Pengantin Kecil Tuan Xavier [ BAB 2 ]
"SELAMAT DATANG BUDAKKU!" batin pria itu berbicara, tampak seringaian misterius terbit di bibir sexynya. Xavier masih menatap gadis kecil yang sudah berstatus menjadi istrinya menggantikan kekasih yang kabur entah kemana. Tapi, dia tidak perlu khawatir karena pria itu sudah menyebar anak buah untuk mencari perempuan yang tidak tahu diri itu. Dia harus membayar semua perlakuannya yang telah membuat dia malu, dan untuk sementara adiknya lah yang akan menggantikan peran melaksanakan hukuman. "Sampai kapan kau akan berdiri di sana?'' tanya Xavier datar dan dingin. Nandini perlahan mengangkat kepalanya, menatap laki-laki yang kini sedang duduk di pinggiran ranjang kecilnya. Ya Nandini di beri kamar yang mempunyai ukuran sangat kecil, berbeda dengan kedua kakaknya yang mempunyai kamar yang sangat luas. Tapi, bagi Nandini itu lebih baik daripada dia harus tinggal dan tidur di gudang yang kotor juga pengap. "M—maaf,” cicit Nandini pelan. Xavier menatap intens gadis itu. Ada rasa yang tak bisa dia artikan ketika menatap mata hazelnya yang berwarna coklat terang. Wajahnya yang cantik juga membuat dirinya tidak bisa berpaling, Xavier tidak menyangka jika Abrian dan Meylan mempunyai adik secantik ini, karena yang dia tahu jika Meylan hanya mempunyai satu saudara yaitu Abrian. "Minta maaf untuk apa! Apa kamu mempunyai salah padaku?" suara bariton itu terdengar tegas dan datar. Di tambah dengan raut muka Xavier yang tegas dan terkesan dingin membuat nyali Nandini seketika menciut takut. "A--aku meminta maaf k--karena aku terpaksa menggantikan posisi kakakku," ucap gadis itu pelan dan menundukkan kepalanya. "I--bu berkata jika aku hanya menggantikan sementara saja, kelak jika kakak kembali, dia ... Dia akan kembali pada Anda," lanjutnya pelan. Xavier tersenyum miring. "Jika aku tidak mau, bagaimana?" tuturnya disertai senyuman yang tipis. Mendengar perkataan yang terucap dari bibir pria tersebut membuat Nandini mengangkat wajahnya, memberanikan diri kembali menatap laki-laki yang sudah berstatus suami. Ah suami? Hanya sekedar memikirkannya saja Nandini tidak berani. Keningnya mengkerut tampak heran dan tak mengerti akan maksud ucapan pria tersebut. Ingin sekali dia menolak, tapi jika takdir sudah bertindak apa yang bisa dilakukannya. "A—ku tidak tahu," lirih Nandini. Xavier terkekeh. "Kau yang akan menggantikannya menjalani hukuman dariku! Bersiaplah." Ucapan datar itu terdengar menakutkan di telinga Nandini, apalagi ketika melihat seringai di bibir pria itu. "T—tapi kenapa harus aku! Salahku apa sehingga harus menggantikan kakakku! Ini tidak adil!" kepalanya menggeleng dan Nandini memberanikan membantah ucapan pria itu. "Heh, baru kali ini ada perempuan yang berani membantah ucapanku!" monolognya. "Cepatlah bersiap-siap, karena setelah ini aku akan membawamu tinggal bersamaku!" ujar Xavier datar. Nandini menggeleng, dia tidak setuju. Dia tidak mau jika harus pergi meninggalkan rumah ini, meskipun selama tinggal di sini dia hanya mendapatkan siksaan. Berbeda cerita jika dia harus ikut dengan pria itu, tempat baru yang tentunya sangat asing baginya. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang tinggal di rumah suaminya, dia bahkan tak mengenal karena ini pertemuan pertamanya bersama dengan laki-laki dingin itu. "M—maaf tapi aku tidak mau!" ucapnya pelan. "Heh, sebaiknya kamu menurut, karena sekarang nasib hidupmu ada dalam genggaman tanganku!" ucap Xavier sinis lalu melangkah mendekati gadis itu. "Sebaiknya bersiap diri, jika tidak aku akan membawamu paksa keluar dari sini," bisik Xavier di telinga Nandini. Tak terasa setetes air mata jatuh di pipi mulus Nandini. "Tuhan, berikanlah perlindunganmu padaku," batinnya menangis pilu. Meratapi nasib dan takdir yang tidak pernah berpihak padanya. Sejak kecil Nandini sudah di anggap sebagai pembawa sial bagi sang ibu. Entah apa yang menyebabkan wanita itu begitu tega dan kejam padanya. "CEPATLAH!" geram Xavier. Mau tidak mau dia pun menurut dan pasrah, gadis itu berjalan pelan menuju lemarinya untuk membawa beberapa pakaian lusuhnya. Pakaian bekas pakai sang kakak. Nandini tidak pernah membeli baju baru semenjak dia kecil, dia hanya akan memakai baju sisa pakai sang kakak perempuan. Laki-laki tampan itu terus memperhatikan apa yang di lakukan gadis kecil di hadapannya. Dia dapat melihat baju-baju lusuh itu yang sepantasnya di pakai oleh seorang pembantu. Dan tanpa mengganti gaunnya, mereka langsung berangkat menuju mansion Xavier. "Cepatlah! Waktuku sangat berharga!" tukas Xavier. Lalu keduanya melangkah keluar dari kamar yang begitu sempit menurut Xavier. Sungguh dia tidak betah berlama-lama tinggal di kamar itu. Sudah kecil pengap pula! Pikir Xavier. Ketika sampai di lantai bawah tampak wanita itu sedang duduk di sofa. Tanpa menyapa wanita yang berstatus mertuanya itu, Xavier terus melangkahkan kakinya. Nandini pun terpaksa mengikuti langkah kaki lebar pria itu. "Ah, kalian akan langsung berangkat sekarang!" sumringah suara Rini ketika dia melihat sang menantu dan anaknya akan keluar dari rumah. "Mengapa Ibu, mengapa engkau kejam sekali terhadapku, aku pun anakmu Bu, terlepas dari kesalahan apa yang pernah aku lakukan di waktu dulu," batin Nandini perih melihat senyuman lebar yang tercetak di wajah ibunya. Xavier menatap mertuanya datar. Dia muak melihat ekspresi wanita itu. Ingin sekali dia melenyapkannya, tapi nanti setelah dia menemukan si Meylan yang brengsek. "Hmm," jawab Xavier singkat. Rini masih tersenyum lebar, "Ah ya mengenai acara resepsi nanti malam, apa tidak sebaiknya Nandini di sini terlebih dahulu, lalu nanti kita berangkat bersama ke hotel," ucap Rini dengan masih mempertahankan senyumannya. Xavier menatap datar dan tersenyum sinis. "Sayangnya, tidak akan ada resepsi apapun. Karena aku sudah membatalkannya!" jawaban Xavier terdengar datar namun tersirat nada kepuasan tatkala dia dapat melihat wajah pias mertuanya itu. Xavier melangkah gagah meninggalkan mertuanya. Sementara Nandini masih diam, dia masih menatap wanita yang sangat berarti dalam hidupnya itu. Karena Xavier merasa kesal menunggu lama, dia pun berteriak. "NANDINI!" teriak Xavier membahana di rumah mewah itu, tak dia perdulikan orang-orang yang masih berada di sana. "CEPATLAH! " lanjutnya lagi dengan masih berteriak. Seketika membuat Nandini tegang dan takut. Orang-orang yang berada di sana dapat melihat dengan jelas raut ketakutan dari wajah cantik gadis itu. Dia pun berjalan cepat guna untuk menyusul sang pria yang sudah berteriak seperti orang kesetanan. "LELET!" ketus Xavier seraya memandang tajam gadis yang kini sudah berada di depannya. Nandini terdiam tidak menjawab apapun. Dia pun mengikuti langkah lebar suaminya. Tapi ketika hampir sampai ke dekat mobilnya tiba-tiba Nandini melihat pergerakan seseorang yang mencurigakan. "Tuan awas!"Pengantin Kecil Tuan Xavier - BAB 3 "Tuan Awas!" teriak Nandini dari belakang tubuh kekar Xavier kala dia melihat seorang pria membawa pisau dan akan menusuk pria itu. Nandini pun berlari dan mendorong tubuh Xavier dengan sekuat tenaga. Xavier terjatuh, terhuyung dan Nandini menahan pisau dari pria itu. Hingga darahnya menetes mengenai wajah Xavier. Bodyguard Xavier langsung bergerak meringkus pria itu, mereka kecolongan. Karena yang akan menusuk Xavier adalah anak buahnya sendiri. Tangan Nandini terluka, dan sepertinya luka di tangan mungil itu cukup dalam. Xavier beranjak, dia mengusap wajahnya yang terkena tetesan darah Nandini. "Apa yang kau lakukan!" suara pri itu terdengar menggelegar ketika membentak Nandini. Gadis yang di bentaknya itu langsung menundukkan kepala. Tubuh itu bergetar mendengar bentakan yang keluar dari mulut Xavier. Orang-orang yang mendengar keributan di depan pun langsung berlari menghampiri mereka. Merek
Pengantin Kecil Tuan Xavier - BAB 4 Byurrr Seember air meluncur bebas membasahi tubuh ringkih itu. Gadis yang masih terlelap menyelami mimpinya di tarik paksa menuju kenyataan. Dia mengerjapkan mata yang terasa perih dan juga hidung yang terasa sakit akibat kemasukan air. Uhuk uhuk uhuk Dia terbatuk, merasakan perih dan sesak di dada. Sambil berusaha menetralkan penglihatan, dia terus memukul-mukul dadanya yang terasa sakit. "Bangun!" suara bariton nan dingin menyapa indera pendengaran Nandini. Gadis itu berusaha memfokuskan pandangannya. Bola mata berwarna hazel itu seketika melotot tatkala melihat siluet seorang pria yang berdiri di sebelahnya. "Ah, m--maaf s--saya t--terlambat b--bangun," ucap Nandini terbata dan ketakutan ketika melihat mata tajam itu menatap bak seekor elang yang hendak menangkap mangsanya. Xavier menatap dingin gadis kecil di hadapannya. Lalu dia pun melirik Kepala Pelayan. Pria paruh baya i
Pengantin Kecil Tuan Xavier-BAB 5 "Aww," jerit Nandini. "Aampun, lepaskan, sakit," rintih Nandini. Xavier menatap nyalang wajah yang sedang ketakutan itu. Dia dengan kuat menjambak rambut Nandini. Hingga gadis itu merasakan sakit di kepalanya, dia merasa rambutnya akan rontok. "DENGAR INI, SAYA PALING TIDAK SUKA DI BANTAH APALAGI OLEH BUDAK SEPERTIMU! STATUSMU DI SINI ADALAH BUDAKKU,BUKAN ISTRIKU! KAU DENGAR ITU! JADI JANGAN BERHARAP KAU AKAN MENDAPATKAN PERLAKUAN SPESIAL DARIKU! INGAT KAU HANYA SEORANG BUDAK, DAN BUDAK TIDAK DI PERKENANKAN UNTUK MEMBANTAH UCAPAN MAJIKANNYA, INGAT ITU. CAMKAN DI OTAKMU YANG KECIL ITU!" sarkas Xavier. Nandini meringis, merasakan ngilu sekaligus pusing di kepalanya. Sedangkan pria paruh baya yang bertugas menjadi kepala pelayan hanya bisa menatap prihatin pada gadis yang sedang di perlakukan kasar oleh sang majikan. "Sungguh malang sekali nasibmu, Nak," batin pria itu.
Pengantin Kecil Tuan Xavier BAB 6 Suara seorang pria menggelegar di dalam sebuah rumah memanggil gadis yang baru saja di akunya sebagai budaknya. Budak untuk membayar kesalahan keluarganya. Kejam ya memang Xavier seperti itu. Dia tidak akan pernah perduli jika apa yang di lakukannya itu membuat orang lain susah bahkan terluka. Berbeda dengan sang kakak. Yang baik juga ramah. Sikap mereka sangat berbanding jauh. Sifat Xavier turunan sang ayah. Yang dingin, arogan dan kejam. Sedang sikap sang kakak menurun dari sang ibu. Seorang gadis berlari tergopoh-gopoh kala namanya. "Maaf, tadi aku masih membersihkan gudang. Yang kata anda akan menjadi tempat tinggalku!" ucap Nandini pelan. Xavier menatap tajam gadis di depannya itu. Nandini menundukkan kepalanya, tidak berani menatap wajah pria itu. Wajahnya sangat menakutkan bagi Nandini. "Sudah aku bilang, jika waktunya aku pulang kau harus berada di depan pintu utama," ucap Xavier dingin. "Ma
Pengantin Kecil Tuan Xavier - BAB 7 "Bodoh!" ucap Xavier pedas dan kejam."Kamu tahu, tadi kakakmu menanyakanmu! Dan sudah aku tegaskan jika dia tidak perlu lagi mengurusi hidupmu! Karena nasibmu berada dalam genggaman tanganku!" Desis Xavier sambil mencengkram kuat kedua pipi Nandini. Nandini meringis merasakan sakit di kedua pipinya. Di tambah dengan air dingin yang mengguyur tubuh mungilnya. Seketika membuat tubuh kecil itu menggigil, tapi sayang Xavier tidak memperdulikan Nandini. Air itu terus mengguyur tubuh mungilnya. Sungguh kasihan Nandini, sudah di paksa menjadi pengganti. Kini ia di siksa tanpa ampun oleh pria yang berstatus suaminya. "A--apa s--salahku? M-mengapa n--nasibku s--seperti ini! M-mengapa a--anda melimpahkan kemarahan anda padaku? Padahal aku sama sekali tidak tahu apa-apa! Bukankah seharusnya anda berterima kasih. Karena saya sudah menyelamatkan anda dari rasa malu!" Jawab Nandini dengan terbata. Bibir gadis itu bergetar, menahan r
Pengantin Kecil Tuan Xavier - Bab 8 Xavier menggila, ia membantingkan barang-barang yang ada di kamarnya. Kamar yang tadinya rapi dan bersih kini berantakan. Pecahan kaca berhamburan di mana-mana, bahkan ranjang pun tak luput dari kemarahannya. Xavier menggeram. Sungguh ia marah, bukan karena Jordhan membawa Nandini. Tapi, ia marah pada diri sendiri apalagi perkataan Nandini terngiang di telinganya. Para maid yang ada di Mansion mewah itu tidak berani menghentikan kegilaan majikannya. "Sial! Mengapa perkataan gadis itu selalu terngiang di kepalaku! Enyah kau dari kepalaku sialan!" Maki Xavier dan melemparkan sebuah vas bunga yang ada di dekat sofa meja ke arah kaca meja rias yang ada di kamarnya. Prangg Hancur sudah, semuanya tak luput dari kemarahan seorang Xavier. Sementara itu, Jordhan kini sudah berada di pelataran rumah sakit. Pria paruh baya itu langsung pergi menuju ruang gawat darurat. Ia bahkan berteriak pada perawat yang berada di sa
Pengantin Kecil Tuan Xavier - BAB 9 Jordhan masih dengan setia menunggu Nandini di periksa. Ia berjalan mondar mandir di depan pintu ruang UGD. Khawatir yang ia rasakan saat ini, sama dengan ketika ia harus kehilangan sang putri. Tentu dirinya tidak mau jika sampai itu kembali terjadi untuk yang kedua kalinya. Kematian sang putri bagaikan cambuk di dalam hidupnya. Membuat hidup pria itu menjadi sebatang kara, tapi semua itu terasa berbeda semenjak kedatangan Nandini. "Tolong bertahanlah, Nak! Pria tua ini memintamu untuk berjuang, Nak!" Lirihnya. Laki-laki itu berdoa, memohon keselamatan pada yang Maha Kuasa. Semoga ia berkenan untuk memberikan kehidupan untuk Nandini. Lama ia menunggu, hingga akhirnya dokter pun keluar. "Bagaimana dok, keadaan putri saya!" Tanyanya khawatir. Sang dokter tersenyum lembut, "Alhamdulillah keadaannya tidak semengkhawatirkan seperti tadi. Keadaan putri bapak sudah membaik, dia hanya kelelahan dan juga perutnya kos
Pengantin Kecil Tuan Xavier -Bab 10 "Ahhhh, terus lebih dalam lagi!" Suara desahan dan erangan seorang perempuan menggema di sebuah kamar temaram. Seorang pria memacu tubuhnya, di atas tubuh perempuan itu. Peluh mereka sudah bercampur, nafas mereka pun memburu. Saling mengejar kepuasan nafsu semata. "Ahh yess, seperti itu! Lebih kencang dan lebih dalam sayang," racau wanita itu. Sungguh tidak tahu malu. Mereka berdua sudah jauh dari norma yang ada. Bagi mereka berdua, sex bebas adalah hal biasa. Itu sudah lumrah terjadi. Sang pria terus memompa jagoan kecilnya di lembah sang wanita. Kepuasan terlihat dari raut muka mereka berdua. Tak seberapa lama, keduanya mengerang panjang. "Arghh!" Erang si pria. "Nikmat dan puas!" Ucapnya kemudian. Si wanita pun tersenyum dan mengangguk. Hal seperti ini lah yang ia inginkan. Tapi sayang, sang kekasih enggan memberikannya kepuasan. Hanya sebatas ciuman mana puas. Pikir wanita itu. "Ya sayang, aku pun sangat puas! Sesuatu yang tidak p
Bab 96 - S2 - Malam Pertama (21+) “Bagaimana saksi, Sah?!” Tanya seorang penghulu kepada para saksi yang berada di sana. “Sah!” “Sah!” “Sah!” Kalimat Sah menggema, membuat setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Senja. Alarich melihat hal itu, ia langsung menggenggam tangan mungil sang istri. Membuat Senja sadar jika ia tidak sendiri. Gadis yang sudah bergelar istri itu menoleh, menatap sang suami yang tersenyum manis kepadanya. Lelaki yang tidak pernah tersenyum itu, kini memberika senyumannya hanya untuk sang istri. “Alhamdulilah, kalian sudah sah menjadi sepasang suami istri. Silahkan untuk sang istri mencium tangan sang suami, dan suami mencium kening serta ubun-ubun istri anda,” ujar sang penghulu. Alarich maju, mendekati istrinya. Dengan tubuh bergetar menahan gugup Alarich mencium kening serta ubun-ubun sang istri. Begitu juga dengan Senja, dengan tangan yang gemetar, ia raih jemari sang suami. Men
Bab 95 - S2 - Menikah Deg Senja langsung menoleh ke arah Alarich, ia bahkan menghentikan langkah kakinya. Menatap wajah yang senantiasa datar dan dingin itu, mencari kebohongan dari binar matanya yang tajam. Namun, Senja sama sekali tidak menemukan kebohongan tersebut, ia justru melihat ketulusan, kejujuran, dan keseriusan dari mata Alarich. Lantas Alarich membuka pintu ballroom, begitu pintu terbuka keluarga besar Romanov menyambutnya. Senja mematung di tempatnya berdiri,memandang bagaimana baiknya keluarga yang bahkan tak ada hubungan darah dengannya. Alarich meraih tangan Senja, dan membawanya masuk. Mata Senja sudah berkaca-kaca, melirik tangan yang di genggam oleh Alarich. “Tuan,” lirih Senja. “Mari masuk, mereka sudah menunggumu. Menunggu calon menantu baru di keluarga Romanov. Gadis yang selama beberapa tahun aku tunggu, tidak mungkin aku lepaskan untuk yang kedua kalinya. Oleh karena itu, aku akan langsung mengikatmu dengan pernikaha
Malam itu, Senja sudah siap dengan gaun yang sudah di siapkan oleh Alarich sebelumnya. Gaun berwarna lembut sangat cocok dengan karakter Senja. Jangan lupakan kerudung yang berwarna sama dengan gaunnya menambah kecantikan seorang Senandung Senja. Gadis berhijab itu di dandani oleh Sheinafia, wanita beranak satu itu begitu antusias kala mendengar Alarich hendak melamar Senja. Namun, mereka sengaja tidak mengatakan hal itu kepada Senja, sebab takut jika gadis tersebut menolaknya. “Ya Tuhan, kamu cantik sekali, Senja,” pekik Sheinafia yang membuat ketiga perempuan paruh baya yang kebetulan berada di kamar Senja sontak menoleh ke arah dua wanita muda itu. Nandini, Namilea, dan Melati tersenyum kala melihat Senja. Wajahnya yang cantik alami semakin bersinar kala Sheinafia membubuhkan make up flawless di wajah cantiknya. Namilea menghampiri keduanya, ia tersenyum lembut lantas mengusap puncak kepala Senja yang terbalut hijab. “Kamu cantik sekali, Nak
Bab 93 - S2 - Pendekatan Alarich Tidak terasa, sudah hampir dua minggu Senja tinggal di Mansion Romanov. Selama itu pula, Senja belum pernah kembali bertemu dengan Alarich. Entah kemana perginya lelaki dingin itu, pria pertama yang merangkulnya ketika ia terjatuh. “Senja, Nak,” panggil Namilea. Merasa ada yang memanggilnya, Senja pun menoleh. Ternyata ibu dari Alarichlah yang memanggil namanya. Senja tersenyum menyambut kedatangan Namilea yang kini duduk di sebelahnya. “Sedang apa, Nak? Ibu lihat dari tadi kamu duduk sendirian di sini? Kamu bosan?” Tanya Namilea hati-hati. Senja menggelengkan kepalanya,”Tidak ibu. Senja tidak bosan,” jawab Senja yang memang sekarang memanggil Namilea dengan panggilan ibu sesuai permintaan Namilea. Namilea pun tersenyum. Lantas mengangkat sebuah paper bag yang isinya entah apa. “Ini, tadi Alarich sebelum berangkat kerja dia menitipkan ini untuk kamu. Katanya, pakai nanti malam asisten Alarich a
Bab 92 - S2 - Kembalinya Senja “Semuanya, perkenalkan … Senandung Senja.” Deg Mereka terdiam, tentu tidak menyangka jika gadis yang memilih untuk pergi dari kediaman Romanov, kini telah kembali. Alarich, menemukannya dan entah dimana lelaki tampan nan dingin itu menemukan keberadaan Senja. Berbagai spekulasi muncul di kepala para paruh baya itu. Namun, mereka senang sebab sepertinya Alarich mulai membuka hatinya. Namilea menghampiri keduanya, ia menatap tidak percaya gadis cantik yang berdiri di hadapannya itu. “Nak, benarkah kamu Senja? Gadis yang dulu masuk ke dalam mobil Alarich?” Tanya Namilea lembut. Senja terdiam, namun ia melirik Alarich yang berdiri tak jauh darinya. Alarich pun mengangguk. Senja tersenyum tipis, “ Ya, Nyonya. Maafkan saya karena dulu memilih untuk pergi dari sini. Maaf, bukannya saya tidak tahu berterima kasih, hanya saja … saya tidak mau terlalu jauh merepotkan kalian. Kalian terlalu
Bab 91-S2-Kebingungan Senja “Bagaimana, Senandung Senja?” tanya Alarich. Raut wajah lelaki itu terlihat begitu serius, Senja jadi bingung. Entah langkah apa yang harus ia ambil, semua terasa begitu mendadak. “Maafkan saya, Tuan. Tapi … mengapa anda begitu yakin jika saya adalah Senja yang anda cari? Bagaimana jika ternyata anda salah orang?” Tanya Senja pelan nan lembut. “Insting,” jawab Alarich singkat padat dan jelas. “Insting? Bagaimana bisa?” Lirih Senja yang masih bisa di dengar oleh Alarich. Alarich menatap Senja datar, “Kau Senandung Senja, perempuan yang tiba-tiba memasuki mobilku dan meminta pertolongan dari ibu dan saudara angkatmu itu.” Deg Senja mematung di tempatnya, tentu ia tidak lupa dengan kejadian itu. Di mana ia memasuki mobil Alarich dan meminta pertolongan kepada lelaki tampan itu. Dari kejadian itu pula, Senja merasakan bagaimana arti keluarga sesungguhnya. Hanya saja, karena merasa in
Deg “Kenapa kamu berpikir seperti itu, Sayang?” tanya Sheinafia pada sang suami yang tengah memakan mangga muda di waktu yang tak lazim yaitu jam delapan malam. Rain mengunyah habis mangganya sebelum ia menjawab pertanyaan sang istri. Sheinafia bahkan sampai meneguk ludahnya kasar kala melihat bagaimana Rain memakan mangga itu tanpa rasa kecut sedikitpun. Rain tersenyum lembut, dan membelai pipi sang istri dengan penuh kasih sayang. Tatapan Rain kepada Sheinafia sama sekali tidak pernah berubah. Penuh cinta dan juga kasih sayang, Rain yang dingin dan datar di luar nyatanya tidak berlaku untuk keluarga kecilnya. “Sayang, kamu masih ingat ketika mengandung Hazelnut, bukankah aku yang mengalami couvade syndrome. Sampai aku tidak bisa terbangun dan harus istirahat di atas tempat tidur selama satu bulan lamanya?!” Sheinafia diam, lalu tak lama kemudian ia mengangguk. Tentu masih segar di dalam ingatannya ketika ia mengandung Ha
Alarich baru saja tiba di mansionnya, Sheinafia tampak tengah memangku Hazelnut. Sepertinya gadis kecil itu tengah demam. “Ada apa?” tanya Alarich pada Sheinafia. “Al, kamu sudah pulang? Dimana Rain? Aku kira kalian pulang sama-sama,” ujar Sheinafia yang terlihat lelah. Alarich mengambil alih tubuh Hazelnut, dan memang benar gadis kecil itu tengah demam. Alarich mengusap lembut punggungnya, membuat tangisan Hazelnut mereda. Setahu Alarich, keponakannya anak yang anteng. Walaupun ia tengah sakit, jarang sekali Hazelnut rewel seperti saat ini. “Kenapa, Sayang?” tanya Alarich lembut. “Daddy, dimana ayah? Kenapa ayah belum juga pulang?” tanyanya lirih. Alarich menatap Sheinafia, perempuan muda itu hanya mengedikkan bahunya. Tanda ia tak tahu kemana perginya sang suami, biasanya jam empat sore lelaki itu sudah pulang. “Sudah kamu coba menghubunginya, Shei? Tidak biasanya ia pulang telat seperti sekarang,” ucap Alarich datar.
Deg Jantung Alarich terasa berdenyut dengan cepatnya kala ia mendengar suara yang begitu di rindukan. Suara yang selama bertahun-tahun lamanya ia nantikan kehadirannya. Kini, Alarich mendengar kembali suara itu. Langkah kakinya yang tegas membawa ia mendekati sang keponakan. Anak dari kakak sepupu yang begitu ia sayangi seperti anaknya sendiri. “Daddy,” cicit Hazelnut. Air mata masih membasahi kedua pipi chubby Hazelnut. Alarich semakin mendekat, kini wajah itu wajah yang selalu di rindukannya itu ada dihadapan Alarich. Alarich berjongkok, menyamakan tingginya dengan tinggi Hazelnut, tangan besarnya mengusap lembut air mata yang masih setia membasahi mata indahnya. Lutut gadis kecil nan cantik itu tampak mengeluarkan darah. “Are you ok?” tanya Alarich khawatir. Deg Kini gadis berhijab pastel itu yang merasakan degup jantungnya berpacu, bagaimana tidak. Suara yang ia dengar sekarang adalah pemilik nama yang setiap malam sering ia