnya dengan rapi. Dia merapikan penampilan terlebih dahulu, kemudian menyemprotkan sedikit parfum ke baju. Sekian menit berikutnya, Zivara telah berada di dekat pintu utama. Dia menunggu kedatangan taksi yang ditumpangi Nini dan Isfani tiba, kemudian mereka bergegas menuju lantai tiga, di mana Disti dan kakaknya telah menunggu. Keempat perempuan bersalaman sambil beradu pipi. Sementara Nini hanya menyalami calon istri
"Siapa kamu!" bentak Eyang Min, saat seorang pria tua muncul di dekat teras depan rumahnya. "Tidak perlu tahu aku siapa. Yang penting, setelah ini usahamu menyesatkan orang akan berhenti," jawab Mulyadi dengan sangat tenang. Eyang Min maju beberapa langkah sambil mengacungkan tongkatnya yang berbentuk unik. "Oh, ternyata kamu. Orang yang sudah melindungi Lanika." "Betul." "Tapi, percuma saja. Sebentar lagi dia akan mati." "Nyawa manusia adalah milik Allah. Sehebat apa pun ilmumu, jika Allah berkehendak, maka Lanika akan aman." Eyang Min tertawa melengking. Mulyadi tetap diam sambil mengamati beberapa orang yang muncul di belakang perempuan berbaju merah. Zein dan ketiga sahabatnya telah selesai bertempur. Mereka berdiri beberapa meter di belakang Mulyadi sambil memerhatikan sekeliling. Masih ada titik-titik merah yang beterbangan, dan harus terus diawasi. Eyang Min melemparkan tongkatnya yang berubah menjadi ular hitam berukuran besar. Mulyadi spontan mundur sembari memukuli u
Embusan angin kencang menerpa apa pun yang berada di bumi. Dedaunan di dahan bergoyang ke sana kemari mengikuti arah sang bayu. Sekali-sekali akan terdengar suara binatang malam. Selebihnya hanya keheningan yang tercipta di sekitar rumah besar, yang berada di tengah-tengah kebun di pinggir Kota Bogor. Jalan depan rumah itu terlihat lengang. Meskipun waktu baru menunjukkan pukul 10, tetapi tidak ada seorang pun yang melintas di sana. Letak bangunan yang berada di perbukitan, ditambah lagi area belakangnya lebih banyak kebun dibandingkan rumah, menjadikan tempat itu seolah-olah terisolir dari dunia luar. Sekelompok orang terlihat jalan cepat di kebun sisi kiri. Sebab sekitarnya gelap, mereka terpaksa menyalakan senter kecil yang tersambung dengan ikat kepala. Sekali-sekali mereka akan berhenti dan berjongkok untuk memindai sekitar. Kemudian mereka melanjutkan langkah hingga tiba di dekat rerimbunan semak di dekat rumah target. Pria terdepan memberi kode dengan tangan. Lima orang be
Arudra termangu, sesaat setelah Nirwan menceritakan tentang kejadian kemarin malam di mobil Lanika. Bhadra, Casugraha, Fazwan dan Bilal yang juga berada di ruang kerja sang presdir, saling melirik, sebelum sama-sama mengulum senyuman. Sementara Zein menggeleng pelan seraya tersenyum lebar. Sedangkan Hendti justru bertepuk tangan, kemudian dia menepuk-nepuk pundak Nirwan yang terlihat cengengesan. "Hebat, euy! Bisa ninju kunti," tukas Hendri. "Ini berkat ajaran Akang," balas Nirwan. "Dan Bang Zein, serta teman-teman tim pengejar hantu," lanjutnya sambil memandangi pria berkulit kecokelatan yang balas menatapnya saksama. "Kami cuma melatih sedikit. Hatimu memang kuat, itu yang membuatmu sanggup melawan kuntilanak kiriman Nenek tua itu," jelas Zein. "Kamu ikut latihan olah napas, Wan?" tanya Bilal. "Ya, Bang," jawab Nirwan. "Sudah lama?" "Baru dua bulanan. Itu pun karena diajakin Kang Izra. Dia bilang, auraku kuat. Lebih bagus lagi diarahkan ke ilmu kebatinan." "Aku ingat Izra